Zena memutar-mutar cincin plastik di jari manisnya Berharap dengan melakukan itu akan ada pria yang meletakkan cincin sungguhan di jarinya. “Hahaha Zena dan pacarnya putus lagi,”
“Hahaha, kasian. Makanya jangan terlalu jual mahal jadi cewek!” Zena menatap rerumputan di bawah kakinya. Ingin rasanya dia Balingkan tanah berumput itu ke muka anak-anak yang mengejeknya. “Kalian mau aku yang kesana, atau—“ “Kabur!!!!!!!!” Anak-anak itu menghilang secepat hembusan angin. Karena kesal Zena membanting kursi panjang yang ia duduki dan kebetulan hal itu dilihat oleh ibunya. “Zena! Hentikan itu dasar anak tidak berguna!” Zena kaget dan meletakkan kursi ke tempatnya. Melihat ibunya tengah berkacak pinggang di seberang sana membuat amarah Zena meredup. “Apa yang kamu pikirkan sih? Mau sampai kapan kamu bertingkah seperti orang gila saat ada anak kecil yang mengatakan kebenaran? Hah?” Zena hanya diam. Melawan orang tua adalah perbuatan dilaknat tuhan. Oleh karena itu Zena memilih bungkam. Tidak mendapat jawaban, Sarah pun menarik tangan anak gadisnya itu. “Ayo ikut ibu.” Zena mau protes tapi tidak sempat. Tangan Sarah sudah lebih dulu mengantup bibirnya. Sarah menarik anaknya ke hadapan dinding rumah yang penuh bingkai foto keluarga mereka. “Lihat itu! Pandang baik-baik foto adik-adikmu!” Zena mengangkat kepala dengan malas. Mengamati bingkai foto paling kanan berlanjut ke paling kiri. “Ada apa dengan foto-foto pernikahan adik-adikku?” tanya Zena dengan muka poker face nya. “Kamu masih belum paham juga? Kapan kamu akan keluar dari rumah ini dan membangun keluargamu sendiri? Ibu dan ayah sudah lelah mengurusi beban keluarga seperti kamu.” Padahal selama 7 tahun sejak masa pubernya berakhir, Zena tidak pernah sekalipun meminta-minta pada orang tuanya. Sejak umur 19 tahun, Zena sudah mulai bekerja di bengkel, berpindah pekerjaan kesana-kemari. Tidak pernah sehari pun Zena berdiam diri di rumah. Zena ini anak gadis yang serba bisa. Tipe kepribadiannya menurut Myers-Briggs Type Indikator adalah ISTP-A, singkatan dari Introverted, Sensing, Thinking, Perceiving – Assertive. Zena itu pendiam tapi kuat. Hatinya tidak mudah digoyahkan oleh ucapan-ucapan kasar orang tuanya. Sarah tahu itu, makanya dia tidak kasih kendor saat menghadapi Zena. Cap lima jari menempel di wajah Zena. Gadis itu sedikit merintih tapi setelah itu, wajahnya kembali tampak acuh. “Kalau orang tua bicara itu dengerin!” kata Sarah dengan nada bicara dingin. “Langsung saja Ma. Mama mau aku bagaimana?” tanya Zena dengan suara tidak kalah dingin. Zena menggenggam roknya kuat. Kalau saja perempuan ini bukan ibunya, Zena pasti sudah membuatnya babak belur. Sarah menarik nafas panjang. Tenaga pukulannya sudah tidak sekuat dulu. Meskipun begitu, cap lima jari yang dia buat di wajah Zena cukup jelas untuk dipamerkan pada petani yang sedang membajak sawah di seberang rumah mereka. “Mama tidak meminta banyak. Cukup cari suami dan pergi dari rumah ini. Tidak masalah jika kamu tidak memberikan ibu uang. Ibu hanya ingin kamu pergi dari rumah ini bersama seorang pria.” Zena beralih menatap Sarah. Air mata hampir jatuh, Zena hampir menangis. Dengan cepat gadis itu menyeka air matanya kemudian meninggalkan rumah. “Mau kemana kamu? Hari mulai malam, kembalilah kesini!” “Tidak mau! Ibu sendiri yang menyuruhku mencari suami. Aku tidak akan pulang sampai menemukan pasangan hidupku!” Saat itu Zena tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Dia hanya marah dan ingin pergi. Tidak ada niatan mencari pria apalagi menikah. “Kalau bisa aku mau langsung punya anak saja. Berhubungan dengan pria-pria bajingan sangat menjijikkan. Ucapan mereka manis sekali, tapi dampak setelahnya mencabik-cabik hati kecilku.” Zena berhenti di sebuah kedai lalu membeli lima bungkus nasi goreng untuk makan malam. Kedatangan Zena jadi pusat perhatian pembeli yang lain. Ini adalah salah satu ciri khas Zena. Gadis itu sangat suka makan. “Lihat itu. Itu Zena si cewek gorila!” “Pantas saja pacar-pacarnya kabur. Kalau makannya sebanyak itu siapapun pasti bangkrut. Dia cocoknya jadi istri keenam juragan sawit.” Seperti itulah nyinyiran para pengunjung warung makan itu. Setelah menghabiskan 4 bungkus nasi goreng untuk dirinya sendiri, Zena membawa sisa satu bungkus keluar warung. Nyinyiran orang-orang syirik tidak lagi terdengar. Zena merasa kupingnya akan sakit kalau terlalu lama berada di warung makan itu. “Mantaplah, uangku masih cukup untuk makan enak selama 3 hari. Artinya aku bisa santai selama 3 hari ke depan.” Zena membayangkan dirinya sedang meracik kopi atau memperbaiki mesin. Zena bekerja sebagai montir di pagi dan siang hari. Dan sebagai Balista di Coffie Shop satu-satunya di kampung mereka saat sore dan malam hari. Hanya kebetulan saja Zena cuti hari ini karena merasa tidak enak badan. “Setelah digaplok Mama rasanya penyakitku hilang. Terima kasih Mama, pukulanmu mengobati aku.” Zena tersenyum puas. Adzan Maghrib berkumandang. Sebagai anak paling sulung, Zena tidak pernah lelah memberikan contoh baik kepada adik-adiknya sekalipun mereka tidak ada disini untuk melihatnya. Gadis yang dipanggil Gorila Betina itu tidak pernah melewatkan sembahyang dan membaca Alquran. Malahan mereka yang menghujatnya yang jauh dari tuhan. “Ya Tuhan, hanya kepadamu aku meminta. Tolong berikan jalan keluar terbaik dari masalahku saat ini. Aku tidak mau menikah. Dan aku tidak mau dekat dengan pria jahat yang hanya mengincar tubuhku. Sudah berapa banyak pria hidung belang yang engkau kirim untuk menguji kesabaranku. Hamba mohon, kali ini pertemukan hamba dengan seorang pria yang mengerti saya.” Demikian doa Zena dalam salatnya. Selesai melaksanakan salat, Zena mengikuti pengajian dan ceramah agama. Pas sekali, ustadzah Okky sedang menerangkan dalil tentang perzinahan dan pernikahan. Adalah wajib bagi seorang muslim untuk menikah. Karena pernikahan itu menghindarkan kita dari perbuatan Zina. Zena mendengarkan dengan khidmat. Ada rasa ingin memiliki dan dimiliki dalam hatinya. Tapi ada juga rasa takut akan disakiti seperti sebelum-sebelumnya. Selesai memberikan materi, Ustadzah Okky didatangi oleh sahabatnya, Zena. “Selamat malam, lama tidak ketemu. Kudengar kamu semakin nakal belakangan ini. Ah aku yakin gosip itu tidak sepenuhnya benar. Buktinya kamu masih sering datang kesini.” Kata Ustadzah Okky. Ustadzah Okky memang banyak bicara saat bersama sahabatnya terutama Zena yang merupakan sahabatnya sejak anak-anak. “Iya. Sebenarnya aku enggak punya banyak waktu. Okky, bolehkan aku tanya satu hal?” Okky menatap Zena dengan khidmat. Jarang sekali sahabatnya itu minta bantuan. Biasanya Zena hanya minta bantuan saat dia benar-benar sudah melakukan segalanya namun belum berhasil. “Katakan saja sahabat. Ingat janji kita pas kecil. Masalahmu adalah masalahku. Beban hidupmu adalah beban hidupku. Kebahagiaanmu adalah kebahagiaanku juga.” Ustadzah Okky menarik sudut bibirnya ke atas. Menampilkan senyum paling manis yang dia bisa. “Be—begini, bisakah kamu mengenalkanku pada santri-santri cowok?” Ustadzah Okky berpikir sebentar sebelum memberi jawaban, “Bisa. Tapi untuk apa?” “Aku ingin mencari calon suami. Kalau bisa, cowoknya yang penurut, penyabar, dan cukup berduit. Misalnya anak juragan sawit.” Ustadzah Okky berpikir lebih keras. Mencoba mengingat adakah santri seperti itu di pesantren ayahnya.Dua hari sudah Zena tidak pulang ke rumah. Seisi rumah khawatir bukan main. Mamanya Zena yaitu Sarah berpendapat: Menurutnya ada dua tempat yang paling mungkin menampung Zena. Pertama adalah Dojo. Sebuah tempat untuk berlatih bela diri di desa itu. Dan kedua, Coffie Shop tempat Zena bekerja.Tanpa membuang lebih banyak waktu lagi. Keluarga Zena yang terdiri dari ayah, ibu, 2 paman, 1 bibi, dan 2 anak kecil itu berpencar mencari Zena. om Sam dan om Iz mencari ke Coffie Shop sedangkan tante Diana dan Papa Hanum (ayah Zena) mencari ke Dojo.“Zena tidak ada di Coffie Shop. Katanya dia sudah 2 hari ini tidak masuk kerja.”“Di Dojo juga tidak ada.”“Di bengkel pak Muklis juga nihil. Kemana anak itu?”Masing-masing menyampaikan laporan mereka. Mamah dan Papa Zena semakin geram dengab tingkah anak sulung mereka tersebut.“Anak itu ... Jangan-jangan dia kabur dengan laki-laki pesantren? Tuduh mama Sarah.“Hei, diantara banyaknya jenis pria kenapa harus anak
Sudut pandang Gus Karim.“Saya sudah mengatakan semua yang Zena katakan sebelum jadi santri. Sejujurnya, aku kagum pada Zena karena mau jujur pada perasaannya. Dan aku juga merasa kasihan padanya, karena tekanan dari keluarganya, dia sampai mencari calon suami ke dalam pesantrenku.Tatapan tajam Gus Karim membuat kedua om Zena gemetar ketakutan. Mereka merasa seakan berhadapan dengan seekor harimau bukan manusia.Iz membuka mulutnya, meminta bertemu dengan Zena. Gus Karim yang adil pada semua orang pun langsung membukakan gerbang pesantrennya untuk Iz dan Sam.“Kita sudah di dalam. Sekarang apa Iz?”“Cari Zena lah! Memang untuk apa lagi kita datang ke tempat panas ini?”“Gus! Apa pesantren tempatnya memang sepanas ini?”Gus Karim merasa bingung. Dari tadi angin berhembus semilir, jadi tidak mungkin suasana disini sepanas itu. Malahan, Gua Karim yang memakai baju tebal saja masih merasa kedinginan.“Disini segar seperti tepi pantai. Kalian ini
Suasana malam di pesantren begitu tenang dan penuh kedamaian. Angin malam berhembus lembut, menggoyangkan dedaunan di pepohonan yang berjajar rapi di sekitar asrama santri. Cahaya bulan purnama menyinari halaman, menciptakan bayang-bayang yang bergerak pelan seiring dengan alunan angin.Di kejauhan, suara jangkrik yang bersahut-sahutan menciptakan simfoni alam yang menenangkan. Sesekali terdengar lolongan anjing penjaga yang berpatroli, menambah kesan misterius pada malam yang sunyi. Di atas pohon, burung hantu melayang diam-diam, matanya yang tajam mengawasi sekitar dengan penuh kewaspadaan.Di sudut halaman pesantren, sekumpulan santri duduk melingkar, khusyuk memanjatkan doa dan dzikir. Suara mereka bergema lembut, menyatu dengan keheningan malam. Lampu-lampu minyak yang tergantung di beranda asrama memancarkan cahaya keemasan, menciptakan suasana yang hangat dan akrab.Di antara semak-semak, terdengar suara gemerisik dedaunan yang digesek oleh gerakan tikus malam
Zena kembali ke asrama dengan langkah pelan, pikirannya dipenuhi oleh percakapan tadi dengan Gus Karim. Hatinya terasa lebih ringan, meskipun banyak hal yang masih perlu dipikirkan. Ketika dia tiba di asrama, ia mulai bersiap untuk melaksanakan salat Dzuhur, mencari ketenangan dan petunjuk dalam doanya.Saat mengambil wudu, bayangan wajah Gus Karim muncul di benaknya, dengan senyuman bijak yang menenangkan. Kata-kata penuh pengertian dan dukungan yang beliau ucapkan tadi terus terngiang-ngiang di telinganya. Zena tidak bisa menahan diri untuk berangan-angan, berharap memiliki seseorang seperti Gus Karim dalam hidupnya—seseorang yang bijaksana, penuh kasih, dan selalu siap mendukung tanpa menghakimi.Setelah mengenakan mukena, Zena berdiri di atas sajadah, menghadap kiblat. Setelah selesai salat, Zena duduk bersila, berzikir pelan sambil menenangkan hatinya.Tidak lama kemudian, seorang pemuda muncul di depan pintu asrama, tampak seperti baru saja menyusup melewati pen
Key bertemu Ilmi. Keduanya berjalan beriringan. Sudah saatnya Key menceritakan keinginannya menjadi suami bohongan untuk Zena.“Katakan sejujurnya bro. Apa alasan lu pengen membantu sampai segitunya?”“Kenapa ya bro? Gue cuman merasa dia itu ... Cantik."Ilmi terbatuk mendengarnya. "Dari sekian banyak cewek cantik yang kita lihat semasa perjalanan. Pas di Bali, di ibukota, dan di Jogja, lu malah jatuh hati ke gadis kampung? Ternyata selera lu ayam kampung?""Apaan sih lu, ayam kampung adanya di sono noh, di warung makan."Karena kesal, Key menghajar pundak Ilmi. Ilmi tidak ingin kalah dan balas menangkis tinju-tinju Key. "Heaaa!!" Keduanya berkelahi bohongan. Tingkah konyol mereka tidak mengurangi aura wibawa yang terpancar dari diri masing-masing."Cukup! Cukup!""Kenapa, takut? Segitu saja kemampuanmu dokter muda?! Asal tahu saja, gua bisa--"Key menyemprot bibir bocor Ilmi dengan semprotan cabai. "ASU." "Lu
Saat Zena memeluk tangannya, Ilmi sudah merasakan pertanda buruk. Saat Zena mengatakan kebohongan luar biasa itu, Ilmi refleks menarik tangannya dan mengucapkan kata-kata mutiara, "You Motherfucker!"Zena tidak membiarkannya lolos. Gadis itu terus memeluk dan mengejar Ilmi yang berusaha tidak terlibat terlalu jauh. Samar-samar telinga Ilmi menangkap suara lirih gadis itu yang meminta tolong padanya, "tolong aku ... Tolong ... Kumohon mas ... ""Zena!!!!""Apa benar kamu berhubungan badan dengan laki-laki ini? Jangan yang jujur!" Bentak ayah Zena.Zena sudah berkeringat dingin. Dengan lirih dia menjawab, "be--benar. Dia pacar pertama yang berhubungan badan denganku. Jadi keperawananku direnggut oleh dia.""Keterlaluan kamu Zena!"Ibu Zena yang dari tadi diam tidak kuasa menahan kesedihan dan pingsan. Untung Iz dan Sam gesit menangkap badan dan kepala Sarah sebelum menghantam beton keras.Zena mengatakan hal mengejutkan lagi. "Aku dan Ilham akan meni
"Kamu menangis?" Ustadzah Okky bertanya pada Key yang matanya berair."Iya ... Siapa sangka Ilmi akan menikah di usia semuda ini ... Aku keduluan," Jawab Key setengah jujur setengah mengada-ngada.Ilmi mencium telapak tangan kanan Zena. Darahnya memanas membayangkan gadis cantik itu ada di ranjangnya. Jiwa playboy nya takluk di hadapan kecantikan Zena yang unik. Bentuk wajahnya oval, dengan tulang pipi yang tinggi dan rahang yang tegas, memberikan kesan kekuatan yang elegan. Kulitnya halus, berkilau dengan cahaya alami yang memancarkan kesehatan dan perawatan diri yang cermat.Matanya besar dan berbinar, alisnya tegas dan terawat, hidungnya ramping dan proporsional, menambahkan sentuhan keanggunan pada keseluruhan wajahnya. Setiap detail dari wajahnya, mulai dari lekuk dagu hingga kilauan mata, mengkomunikasikan kepercayaan diri dan kharisma yang tak terbantahkan, membuatnya memancarkan aura perempuan tomboi yang tidak hanya cantik teta
Zena menatap 5 jenis hidangan besar di mejanya. Key membelikannya banyak makanan. Apa dompetnya tidak kurus membeli makanan sebanyak ini? “Anu, Key, kamu kan hanya dokter kecil.” “Terus?” “Apa kamu tidak terlalu boros membeli makanan sebanyak ini? Aku tahu harga makanan disini, cukup untuk menguras setengah kantong pegawai UMR rendah hanya dengan sekali makan.” Key tertawa kecil, katanya, “kamu banyak bicara sekali. Aku yang mengajak, aku yang bayar. Tidak perlu memikirkan hal lain.” Kata Key serba ringkas. Melihat Zena tidak mau menyentuh bagiannya, Key pun makan lebih dulu. Key terus memaksa Zena agar makan. Menurutnya Zena kelihatan seperti belum makan berhari-hari. “Aku harus tenang. Jangan buat gerakan berlebihan, nanti Zena malah ilfeel padamu.” Key mencoba menyuapi Zena. “apa yang kubilang tentang jangan bertindak berlebihan? Arghh, Key kau payah sekali!” sementara Zena menatap Key dengan bingung. “m