Share

Hidden Casanova
Hidden Casanova
Penulis: Elytra12

1. Beban Pikiran Zena

Zena memutar-mutar cincin plastik di jari manisnya Berharap dengan melakukan itu akan ada pria yang meletakkan cincin sungguhan di jarinya. “Hahaha Zena dan pacarnya putus lagi,”

“Hahaha, kasian. Makanya jangan terlalu jual mahal jadi cewek!” Zena menatap rerumputan di bawah kakinya. Ingin rasanya dia Balingkan tanah berumput itu ke muka anak-anak yang mengejeknya.

“Kalian mau aku yang kesana, atau—“

“Kabur!!!!!!!!” Anak-anak itu menghilang secepat hembusan angin. Karena kesal Zena membanting kursi panjang yang ia duduki dan kebetulan hal itu dilihat oleh ibunya.

“Zena! Hentikan itu dasar anak tidak berguna!” Zena kaget dan meletakkan kursi ke tempatnya. Melihat ibunya tengah berkacak pinggang di seberang sana membuat amarah Zena meredup.

“Apa yang kamu pikirkan sih? Mau sampai kapan kamu bertingkah seperti orang gila saat ada anak kecil yang mengatakan kebenaran? Hah?” Zena hanya diam. Melawan orang tua adalah perbuatan dilaknat tuhan. Oleh karena itu Zena memilih bungkam.

Tidak mendapat jawaban, Sarah pun menarik tangan anak gadisnya itu. “Ayo ikut ibu.” Zena mau protes tapi tidak sempat. Tangan Sarah sudah lebih dulu mengantup bibirnya. Sarah menarik anaknya ke hadapan dinding rumah yang penuh bingkai foto keluarga mereka. “Lihat itu! Pandang baik-baik foto adik-adikmu!”

Zena mengangkat kepala dengan malas. Mengamati bingkai foto paling kanan berlanjut ke paling kiri. “Ada apa dengan foto-foto pernikahan adik-adikku?” tanya Zena dengan muka poker face nya.

“Kamu masih belum paham juga? Kapan kamu akan keluar dari rumah ini dan membangun keluargamu sendiri? Ibu dan ayah sudah lelah mengurusi beban keluarga seperti kamu.” Padahal selama 7 tahun sejak masa pubernya berakhir, Zena tidak pernah sekalipun meminta-minta pada orang tuanya. Sejak umur 19 tahun, Zena sudah mulai bekerja di bengkel, berpindah pekerjaan kesana-kemari. Tidak pernah sehari pun Zena berdiam diri di rumah.

Zena ini anak gadis yang serba bisa. Tipe kepribadiannya menurut Myers-Briggs Type Indikator adalah ISTP-A, singkatan dari Introverted, Sensing, Thinking, Perceiving – Assertive. Zena itu pendiam tapi kuat. Hatinya tidak mudah digoyahkan oleh ucapan-ucapan kasar orang tuanya.

Sarah tahu itu, makanya dia tidak kasih kendor saat menghadapi Zena. Cap lima jari menempel di wajah Zena. Gadis itu sedikit merintih tapi setelah itu, wajahnya kembali tampak acuh. “Kalau orang tua bicara itu dengerin!” kata Sarah dengan nada bicara dingin.

“Langsung saja Ma. Mama mau aku bagaimana?” tanya Zena dengan suara tidak kalah dingin. Zena menggenggam roknya kuat. Kalau saja perempuan ini bukan ibunya, Zena pasti sudah membuatnya babak belur. Sarah menarik nafas panjang. Tenaga pukulannya sudah tidak sekuat dulu. Meskipun begitu, cap lima jari yang dia buat di wajah Zena cukup jelas untuk dipamerkan pada petani yang sedang membajak sawah di seberang rumah mereka.

“Mama tidak meminta banyak. Cukup cari suami dan pergi dari rumah ini. Tidak masalah jika kamu tidak memberikan ibu uang. Ibu hanya ingin kamu pergi dari rumah ini bersama seorang pria.” Zena beralih menatap Sarah. Air mata hampir jatuh, Zena hampir menangis. Dengan cepat gadis itu menyeka air matanya kemudian meninggalkan rumah. “Mau kemana kamu? Hari mulai malam, kembalilah kesini!”

“Tidak mau! Ibu sendiri yang menyuruhku mencari suami. Aku tidak akan pulang sampai menemukan pasangan hidupku!” Saat itu Zena tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Dia hanya marah dan ingin pergi. Tidak ada niatan mencari pria apalagi menikah. “Kalau bisa aku mau langsung punya anak saja. Berhubungan dengan pria-pria bajingan sangat menjijikkan. Ucapan mereka manis sekali, tapi dampak setelahnya mencabik-cabik hati kecilku.”

Zena berhenti di sebuah kedai lalu membeli lima bungkus nasi goreng untuk makan malam. Kedatangan Zena jadi pusat perhatian pembeli yang lain. Ini adalah salah satu ciri khas Zena. Gadis itu sangat suka makan. “Lihat itu. Itu Zena si cewek gorila!”

“Pantas saja pacar-pacarnya kabur. Kalau makannya sebanyak itu siapapun pasti bangkrut. Dia cocoknya jadi istri keenam juragan sawit.” Seperti itulah nyinyiran para pengunjung warung makan itu.

Setelah menghabiskan 4 bungkus nasi goreng untuk dirinya sendiri, Zena membawa sisa satu bungkus keluar warung. Nyinyiran orang-orang syirik tidak lagi terdengar. Zena merasa kupingnya akan sakit kalau terlalu lama berada di warung makan itu. “Mantaplah, uangku masih cukup untuk makan enak selama 3 hari. Artinya aku bisa santai selama 3 hari ke depan.”

Zena membayangkan dirinya sedang meracik kopi atau memperbaiki mesin. Zena bekerja sebagai montir di pagi dan siang hari. Dan sebagai Balista di Coffie Shop satu-satunya di kampung mereka saat sore dan malam hari. Hanya kebetulan saja Zena cuti hari ini karena merasa tidak enak badan. “Setelah digaplok Mama rasanya penyakitku hilang. Terima kasih Mama, pukulanmu mengobati aku.” Zena tersenyum puas.

Adzan Maghrib berkumandang. Sebagai anak paling sulung, Zena tidak pernah lelah memberikan contoh baik kepada adik-adiknya sekalipun mereka tidak ada disini untuk melihatnya.

Gadis yang dipanggil Gorila Betina itu tidak pernah melewatkan sembahyang dan membaca Alquran. Malahan mereka yang menghujatnya yang jauh dari tuhan.

“Ya Tuhan, hanya kepadamu aku meminta. Tolong berikan jalan keluar terbaik dari masalahku saat ini. Aku tidak mau menikah. Dan aku tidak mau dekat dengan pria jahat yang hanya mengincar tubuhku. Sudah berapa banyak pria hidung belang yang engkau kirim untuk menguji kesabaranku. Hamba mohon, kali ini pertemukan hamba dengan seorang pria yang mengerti saya.”

Demikian doa Zena dalam salatnya. Selesai melaksanakan salat, Zena mengikuti pengajian dan ceramah agama. Pas sekali, ustadzah Okky sedang menerangkan dalil tentang perzinahan dan pernikahan. Adalah wajib bagi seorang muslim untuk menikah. Karena pernikahan itu menghindarkan kita dari perbuatan Zina.

Zena mendengarkan dengan khidmat. Ada rasa ingin memiliki dan dimiliki dalam hatinya. Tapi ada juga rasa takut akan disakiti seperti sebelum-sebelumnya.

Selesai memberikan materi, Ustadzah Okky didatangi oleh sahabatnya, Zena.

“Selamat malam, lama tidak ketemu. Kudengar kamu semakin nakal belakangan ini. Ah aku yakin gosip itu tidak sepenuhnya benar. Buktinya kamu masih sering datang kesini.” Kata Ustadzah Okky. Ustadzah Okky memang banyak bicara saat bersama sahabatnya terutama Zena yang merupakan sahabatnya sejak anak-anak.

“Iya. Sebenarnya aku enggak punya banyak waktu. Okky, bolehkan aku tanya satu hal?”

Okky menatap Zena dengan khidmat. Jarang sekali sahabatnya itu minta bantuan. Biasanya Zena hanya minta bantuan saat dia benar-benar sudah melakukan segalanya namun belum berhasil.

“Katakan saja sahabat. Ingat janji kita pas kecil. Masalahmu adalah masalahku. Beban hidupmu adalah beban hidupku. Kebahagiaanmu adalah kebahagiaanku juga.” Ustadzah Okky menarik sudut bibirnya ke atas. Menampilkan senyum paling manis yang dia bisa.

“Be—begini, bisakah kamu mengenalkanku pada santri-santri cowok?”

Ustadzah Okky berpikir sebentar sebelum memberi jawaban, “Bisa. Tapi untuk apa?”

“Aku ingin mencari calon suami. Kalau bisa, cowoknya yang penurut, penyabar, dan cukup berduit. Misalnya anak juragan sawit.” Ustadzah Okky berpikir lebih keras. Mencoba mengingat adakah santri seperti itu di pesantren ayahnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status