Jam setengah sembilan malam. Key baru saja selesai Salat Isya.
Alasan keterlambatan sangat mulia. Dokter muda itu baru saja selesai mengobati anak kepala desa yang kakinya patah selepas terpelosok ke dalam parit saat mengejar layangan.Setelah bersusah payah memberikan pertolongan pertama untuk anak itu, Key mengambil air wudhu dan melaksanakan salat Isya sebelum terlambat lebih jauh lagi.“Astagfirullah hul adzim,” sepanjang jalan Key beristighfar. Berusaha menghapus gambaran wajah Zena dari pikirannya.“Ternyata benar kata orang. Jatuh cinta itu sangat indah.” Gumam Ilmi sambil sesekali mengelus dadanya, merasa telah bersalah kepada tuhan.Sepanjang jalan Key mengalami dilema. Dia khawatir pada Zena tapi di satu sisi tidak bisa mendatangi rumahnya karena peraturan di pesantren itu melarang santri keluyuran di luar area pesantren.Lagi-lagi Key bertemu dengan Gus Karim. Individu nomor satu di pesantren tersebut tampaknya sedan“Suatu kebodohan jika saya percaya pada anda!” Balas Key. Hanum membalas, “justru kaulah yang bodoh! Kau menyukai anakku kan? Tapi kenapa sampai sekarang kau diam saja?” Key membeku. Hanum tertawa sampai puas. “Tidak ada rahasia yang bertahan lama di hadapanku.” Kata Hanum. Tangannya yang dingin menepuk bahu Key yang tegang. Key segera melompat mundur. Hanum sudah membuktikan kalau dia bisa mengetahui segala macam rahasia. Entah dengan cara apa. “Jadi bagaimana? Kau mau kubantu atau tidak? Biayanya tidak mahal. Cukup buat dua bayi kemudian biarkan kedua bayi itu tinggal bersamaku selama sebulan.” Key menatap Hanum dengan jijik. “Tidak akan! Akan saya cari sendiri. Asalkan Allah SWT mengizinkan, jangankan Zena. Mayat Hitler pun pasti bisa saya temukan.” Key membalikkan badan, bersiap meninggalkan Hanum. Namun, tangan Hanum kembali memegang pundaknya. Kali ini dengan cengkerama
Zena menarik rambut Ilmi. Membenturkan kepalanya berkali-kali ke lantai. Di benturan yang ketiga, Ilmi berhasil mengirim serangan balasan tepat di dada kiri Zena. Gadis itu terguling ke samping, namun itu hanya gerakan tipuan Zena. Saat Ilmi bangun, Zena langsung memukul lututnya dengan batu sungai yang fungsi aslinya untuk menutup lubang pembuangan air agar tidak dimasuki ular. Serangan telak di lutut membuat ilmi jatuh tidak berdaya. Trauma mendalam menggerogoti pikirannya. Posisi mangsa dan predator telah tertukar diantara mereka. Zena terengah-engah, jantungnya berdebar kencang seperti genderang perang. Matanya membelalak ngeri saat melihat Ilmi terkapar di tanah, menggeliat kesakitan dengan lutut yang berlumuran darah. Adegan itu seperti mimpi buruk yang tak pernah terbayangkan. Di matanya, Ilmi yang dulu menjadi ancaman kini berubah menjadi sosok yang lemah, tak berdaya, dan penuh penderitaan. Zena melirik tanga
Wajar saja jika Key murka saat ini. Dua teman baiknya tertimpa kejadian tak mengenakkan. Ditambah lagi dia ikut jadi sasaran amukan Hanum. Sampai sekarang dagunya masih sakit dan luka itu membuatnya kesulitan membaca Al-Qur'an. Entah berapa banyak lagi kesialan yang akan menimpa mereka. Saat ini Key hanya ingin mengantar Zena pulang dan mencari tahu kejadian yang sesungguhnya. *** Zena meremas satu-satunya barang yang jadi pelindungnya di dunia luar. Tas berisi dompet, kosmetik, dan kitab Al-Qur'an.Tanpa dompet yang tebal dan ilmu agama yang mumpuni, hidup di dunia luar sama seperti neraka. Zena sudah merasakannya. Mirisnya, kekejaman itu datang dari lingkungan yang seharusnya menghangatkan hati.Apalagi kalau bukan keluarganya yang sesat. Dari keluarganya yang tersesat Zena merasakan pahit dan kejamnya hidup."Zena, tolong jangan bertanya lagi, biarkan Gus fokus menyetir!" Tegur Key semakin keras.Zena yan
Zena merentangkan badan. Rumah sebagus ini selalu tampil dalam mimpinya. Menyebut rumah ini 'rumah idaman' sepertinya tidak terlalu berlebihan.Keadaan semakin baik karena Zena tinggal seorang diri disana. Ada sih orang lain, nenek penjaga rumah yang tinggal di lantai satu dan tukang bersih-bersih yang tinggal di lantai dua. Zena sendiri memilih salah satu kamar di lantai dua karena memiliki balkon."Biarpun serumah dengan orang asing, mereka takkan menggangguku. Yang satu nenek tua, satunya lagi duda. Sepertinya tuhan sedang baik padaku."Hanya sebentar Zena merasakan kebahagiaan memeluk hati dan tubuhku, bayangan Key terlintas di hatinya.Apa yang Zena lakukan pada pemuda itu sangat jahat. Duh, kamu harus meminta maaf pada Key nanti Zena.Ketukan di pintu terdengar beberapa kali. Zena sedang tertidur pulas saat itu, telinga seperti diketuk beberapa kali oleh nyamuk, membuat Zena ingat kalau hari ini dia akan pekerjaan.Namun be
Zena mengikuti Ayu dengan harapan bisa menemukan kebiasaan baru yang tidak pernah dia lihat di desanya.Secara umum memang setiap suku memiliki adat dan tradisi unik mereka masing-masing. Ayu ini keturunan Jawa sama seperti Zena.Gus Karim, terlihat jelas kalau beliau orang Sunda. Beda lagi dengan istrinya yang dari suku Madura."Aku penasaran, apa suku saya pernah punya peraturan seperti ... Membiarkan anak kecil bermain sampai larut malam?"Tekad Zena sudah bulat. Besok Zena akan menelepon Gus Karim untuk menanyakan soal hal ini. Tidak mungkin rasanya Gus Karim meninggalkan Zena di desa yang belum terjamah manusia.Langkah Ayu semakin cepat. Sesekali gadis itu menguap lebar menahan rasa kantuk yang kian menyerang.Mengantuk begitu ingin bermain? Hanya orang bodoh yang akan memercayai alibi sembarang Ayu.Jelas sekali anak ini pergi ke rumah seseorang untuk mengantar barang."Masih jauh ya Yu?"Tidak k
Zena menggeleng pelan. Sampai mati pun Zena takkan menginjakkan kaki di tempat seperti itu.Meskipun nakal, Zena punya kontrol nafsu yang sangat baik, ditambah ilmu agama yang cukup mumpuni. Zena tahu mana yang benar dan salah. Kejadian Ilmi waktu itu murni terjadi karena kecelakaan dan kelengahan Zena."Yakin gak mau Neng? Lumayan loh gajinya. Kerjaan kamu juga cuma mijit-mijit doang kok, sombong banget nih penghuni dapur!" ejek orang itu dengan logat khasnya.Zena menutup telinga. Punggung orang kasar itu sudah menghilang di perempatan. Zena melanjutkan perjalanan hingga ke ujung desa.Menginjakkan kaki di depan gapura selamat jalan, fokus Zena tertumpuk pada penampakan seorang gadis muda yang sedang menjaga dagangan di ujung jalan sana."Pedagang Kaki Lima kah? Tapi disana kan, tidak ada rumah warga."Ada dua keanehan yang dirasakan Zena. Pertama, kenapa ada pedagang kaki lima mangkal di tempat yang sepi. Kedua, kenapa dia bis
Saat Zena tidak ada, orang yang paling merasa kehilangan adalah Key. Empat hari sudah Key memohon-mohon di kaki Gus Karim."Izinkan aku menyusulnya ke sana Gus. Anda tahu kan, Zena tidak melakukan kesalahan apapun."Gus Karim berulang kali menjelaskan kepada Key—kesalahan yang membuat Zena sampai harus diasingkan. Intinya Gus Karim ingin melindungi Zena dengan cara mengasingkannya ke tempat jauh."Tempat itu tidak seburuk kedengarannya Key. Pokoknya Zena aman disitu."Ini ketiga kalinya Key menerima penjelasan itu."Dusta. Aku tidak percaya. Pokoknya aku ingin bertemu Zena!" pekik Key.Gus Karim terkejut sampai menumpahkan kopi di tangannya. Key tidak peduli. Baginya inilah masa-masa cinta pandangan pertama yang paling indah."Saya minta maaf Gus. Saya tahu perasaan saya ini menjurus pada hal yang haram ,tapi saya tetap akan memperjuangkannya. Kalau Gus ingin memisahkan kami, saya akan berontak sekuat tenaga saya!"
Apa yang terjadi pada Zena? Sederhana, namun begitu rumit. Dia terperangkap dalam sebuah mimpi—mimpi yang berliku, panjang, dan penuh teka-teki.Dalam mimpinya, untuk bisa kembali ke dunia nyata, Zena harus belajar melepaskan sesuatu yang sangat ia dambakan—keluarga. Namun, di alam bawah sadarnya yang penuh dengan luka dan kerinduan, Zena dengan putus asa berusaha menggantikan sosok keluarganya yang hilang dengan Ayu, seorang gadis kecil yang kini menjadi poros dunia khayalannya.Dorongan alami manusia untuk mencari ikatan dengan sesamanya membuat Zena terjebak. Tetapi sayangnya, Zena tak menyadari bahwa obsesinya pada Ayu, seorang anak yang tampak kesepian, hanyalah bayangan semu dari harapannya yang telah terkubur dalam.“Coba tebak, Ayu. Hewan apa yang berhasil kakak tangkap?” suara Zena terdengar ceria, namun ada kegelisahan di baliknya.Ayu, dengan ragu, menggaruk rambutnya yang tak gatal, lalu menjawab lirih, "Serangga?"Zena tersen
Zena memutuskan pindah dari rumahnya saat ini. Baru saja gadis kecil kita mendapatkan pekerjaan baru di toko kue. Jadi mulai besok Zena akan bekerja sebagai koki kue di toko kue tersebut. "Terima kasih karena sudah mau menampung saya selama beberapa hari disini." Ucap Zena sambil menyalami mbak Rara. "Iya. Sayang sekali kamu gagal di tes itu." "Iya. Mau bagaimana lagi." Zena sudah ikhlas. Mungkin posisi asisten manajer Rara memang tidak ditakdirkan untuknya. "Sekarang kamu mau tinggal dimana?" Zena tidak sungkan menjelaskan semuanya pada Rara. Biar bagaimanapun Rara adalah orang pertama yang bersedia menampungnya. Memberikannya tempat tinggal gratis dengan perjanjian memotong gaji. Mungkin jika Zena sukses dalam tes itu, alur kehidupannya akan berbeda. "Sampai jumpa lagi mbaj Rara. Saya akan memasak kue mulai hari ini." Mbak Rara melambaikan
"Jadi kamu si pegawai baru itu. Sayang sekali sayang gak bisa ospek kamu, padahal perploncoan itu penting." Seorang pegawai senior menghampiri Zena. Menyadarkan gadis kita dari lamunannya. "Apa yang kamu pikirkan?" Zena tersipu. Berkata jujur hanya akan membuatnya semakin malu. "Saya cuma sedang gugup." Tapi wajahnya tidak menunjukkan rasa gugup sama sekali. "Zena?" Mbak Rara memanggil Zena. Dengan segera menghampiri bosnya. "Sudah siap mengikuti tes? Kalau berhasil posisi Asisten Manajer saya akan jatuh ke tangan kamu." "Sudah siap bos. Kalau akan membuat kerajinan tangan dari kayu untuk mengenang hari kerja pertama saya di Malaysia." sahut Zena dengan emosinya yang terkontrol dengan baik. Penting untuk bersikap sopan dan mengontrol luapan emosi agar tidak dianggap kasar. Budaya kerja Malaysia mungkin tidak ada bedanya dengan budaya kerja Indonesia, hanya bahasanya saja yang berbeda.
* POV ZENA * Pertama kali menginjakkan kaki diluar negeri, aku gugup setengah mati. "Mbak .... Kita mau tinggal dimana?" tanyaku pada mbak Rara. Orang yang menjemputku ketika turun dari pesawat. "Ke kontrakan kamu." Jawab mbak Rara dingin. Aku mengederkan pandangan ke sekitar. Bandara ini sangat canggih. Hampir semuanya dikerjakan oleh mesin. Tenaga manusia hanya diperlukan di bagian keamanan saja. Kami naik taksi ke tempat tujuan. Wanita ini adalah pengganti wanita yang mengajakku merantau. Sejauh yang aku tahu, wanita ini adalah agen pemandu perjalanan. Sikapnya yang dingin seolah menunjukkan ketidaksukaannya pada perantau sepertiku. "Jangan salah sangka, saya bukannya tidak menyukai anda. Saya hanya sedang liburan dan juga sedang sakit gigi." Ucapnya. Aku mengangguk. Apa ekspresiku terlalu mudah dibaca? Aku dan Giska berpisah saat menurun
Tanpa sadar aku mengedipkan mata padanya. “Apa kamu tidak ingin mengajakku jalan-jalan? Kamu sedang sibuk ya?” Aku sengaja mengetesnya. Apa dia masih punya perasaan padaku atau tidak. Kalau masih ada, dia pasti menerima ajakanku atau minimal membuat janji temu nanti. Senang melihatnya salah tingkah. Untung saja tidak ada orang lain di ruangan ini, kalau ada, apalagi itu staf rumah sakit, mereka bisa terkejut setengah mati melihat dokter yang biasanya berwibawa itu menjadi ciut ketika berhadapan denganku. “Kamu datang di saat yang tidak tepat. Aku sedang sibuk sekarang.” Gumam Key. Tampak raut wajah yang letih. “Maaf. Aku kangen banget sama kamu. Apa kamu punya waktu luang? Bagaimana kalau healing sambil jalan-jalan?” Tawarku. “Darimana ... Kamu tahu aku bekerja disini?” Gampang saja, bertanya pada orang-orang. Bagi introvert sepertimu bertanya mungkin adalah tindakan yang asing. Dasar oppa penyendiri!
“Kenapa tidak mengabari kami? Ayah bisa menyiapkan reuni keluarga terbaik sepanjang hidupmu. Benar kan? Iz, Sam.”Iz dan Sam. Kedua pamanku datang dengan gaya seorang koboi. Tapi yang mereka tunggang bukan kuda melainkan kerbau.“Kembalilah ke keluarga Zena. Kami tidak sejahat yang kau pikirkan.” Kata paman Iz.“Justru sebaliknya. Kami akan memberimu sebuah perusahaan kalau pulang sekarang. Ini rahasia keluarga kita. Selama ini kamu tidak tidak tahu keluarga kita punya perusahaan kan?” Timpal paman Sam dengan delusinya.Perusahaan apa? Kalau keluarga kami punya perusahaan tidak mungkin ayahku berprofesi sebagai dukun.“Diam kalian dua pengangguran! Jangan ikut campur.” Bentakku lantang.Aku memberi kode pada si botak dan si gondrong. Sebenarnya aku tidak ingat nama mereka, jadi kupanggil saja demikian.Kusuruh mereka mendekat karena instingku berkata: akan terjadi pertempuran sebentar lagi.“Zena! Jangan kurang ajar! Mereka pamanmu.”“Tap
“Sa-saya tidak melakukan apa-apa, sumpah!”Kalau tidak melakukan apa-apa kenapa takut aku mengecek kamera pengawas? Syarif semakin mencurigakan. Pasti ada sesuatu yang dia sembunyikan dariku.Kamera pengawas sudah di tanganku. “Aku tidak akan melaporkanmu kalau kamu tidak sengaja. Jadi tenanglah! Ataukah mungkin ... Kamu memang sengaja tidur di sebelahku tadi malam?”“Tidak! Sleep Walking lah penyebabnya, hanya itu!”Ketika aku menyalakan kamera pengawas, terlihat gambar baterai kosong. Sial. Gagal sudah keinginanku meluruskan masalah ini.Syarif tampak bernafas lega. Huh, kau tunggu saja. Aku tidak akan membiarkanmu berada di dekatku lagi. Bayangkan ada yang melihat kami keluar dari kamar yang sama pagi ini. Betapa malunya aku kalau sampai Okky tahu.“Keluar! Mau itu Sleep Walking atau sengaja, intinya kamu sudah tidur di sebelahku tanpa izin. Jangan kira kamu bisa lolos dari masalah ini.” Ucapku pada Syarif yang baru keluar dari toilet.Sikap san
Sebenarnya sebelum bisa bertemu Okky, aku harus menghadapi beberapa halangan terlebih dahulu. “Assalamualaikum, Umi, Abi, Gus Karim.” Aku berdiri menunggu di ambang pintu, menunggu mereka bereaksi yang mendengar panggilanku. Aku kembangkan senyum terbaik untuk mereka yang dulu sayang padaku. “Si—siapa kamu?” tanya istri Gus, bangkit berdiri meninggalkan kerumunan ibu-ibu. Aku tersenyum dan membuka maskerku. “Ini aku, Zena. Apa kabar Umi?” Tubuh Umi yang berisi menabrakku. Umi sangat senang sepertinya. “Apa benar ini kamu?” tanya Umi sekali lagi. Dasar. Padahal dia sudah menghambur ke aku, tapi masih saja mempertanyakan identitasku. “Iya, ini aku Umi. Zena si Gorilla Kampung. Zena pulang sebentar untuk menghadiri pernikahan Okky.” Betapa senangnya Umi bertemu denganku. Ibu-ibu lain pun menggerumbungi aku seperti semut mengepung gula. Mereka penasaran kenapa aku menjadi sangat cantik. Padahal di ingatan merek
"Iya, aku butuh sekarang juga. Aku tunggu di lokasi." Ucapku di telepon. Desa Parengsek ternyata jadi lebih buruk dibanding 4 tahun yang lalu. Aku tidak ingin lagi mendekati orang-orang setelah kejadian memalukan dengan anak-anak tadi. Tiba-tiba pikiranku mengarah ke suatu tempat. Pesantren Gus Karim. Masih ada waktu 20 menit sebelum mempelai wanita tiba. Dan 15 menit sebelum pengawa yang aku pesan sampai. "Mari kita lihat bagaimana pesantren itu sekarang." Gumamku sambil mempercepat langkah. Selama di perjalanan aku bertemu orang-orang yang dulu sempat mengisi hidupku. Kebanyakan adalah petani sawit yang dulunya pernah jadi temanku sewaktu kecil. Ternyata tidak ada dari mereka yang berani merantau dan memilih terjebak di desa ini sampai mereka dewasa. Dulu aku sering bermain dengan mereka walaupun usia kami terpaut jauh. Aku 8 tahun, mereka 14 tahun. Dan mereka semuanya laki-laki. Meskipun mereka laki-laki dan aku perempuan, me
Dering pesan beberapa kali terdengar dari ponselku. "itu pasti dari rekan bisnisku. Duh, maaf aku membatalkan kontrak sepihak." gumamku dalam hati penuh penyesalan. Sekejap saja penyesalan itu datang, beberapa detik kemudian hatiku kembali bersuka cita karena Okky akhirnya menemukan pangeran impiannya. Dulu waktu SD, Okky pernah bilang padaku, kalau laki-laki impiannya adalah yang berbadan atletis dan tidak memiliki janggut. Okky dari dulu menyukai laki-laki Baby Face. Katanya mereka imut tapi di suatu saat bisa jadi sangat ganas seperti macan. Aku tidak tahu siapa yang dia maksud. Sebenarnya aku sangat panasaran dengan wajah mempelai prianya. Okky sengaja merahasiakannya dariku saat kami telponan. Katanya untuk menjaga kejutannya. Membuatku berpikir, mungkin mempelai prianya aktor atau selebriti muda. Apa yang harus aku pakai di pernikahannya nanti? Tidak, sebelum itu, aku harus mempersiapkan mentalku terlebih dahulu. Bisa