Dua hari sudah Zena tidak pulang ke rumah. Seisi rumah khawatir bukan main. Mamanya Zena yaitu Sarah berpendapat: Menurutnya ada dua tempat yang paling mungkin menampung Zena. Pertama adalah Dojo. Sebuah tempat untuk berlatih bela diri di desa itu. Dan kedua, Coffie Shop tempat Zena bekerja.
Tanpa membuang lebih banyak waktu lagi. Keluarga Zena yang terdiri dari ayah, ibu, 2 paman, 1 bibi, dan 2 anak kecil itu berpencar mencari Zena. om Sam dan om Iz mencari ke Coffie Shop sedangkan tante Diana dan Papa Hanum (ayah Zena) mencari ke Dojo. “Zena tidak ada di Coffie Shop. Katanya dia sudah 2 hari ini tidak masuk kerja.” “Di Dojo juga tidak ada.” “Di bengkel pak Muklis juga nihil. Kemana anak itu?” Masing-masing menyampaikan laporan mereka. Mamah dan Papa Zena semakin geram dengab tingkah anak sulung mereka tersebut. “Anak itu ... Jangan-jangan dia kabur dengan laki-laki pesantren? Tuduh mama Sarah. “Hei, diantara banyaknya jenis pria kenapa harus anak-anak pesantren yang kamu tuduh?” Papa Zena marah karena dia juga lulusan pesantren. “Ya, habisnya darimana lagi pemuda-pemuda cowok itu berasal selain dari pesantren milik Gus Karim? Setahuku desa ini kekurangan pemuda. Hanya ada dua pemuda di desa ini, itu pun mereka sudah punya pasangan masing-masing.” Mama Sarah menerka dengan logika dan otaknya yang cerdas. Dengan sangat teliti menghubungkan pola-pola yang ada di masyarakat mereka untuk melacak keberadaan Zena. Entah bisikan dari mana, Mama Sarah tiba-tiba saja mencurigai ustadzah Okky sengaja menyembunyikan putrinya. “Iz, Sam, kalian ke rumah ustadzah Okky sejarang juga! Aku yakin perempuan itu tahu dimana Zena berada saat ini. Dan kalau dia tidak mau bilang, paksa! Jika memang tidak ada terpaksa kita lapor ke polisi.” Om Sam dan Om Iz pun otw ke rumah ustadzah Okky. Kaki mereka yang kotor dan berbau lumpur menginjak halaman rumput kesayangan ustadzah Okky. Mereka tidak peduli dengan keberadaan jalan setapak yang seharusnya mereka lewati dan terus mengambil jalan menembus membelah pot-pot bunga yang disusun sedemikian rupa. “Assalamualaikum! Buka pintunya cepat!” Om Iz dan Om Sam memanggil pemilik rumah dengan nada tinggi dan sedikit kasar. Pemilik rumah yang tidak lain adalah orang tua dari ustadzah Okky pun membukakan pintu. “Waalaikum salam warahmatullahi wabarakatuh.” Seorang Gus membukakan pintu untuk mereka, dia tersenyum ramah dan mempersilakan mereka masuk. Namun dengan cepat kedua om Zena menolak dan bertanya dengan nada tinggi, “Mana keponakan kami? Kami tahu dia datang ke rumah Anda dua hari yang lalu.” Gus tersebut tetap tersenyum, menunjukkan ketenangan yang luar biasa. Dia mengangkat tangan sedikit sebagai isyarat damai, lalu menjawab dengan suara lembut, “Tenang, Bapak-bapak. Keponakan Anda baik-baik saja. Dia ada disini, bermalam di kamar putri saya. Saya mengerti kekhawatiran Anda, dan saya akan menjelaskan semuanya.” Om Sam tiba-tiba menekuk jarinya. Giginya bergetar kuat. Matanya melotot seram seakan matanya itu bisa jatuh kapan saja. “Ternyata anak itu bersembunyi disini. Gara-gara dia, aku jadi tidak bisa menghadiri ulang tahun pacarku. Awas saja, akan kuberi dia pelajaran!” Iz mencoba menenangkan saudara kembarnya yang sangat menyeramkan saat marah. “Silakan masuk.” Rumah Gus Karim tersusun rapi. Di sana sini tertulis lafadz Allah SWT. Pemandangan ini baru bagi Iz dan Sam. Di rumah mereka, di setiap sudut terpasang benda-benda yang dikeramatkan. Hal itu berkaitan erat dengan pekerjaan ayah mereka yang dikenal sebagai orang pintar. “Iz lu ngerasain gak? Tekanan?” Bisik Sam. “Iya. Apa ini yang dinamakan rumah orang taat beribadah? Tekanannya kuat sekali.” Kedua orang itu awalnya membusungkan dada. Saat Gus Karim membukakan pintu untuk mereka, hawa-hawa kesombongan bisa terlihat di gestur tubuh mereka. Namun saat kedua orang itu menginjakkan kaki di dalam rumah Gus Karim, kesombongan buta dan perasaan mendominasi ciut seperti kerupuk kena air. Sambil menunggu istrinya, alias ibu ustadzah Okky menyiapkan minuman dan cemilan, Gus Karim membuka obrolan. “Langsung saja ke inti permasalahan. Zena ada di pesantrenku, sedang menuntut ilmu.” “Apa?!” Om Iz sangat terkejut. Dia tidak menyangka, Zena si kembang desa, anak orang pintar akan belajar di pesantren. Apalagi belajarnya di pesantren milik Gus Karim. Musuh besar ayah Zena. “Kapan dia masuk pesantren? Apakah sudah resmi jadi murid atau belum? Apa anda yang memaksanya masuk pesantren anda?” Sam melancarkan banyak pertanyaan sekaligus. “Tanggal 10 oktober, jam 21:00. Resmi. Tidak.” Gus Karim menjawab dengan santai sambil menyeruput tehnya. *** Sudut pandang Zena. Dua hari yang lalu. “Bisa saja sih. Tapi ada syarat yang cukup berat.” Kata ustadzah Okky. Ini pertama kalinya Zena melihat sahabatnya itu memberikan syarat. Biasanya dia akan langsung membantu lalu menolak segala bentuk balas budi. “Apa itu?” tanpa sadar Zena berkeringat. “Kamu harus masuk pesantren. Dan harus serius masuk pesantren untuk belajar. Hanya itu satu-satunya cara untuk menemui santri-santri laki-laki. “ “Tuh kan!” Ustadzah Okky menepuk pundak sahabatnya. Zena harus memilih antara menjadi santriwati resmi atau menyerah dan mencari ke tempat lain. Zena memantapkan hatinya. “Aku pilih jadi santriwati walaupun berisiko dihajar papa sampai babak belur. Toh, tujuanku juga mencari suami kontrak untuk keluar dari rumah.” “Aku tidak salah dengar nih? Kamu cari suami kontrak kaya di novel-novel?” sorot mata ustadzah Okky menajam. Menyadari dirinya baru saja keceplosan, Zena kesulitan mencari alasan untuk mengelak. Sementara ustadzah Okky yang menyadari niat buruk sahabatnya langsung membatalkan tawarannya tadi. “Astagfirullah Zena! Kamu mencari calon suami kontrak rupanya. Aku kira kamu serius ingin ta’aruf. Mendekatkan diri dengan lelaki dengan cara yang diridhoi Allah. Ternyata oh ternyata.” Zena tertunduk lesu. Ustadzah Okky adalah satu-satunya jalan masuk ke pesantren Gus Karim. Tanpa dia, impian Zena untuk mendapatkan pasangan yang mudah didominasi akan pupus. Aku harus menggaet santri yang paling polos. Dia harus mau kuajak memainkan sandiwara pernikahan lalu mengatur kontrak pernikahan agar dia tidak sembarangan menyentuhku. Persetan anak orang rusak! Yang penting lepas dari jerat sesat keluargaku dulu. Ustadzah Okky sangat kecewa. Hampir saja dia melakukan dosa besar. Atau mungkin sebenarnya bersahabat dengan Zena adalah sebuah dosa besar. “Aku pergi. Kita sama-sama anak gadis, tidak baik pulang terlalu malam.” “Tunggu Okky. Sahabatku yang Sholehah. Jangan tinggalkan sahabatmu yang bergelimang dosa ini sendirian. Aku tadi hanya sedang mengkhayalkan salah satu novel online favoritku. Mana berani aku melakukan itu di kehidupan nyata.” Zena memeluk kaki sahabatnya kuat. Okky yang tidak tegaan pun akhirnya luluh dan mengalah. “Tapi kamu benar-benar tidak akan melakukan itu kan?” tanya Okky, nada suaranya ditinggikan seperlunya. “Iya. Aku berjanji.” Zena berpura-pura menangis. Keahlian menangis pura-pura itu dia dapatkan dari Dojo. Setiap kali kelelahan saat berlatih bela diri, Zena akan pura-pura mengamuk dan menangis supaya masternya mengeluarkannya. Percayalah! Kumohon percayalah! Okky menghela nafas panjang lalu mengangguk kecil. “Apa artinya itu?” tanya Zena. Zena pura-pura tidak paham arti anggukan Okky. “Kamu boleh jadi santriwati. Mulai malam ini tidurlah di rumahku.” Zena melompat di dalam hati. Ini adalah kemenangan besar. Oh Yeah. “Kamu pulang saja duluan. Ada beberapa barang yang harus aku ambil. Aku jamin orang-orang rumahku tidak akan ada yang sadar kalau aku pergi, hehehee.”Sudut pandang Gus Karim.“Saya sudah mengatakan semua yang Zena katakan sebelum jadi santri. Sejujurnya, aku kagum pada Zena karena mau jujur pada perasaannya. Dan aku juga merasa kasihan padanya, karena tekanan dari keluarganya, dia sampai mencari calon suami ke dalam pesantrenku.Tatapan tajam Gus Karim membuat kedua om Zena gemetar ketakutan. Mereka merasa seakan berhadapan dengan seekor harimau bukan manusia.Iz membuka mulutnya, meminta bertemu dengan Zena. Gus Karim yang adil pada semua orang pun langsung membukakan gerbang pesantrennya untuk Iz dan Sam.“Kita sudah di dalam. Sekarang apa Iz?”“Cari Zena lah! Memang untuk apa lagi kita datang ke tempat panas ini?”“Gus! Apa pesantren tempatnya memang sepanas ini?”Gus Karim merasa bingung. Dari tadi angin berhembus semilir, jadi tidak mungkin suasana disini sepanas itu. Malahan, Gua Karim yang memakai baju tebal saja masih merasa kedinginan.“Disini segar seperti tepi pantai. Kalian ini
Suasana malam di pesantren begitu tenang dan penuh kedamaian. Angin malam berhembus lembut, menggoyangkan dedaunan di pepohonan yang berjajar rapi di sekitar asrama santri. Cahaya bulan purnama menyinari halaman, menciptakan bayang-bayang yang bergerak pelan seiring dengan alunan angin.Di kejauhan, suara jangkrik yang bersahut-sahutan menciptakan simfoni alam yang menenangkan. Sesekali terdengar lolongan anjing penjaga yang berpatroli, menambah kesan misterius pada malam yang sunyi. Di atas pohon, burung hantu melayang diam-diam, matanya yang tajam mengawasi sekitar dengan penuh kewaspadaan.Di sudut halaman pesantren, sekumpulan santri duduk melingkar, khusyuk memanjatkan doa dan dzikir. Suara mereka bergema lembut, menyatu dengan keheningan malam. Lampu-lampu minyak yang tergantung di beranda asrama memancarkan cahaya keemasan, menciptakan suasana yang hangat dan akrab.Di antara semak-semak, terdengar suara gemerisik dedaunan yang digesek oleh gerakan tikus malam
Zena kembali ke asrama dengan langkah pelan, pikirannya dipenuhi oleh percakapan tadi dengan Gus Karim. Hatinya terasa lebih ringan, meskipun banyak hal yang masih perlu dipikirkan. Ketika dia tiba di asrama, ia mulai bersiap untuk melaksanakan salat Dzuhur, mencari ketenangan dan petunjuk dalam doanya.Saat mengambil wudu, bayangan wajah Gus Karim muncul di benaknya, dengan senyuman bijak yang menenangkan. Kata-kata penuh pengertian dan dukungan yang beliau ucapkan tadi terus terngiang-ngiang di telinganya. Zena tidak bisa menahan diri untuk berangan-angan, berharap memiliki seseorang seperti Gus Karim dalam hidupnya—seseorang yang bijaksana, penuh kasih, dan selalu siap mendukung tanpa menghakimi.Setelah mengenakan mukena, Zena berdiri di atas sajadah, menghadap kiblat. Setelah selesai salat, Zena duduk bersila, berzikir pelan sambil menenangkan hatinya.Tidak lama kemudian, seorang pemuda muncul di depan pintu asrama, tampak seperti baru saja menyusup melewati pen
Key bertemu Ilmi. Keduanya berjalan beriringan. Sudah saatnya Key menceritakan keinginannya menjadi suami bohongan untuk Zena.“Katakan sejujurnya bro. Apa alasan lu pengen membantu sampai segitunya?”“Kenapa ya bro? Gue cuman merasa dia itu ... Cantik."Ilmi terbatuk mendengarnya. "Dari sekian banyak cewek cantik yang kita lihat semasa perjalanan. Pas di Bali, di ibukota, dan di Jogja, lu malah jatuh hati ke gadis kampung? Ternyata selera lu ayam kampung?""Apaan sih lu, ayam kampung adanya di sono noh, di warung makan."Karena kesal, Key menghajar pundak Ilmi. Ilmi tidak ingin kalah dan balas menangkis tinju-tinju Key. "Heaaa!!" Keduanya berkelahi bohongan. Tingkah konyol mereka tidak mengurangi aura wibawa yang terpancar dari diri masing-masing."Cukup! Cukup!""Kenapa, takut? Segitu saja kemampuanmu dokter muda?! Asal tahu saja, gua bisa--"Key menyemprot bibir bocor Ilmi dengan semprotan cabai. "ASU." "Lu
Saat Zena memeluk tangannya, Ilmi sudah merasakan pertanda buruk. Saat Zena mengatakan kebohongan luar biasa itu, Ilmi refleks menarik tangannya dan mengucapkan kata-kata mutiara, "You Motherfucker!"Zena tidak membiarkannya lolos. Gadis itu terus memeluk dan mengejar Ilmi yang berusaha tidak terlibat terlalu jauh. Samar-samar telinga Ilmi menangkap suara lirih gadis itu yang meminta tolong padanya, "tolong aku ... Tolong ... Kumohon mas ... ""Zena!!!!""Apa benar kamu berhubungan badan dengan laki-laki ini? Jangan yang jujur!" Bentak ayah Zena.Zena sudah berkeringat dingin. Dengan lirih dia menjawab, "be--benar. Dia pacar pertama yang berhubungan badan denganku. Jadi keperawananku direnggut oleh dia.""Keterlaluan kamu Zena!"Ibu Zena yang dari tadi diam tidak kuasa menahan kesedihan dan pingsan. Untung Iz dan Sam gesit menangkap badan dan kepala Sarah sebelum menghantam beton keras.Zena mengatakan hal mengejutkan lagi. "Aku dan Ilham akan meni
"Kamu menangis?" Ustadzah Okky bertanya pada Key yang matanya berair."Iya ... Siapa sangka Ilmi akan menikah di usia semuda ini ... Aku keduluan," Jawab Key setengah jujur setengah mengada-ngada.Ilmi mencium telapak tangan kanan Zena. Darahnya memanas membayangkan gadis cantik itu ada di ranjangnya. Jiwa playboy nya takluk di hadapan kecantikan Zena yang unik. Bentuk wajahnya oval, dengan tulang pipi yang tinggi dan rahang yang tegas, memberikan kesan kekuatan yang elegan. Kulitnya halus, berkilau dengan cahaya alami yang memancarkan kesehatan dan perawatan diri yang cermat.Matanya besar dan berbinar, alisnya tegas dan terawat, hidungnya ramping dan proporsional, menambahkan sentuhan keanggunan pada keseluruhan wajahnya. Setiap detail dari wajahnya, mulai dari lekuk dagu hingga kilauan mata, mengkomunikasikan kepercayaan diri dan kharisma yang tak terbantahkan, membuatnya memancarkan aura perempuan tomboi yang tidak hanya cantik teta
Zena menatap 5 jenis hidangan besar di mejanya. Key membelikannya banyak makanan. Apa dompetnya tidak kurus membeli makanan sebanyak ini? “Anu, Key, kamu kan hanya dokter kecil.” “Terus?” “Apa kamu tidak terlalu boros membeli makanan sebanyak ini? Aku tahu harga makanan disini, cukup untuk menguras setengah kantong pegawai UMR rendah hanya dengan sekali makan.” Key tertawa kecil, katanya, “kamu banyak bicara sekali. Aku yang mengajak, aku yang bayar. Tidak perlu memikirkan hal lain.” Kata Key serba ringkas. Melihat Zena tidak mau menyentuh bagiannya, Key pun makan lebih dulu. Key terus memaksa Zena agar makan. Menurutnya Zena kelihatan seperti belum makan berhari-hari. “Aku harus tenang. Jangan buat gerakan berlebihan, nanti Zena malah ilfeel padamu.” Key mencoba menyuapi Zena. “apa yang kubilang tentang jangan bertindak berlebihan? Arghh, Key kau payah sekali!” sementara Zena menatap Key dengan bingung. “m
Zena meletakkan pesanan, satu persatu ke atas meja dengan sopan. Tidak ada kesombongan di hatinya walaupun orang-orang yang duduk disana adalah teman-temannya semasa di pesantren.“Lebih baik bertemu mereka daripada keluargaku. Bolehkah aku menyebut mereka keluarga baruku sekarang?” Zena bertanya-tanya dalam hati. Melihat beberapa ustadz dan ustadzah bergurau dengan anak-anak panti yang mayoritas masih berusia 9 – 10 tahun.“Boleh aku bergabung?” Zena terkesima. Mereka masih ada disini hingga beberapa jam setelahnya. “boleh aku duduk di sebelah kamu, Okky?”“Silakan, kenapa harus minta izin segala sih, hehee.”Terlihat jelas ketidaksukaan di mata ustadz dan ustadzah lain. Zena adalah sumber masalah bagi mereka. Gara-gara Zena, pesantren mereka didatangi oleh keluarga dukun paling ditakuti di desa Parengsek. Kegiatan belajar mengajar jadi terkendali karena para ustadz dan ustadzah bergantian memberikan pengertian pada Hanum dan keluarganya agar berhenti mengganggu
Zena memutuskan pindah dari rumahnya saat ini. Baru saja gadis kecil kita mendapatkan pekerjaan baru di toko kue. Jadi mulai besok Zena akan bekerja sebagai koki kue di toko kue tersebut. "Terima kasih karena sudah mau menampung saya selama beberapa hari disini." Ucap Zena sambil menyalami mbak Rara. "Iya. Sayang sekali kamu gagal di tes itu." "Iya. Mau bagaimana lagi." Zena sudah ikhlas. Mungkin posisi asisten manajer Rara memang tidak ditakdirkan untuknya. "Sekarang kamu mau tinggal dimana?" Zena tidak sungkan menjelaskan semuanya pada Rara. Biar bagaimanapun Rara adalah orang pertama yang bersedia menampungnya. Memberikannya tempat tinggal gratis dengan perjanjian memotong gaji. Mungkin jika Zena sukses dalam tes itu, alur kehidupannya akan berbeda. "Sampai jumpa lagi mbaj Rara. Saya akan memasak kue mulai hari ini." Mbak Rara melambaikan
"Jadi kamu si pegawai baru itu. Sayang sekali sayang gak bisa ospek kamu, padahal perploncoan itu penting." Seorang pegawai senior menghampiri Zena. Menyadarkan gadis kita dari lamunannya. "Apa yang kamu pikirkan?" Zena tersipu. Berkata jujur hanya akan membuatnya semakin malu. "Saya cuma sedang gugup." Tapi wajahnya tidak menunjukkan rasa gugup sama sekali. "Zena?" Mbak Rara memanggil Zena. Dengan segera menghampiri bosnya. "Sudah siap mengikuti tes? Kalau berhasil posisi Asisten Manajer saya akan jatuh ke tangan kamu." "Sudah siap bos. Kalau akan membuat kerajinan tangan dari kayu untuk mengenang hari kerja pertama saya di Malaysia." sahut Zena dengan emosinya yang terkontrol dengan baik. Penting untuk bersikap sopan dan mengontrol luapan emosi agar tidak dianggap kasar. Budaya kerja Malaysia mungkin tidak ada bedanya dengan budaya kerja Indonesia, hanya bahasanya saja yang berbeda.
* POV ZENA * Pertama kali menginjakkan kaki diluar negeri, aku gugup setengah mati. "Mbak .... Kita mau tinggal dimana?" tanyaku pada mbak Rara. Orang yang menjemputku ketika turun dari pesawat. "Ke kontrakan kamu." Jawab mbak Rara dingin. Aku mengederkan pandangan ke sekitar. Bandara ini sangat canggih. Hampir semuanya dikerjakan oleh mesin. Tenaga manusia hanya diperlukan di bagian keamanan saja. Kami naik taksi ke tempat tujuan. Wanita ini adalah pengganti wanita yang mengajakku merantau. Sejauh yang aku tahu, wanita ini adalah agen pemandu perjalanan. Sikapnya yang dingin seolah menunjukkan ketidaksukaannya pada perantau sepertiku. "Jangan salah sangka, saya bukannya tidak menyukai anda. Saya hanya sedang liburan dan juga sedang sakit gigi." Ucapnya. Aku mengangguk. Apa ekspresiku terlalu mudah dibaca? Aku dan Giska berpisah saat menurun
Tanpa sadar aku mengedipkan mata padanya. “Apa kamu tidak ingin mengajakku jalan-jalan? Kamu sedang sibuk ya?” Aku sengaja mengetesnya. Apa dia masih punya perasaan padaku atau tidak. Kalau masih ada, dia pasti menerima ajakanku atau minimal membuat janji temu nanti. Senang melihatnya salah tingkah. Untung saja tidak ada orang lain di ruangan ini, kalau ada, apalagi itu staf rumah sakit, mereka bisa terkejut setengah mati melihat dokter yang biasanya berwibawa itu menjadi ciut ketika berhadapan denganku. “Kamu datang di saat yang tidak tepat. Aku sedang sibuk sekarang.” Gumam Key. Tampak raut wajah yang letih. “Maaf. Aku kangen banget sama kamu. Apa kamu punya waktu luang? Bagaimana kalau healing sambil jalan-jalan?” Tawarku. “Darimana ... Kamu tahu aku bekerja disini?” Gampang saja, bertanya pada orang-orang. Bagi introvert sepertimu bertanya mungkin adalah tindakan yang asing. Dasar oppa penyendiri!
“Kenapa tidak mengabari kami? Ayah bisa menyiapkan reuni keluarga terbaik sepanjang hidupmu. Benar kan? Iz, Sam.”Iz dan Sam. Kedua pamanku datang dengan gaya seorang koboi. Tapi yang mereka tunggang bukan kuda melainkan kerbau.“Kembalilah ke keluarga Zena. Kami tidak sejahat yang kau pikirkan.” Kata paman Iz.“Justru sebaliknya. Kami akan memberimu sebuah perusahaan kalau pulang sekarang. Ini rahasia keluarga kita. Selama ini kamu tidak tidak tahu keluarga kita punya perusahaan kan?” Timpal paman Sam dengan delusinya.Perusahaan apa? Kalau keluarga kami punya perusahaan tidak mungkin ayahku berprofesi sebagai dukun.“Diam kalian dua pengangguran! Jangan ikut campur.” Bentakku lantang.Aku memberi kode pada si botak dan si gondrong. Sebenarnya aku tidak ingat nama mereka, jadi kupanggil saja demikian.Kusuruh mereka mendekat karena instingku berkata: akan terjadi pertempuran sebentar lagi.“Zena! Jangan kurang ajar! Mereka pamanmu.”“Tap
“Sa-saya tidak melakukan apa-apa, sumpah!”Kalau tidak melakukan apa-apa kenapa takut aku mengecek kamera pengawas? Syarif semakin mencurigakan. Pasti ada sesuatu yang dia sembunyikan dariku.Kamera pengawas sudah di tanganku. “Aku tidak akan melaporkanmu kalau kamu tidak sengaja. Jadi tenanglah! Ataukah mungkin ... Kamu memang sengaja tidur di sebelahku tadi malam?”“Tidak! Sleep Walking lah penyebabnya, hanya itu!”Ketika aku menyalakan kamera pengawas, terlihat gambar baterai kosong. Sial. Gagal sudah keinginanku meluruskan masalah ini.Syarif tampak bernafas lega. Huh, kau tunggu saja. Aku tidak akan membiarkanmu berada di dekatku lagi. Bayangkan ada yang melihat kami keluar dari kamar yang sama pagi ini. Betapa malunya aku kalau sampai Okky tahu.“Keluar! Mau itu Sleep Walking atau sengaja, intinya kamu sudah tidur di sebelahku tanpa izin. Jangan kira kamu bisa lolos dari masalah ini.” Ucapku pada Syarif yang baru keluar dari toilet.Sikap san
Sebenarnya sebelum bisa bertemu Okky, aku harus menghadapi beberapa halangan terlebih dahulu. “Assalamualaikum, Umi, Abi, Gus Karim.” Aku berdiri menunggu di ambang pintu, menunggu mereka bereaksi yang mendengar panggilanku. Aku kembangkan senyum terbaik untuk mereka yang dulu sayang padaku. “Si—siapa kamu?” tanya istri Gus, bangkit berdiri meninggalkan kerumunan ibu-ibu. Aku tersenyum dan membuka maskerku. “Ini aku, Zena. Apa kabar Umi?” Tubuh Umi yang berisi menabrakku. Umi sangat senang sepertinya. “Apa benar ini kamu?” tanya Umi sekali lagi. Dasar. Padahal dia sudah menghambur ke aku, tapi masih saja mempertanyakan identitasku. “Iya, ini aku Umi. Zena si Gorilla Kampung. Zena pulang sebentar untuk menghadiri pernikahan Okky.” Betapa senangnya Umi bertemu denganku. Ibu-ibu lain pun menggerumbungi aku seperti semut mengepung gula. Mereka penasaran kenapa aku menjadi sangat cantik. Padahal di ingatan merek
"Iya, aku butuh sekarang juga. Aku tunggu di lokasi." Ucapku di telepon. Desa Parengsek ternyata jadi lebih buruk dibanding 4 tahun yang lalu. Aku tidak ingin lagi mendekati orang-orang setelah kejadian memalukan dengan anak-anak tadi. Tiba-tiba pikiranku mengarah ke suatu tempat. Pesantren Gus Karim. Masih ada waktu 20 menit sebelum mempelai wanita tiba. Dan 15 menit sebelum pengawa yang aku pesan sampai. "Mari kita lihat bagaimana pesantren itu sekarang." Gumamku sambil mempercepat langkah. Selama di perjalanan aku bertemu orang-orang yang dulu sempat mengisi hidupku. Kebanyakan adalah petani sawit yang dulunya pernah jadi temanku sewaktu kecil. Ternyata tidak ada dari mereka yang berani merantau dan memilih terjebak di desa ini sampai mereka dewasa. Dulu aku sering bermain dengan mereka walaupun usia kami terpaut jauh. Aku 8 tahun, mereka 14 tahun. Dan mereka semuanya laki-laki. Meskipun mereka laki-laki dan aku perempuan, me
Dering pesan beberapa kali terdengar dari ponselku. "itu pasti dari rekan bisnisku. Duh, maaf aku membatalkan kontrak sepihak." gumamku dalam hati penuh penyesalan. Sekejap saja penyesalan itu datang, beberapa detik kemudian hatiku kembali bersuka cita karena Okky akhirnya menemukan pangeran impiannya. Dulu waktu SD, Okky pernah bilang padaku, kalau laki-laki impiannya adalah yang berbadan atletis dan tidak memiliki janggut. Okky dari dulu menyukai laki-laki Baby Face. Katanya mereka imut tapi di suatu saat bisa jadi sangat ganas seperti macan. Aku tidak tahu siapa yang dia maksud. Sebenarnya aku sangat panasaran dengan wajah mempelai prianya. Okky sengaja merahasiakannya dariku saat kami telponan. Katanya untuk menjaga kejutannya. Membuatku berpikir, mungkin mempelai prianya aktor atau selebriti muda. Apa yang harus aku pakai di pernikahannya nanti? Tidak, sebelum itu, aku harus mempersiapkan mentalku terlebih dahulu. Bisa