Share

5. Ayah datang

Zena kembali ke asrama dengan langkah pelan, pikirannya dipenuhi oleh percakapan tadi dengan Gus Karim. Hatinya terasa lebih ringan, meskipun banyak hal yang masih perlu dipikirkan. Ketika dia tiba di asrama, ia mulai bersiap untuk melaksanakan salat Dzuhur, mencari ketenangan dan petunjuk dalam doanya.

Saat mengambil wudu, bayangan wajah Gus Karim muncul di benaknya, dengan senyuman bijak yang menenangkan. Kata-kata penuh pengertian dan dukungan yang beliau ucapkan tadi terus terngiang-ngiang di telinganya. Zena tidak bisa menahan diri untuk berangan-angan, berharap memiliki seseorang seperti Gus Karim dalam hidupnya—seseorang yang bijaksana, penuh kasih, dan selalu siap mendukung tanpa menghakimi.

Setelah mengenakan mukena, Zena berdiri di atas sajadah, menghadap kiblat. Setelah selesai salat, Zena duduk bersila, berzikir pelan sambil menenangkan hatinya.

Tidak lama kemudian, seorang pemuda muncul di depan pintu asrama, tampak seperti baru saja menyusup melewati penjagaan para ustadah. Pria itu adalah Key, pemuda pendiam yang terkenal mahir mengobati. Dengan rambut berwarna hijau gelap dan potongan cepak bak tentara, Key berdiri penuh percaya diri.

Zena yang masih duduk bersila di atas sajadah, terkejut melihat Key di pintu. Key mendekat dengan langkah tenang namun tegas, matanya yang tajam memperhatikan Zena dengan seksama.

“Zena, sudahkah kamu meminum obatmu?” tanya Key dengan suara tenang namun penuh perhatian.

Zena tersenyum tipis, merasa lega melihat Key. “Belum, Key. Aku baru saja selesai salat. Terima kasih sudah mengingatkan.”

Key mengangguk, lalu mengeluarkan sebotol kecil obat dari sakunya. “Ini obatmu. Kamu harus meminumnya sekarang, agar lukamu cepat sembuh.”

Zena menerima botol obat itu dengan tangan gemetar. “Terima kasih, Key. Kamu selalu memperhatikan detail kecil seperti ini.”

Key duduk di sebelah Zena, mengawasi dengan penuh perhatian saat Zena membuka botol obat dan meminumnya. “Aku hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja, Zena. Kami semua peduli padamu.”

Zena menatap Key, merasakan hangatnya perhatian yang tulus dari pemuda itu. “Aku sangat beruntung punya teman seperti kamu, Key. Kadang aku merasa terlalu banyak merepotkanmu.”

Key menggeleng pelan. “Kamu tidak merepotkan, Zena. Kita semua di sini untuk saling mendukung. Jangan pernah merasa sendiri.”

Key menatap mata Zena. Pupil indah gadis itu memikat hatinya. Luka di wajahnya bukan halangan Key tidak jatuh cinta padanya.

Key menatap mata Zena. Pupil indah gadis itu memikat hatinya, membuatnya tidak bisa berpaling. Luka di wajah Zena bukanlah penghalang bagi Key; justru menambah tekadnya untuk melindungi dan mendukung gadis itu.

Dengan penuh keberanian, Key berkata, “Zena, maukah kamu pergi keluar denganku? Hanya untuk berjalan-jalan dan berbicara.”

Zena terkejut dan segera menolak, “Tidak, Key. Itu tidak pantas. Berkencan adalah perbuatan dosa.”

Key merasa bingung, berusaha mencari cara untuk membuat Zena mengerti niat baiknya. Ia teringat percakapan Zena dengan Gus Karim kemarin. “Zena, kamu bilang mau mencari pemuda polos untuk diajak menikah bohongan. Aku bersedia kok.”

Zena mendadak marah, matanya menyala. “Key, kamu menguping percakapan itu? Bagaimana bisa kamu mendengar semuanya?”

Key mengangkat bahu, merasa bersalah namun tetap serius. “Aku tidak sengaja mendengar. Aku hanya ingin membantu. Jika itu yang kamu butuhkan, aku siap.”

Zena berdiri, wajahnya memerah karena marah dan malu. “Key, itu percakapan pribadi! Tidak seharusnya kamu mendengarkan, apalagi menawarkan diri untuk sesuatu seperti itu!”

Key merasa tersudut, tetapi ia tetap teguh. “Aku hanya ingin membantu, Zena. Aku peduli padamu. Jika menikah bohongan bisa membuatmu merasa aman, aku bersedia melakukannya.”

Zena menghela napas, berusaha menenangkan diri. “Key, ini bukan tentang itu. Aku menghargai niatmu, tapi ini masalah yang sangat rumit. Aku butuh waktu untuk memikirkan semuanya. Dan tolong, jangan ikut campur lebih jauh.”

Key menatap Zena dengan sedih namun penuh pengertian. “Baik, Zena. Aku akan menghormati keputusanmu. Tapi ingat, aku ada di sini untukmu, apa pun yang terjadi.”

Dengan hati yang masih bergemuruh, Zena mengangguk pelan. “Terima kasih, Key. Aku tahu kamu peduli. Tapi biarkan aku menyelesaikan ini dengan caraku sendiri.”

Key mengangguk dan perlahan mundur, meninggalkan Zena sendirian dengan pikirannya. Meskipun kecewa, ia bertekad untuk tetap ada di sana, siap membantu Zena kapan pun dia membutuhkan.

Sementara itu, Zena yang sudah lebih tenang setelah percakapannya dengan Key, mendengar suara ponselnya berdering. Dia meraih ponsel dari meja di samping tempat tidurnya dan melihat nama ayahnya terpampang di layar. Dengan perasaan campur aduk, ia mengangkat telepon tersebut.

“Hallo, Ayah,” sapa Zena dengan suara pelan.

Suara ayahnya yang keras dan penuh kemarahan langsung terdengar dari ujung telepon. “Zena, apa yang kamu pikirkan tinggal di pesantren? Apa kamu sudah gila? Keluarga kita jauh dari agama, dan kamu malah pergi ke tempat seperti itu!”

Zena menelan ludah, berusaha menahan air matanya. “Ayah, aku hanya ingin mencari kedamaian dan mencoba belajar lebih banyak tentang diri sendiri. Di sini, aku merasa aman.”

“Aman?” suara ayahnya makin meninggi. “Kamu tidak mengerti apa-apa! Keluarga kita tidak butuh agama! Aku seorang dukun, dan kita sudah cukup kuat tanpa harus mendekat ke hal-hal seperti itu!”

Zena menggigit bibirnya, mencoba menguatkan hati. “Ayah, tolong mengerti. Aku hanya ingin menjalani hidupku dengan cara yang berbeda.”

Ayahnya tertawa sinis, namun kemarahannya masih jelas terasa. “Mengerti? Kamu yang harus mengerti, Zena! Jika kamu tidak pulang malam ini juga, aku akan datang dan menyeretmu pulang! Kamu milik keluarga kita, dan kamu harus tunduk pada aturan keluarga!”

Air mata mulai mengalir di pipi Zena. Ia berusaha keras menahan isak tangisnya, tapi suaranya bergetar ketika ia menjawab. “Ayah, tolong... jangan paksa aku. Aku butuh waktu untuk menemukan jalanku sendiri.”

“Jalan sendiri? Tidak ada jalan sendiri! Kamu akan pulang malam ini, atau aku sendiri yang akan datang menjemputmu dengan paksa!” ancam ayahnya sebelum menutup telepon dengan kasar.

Zena terdiam, ponsel masih di genggamannya, air matanya terus mengalir tanpa henti. Hatinya terasa hancur mendengar ancaman ayahnya. Dia merasa putus asa, tidak tahu harus bagaimana menghadapi situasi ini.

Dengan tubuh gemetar, Zena menjatuhkan dirinya ke atas sajadah yang belum dilipat, menangis tersedu-sedu. Ia merasa terjebak di antara keinginannya untuk menemukan kedamaian dan tekanan yang begitu kuat dari keluarganya. Ancaman ayahnya terus terngiang di telinganya, membuatnya semakin takut dan bingung.

Waktu magrib tiba, suasana pesantren yang biasanya tenang mendadak tegang. Hanum, ayah Zena, tiba bersama dua pria berotot, Iz dan Sam. Mereka bertiga berkumpul di depan gerbang pesantren dengan wajah penuh kemarahan. Hanum membawa pengeras suara, dan dengan sangat tidak tahu diri, dia mulai berteriak kencang, suaranya memekikkan telinga semua penghuni pesantren.

“ZENA, KESINI KAMU!!!!” teriak Hanum, suaranya bergema di seluruh halaman pesantren.

Para santri yang sedang bersiap untuk melaksanakan salat magrib terkejut dan berhenti sejenak, saling menatap dengan kebingungan dan kekhawatiran. Suasana hening yang penuh ketenangan magrib seketika berubah menjadi tegang dan cemas.

Zena yang mendengar suara ayahnya dari dalam asrama merasa tubuhnya bergetar. Dia tahu bahwa ancaman ayahnya bukan sekadar omong kosong. Dengan hati yang berdegup kencang, dia keluar dari kamarnya, wajahnya masih basah oleh sisa air mata.

Gus Karim, yang juga mendengar teriakan Hanum, segera menuju ke gerbang bersama beberapa ustadz dan santri senior. Dengan tenang namun tegas, Gus Karim mendekati Hanum, berusaha menenangkan situasi yang semakin memanas.

“Ada apa ini, Pak Hanum? Kenapa harus berteriak seperti ini?” tanya Gus Karim dengan suara tenang namun penuh wibawa.

Hanum menatap Gus Karim dengan mata membara. “Mana anak saya, Zena? Saya datang untuk membawanya pulang sekarang juga!”

Gus Karim menghela napas, berusaha tetap tenang. “Zena berada di bawah perlindungan kami di sini. Jika Anda ingin bicara dengannya, mari kita bicarakan dengan baik-baik di dalam.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status