Zena kembali ke asrama dengan langkah pelan, pikirannya dipenuhi oleh percakapan tadi dengan Gus Karim. Hatinya terasa lebih ringan, meskipun banyak hal yang masih perlu dipikirkan. Ketika dia tiba di asrama, ia mulai bersiap untuk melaksanakan salat Dzuhur, mencari ketenangan dan petunjuk dalam doanya.
Saat mengambil wudu, bayangan wajah Gus Karim muncul di benaknya, dengan senyuman bijak yang menenangkan. Kata-kata penuh pengertian dan dukungan yang beliau ucapkan tadi terus terngiang-ngiang di telinganya. Zena tidak bisa menahan diri untuk berangan-angan, berharap memiliki seseorang seperti Gus Karim dalam hidupnya—seseorang yang bijaksana, penuh kasih, dan selalu siap mendukung tanpa menghakimi. Setelah mengenakan mukena, Zena berdiri di atas sajadah, menghadap kiblat. Setelah selesai salat, Zena duduk bersila, berzikir pelan sambil menenangkan hatinya. Tidak lama kemudian, seorang pemuda muncul di depan pintu asrama, tampak seperti baru saja menyusup melewati penjagaan para ustadah. Pria itu adalah Key, pemuda pendiam yang terkenal mahir mengobati. Dengan rambut berwarna hijau gelap dan potongan cepak bak tentara, Key berdiri penuh percaya diri. Zena yang masih duduk bersila di atas sajadah, terkejut melihat Key di pintu. Key mendekat dengan langkah tenang namun tegas, matanya yang tajam memperhatikan Zena dengan seksama. “Zena, sudahkah kamu meminum obatmu?” tanya Key dengan suara tenang namun penuh perhatian. Zena tersenyum tipis, merasa lega melihat Key. “Belum, Key. Aku baru saja selesai salat. Terima kasih sudah mengingatkan.” Key mengangguk, lalu mengeluarkan sebotol kecil obat dari sakunya. “Ini obatmu. Kamu harus meminumnya sekarang, agar lukamu cepat sembuh.” Zena menerima botol obat itu dengan tangan gemetar. “Terima kasih, Key. Kamu selalu memperhatikan detail kecil seperti ini.” Key duduk di sebelah Zena, mengawasi dengan penuh perhatian saat Zena membuka botol obat dan meminumnya. “Aku hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja, Zena. Kami semua peduli padamu.” Zena menatap Key, merasakan hangatnya perhatian yang tulus dari pemuda itu. “Aku sangat beruntung punya teman seperti kamu, Key. Kadang aku merasa terlalu banyak merepotkanmu.” Key menggeleng pelan. “Kamu tidak merepotkan, Zena. Kita semua di sini untuk saling mendukung. Jangan pernah merasa sendiri.” Key menatap mata Zena. Pupil indah gadis itu memikat hatinya. Luka di wajahnya bukan halangan Key tidak jatuh cinta padanya. Key menatap mata Zena. Pupil indah gadis itu memikat hatinya, membuatnya tidak bisa berpaling. Luka di wajah Zena bukanlah penghalang bagi Key; justru menambah tekadnya untuk melindungi dan mendukung gadis itu. Dengan penuh keberanian, Key berkata, “Zena, maukah kamu pergi keluar denganku? Hanya untuk berjalan-jalan dan berbicara.” Zena terkejut dan segera menolak, “Tidak, Key. Itu tidak pantas. Berkencan adalah perbuatan dosa.” Key merasa bingung, berusaha mencari cara untuk membuat Zena mengerti niat baiknya. Ia teringat percakapan Zena dengan Gus Karim kemarin. “Zena, kamu bilang mau mencari pemuda polos untuk diajak menikah bohongan. Aku bersedia kok.” Zena mendadak marah, matanya menyala. “Key, kamu menguping percakapan itu? Bagaimana bisa kamu mendengar semuanya?” Key mengangkat bahu, merasa bersalah namun tetap serius. “Aku tidak sengaja mendengar. Aku hanya ingin membantu. Jika itu yang kamu butuhkan, aku siap.” Zena berdiri, wajahnya memerah karena marah dan malu. “Key, itu percakapan pribadi! Tidak seharusnya kamu mendengarkan, apalagi menawarkan diri untuk sesuatu seperti itu!” Key merasa tersudut, tetapi ia tetap teguh. “Aku hanya ingin membantu, Zena. Aku peduli padamu. Jika menikah bohongan bisa membuatmu merasa aman, aku bersedia melakukannya.” Zena menghela napas, berusaha menenangkan diri. “Key, ini bukan tentang itu. Aku menghargai niatmu, tapi ini masalah yang sangat rumit. Aku butuh waktu untuk memikirkan semuanya. Dan tolong, jangan ikut campur lebih jauh.” Key menatap Zena dengan sedih namun penuh pengertian. “Baik, Zena. Aku akan menghormati keputusanmu. Tapi ingat, aku ada di sini untukmu, apa pun yang terjadi.” Dengan hati yang masih bergemuruh, Zena mengangguk pelan. “Terima kasih, Key. Aku tahu kamu peduli. Tapi biarkan aku menyelesaikan ini dengan caraku sendiri.” Key mengangguk dan perlahan mundur, meninggalkan Zena sendirian dengan pikirannya. Meskipun kecewa, ia bertekad untuk tetap ada di sana, siap membantu Zena kapan pun dia membutuhkan. Sementara itu, Zena yang sudah lebih tenang setelah percakapannya dengan Key, mendengar suara ponselnya berdering. Dia meraih ponsel dari meja di samping tempat tidurnya dan melihat nama ayahnya terpampang di layar. Dengan perasaan campur aduk, ia mengangkat telepon tersebut. “Hallo, Ayah,” sapa Zena dengan suara pelan. Suara ayahnya yang keras dan penuh kemarahan langsung terdengar dari ujung telepon. “Zena, apa yang kamu pikirkan tinggal di pesantren? Apa kamu sudah gila? Keluarga kita jauh dari agama, dan kamu malah pergi ke tempat seperti itu!” Zena menelan ludah, berusaha menahan air matanya. “Ayah, aku hanya ingin mencari kedamaian dan mencoba belajar lebih banyak tentang diri sendiri. Di sini, aku merasa aman.” “Aman?” suara ayahnya makin meninggi. “Kamu tidak mengerti apa-apa! Keluarga kita tidak butuh agama! Aku seorang dukun, dan kita sudah cukup kuat tanpa harus mendekat ke hal-hal seperti itu!” Zena menggigit bibirnya, mencoba menguatkan hati. “Ayah, tolong mengerti. Aku hanya ingin menjalani hidupku dengan cara yang berbeda.” Ayahnya tertawa sinis, namun kemarahannya masih jelas terasa. “Mengerti? Kamu yang harus mengerti, Zena! Jika kamu tidak pulang malam ini juga, aku akan datang dan menyeretmu pulang! Kamu milik keluarga kita, dan kamu harus tunduk pada aturan keluarga!” Air mata mulai mengalir di pipi Zena. Ia berusaha keras menahan isak tangisnya, tapi suaranya bergetar ketika ia menjawab. “Ayah, tolong... jangan paksa aku. Aku butuh waktu untuk menemukan jalanku sendiri.” “Jalan sendiri? Tidak ada jalan sendiri! Kamu akan pulang malam ini, atau aku sendiri yang akan datang menjemputmu dengan paksa!” ancam ayahnya sebelum menutup telepon dengan kasar. Zena terdiam, ponsel masih di genggamannya, air matanya terus mengalir tanpa henti. Hatinya terasa hancur mendengar ancaman ayahnya. Dia merasa putus asa, tidak tahu harus bagaimana menghadapi situasi ini. Dengan tubuh gemetar, Zena menjatuhkan dirinya ke atas sajadah yang belum dilipat, menangis tersedu-sedu. Ia merasa terjebak di antara keinginannya untuk menemukan kedamaian dan tekanan yang begitu kuat dari keluarganya. Ancaman ayahnya terus terngiang di telinganya, membuatnya semakin takut dan bingung. Waktu magrib tiba, suasana pesantren yang biasanya tenang mendadak tegang. Hanum, ayah Zena, tiba bersama dua pria berotot, Iz dan Sam. Mereka bertiga berkumpul di depan gerbang pesantren dengan wajah penuh kemarahan. Hanum membawa pengeras suara, dan dengan sangat tidak tahu diri, dia mulai berteriak kencang, suaranya memekikkan telinga semua penghuni pesantren. “ZENA, KESINI KAMU!!!!” teriak Hanum, suaranya bergema di seluruh halaman pesantren. Para santri yang sedang bersiap untuk melaksanakan salat magrib terkejut dan berhenti sejenak, saling menatap dengan kebingungan dan kekhawatiran. Suasana hening yang penuh ketenangan magrib seketika berubah menjadi tegang dan cemas. Zena yang mendengar suara ayahnya dari dalam asrama merasa tubuhnya bergetar. Dia tahu bahwa ancaman ayahnya bukan sekadar omong kosong. Dengan hati yang berdegup kencang, dia keluar dari kamarnya, wajahnya masih basah oleh sisa air mata. Gus Karim, yang juga mendengar teriakan Hanum, segera menuju ke gerbang bersama beberapa ustadz dan santri senior. Dengan tenang namun tegas, Gus Karim mendekati Hanum, berusaha menenangkan situasi yang semakin memanas. “Ada apa ini, Pak Hanum? Kenapa harus berteriak seperti ini?” tanya Gus Karim dengan suara tenang namun penuh wibawa. Hanum menatap Gus Karim dengan mata membara. “Mana anak saya, Zena? Saya datang untuk membawanya pulang sekarang juga!” Gus Karim menghela napas, berusaha tetap tenang. “Zena berada di bawah perlindungan kami di sini. Jika Anda ingin bicara dengannya, mari kita bicarakan dengan baik-baik di dalam.”Key bertemu Ilmi. Keduanya berjalan beriringan. Sudah saatnya Key menceritakan keinginannya menjadi suami bohongan untuk Zena.“Katakan sejujurnya bro. Apa alasan lu pengen membantu sampai segitunya?”“Kenapa ya bro? Gue cuman merasa dia itu ... Cantik."Ilmi terbatuk mendengarnya. "Dari sekian banyak cewek cantik yang kita lihat semasa perjalanan. Pas di Bali, di ibukota, dan di Jogja, lu malah jatuh hati ke gadis kampung? Ternyata selera lu ayam kampung?""Apaan sih lu, ayam kampung adanya di sono noh, di warung makan."Karena kesal, Key menghajar pundak Ilmi. Ilmi tidak ingin kalah dan balas menangkis tinju-tinju Key. "Heaaa!!" Keduanya berkelahi bohongan. Tingkah konyol mereka tidak mengurangi aura wibawa yang terpancar dari diri masing-masing."Cukup! Cukup!""Kenapa, takut? Segitu saja kemampuanmu dokter muda?! Asal tahu saja, gua bisa--"Key menyemprot bibir bocor Ilmi dengan semprotan cabai. "ASU." "Lu
Saat Zena memeluk tangannya, Ilmi sudah merasakan pertanda buruk. Saat Zena mengatakan kebohongan luar biasa itu, Ilmi refleks menarik tangannya dan mengucapkan kata-kata mutiara, "You Motherfucker!"Zena tidak membiarkannya lolos. Gadis itu terus memeluk dan mengejar Ilmi yang berusaha tidak terlibat terlalu jauh. Samar-samar telinga Ilmi menangkap suara lirih gadis itu yang meminta tolong padanya, "tolong aku ... Tolong ... Kumohon mas ... ""Zena!!!!""Apa benar kamu berhubungan badan dengan laki-laki ini? Jangan yang jujur!" Bentak ayah Zena.Zena sudah berkeringat dingin. Dengan lirih dia menjawab, "be--benar. Dia pacar pertama yang berhubungan badan denganku. Jadi keperawananku direnggut oleh dia.""Keterlaluan kamu Zena!"Ibu Zena yang dari tadi diam tidak kuasa menahan kesedihan dan pingsan. Untung Iz dan Sam gesit menangkap badan dan kepala Sarah sebelum menghantam beton keras.Zena mengatakan hal mengejutkan lagi. "Aku dan Ilham akan meni
"Kamu menangis?" Ustadzah Okky bertanya pada Key yang matanya berair."Iya ... Siapa sangka Ilmi akan menikah di usia semuda ini ... Aku keduluan," Jawab Key setengah jujur setengah mengada-ngada.Ilmi mencium telapak tangan kanan Zena. Darahnya memanas membayangkan gadis cantik itu ada di ranjangnya. Jiwa playboy nya takluk di hadapan kecantikan Zena yang unik. Bentuk wajahnya oval, dengan tulang pipi yang tinggi dan rahang yang tegas, memberikan kesan kekuatan yang elegan. Kulitnya halus, berkilau dengan cahaya alami yang memancarkan kesehatan dan perawatan diri yang cermat.Matanya besar dan berbinar, alisnya tegas dan terawat, hidungnya ramping dan proporsional, menambahkan sentuhan keanggunan pada keseluruhan wajahnya. Setiap detail dari wajahnya, mulai dari lekuk dagu hingga kilauan mata, mengkomunikasikan kepercayaan diri dan kharisma yang tak terbantahkan, membuatnya memancarkan aura perempuan tomboi yang tidak hanya cantik teta
Zena menatap 5 jenis hidangan besar di mejanya. Key membelikannya banyak makanan. Apa dompetnya tidak kurus membeli makanan sebanyak ini? “Anu, Key, kamu kan hanya dokter kecil.” “Terus?” “Apa kamu tidak terlalu boros membeli makanan sebanyak ini? Aku tahu harga makanan disini, cukup untuk menguras setengah kantong pegawai UMR rendah hanya dengan sekali makan.” Key tertawa kecil, katanya, “kamu banyak bicara sekali. Aku yang mengajak, aku yang bayar. Tidak perlu memikirkan hal lain.” Kata Key serba ringkas. Melihat Zena tidak mau menyentuh bagiannya, Key pun makan lebih dulu. Key terus memaksa Zena agar makan. Menurutnya Zena kelihatan seperti belum makan berhari-hari. “Aku harus tenang. Jangan buat gerakan berlebihan, nanti Zena malah ilfeel padamu.” Key mencoba menyuapi Zena. “apa yang kubilang tentang jangan bertindak berlebihan? Arghh, Key kau payah sekali!” sementara Zena menatap Key dengan bingung. “m
Zena meletakkan pesanan, satu persatu ke atas meja dengan sopan. Tidak ada kesombongan di hatinya walaupun orang-orang yang duduk disana adalah teman-temannya semasa di pesantren.“Lebih baik bertemu mereka daripada keluargaku. Bolehkah aku menyebut mereka keluarga baruku sekarang?” Zena bertanya-tanya dalam hati. Melihat beberapa ustadz dan ustadzah bergurau dengan anak-anak panti yang mayoritas masih berusia 9 – 10 tahun.“Boleh aku bergabung?” Zena terkesima. Mereka masih ada disini hingga beberapa jam setelahnya. “boleh aku duduk di sebelah kamu, Okky?”“Silakan, kenapa harus minta izin segala sih, hehee.”Terlihat jelas ketidaksukaan di mata ustadz dan ustadzah lain. Zena adalah sumber masalah bagi mereka. Gara-gara Zena, pesantren mereka didatangi oleh keluarga dukun paling ditakuti di desa Parengsek. Kegiatan belajar mengajar jadi terkendali karena para ustadz dan ustadzah bergantian memberikan pengertian pada Hanum dan keluarganya agar berhenti mengganggu
Malam itu Zena menemui neraka dunia.Key yang kembali ke cafe di jam yang sama seperti kemarin tidak bisa menemukan Zena.Coba cari ke bengkel. Kata maid di cafe tersebut.Ke bengkel pun hasilnya sama. Sama-sama zonk. Key berpikir sejenak, mungkin terjadi sesuatu yang buruk. Sebab setahunya Zena tidak pernah absen bekerja. Gadis itu tidak pernah absen mencari uang dan menghindar dari orang-orang yang tidak disukainya. Termasuk yang baru Key ketahui belakangan ini. Zena ternyata tidak menyukai sikap Ilmi di rumah.“Buang jauh-jauh, buang jauh-jauh khayalan itu!” Key memukul kepalanya sendiri dengan lembut. Kalau terlalu kuat, takutnya terjadi pembekuan darah di otak. Sebagai calon dokter, Key tidak mau terkena penyakit apapun sebelum mewujudkan mimpinya.“Tenang kawan. Jangan gila Cuma karena sang bidadari menghilang dari lane.” Key bermonolog. Dia menikmati setiap detik yang ia habiskan saat bermonolog.Yakin berdiam diri takkan menyelesaikan apapun, Ke
“Bro, sedang apa kau di depan rumah temanmu yang sudah menikah?” tanya Ilmi berusaha menyembunyikan wajah senangnya. Key menatap Ilmi lekat. Lidahnya terasa kelu untuk mengatakan beberapa patah kata saja, “kalian tidak benar-benar menikah. Gus Karim juga memintamu menjaga dan melindungi Zena. Semua masalah kita akan beres asalkan membantu Zena bangkit dari keterpurukannya.” “Bro, aku mau berangkat kerja.” “Kerja apa?” “Ada deh. Pokoknya, kalau kau datang untuk mencari Zena, dia tidak ada disini. Gadis itu berangkat pagi-pagi sekali.” Ilmi sengaja mengarang cerita supaya bisa menggunakan Zena sekali lagi. “Hari ini aku tidak bisa jalan denganmu, nanti malam saja ya.” Ilmi menepuk pundak Key yang masih mematung seolah memikirkan sesuatu. “Iya.” Jawab Key singkat. “Kalau iya kenapa masih diam disini? Mundur sedikit. Aku mau kunci pintu.” Ilmi sedikit mendorong Key. “
Jam setengah sembilan malam. Key baru saja selesai Salat Isya. Alasan keterlambatan sangat mulia. Dokter muda itu baru saja selesai mengobati anak kepala desa yang kakinya patah selepas terpelosok ke dalam parit saat mengejar layangan.Setelah bersusah payah memberikan pertolongan pertama untuk anak itu, Key mengambil air wudhu dan melaksanakan salat Isya sebelum terlambat lebih jauh lagi.“Astagfirullah hul adzim,” sepanjang jalan Key beristighfar. Berusaha menghapus gambaran wajah Zena dari pikirannya.“Ternyata benar kata orang. Jatuh cinta itu sangat indah.” Gumam Ilmi sambil sesekali mengelus dadanya, merasa telah bersalah kepada tuhan. Sepanjang jalan Key mengalami dilema. Dia khawatir pada Zena tapi di satu sisi tidak bisa mendatangi rumahnya karena peraturan di pesantren itu melarang santri keluyuran di luar area pesantren.Lagi-lagi Key bertemu dengan Gus Karim. Individu nomor satu di pesantren tersebut tampaknya sedan
Zena memutuskan pindah dari rumahnya saat ini. Baru saja gadis kecil kita mendapatkan pekerjaan baru di toko kue. Jadi mulai besok Zena akan bekerja sebagai koki kue di toko kue tersebut. "Terima kasih karena sudah mau menampung saya selama beberapa hari disini." Ucap Zena sambil menyalami mbak Rara. "Iya. Sayang sekali kamu gagal di tes itu." "Iya. Mau bagaimana lagi." Zena sudah ikhlas. Mungkin posisi asisten manajer Rara memang tidak ditakdirkan untuknya. "Sekarang kamu mau tinggal dimana?" Zena tidak sungkan menjelaskan semuanya pada Rara. Biar bagaimanapun Rara adalah orang pertama yang bersedia menampungnya. Memberikannya tempat tinggal gratis dengan perjanjian memotong gaji. Mungkin jika Zena sukses dalam tes itu, alur kehidupannya akan berbeda. "Sampai jumpa lagi mbaj Rara. Saya akan memasak kue mulai hari ini." Mbak Rara melambaikan
"Jadi kamu si pegawai baru itu. Sayang sekali sayang gak bisa ospek kamu, padahal perploncoan itu penting." Seorang pegawai senior menghampiri Zena. Menyadarkan gadis kita dari lamunannya. "Apa yang kamu pikirkan?" Zena tersipu. Berkata jujur hanya akan membuatnya semakin malu. "Saya cuma sedang gugup." Tapi wajahnya tidak menunjukkan rasa gugup sama sekali. "Zena?" Mbak Rara memanggil Zena. Dengan segera menghampiri bosnya. "Sudah siap mengikuti tes? Kalau berhasil posisi Asisten Manajer saya akan jatuh ke tangan kamu." "Sudah siap bos. Kalau akan membuat kerajinan tangan dari kayu untuk mengenang hari kerja pertama saya di Malaysia." sahut Zena dengan emosinya yang terkontrol dengan baik. Penting untuk bersikap sopan dan mengontrol luapan emosi agar tidak dianggap kasar. Budaya kerja Malaysia mungkin tidak ada bedanya dengan budaya kerja Indonesia, hanya bahasanya saja yang berbeda.
* POV ZENA * Pertama kali menginjakkan kaki diluar negeri, aku gugup setengah mati. "Mbak .... Kita mau tinggal dimana?" tanyaku pada mbak Rara. Orang yang menjemputku ketika turun dari pesawat. "Ke kontrakan kamu." Jawab mbak Rara dingin. Aku mengederkan pandangan ke sekitar. Bandara ini sangat canggih. Hampir semuanya dikerjakan oleh mesin. Tenaga manusia hanya diperlukan di bagian keamanan saja. Kami naik taksi ke tempat tujuan. Wanita ini adalah pengganti wanita yang mengajakku merantau. Sejauh yang aku tahu, wanita ini adalah agen pemandu perjalanan. Sikapnya yang dingin seolah menunjukkan ketidaksukaannya pada perantau sepertiku. "Jangan salah sangka, saya bukannya tidak menyukai anda. Saya hanya sedang liburan dan juga sedang sakit gigi." Ucapnya. Aku mengangguk. Apa ekspresiku terlalu mudah dibaca? Aku dan Giska berpisah saat menurun
Tanpa sadar aku mengedipkan mata padanya. “Apa kamu tidak ingin mengajakku jalan-jalan? Kamu sedang sibuk ya?” Aku sengaja mengetesnya. Apa dia masih punya perasaan padaku atau tidak. Kalau masih ada, dia pasti menerima ajakanku atau minimal membuat janji temu nanti. Senang melihatnya salah tingkah. Untung saja tidak ada orang lain di ruangan ini, kalau ada, apalagi itu staf rumah sakit, mereka bisa terkejut setengah mati melihat dokter yang biasanya berwibawa itu menjadi ciut ketika berhadapan denganku. “Kamu datang di saat yang tidak tepat. Aku sedang sibuk sekarang.” Gumam Key. Tampak raut wajah yang letih. “Maaf. Aku kangen banget sama kamu. Apa kamu punya waktu luang? Bagaimana kalau healing sambil jalan-jalan?” Tawarku. “Darimana ... Kamu tahu aku bekerja disini?” Gampang saja, bertanya pada orang-orang. Bagi introvert sepertimu bertanya mungkin adalah tindakan yang asing. Dasar oppa penyendiri!
“Kenapa tidak mengabari kami? Ayah bisa menyiapkan reuni keluarga terbaik sepanjang hidupmu. Benar kan? Iz, Sam.”Iz dan Sam. Kedua pamanku datang dengan gaya seorang koboi. Tapi yang mereka tunggang bukan kuda melainkan kerbau.“Kembalilah ke keluarga Zena. Kami tidak sejahat yang kau pikirkan.” Kata paman Iz.“Justru sebaliknya. Kami akan memberimu sebuah perusahaan kalau pulang sekarang. Ini rahasia keluarga kita. Selama ini kamu tidak tidak tahu keluarga kita punya perusahaan kan?” Timpal paman Sam dengan delusinya.Perusahaan apa? Kalau keluarga kami punya perusahaan tidak mungkin ayahku berprofesi sebagai dukun.“Diam kalian dua pengangguran! Jangan ikut campur.” Bentakku lantang.Aku memberi kode pada si botak dan si gondrong. Sebenarnya aku tidak ingat nama mereka, jadi kupanggil saja demikian.Kusuruh mereka mendekat karena instingku berkata: akan terjadi pertempuran sebentar lagi.“Zena! Jangan kurang ajar! Mereka pamanmu.”“Tap
“Sa-saya tidak melakukan apa-apa, sumpah!”Kalau tidak melakukan apa-apa kenapa takut aku mengecek kamera pengawas? Syarif semakin mencurigakan. Pasti ada sesuatu yang dia sembunyikan dariku.Kamera pengawas sudah di tanganku. “Aku tidak akan melaporkanmu kalau kamu tidak sengaja. Jadi tenanglah! Ataukah mungkin ... Kamu memang sengaja tidur di sebelahku tadi malam?”“Tidak! Sleep Walking lah penyebabnya, hanya itu!”Ketika aku menyalakan kamera pengawas, terlihat gambar baterai kosong. Sial. Gagal sudah keinginanku meluruskan masalah ini.Syarif tampak bernafas lega. Huh, kau tunggu saja. Aku tidak akan membiarkanmu berada di dekatku lagi. Bayangkan ada yang melihat kami keluar dari kamar yang sama pagi ini. Betapa malunya aku kalau sampai Okky tahu.“Keluar! Mau itu Sleep Walking atau sengaja, intinya kamu sudah tidur di sebelahku tanpa izin. Jangan kira kamu bisa lolos dari masalah ini.” Ucapku pada Syarif yang baru keluar dari toilet.Sikap san
Sebenarnya sebelum bisa bertemu Okky, aku harus menghadapi beberapa halangan terlebih dahulu. “Assalamualaikum, Umi, Abi, Gus Karim.” Aku berdiri menunggu di ambang pintu, menunggu mereka bereaksi yang mendengar panggilanku. Aku kembangkan senyum terbaik untuk mereka yang dulu sayang padaku. “Si—siapa kamu?” tanya istri Gus, bangkit berdiri meninggalkan kerumunan ibu-ibu. Aku tersenyum dan membuka maskerku. “Ini aku, Zena. Apa kabar Umi?” Tubuh Umi yang berisi menabrakku. Umi sangat senang sepertinya. “Apa benar ini kamu?” tanya Umi sekali lagi. Dasar. Padahal dia sudah menghambur ke aku, tapi masih saja mempertanyakan identitasku. “Iya, ini aku Umi. Zena si Gorilla Kampung. Zena pulang sebentar untuk menghadiri pernikahan Okky.” Betapa senangnya Umi bertemu denganku. Ibu-ibu lain pun menggerumbungi aku seperti semut mengepung gula. Mereka penasaran kenapa aku menjadi sangat cantik. Padahal di ingatan merek
"Iya, aku butuh sekarang juga. Aku tunggu di lokasi." Ucapku di telepon. Desa Parengsek ternyata jadi lebih buruk dibanding 4 tahun yang lalu. Aku tidak ingin lagi mendekati orang-orang setelah kejadian memalukan dengan anak-anak tadi. Tiba-tiba pikiranku mengarah ke suatu tempat. Pesantren Gus Karim. Masih ada waktu 20 menit sebelum mempelai wanita tiba. Dan 15 menit sebelum pengawa yang aku pesan sampai. "Mari kita lihat bagaimana pesantren itu sekarang." Gumamku sambil mempercepat langkah. Selama di perjalanan aku bertemu orang-orang yang dulu sempat mengisi hidupku. Kebanyakan adalah petani sawit yang dulunya pernah jadi temanku sewaktu kecil. Ternyata tidak ada dari mereka yang berani merantau dan memilih terjebak di desa ini sampai mereka dewasa. Dulu aku sering bermain dengan mereka walaupun usia kami terpaut jauh. Aku 8 tahun, mereka 14 tahun. Dan mereka semuanya laki-laki. Meskipun mereka laki-laki dan aku perempuan, me
Dering pesan beberapa kali terdengar dari ponselku. "itu pasti dari rekan bisnisku. Duh, maaf aku membatalkan kontrak sepihak." gumamku dalam hati penuh penyesalan. Sekejap saja penyesalan itu datang, beberapa detik kemudian hatiku kembali bersuka cita karena Okky akhirnya menemukan pangeran impiannya. Dulu waktu SD, Okky pernah bilang padaku, kalau laki-laki impiannya adalah yang berbadan atletis dan tidak memiliki janggut. Okky dari dulu menyukai laki-laki Baby Face. Katanya mereka imut tapi di suatu saat bisa jadi sangat ganas seperti macan. Aku tidak tahu siapa yang dia maksud. Sebenarnya aku sangat panasaran dengan wajah mempelai prianya. Okky sengaja merahasiakannya dariku saat kami telponan. Katanya untuk menjaga kejutannya. Membuatku berpikir, mungkin mempelai prianya aktor atau selebriti muda. Apa yang harus aku pakai di pernikahannya nanti? Tidak, sebelum itu, aku harus mempersiapkan mentalku terlebih dahulu. Bisa