Zena menggeleng pelan. Sampai mati pun Zena takkan menginjakkan kaki di tempat seperti itu.
Meskipun nakal, Zena punya kontrol nafsu yang sangat baik, ditambah ilmu agama yang cukup mumpuni. Zena tahu mana yang benar dan salah. Kejadian Ilmi waktu itu murni terjadi karena kecelakaan dan kelengahan Zena."Yakin gak mau Neng? Lumayan loh gajinya. Kerjaan kamu juga cuma mijit-mijit doang kok, sombong banget nih penghuni dapur!" ejek orang itu dengan logat khasnya.Zena menutup telinga. Punggung orang kasar itu sudah menghilang di perempatan. Zena melanjutkan perjalanan hingga ke ujung desa.Menginjakkan kaki di depan gapura selamat jalan, fokus Zena tertumpuk pada penampakan seorang gadis muda yang sedang menjaga dagangan di ujung jalan sana."Pedagang Kaki Lima kah? Tapi disana kan, tidak ada rumah warga."Ada dua keanehan yang dirasakan Zena. Pertama, kenapa ada pedagang kaki lima mangkal di tempat yang sepi. Kedua, kenapa dia bisSaat Zena tidak ada, orang yang paling merasa kehilangan adalah Key. Empat hari sudah Key memohon-mohon di kaki Gus Karim."Izinkan aku menyusulnya ke sana Gus. Anda tahu kan, Zena tidak melakukan kesalahan apapun."Gus Karim berulang kali menjelaskan kepada Key—kesalahan yang membuat Zena sampai harus diasingkan. Intinya Gus Karim ingin melindungi Zena dengan cara mengasingkannya ke tempat jauh."Tempat itu tidak seburuk kedengarannya Key. Pokoknya Zena aman disitu."Ini ketiga kalinya Key menerima penjelasan itu."Dusta. Aku tidak percaya. Pokoknya aku ingin bertemu Zena!" pekik Key.Gus Karim terkejut sampai menumpahkan kopi di tangannya. Key tidak peduli. Baginya inilah masa-masa cinta pandangan pertama yang paling indah."Saya minta maaf Gus. Saya tahu perasaan saya ini menjurus pada hal yang haram ,tapi saya tetap akan memperjuangkannya. Kalau Gus ingin memisahkan kami, saya akan berontak sekuat tenaga saya!"
Apa yang terjadi pada Zena? Sederhana, namun begitu rumit. Dia terperangkap dalam sebuah mimpi—mimpi yang berliku, panjang, dan penuh teka-teki.Dalam mimpinya, untuk bisa kembali ke dunia nyata, Zena harus belajar melepaskan sesuatu yang sangat ia dambakan—keluarga. Namun, di alam bawah sadarnya yang penuh dengan luka dan kerinduan, Zena dengan putus asa berusaha menggantikan sosok keluarganya yang hilang dengan Ayu, seorang gadis kecil yang kini menjadi poros dunia khayalannya.Dorongan alami manusia untuk mencari ikatan dengan sesamanya membuat Zena terjebak. Tetapi sayangnya, Zena tak menyadari bahwa obsesinya pada Ayu, seorang anak yang tampak kesepian, hanyalah bayangan semu dari harapannya yang telah terkubur dalam.“Coba tebak, Ayu. Hewan apa yang berhasil kakak tangkap?” suara Zena terdengar ceria, namun ada kegelisahan di baliknya.Ayu, dengan ragu, menggaruk rambutnya yang tak gatal, lalu menjawab lirih, "Serangga?"Zena tersen
Seperti baru saja bangun dari tidur panjang, Zena merasakan beban yang selama ini menghimpit pikirannya perlahan terangkat. Kini, ruang kosong yang luas terasa tersedia di dalam benaknya, memungkinkan dia berpikir lebih jernih."Aku... di mana? Apa yang Anda lakukan padaku, Gus?" tanya Zena, bingung dan sedikit linglung.Gus Karim tersenyum lembut, memilih kata-kata yang hati-hati sebelum menjawab. "Sebenarnya, Zen, Gus tidak pernah mengirimmu ke pengasingan. Lebih tepatnya, kamu telah dikirim ke tempat untuk pembersihan ilmu hitam."Zena terdiam, terkejut bukan karena ada ilmu hitam di tubuhnya, tapi karena Gus Karim dan yang lain bersedia melakukan begitu banyak hal untuk membantunya."Tapi kenapa... kenapa kalian begitu baik padaku?" tanyanya lirih. "Sejak dulu, aku bukan siapa-siapa. Aku bahkan tidak pernah melakukan kebaikan sekecil biji zarah pun."Di sudut ruangan, Key ingin mendekat dan duduk di samping Zena. Dengan harapan dapat
Tanpa diantar oleh siapa pun, Zena tiba di halte bus terdekat, yang berjarak tiga kilometer dari pesantren dan empat kilometer dari desa Parengsek."Ini saat yang tepat untuk memecah tabungan. Untung saja, tabunganku selalu aman di bawah akar pohon beringin," gumamnya.Pikiran Zena melayang kembali ke masa kecil, ketika dia masih tinggal bersama orang tuanya. Dulu, ia sering menabung di dalam kaleng biskuit besar, kemudian menguburnya di bawah akar pohon beringin tua di halaman rumah. Tempat itu terbukti aman; selama enam tahun, tak ada seorang pun yang menemukan tabungannya.Sambil menunggu bus, Zena menghitung uang yang diambil dari kaleng tersebut. Beberapa lembar uang terlipat sembarangan, ada yang tergulung asal, dan sebagian lainnya tampak kusut.Ketika bus tiba, Zena segera menyebutkan tujuan kepada kenek yang bergelantungan di pintu."Silakan naik, Mbak cantik," ujar kenek itu dengan senyum lebar.Zena merasa mual mendeng
**POV ZENA** Aku memutar kunci pintu dengan pelan, nyaris tanpa suara. Ruangan di balik pintu ini tak lagi sepenuhnya milikku. Sebab malam ini, seorang gadis kecil dengan tubuh lelahnya, Zevara Kemuning Kusuma, berbaring di kasurku. Langkahku terasa berat namun hati-hati saat mendekati tempat tidur. Lampu kamar tetap kupadamkan; cahaya bisa mengusik ketenangan tidur Zeva, dan aku tak ingin menghancurkan kedamaian yang tengah melingkupinya. Aku duduk sejenak di tepi kasur, memandangi wajah mungilnya yang tenang. Tangan kecilnya mencengkeram erat selimut, seolah melindungi dirinya dari dunia luar. "Selesai," gumamku pelan setelah meletakkan kado di sebelah bantal bergambar Hello Kitty yang melindungi kepala kecilnya. "Dia akan senang." Pelan-pelan aku bangkit, berjalan ke arah pintu. Hawa dingin malam menyelinap masuk dari celah jendela yang terbuka sedikit. Saat hendak menutup pintu, getar ponsel di kantongku memecah keheningan. [Nona Lotus] [Nona Lotus: Bagaimana misinya?
Dering pesan beberapa kali terdengar dari ponselku. "itu pasti dari rekan bisnisku. Duh, maaf aku membatalkan kontrak sepihak." gumamku dalam hati penuh penyesalan. Sekejap saja penyesalan itu datang, beberapa detik kemudian hatiku kembali bersuka cita karena Okky akhirnya menemukan pangeran impiannya. Dulu waktu SD, Okky pernah bilang padaku, kalau laki-laki impiannya adalah yang berbadan atletis dan tidak memiliki janggut. Okky dari dulu menyukai laki-laki Baby Face. Katanya mereka imut tapi di suatu saat bisa jadi sangat ganas seperti macan. Aku tidak tahu siapa yang dia maksud. Sebenarnya aku sangat panasaran dengan wajah mempelai prianya. Okky sengaja merahasiakannya dariku saat kami telponan. Katanya untuk menjaga kejutannya. Membuatku berpikir, mungkin mempelai prianya aktor atau selebriti muda. Apa yang harus aku pakai di pernikahannya nanti? Tidak, sebelum itu, aku harus mempersiapkan mentalku terlebih dahulu. Bisa
"Iya, aku butuh sekarang juga. Aku tunggu di lokasi." Ucapku di telepon. Desa Parengsek ternyata jadi lebih buruk dibanding 4 tahun yang lalu. Aku tidak ingin lagi mendekati orang-orang setelah kejadian memalukan dengan anak-anak tadi. Tiba-tiba pikiranku mengarah ke suatu tempat. Pesantren Gus Karim. Masih ada waktu 20 menit sebelum mempelai wanita tiba. Dan 15 menit sebelum pengawa yang aku pesan sampai. "Mari kita lihat bagaimana pesantren itu sekarang." Gumamku sambil mempercepat langkah. Selama di perjalanan aku bertemu orang-orang yang dulu sempat mengisi hidupku. Kebanyakan adalah petani sawit yang dulunya pernah jadi temanku sewaktu kecil. Ternyata tidak ada dari mereka yang berani merantau dan memilih terjebak di desa ini sampai mereka dewasa. Dulu aku sering bermain dengan mereka walaupun usia kami terpaut jauh. Aku 8 tahun, mereka 14 tahun. Dan mereka semuanya laki-laki. Meskipun mereka laki-laki dan aku perempuan, me
Sebenarnya sebelum bisa bertemu Okky, aku harus menghadapi beberapa halangan terlebih dahulu. “Assalamualaikum, Umi, Abi, Gus Karim.” Aku berdiri menunggu di ambang pintu, menunggu mereka bereaksi yang mendengar panggilanku. Aku kembangkan senyum terbaik untuk mereka yang dulu sayang padaku. “Si—siapa kamu?” tanya istri Gus, bangkit berdiri meninggalkan kerumunan ibu-ibu. Aku tersenyum dan membuka maskerku. “Ini aku, Zena. Apa kabar Umi?” Tubuh Umi yang berisi menabrakku. Umi sangat senang sepertinya. “Apa benar ini kamu?” tanya Umi sekali lagi. Dasar. Padahal dia sudah menghambur ke aku, tapi masih saja mempertanyakan identitasku. “Iya, ini aku Umi. Zena si Gorilla Kampung. Zena pulang sebentar untuk menghadiri pernikahan Okky.” Betapa senangnya Umi bertemu denganku. Ibu-ibu lain pun menggerumbungi aku seperti semut mengepung gula. Mereka penasaran kenapa aku menjadi sangat cantik. Padahal di ingatan merek