“Jadi, apa pekerjaan kamu?”
“Saya sekretaris di Hardana Grup, Bu.”
“Jangan panggil saya, Bu. Panggil saya, Nyonya Adibrata.”
“Mi!” seru Bisma anak semata wayangnya.
“Jangan ikut campur, Bisma!”
Malam ini, Bisma memperkenalkan Hayu dengan keluarganya, keluarga Adibrata. Hayu, yang dulu tidak tahu bahwa Bisma termasuk keluarga ningrat, sekarang mulai mengerti. Kenapa selama mereka menjalin hubungan, Bisma tidak pernah membawa Hayu menemui keluarganya. Jarak antara mereka terlalu jauh. Status sosial mereka sungguh berbeda.
Hayu mulai sadar ke mana arah pembicaraan orang tua Bisma. Dia berusaha menguatkan hatinya demi lelaki yang dicintainya itu. Dia harus memasang wajah semanis mungkin, meskipun dia tahu, hatinya akan semakin sakit mendengar kalimat demi kalimat yang akan dilontarkan Nyonya Adibrata.
Bisma terdiam menerima teguran dari maminya. Nyonya Ayu Adibrata memandangi Hayu dari atas sampai ke bawah.
“Orang tua kamu bekerja di mana?”
“Saya hanya punya Ibu saja, Ayah saya sudah meninggal semenjak saya SMA.”
“Lalu ibumu, dia bekerja sebagai apa?” cecar nyonya Adibrata, tentu saja dengan sikapnya yang angkuh dan dingin. Tatapan matanya bahkan mampu menggetarkan bumi seisinya.
“Ibu saya hanya penjual kue-kue rumahan.” Hayu semakin tidak enak dengan pertanyaan kali ini. Apalagi sudah membawa-bawa orang tuanya, Hayu ingin pergi dari rumah Bisma secepat mungkin. Tapi dia masih menjunjung tinggi sopan santunnya, dia tidak mau mempermalukan orang tuanya, karena sikapnya itu.
“Hanya itu? Kalian tinggal di mana?” tanya Nyonya Adibrata lagi, sembari mendorong punggungnya bersandar di sofa, tak lupa menyilangkan kakinya. Menampakkan kesan meremehkan terhadap Hayu.
“Kami tinggal di Perumahan Melati.”
Bisma yang kasihan dengan Hayu, berusaha mengalihkan topik pembicaraan mereka. Untungnya papa Bisma, Jaya Adibrata tidak ada di rumah. Seandainya ada, hati Hayu bisa saja ambyar, seperti nasi kucing yang hilang staplesnya.
“Mi, bukankah kita akan makan malam, Bisma sudah lapar, Mi. Sampai kapan Mami mewawancarai Hayu? Ini bukan lamaran pekerjaan, Mi. Ini tentang makan malam keluarga. Mami mau, melihat Bisma kelaparan dan akhirnya pingsan di sini?”
Nyonya Adibrata mendengus sebal, namun tak urung, dia bangkit dari duduknya dan berjalan terlebih dahulu menuju meja makan. Bisma membimbing Hayu mengekori maminya di belakang, mereka duduk dan mulai menikmati makan malam.
Hayu sudah tidak merasakan rasa lapar sejak kedatangannya kemari, nafsu makannya menghilang. Nyonya Ayu Adibrata yang melihatnya seketika berdeham.
“Ehem, apa makanan yang kami sajikan kurang enak? Tidak menggugah seleramu? Sehingga kamu enggan memakan makanan yang mahal ini? Atau jangan-jangan, orang tuamu tidak pernah memasak menu-menu ini di rumah?”
“Mami! Cukup! Mami jangan keterlaluan dengan Hayu!” Bisma mulai berani menjawab maminya, dia merasa sakit hati mendengar perkataan maminya. Bisma tak bisa membayangkan, bagaimana perasaan Hayu saat ini, pasti lebih sakit dari yang Bisma rasakan.
“Jadi karena kekasihmu ini, kamu berani membentak Mami?”
Hayu yang merasa tidak enak, melihat mereka bertengkar karena dirinya, mulai membuka suara.
“Saya memang tidak terbiasa makan makanan seperti ini, Nyonya. Karena ibu saya hanya menyediakan makanan yang sederhana, sehat dan murah, namun mengandung banyak gizi tinggi. Jadi saya mohon maaf, kalau saya terlihat tidak tertarik untuk memakan hidangan ini, saya merasa tidak terbiasa.”
Sebagai seorang sekretaris, sejujurnya dia tahu segala makanan enak, apalagi ketika menemani bosnya makan siang dengan klien, atau sekedar membelikan bosnya makan siang. Namun mendengar perkataan nyonya Ayu, membuat Hayu berpura-pura tidak tahu menahu soal makanan yang tersaji di hadapannya.
Susah payah Hayu menguatkan hatinya agar tidak sedih dan meneteskan air mata. Dia terima kalau dia di remehkan, tapi dia tak terima, jika sudah menyangkut orang tuanya. Orang tuanya yang tidak tahu menahu tentang kesalahannya.
“Bagus, kalau begitu, sekarang makanlah, ini kesempatan yang tidak akan datang dua kali, nikmati semua makanan yang tersaji di sini, dan kamu Bisma, cepatlah makan. Bukankah kamu bilang, kamu lapar. Kamu juga tahu aturan kita ketika sedang makan, bukan? Tidak ada percakapan apa pun di meja makan!”
Bisma terdiam, selama ini dia tidak pernah melanggar aturan yang sudah ditetapkan di rumah. Peraturan makan dengan mode silent, begitu Bisma menyebutnya. Seperti makan dengan robot, tidak ada interaksi dan suasana yang hangat seperti di keluarga Hayu. Di mana mereka makan dengan saling melempar candaan atau sekedar membahas hal yang tidak penting.
Bisma dibesarkan dengan segala aturan-aturan yang kadang membuat Bisma muak, jika dia protes dengan maminya, maka, dia akan di ingatkan bahwa dia termasuk keluarga ningrat yang wajib menaati aturan-aturan yang sudah ditetapkan oleh mereka. Tidak boleh satu pun yang boleh dilanggarnya.
Mereka makan dengan diam. Selesai makan, nyonya Ayu Adibrata melangkah menuju ruang keluarga, mengabaikan anak dan juga kekasihnya yang tak dianggap olehnya.
“Aku mau pulang, biar aku pulang sendiri, tak perlu kamu mengantarku.”
“Tidak, aku akan mengantarmu, aku yang menjemput dan mengajak kamu ke sini, aku harus bertanggung jawab. Lagi pula aku yang meminta ijin pada Ibu,” ucap Bisma menolak permintaan Hayu.
Hayu melangkah mendekati Nyonya Ayu, “Maaf, Nyonya, sudah malam, saya harus pulang, terima kasih atas makan malamnya,” pamit Hayu mengulurkan tangannya pada nyonya Ayu, sayangnya dia malah bersikap, seolah-olah tak melihat tangan Hayu yang terjulur padanya.
Hati Hayu sakit, seperti di tusuk ribuan jarum. Bisma ingin memeluknya, tapi dia takut, maminya akan semakin murka dengan kelakuannya. Bisma sungguh bingung dengan apa yang harus dilakukannya.
Hayu menarik tangannya yang terulur dan mengepalkannya di sisi tubuhnya.
“Saya permisi, Nyonya.” Nyonya Ayu menanggapi dengan anggukan, melihat putranya yang mengekori Hayu, segera dia menghardiknya.
“Mau ke mana kamu!”
“Mi, Bisma mau mengantarkan Hayu pulang, tadi Bisma yang menjemputnya, Mi. Bukankah Mami yang selalu bilang dan mengajarkan Bisma untuk bertanggung jawab?”
“Antarkan dia sampai di gerbang, kamu bisa mencarikan taksi untuknya!”
“Tapi, Mi.”
“Sudahlah, aku bisa pulang sendiri, tidak usah mengantarku, aku akan mencari taksi sendiri.” Hayu mencegah Bisma mengantarkannya, dia tidak mau semakin ada pertengkaran antara ibu dan anak.
“Tapi, Hayu. Aku tidak mungkin membiarkan kamu pulang sendiri, apa kata Ibu nanti.”
“Aku akan menjelaskan pada Ibu, bahwa kamu sedang tidak bisa mengantarku, aku yakin Ibu akan mengerti, ku mohon. Biarkan aku pulang sendiri. Iam fine, Bisma.”
Bisma mengalah, dia menatap punggung kekasihnya sampai menghilang di balik gerbang rumahnya.
Hayu berjalan keluar dari rumah yang pantas di sebut neraka itu. Air mata yang dia tahan sejak tadi, akhirnya menetes juga. Semakin lama semakin deras, ingin rasanya dia berteriak untuk melegakan semua beban yang ada di hatinya, namun itu tidak mungkin di lakukannya. Dia sedang berada di jalan raya yang ramai, bisa-bisa nanti dia viral gara-gara teriakan-teriakannya, atau malah orang-orang menyangka dia sudah gila. Gila karena mami Bisma.
“Apa salahku, apa salah, aku dilahirkan dari keluarga yang biasa saja? Apa aku salah, karena menjadi anak yatim? Apa salah, kalau ibuku hanya penjual kue?” gumamnya terisak.
“Kenapa takdir begitu kejam padaku?”
“Kenapa menyalahkan takdir? Bukankah takdir itu, tetangga kamu yang bekerja sebagai sopir saya?”
“Bapak?”
Hayu melongo, kenapa mendadak bosnya ada di sini.“Bapak, jelangkung? Datang tak diundang? Kenapa bisa ada di sini?”“Ini jalan raya, yang siapa saja boleh melewatinya, Hayu. Saya sedang lewat dan melihatmu seperti orang gila. Makanya, saya menghampiri kamu. Lagi ada masalah? Bisma ke mana? Kalian lagi berantem?”Hayu yang tadinya sedih, mendadak menjadi kesal karena bosnya, Candra Hardana. Kalau di novel-novel sosok CEO cenderung dingin, tidak bagi sosok Candra, dia selalu mengganggu sekretarisnya itu. Memiliki jiwa kepo akut dan juga komentator yang luar biasa cerewet.“Bapak, kepo! Mending Bapak antar saya pulang, sekarang.”“Berani ya, kamu menyuruh saya, mau saya potong gaji kamu bulan ini!”“Maaf, Pak. Bagaimana saya hidup, kalau gaji saya dipotong. Kasihani saya, Pak.”“Masuk!” perintah Candra pada sekretarisnya itu.Hayu masuk ke dalam mobil Candra.
“Nduk, ada apa dengan kamu dan Bisma? Apa kalian ada masalah, kalian sedang bertengkar? Kenapa kamu pulangnya diantar Pak Candra. Nduk, di dalam sebuah hubungan, wajar jika ada masalah, kalian harus menyelesaikannya biar tidak berlarut-larut.”“Bu, Hayu tidak bertengkar dan juga tidak ada masalah apapun antara kami berdua, Bu.”Seandainya ibu Hayu tahu, apa yang terjadi dengan anaknya di rumah Bisma, Hayu yakin, ibunya pasti akan sangat bersedih. Hayu tidak mau itu terjadi, Hayu tidak ingin melihat ibunya sedih dan merasa bersalah.“Apa kamu yakin? Nduk, ingat, kamu bisa menceritakan semua hal pada Ibu. Kamu satu-satunya yang Ibu miliki di dunia ini. Jangan berbohong pada ibu, Nduk. Perasaan seorang ibu itu peka sekali, Hayu. Ibu hanya menunggu waktu saja, kapan kamu akan menceritakan semua pada Ibu. Ibu mungkin tidak bisa membantumu mengatasi masalah kalian. Tapi setidaknya, hati kamu akan merasa lega, setelah menceritakan semuanya
Pagi ini matahari bersinar cerah sekali, sinarnya yang masuk di antara celah jendela kamar Hayu, membuat Hayu menutupi wajahnya dengan sebelah tangan, dia hampir terlambat. Tidak biasanya dia bangun kesiangan seperti pagi ini. Semalaman dia tidak bisa tidur, berpikir banyak hal tentang hubungannya dengan Bisma. Bu Tuti mengetuk pintu kamar anaknya. “Nduk, Bisma sudah menunggumu di luar.” “Masih berani ke sini rupanya.” Hayu membatin kekasihnya itu. “Ya, Bu. Hayu sedang bersiap-siap,” teriak Hayu berlari ke kamar mandi. Dia harus bergegas kalau tak mau terlambat dan kena omel bosnya yang kepo akut itu. Selesai mandi ala kadarnya, dia bergegas keluar kamar, untungnya dia tidak perlu memakai make up, dia tidak suka. Wajahnya yang cantik hanya menggunakan pelembab dan liptint. Baginya itu sudah cukup. Di anugerahi kulit kuning langsat, membuatnya tidak perlu menempelkan berbagai macam kosmetik. Hayu berpamitan pada ibunya yang masih sibuk membuat kue-kue yang sudah d
Hayu mendesah, apalagi yang akan dia alami kali ini, dia berdoa dalam hati semoga semuanya baik-baik saja. Dia tidak mau, kalau Candra tahu apa yang terjadi pada hubungan mereka.Candra keluar dari mobilnya berjalan beriringan dengan Hayu masuk ke dalam restoran.“Lewat sini, Pak Candra,” ucap Hayu menunjukkan jalan. Ternyata mereka datang terlebih dahulu. Malang tak dapat di tolak, tempat mereka duduk, ternyata berdekatan dengan mami Bisma, hanya saja terhalang sekat.“Aku pikir kita terlambat, nyatanya sampai di sini mereka masih belum datang. Kamu yakin jam 10 mereka datang? Kamu sudah mengkonfirmasi lagi jadwal kita bukan?”“Tentu saja sudah, Pak. Mungkin saja macet, jadi mereka agak terlambat.”“Hem, kalau begitu, aku pergi ke toilet dulu sebentar. Kamu nggak apa-apa, kan, saya tinggal sendirian, jangan merindukan aku, ya.” Candra menggoda sekretarisnya itu, tersenyum dan berlalu meninggalkan Hay
Hayu yang sedang menatap ponselnya menoleh ke arah sumber suara. Sekretaris Sean memanggilnya. Hayu melambaikan tangan. Dina menghampiri sahabatnya itu, tak lupa menyapa atasan Hayu yang juga rekan kerja bosnya. “Selamat Pagi, Pak Candra.” Candra hanya mengangguk menanggapi sapaan Dina. “Kenapa terlambat, kami sudah menunggu dari tadi,” tanya Hayu, pada sekretaris Sean yang juga sahabat baiknya “Maaf, Hayu, Pak Sean mendadak harus berangkat ke Macau pagi ini, jadi saya yang akan menggantikan beliau.” “Kalau begitu, ayo kita mulai meetingnya.” Candra berubah menjadi dingin dan tegas begitu bersama klien. Berbanding terbalik saat bersama Hayu. Mereka mendiskusikan kerja sama yang akan mereka lakukan. Tepat ketika jam makan siang, meeting selesai. “Sebaiknya kita makan siang dulu, baru kembali ke kantor,” tawar Candra pada dua sekretaris di depannya itu. “Maaf, Pak. Sebelumnya terima kasih, tapi saya harus kembali ke kantor karena setelah makan siang
Hayu masih bingung dengan perkataan bosnya itu, hingga saat Candra mengajaknya pergi dari sana, Mami Bisma keluar bersama Jelita dan Bisma. Sepertinya mami Bisma sengaja membiarkan Hayu melihat permainan yang sedang dimainkannya. Yang seolah menujukan bahwa sosok jelita yang lebih pantas mendampingi Bisma ketimbang dirinya. Bisma diam saja ketika maminya menggandengkan tangganya dengan tangan Jelita. Jelita yang sudah lama menyukai Bisma tersenyum bahagia. Dia juga merasa senang karena Candra melihat itu semua. Menunjukan pada Candra bahwa di berhasil mendekati Bisma Adibrata, lelaki yang sudah sejak lama dia sukai. Candra mendekati Hayu dan berbisik di telinga Hayu, “Sekarang kamu sudah mengerti apa yang aku katakan bukan?” Seperti tersihir, dia menganggukkan kepalanya. Memang benar yang dikatakan Candra, dia harus menyiapkan mental, setelah ini bisa dipastikan cobaan akan semakin berat. Rasanya dia memang perlu stok sabar dan juga menjaga kewarasannya.
Jelita menghela nafas kasar, melanjutkan perkataannya yang terkesan lebih dominan ketimbang Bisma.“Semua yang kamu lakukan akan jadi pembicaraan publik yang akan berlangsung terus-menerus. Don’t be stupid, Bisma! Jadi siapa wanita itu, siapa wanita yang jadi pesaingku?”Bisma mendengus kasar, mana mungkin maminya tak memberitahukan Jelita, sepertinya tidak mungkin. Atau memang maminya menutupi Hayu, karena dia malu Bisma berhubungan dengan Hayu. Pikiran Bisma berkecamuk, antara mau memberitahukan Jelita atau tidak. Namun setelah menimbang-nimbang sebaiknya dia tidak mengatakan apapun pada jelita.“Nanti kamu juga akan tahu, sudahlah, aku mau bekerja lagi, kalau kamu jadi mengajakku pergi kamu datang saja menjemputku, barangkali kamu juga rindu dengan Candra dan mau melepaskan kerinduan kalian,” ucap Bisma mengejek Jelita.“Nggak usah aneh-aneh, sekarang kamu yang jadi calon suamiku!”Bisma berdecak k
Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Bisma keluar dari ruangannya, hendak menemui Hayu dan mengajaknya pulang, banyak hal yang ingin dia bicarakan. Sayangnya orang yang baru saja dia pikirkan itu terlihat sedang bersama seseorang. “Jelita?” Hayu sedang bersama Jelita saat Bisma mulai mendekat, sepertinya obrolan mereka asyik sekali, sampai-sampai tak tahu jika Bisma sudah ada di belakang mereka. Jelita yang mulai sadar, segera menyambut Bisma dan menggandeng tangganya. “Kita mau ke mana, kamu bilang kamu lagi stres, aku sudah datang ke sini, lho. Kamu menyuruhku menjemputmu, tadi? Finally aku udah di sini, Bisma,” ucapnya manja. Bisma tidak fokus dengan apa yang dikatakan Jelita, dia malah menatap Hayu yang juga sedang menatapnya. Mata Hayu menampakkan kebenciannya. Hayu sakit hati melihat pemandangan yang ada di hadapannya. Untungnya Candra yang hendak pulang melihat sekretarisnya itu sedang menyaksikan adegan dua insan yang tak tahu diri itu. Candra seg