Share

2. Zena Menghilang

Dua hari sudah Zena tidak pulang ke rumah. Seisi rumah khawatir bukan main. Mamanya Zena yaitu Sarah berpendapat: Menurutnya ada dua tempat yang paling mungkin menampung Zena. Pertama adalah Dojo. Sebuah tempat untuk berlatih bela diri di desa itu. Dan kedua, Coffie Shop tempat Zena bekerja.

Tanpa membuang lebih banyak waktu lagi. Keluarga Zena yang terdiri dari ayah, ibu, 2 paman, 1 bibi, dan 2 anak kecil itu berpencar mencari Zena. om Sam dan om Iz mencari ke Coffie Shop sedangkan tante Diana dan Papa Hanum (ayah Zena) mencari ke Dojo.

“Zena tidak ada di Coffie Shop. Katanya dia sudah 2 hari ini tidak masuk kerja.”

“Di Dojo juga tidak ada.”

“Di bengkel pak Muklis juga nihil. Kemana anak itu?”

Masing-masing menyampaikan laporan mereka. Mamah dan Papa Zena semakin geram dengab tingkah anak sulung mereka tersebut.

“Anak itu ... Jangan-jangan dia kabur dengan laki-laki pesantren? Tuduh mama Sarah.

“Hei, diantara banyaknya jenis pria kenapa harus anak-anak pesantren yang kamu tuduh?” Papa Zena marah karena dia juga lulusan pesantren.

“Ya, habisnya darimana lagi pemuda-pemuda cowok itu berasal selain dari pesantren milik Gus Karim? Setahuku desa ini kekurangan pemuda. Hanya ada dua pemuda di desa ini, itu pun mereka sudah punya pasangan masing-masing.”

Mama Sarah menerka dengan logika dan otaknya yang cerdas. Dengan sangat teliti menghubungkan pola-pola yang ada di masyarakat mereka untuk melacak keberadaan Zena.

Entah bisikan dari mana, Mama Sarah tiba-tiba saja mencurigai ustadzah Okky sengaja menyembunyikan putrinya.

“Iz, Sam, kalian ke rumah ustadzah Okky sejarang juga! Aku yakin perempuan itu tahu dimana Zena berada saat ini. Dan kalau dia tidak mau bilang, paksa! Jika memang tidak ada terpaksa kita lapor ke polisi.”

Om Sam dan Om Iz pun otw ke rumah ustadzah Okky. Kaki mereka yang kotor dan berbau lumpur menginjak halaman rumput kesayangan ustadzah Okky. Mereka tidak peduli dengan keberadaan jalan setapak yang seharusnya mereka lewati dan terus mengambil jalan menembus membelah pot-pot bunga yang disusun sedemikian rupa.

“Assalamualaikum! Buka pintunya cepat!”

Om Iz dan Om Sam memanggil pemilik rumah dengan nada tinggi dan sedikit kasar. Pemilik rumah yang tidak lain adalah orang tua dari ustadzah Okky pun membukakan pintu.

“Waalaikum salam warahmatullahi wabarakatuh.” Seorang Gus membukakan pintu untuk mereka, dia tersenyum ramah dan mempersilakan mereka masuk.

Namun dengan cepat kedua om Zena menolak dan bertanya dengan nada tinggi, “Mana keponakan kami? Kami tahu dia datang ke rumah Anda dua hari yang lalu.”

Gus tersebut tetap tersenyum, menunjukkan ketenangan yang luar biasa. Dia mengangkat tangan sedikit sebagai isyarat damai, lalu menjawab dengan suara lembut, “Tenang, Bapak-bapak. Keponakan Anda baik-baik saja. Dia ada disini, bermalam di kamar putri saya. Saya mengerti kekhawatiran Anda, dan saya akan menjelaskan semuanya.”

Om Sam tiba-tiba menekuk jarinya. Giginya bergetar kuat. Matanya melotot seram seakan matanya itu bisa jatuh kapan saja. “Ternyata anak itu bersembunyi disini. Gara-gara dia, aku jadi tidak bisa menghadiri ulang tahun pacarku. Awas saja, akan kuberi dia pelajaran!”

Iz mencoba menenangkan saudara kembarnya yang sangat menyeramkan saat marah.

“Silakan masuk.”

Rumah Gus Karim tersusun rapi. Di sana sini tertulis lafadz Allah SWT. Pemandangan ini baru bagi Iz dan Sam. Di rumah mereka, di setiap sudut terpasang benda-benda yang dikeramatkan. Hal itu berkaitan erat dengan pekerjaan ayah mereka yang dikenal sebagai orang pintar.

“Iz lu ngerasain gak? Tekanan?” Bisik Sam.

“Iya. Apa ini yang dinamakan rumah orang taat beribadah? Tekanannya kuat sekali.”

Kedua orang itu awalnya membusungkan dada. Saat Gus Karim membukakan pintu untuk mereka, hawa-hawa kesombongan bisa terlihat di gestur tubuh mereka. Namun saat kedua orang itu menginjakkan kaki di dalam rumah Gus Karim, kesombongan buta dan perasaan mendominasi ciut seperti kerupuk kena air.

Sambil menunggu istrinya, alias ibu ustadzah Okky menyiapkan minuman dan cemilan, Gus Karim membuka obrolan. “Langsung saja ke inti permasalahan. Zena ada di pesantrenku, sedang menuntut ilmu.”

“Apa?!” Om Iz sangat terkejut. Dia tidak menyangka, Zena si kembang desa, anak orang pintar akan belajar di pesantren. Apalagi belajarnya di pesantren milik Gus Karim. Musuh besar ayah Zena.

“Kapan dia masuk pesantren? Apakah sudah resmi jadi murid atau belum? Apa anda yang memaksanya masuk pesantren anda?” Sam melancarkan banyak pertanyaan sekaligus.

“Tanggal 10 oktober, jam 21:00. Resmi. Tidak.” Gus Karim menjawab dengan santai sambil menyeruput tehnya.

***

Sudut pandang Zena. Dua hari yang lalu.

“Bisa saja sih. Tapi ada syarat yang cukup berat.” Kata ustadzah Okky.

Ini pertama kalinya Zena melihat sahabatnya itu memberikan syarat. Biasanya dia akan langsung membantu lalu menolak segala bentuk balas budi.

“Apa itu?” tanpa sadar Zena berkeringat.

“Kamu harus masuk pesantren. Dan harus serius masuk pesantren untuk belajar. Hanya itu satu-satunya cara untuk menemui santri-santri laki-laki. “

“Tuh kan!”

Ustadzah Okky menepuk pundak sahabatnya. Zena harus memilih antara menjadi santriwati resmi atau menyerah dan mencari ke tempat lain.

Zena memantapkan hatinya. “Aku pilih jadi santriwati walaupun berisiko dihajar papa sampai babak belur. Toh, tujuanku juga mencari suami kontrak untuk keluar dari rumah.”

“Aku tidak salah dengar nih? Kamu cari suami kontrak kaya di novel-novel?” sorot mata ustadzah Okky menajam.

Menyadari dirinya baru saja keceplosan, Zena kesulitan mencari alasan untuk mengelak. Sementara ustadzah Okky yang menyadari niat buruk sahabatnya langsung membatalkan tawarannya tadi.

“Astagfirullah Zena! Kamu mencari calon suami kontrak rupanya. Aku kira kamu serius ingin ta’aruf. Mendekatkan diri dengan lelaki dengan cara yang diridhoi Allah. Ternyata oh ternyata.”

Zena tertunduk lesu. Ustadzah Okky adalah satu-satunya jalan masuk ke pesantren Gus Karim. Tanpa dia, impian Zena untuk mendapatkan pasangan yang mudah didominasi akan pupus.

Aku harus menggaet santri yang paling polos. Dia harus mau kuajak memainkan sandiwara pernikahan lalu mengatur kontrak pernikahan agar dia tidak sembarangan menyentuhku. Persetan anak orang rusak! Yang penting lepas dari jerat sesat keluargaku dulu.

Ustadzah Okky sangat kecewa. Hampir saja dia melakukan dosa besar. Atau mungkin sebenarnya bersahabat dengan Zena adalah sebuah dosa besar.

“Aku pergi. Kita sama-sama anak gadis, tidak baik pulang terlalu malam.”

“Tunggu Okky. Sahabatku yang Sholehah. Jangan tinggalkan sahabatmu yang bergelimang dosa ini sendirian. Aku tadi hanya sedang mengkhayalkan salah satu novel online favoritku. Mana berani aku melakukan itu di kehidupan nyata.”

Zena memeluk kaki sahabatnya kuat. Okky yang tidak tegaan pun akhirnya luluh dan mengalah.

“Tapi kamu benar-benar tidak akan melakukan itu kan?” tanya Okky, nada suaranya ditinggikan seperlunya.

“Iya. Aku berjanji.” Zena berpura-pura menangis. Keahlian menangis pura-pura itu dia dapatkan dari Dojo. Setiap kali kelelahan saat berlatih bela diri, Zena akan pura-pura mengamuk dan menangis supaya masternya mengeluarkannya.

Percayalah! Kumohon percayalah!

Okky menghela nafas panjang lalu mengangguk kecil.

“Apa artinya itu?” tanya Zena. Zena pura-pura tidak paham arti anggukan Okky.

“Kamu boleh jadi santriwati. Mulai malam ini tidurlah di rumahku.”

Zena melompat di dalam hati. Ini adalah kemenangan besar. Oh Yeah.

“Kamu pulang saja duluan. Ada beberapa barang yang harus aku ambil. Aku jamin orang-orang rumahku tidak akan ada yang sadar kalau aku pergi, hehehee.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status