Hayu mendesah, apalagi yang akan dia alami kali ini, dia berdoa dalam hati semoga semuanya baik-baik saja. Dia tidak mau, kalau Candra tahu apa yang terjadi pada hubungan mereka.
Candra keluar dari mobilnya berjalan beriringan dengan Hayu masuk ke dalam restoran.
“Lewat sini, Pak Candra,” ucap Hayu menunjukkan jalan. Ternyata mereka datang terlebih dahulu. Malang tak dapat di tolak, tempat mereka duduk, ternyata berdekatan dengan mami Bisma, hanya saja terhalang sekat.
“Aku pikir kita terlambat, nyatanya sampai di sini mereka masih belum datang. Kamu yakin jam 10 mereka datang? Kamu sudah mengkonfirmasi lagi jadwal kita bukan?”
“Tentu saja sudah, Pak. Mungkin saja macet, jadi mereka agak terlambat.”
“Hem, kalau begitu, aku pergi ke toilet dulu sebentar. Kamu nggak apa-apa, kan, saya tinggal sendirian, jangan merindukan aku, ya.” Candra menggoda sekretarisnya itu, tersenyum dan berlalu meninggalkan Hayu sendiri. Pergi ke toilet menuntaskan hajatnya.
Hayu mengeluarkan ponselnya, sembari menunggu bos dan kliennya, dia menyibukkan diri dengan ponselnya. Namun kedatangan Mami Bisma menginterupsi Hayu.
“Jadi selain menggoda anak saya, kamu juga menggoda Candra, atasan kamu itu? Mau pansos kamu, ya. Sudah lelah hidup miskin? Mau langsung naik status sosial dengan mendekati orang-orang kaya seperti kami!”
Hati Ayara sakit mendengarnya, kalau bukan mami Bisma yang mengucapkan kata-kata itu, dia pasti akan menjawabnya. Hayu diam, tak menjawab perkataan Bu Ayu. Kecantikan Bu Ayu tidak sepadan dengan kecantikan hatinya.
“Kenapa diam, benar bukan apa yang saya katakan, kamu mendekati anak saya karena ingin uangnya bukan? Karena kamu dan Ibu kamu, ingin hidup enak? Jangan mimpi!”
“Tidak, Bu,” jawab Hayu akhirnya. Dia jengah dengan ucapan Bu Ayu.
“Selamat pagi, Tante Ayu,” sapa Candra ramah. Padahal dari kejauhan Candra melihat semua yang dilakukan Bu Ayu pada sekretarisnya.
Dengan segera Bu Ayu memasang wajah semanis mungkin. “Pagi, Nak Candra, apa kabarnya?”
“Baik, Tante.”
“Tante harap, anak saya bekerja dengan baik di sana, dan tidak melakukan hal yang bisa membuat malu keluarga.”
Candra berpura-pura tidak tahu menahu ucapan Bu Ayu, “Maksud Tante apa? Saya benar-benar tak mengerti.”
Bu Ayu tersenyum lagi, berbeda ketika berbicara dengan Hayu. Dia memancarkan aura malaikat tak bersayap kali ini. “Tante hanya khawatir, dia lupa siapa dirinya karena menikmati peran di perusahaan kamu. Ngomong-ngomong bagaimana kabar Papi dan Mamimu, semuanya sehat?”
“Iya, Tante, semuanya sehat. Tante sedang apa di sini? Tante kenal dengan sekretaris saya?” tanya Candra meyakinkan kecurigaannya tentang Hayu dan Bu ayu.
“Ah, tidak. Tante tidak mengenalnya, hanya kebetulan Tante bertanya padanya, karena tadi melihat kamu dan ingin menyapa.”
Duaar!
Hati Hayu rasanya seperti tersayat sembilu, perih. Dia tak diakui sama sekali, sekedar mengakui mereka kenal, pun tidak. Hayu yang sempat kecewa, segera memasang wajah datar, dia tidak mau Candra tahu apa yang terjadi dengan mereka.
“Candra pikir, Tante mengenalnya, ini sekretaris saya Tante, kenalkan namanya Hayu, cantik ya Tante, Hayu ini sekretaris saya yang paling rajin dan baik hati, tidak pernah berbuat aneh-aneh, benar-benar menantu idaman. Eh, saya kok jadi promosi sekretaris saya, maaf Tante.”
Bu Hayu yang menahan kesal, tetap tersenyum semanis mungkin.
“Tidak apa-apa, Nak Candra. Kamu ini baik sekali, jangan sampai segala kebaikan kamu dimanfaatkan orang lain. Sekarang ini yang terlihat baik, belum tentu baik, jadi kamu harus berhati-hati.”
Candra tersenyum dan mengangguk, mulai mengerti ke mana arah pembicaraan Bu Ayu. Sekarang dia yakin kalau Bu Ayu memang tidak menyukai Hayu sebagai calon istri Bisma. Tapi Candra sudah tidak kaget jika mereka menolak Hayu. Bu Ayu, tentu saja akan memilih wanita yang sederajat dengan mereka, gayanya yang selangit, gengsinya tinggi, membuatnya tidak mau diremehkan oleh kolega dan teman-teman sosialitanya.
“Terima kasih, sudah perhatian dengan saya, Tante. Tapi, saya tahu mana yang benar-benar baik dan tulus dan mana yang memanfaatkan saya, jadi Tante tidak perlu khawatir dengan saya.”
“Baguslah, kalau begitu. Oh ya, mungkin sebentar lagi Bisma akan keluar dari Hardana Grup. Sekarang sudah saatnya, dia pindah ke perusahaannya sendiri, jadi kamu harus segera mencari penggantinya, Nak.”
Candra mengangguk, “Baik, tapi Bisma belum mengatakan apapun pada saya, Tante. Kenapa kesannya terlalu terburu-buru, Tante.”
Bu Ayu diam berpikir mencari alasan yang tepat untuk dia katakan kepada Candra, dia tidak mau candra curiga.
“Tante dan Om sudah berdiskusi, sebaiknya dia belajar mengurus perusahaannya sendiri, Om juga sudah ingin pensiun, biar punya banyak waktu untuk keluarga. Siapa tahu nanti setelah Bisma mengurus perusahaan sendiri dia bisa jadi mengurus rumah tangganya, mengurus istrinya.”
Ada rasa perih di hati Hayu mendengarnya, bagaimana bisa memintanya berjuang, sementara sebelum berjuang, bom itu sudah meluluh lantakkan benteng yang dia miliki.
“Wah, bagus itu, tante. Setahu saya dia sudah punya pacar, meskipun saya kurang tahu siapa wanita yang dia cintai,” ucap Bisma melirik ke arah Hayu.
Saat ini Hayu ingin membunuh Bisma, dia seperti memberi garam di atas lukanya yang sedang mengangga. Perih!
Hayu melotot ke arah Candra, atasannya yang kurang ajar dan keponya melebihi presenter akun gosip sungguh membuatnya naik pitam. Sejurus kemudian dia ingat bahwa Candra adalah atasannya, jadi dia tidak bisa berbuat apapun. Dia bergidik ngeri jika mengingat ancaman Candra tentang potong gaji.
Bu ayu tertawa, “Setahu Tante, Bisma belum memiliki kekasih, Bisma anak yang penurut, jadi mana mungkin dia memiliki kekasih tanpa sepengetahuan Tante.”
Deg!
Hayu semakin sakit hati mendengarnya, berarti kedatangannya ke rumah Bu Ayu tak dianggapnya sama sekali, sampai-sampai dia mengatakan kalau Bisma belum memiliki kekasih. Definisi sakit, tapi tak berdarah, itu yang sekarang dia rasakan lagi.
“Anak itu memang bisa dibanggakan ya, Tan. Salut Candra dengannya, kalau Candra memiliki kekasih, pasti sudah Candra kenalkan sama Mama, biar Mama nggak repot menjadwalkan Candra melakukan kencan buta,” ucap Candra terkekeh.
Bu Ayu ikut tertawa mendengarnya, “Kalau begitu, Tante permisi dulu, ya. Kasihan teman-teman Tante, sudah menunggu Tante dari tadi.”
Bu Ayu berpamitan pada Candra tanpa menatap Hayu, apalagi menyapanya. “Selamat bersenang-senang, Tante Ayu.”
Candra mengulurkan tangan dan mencium punggung tangan Bu Ayu dengan sopan. Melihatnya seperti itu Hayu membatin, betapa beruntungnya wanita yang berhasil meluluhkan hati Candra.
Bu Ayu meninggalkan mereka, mereka duduk kembali. “Hayu, ada kabar dari mereka? Kenapa mereka masih belum sampai juga, ini sudah terlambat dua puluh menit, kamu tahu, kan, aku tidak suka mereka yang tidak menghargai waktu dan terlambat.”
“Sebentar, Pak, saya hubungi dulu sekretarisnya.”
Candra mengangguk, Saat mereka sedang sibuk dengan ponsel masing-masing, seseorang memanggil Hayu.
Hayu yang sedang menatap ponselnya menoleh ke arah sumber suara. Sekretaris Sean memanggilnya. Hayu melambaikan tangan. Dina menghampiri sahabatnya itu, tak lupa menyapa atasan Hayu yang juga rekan kerja bosnya. “Selamat Pagi, Pak Candra.” Candra hanya mengangguk menanggapi sapaan Dina. “Kenapa terlambat, kami sudah menunggu dari tadi,” tanya Hayu, pada sekretaris Sean yang juga sahabat baiknya “Maaf, Hayu, Pak Sean mendadak harus berangkat ke Macau pagi ini, jadi saya yang akan menggantikan beliau.” “Kalau begitu, ayo kita mulai meetingnya.” Candra berubah menjadi dingin dan tegas begitu bersama klien. Berbanding terbalik saat bersama Hayu. Mereka mendiskusikan kerja sama yang akan mereka lakukan. Tepat ketika jam makan siang, meeting selesai. “Sebaiknya kita makan siang dulu, baru kembali ke kantor,” tawar Candra pada dua sekretaris di depannya itu. “Maaf, Pak. Sebelumnya terima kasih, tapi saya harus kembali ke kantor karena setelah makan siang
Hayu masih bingung dengan perkataan bosnya itu, hingga saat Candra mengajaknya pergi dari sana, Mami Bisma keluar bersama Jelita dan Bisma. Sepertinya mami Bisma sengaja membiarkan Hayu melihat permainan yang sedang dimainkannya. Yang seolah menujukan bahwa sosok jelita yang lebih pantas mendampingi Bisma ketimbang dirinya. Bisma diam saja ketika maminya menggandengkan tangganya dengan tangan Jelita. Jelita yang sudah lama menyukai Bisma tersenyum bahagia. Dia juga merasa senang karena Candra melihat itu semua. Menunjukan pada Candra bahwa di berhasil mendekati Bisma Adibrata, lelaki yang sudah sejak lama dia sukai. Candra mendekati Hayu dan berbisik di telinga Hayu, “Sekarang kamu sudah mengerti apa yang aku katakan bukan?” Seperti tersihir, dia menganggukkan kepalanya. Memang benar yang dikatakan Candra, dia harus menyiapkan mental, setelah ini bisa dipastikan cobaan akan semakin berat. Rasanya dia memang perlu stok sabar dan juga menjaga kewarasannya.
Jelita menghela nafas kasar, melanjutkan perkataannya yang terkesan lebih dominan ketimbang Bisma.“Semua yang kamu lakukan akan jadi pembicaraan publik yang akan berlangsung terus-menerus. Don’t be stupid, Bisma! Jadi siapa wanita itu, siapa wanita yang jadi pesaingku?”Bisma mendengus kasar, mana mungkin maminya tak memberitahukan Jelita, sepertinya tidak mungkin. Atau memang maminya menutupi Hayu, karena dia malu Bisma berhubungan dengan Hayu. Pikiran Bisma berkecamuk, antara mau memberitahukan Jelita atau tidak. Namun setelah menimbang-nimbang sebaiknya dia tidak mengatakan apapun pada jelita.“Nanti kamu juga akan tahu, sudahlah, aku mau bekerja lagi, kalau kamu jadi mengajakku pergi kamu datang saja menjemputku, barangkali kamu juga rindu dengan Candra dan mau melepaskan kerinduan kalian,” ucap Bisma mengejek Jelita.“Nggak usah aneh-aneh, sekarang kamu yang jadi calon suamiku!”Bisma berdecak k
Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Bisma keluar dari ruangannya, hendak menemui Hayu dan mengajaknya pulang, banyak hal yang ingin dia bicarakan. Sayangnya orang yang baru saja dia pikirkan itu terlihat sedang bersama seseorang. “Jelita?” Hayu sedang bersama Jelita saat Bisma mulai mendekat, sepertinya obrolan mereka asyik sekali, sampai-sampai tak tahu jika Bisma sudah ada di belakang mereka. Jelita yang mulai sadar, segera menyambut Bisma dan menggandeng tangganya. “Kita mau ke mana, kamu bilang kamu lagi stres, aku sudah datang ke sini, lho. Kamu menyuruhku menjemputmu, tadi? Finally aku udah di sini, Bisma,” ucapnya manja. Bisma tidak fokus dengan apa yang dikatakan Jelita, dia malah menatap Hayu yang juga sedang menatapnya. Mata Hayu menampakkan kebenciannya. Hayu sakit hati melihat pemandangan yang ada di hadapannya. Untungnya Candra yang hendak pulang melihat sekretarisnya itu sedang menyaksikan adegan dua insan yang tak tahu diri itu. Candra seg
“Aku sudah selesai makan, mau ke toilet, dan tak sengaja melihat kalian di sini, jadi sebagai kawan, tentu saja aku menyapa kalian. Ngomong-ngomong terima kasih tawarannya, Jel. Tapi sayangnya aku tidak tertarik!” Candra seolah memanasi mereka berdua. “Kamu! Apa kamu masih menyimpan rasa bencimu untukku!” seru Jelita menatap Candra. Menelisik, mencari kebohongan di bola matanya. Sungguh Jelita kecewa, tak ada tatapan penuh cinta yang terlihat di mata Candra seperti dulu, saat dia begitu menyukai Jelita. Entah kenapa Jelita merasa kecewa, padahal dia lebih menyukai Bisma ketimbang Candra. “Aku tidak mau membuang waktu dan energiku untuk membenci seseorang, Jelita. Kamu tahu itu. Kita sudah lama berteman jadi kamu tahu bagaimana watakku,” ucapnya santai. Dia melenggang pergi meninggalkan Bisma dan juga Jelita. Bisma menoleh menatap Jelita, “Apa kamu kecewa karena dia sudah tidak mencintaimu lagi? Jadi sebenarnya siapa yang kamu pilih di antara kami, Jel. Tolong
Dengan kecepatan penuh dia melesat. Sampai di rumah, maminya sudah menunggunya di pintu sembari berkacak pinggang. Seseorang yang bersembunyi di belakang maminya keluar, menatap tajam ke arahnya. “Apa kabar, Nak. Sudah cukup main-mainnya. Masuk, banyak hal yang mau papi dan mami katakan padamu!” Bak kerbau di cocok hidungnya, Bisma mengekori langkan kedua orang yang paling disayanginya itu. “Duduk!” Tak berani membantah perintah papinya, dia duduk di sofa, berhadapan dengan maminya. “Kamu tahu kesalahan kamu?” tanya Adibrata pada putra satu-satunya itu. Bisma diam membisu, dia tercekat, dia tahu ini ada hubungannya dengan Hayu. Padahal baru saja, dia meminta Hayu untuk berjuang bersamanya, bahkan besok akan menjemputnya dan mengajak Hayu datang ke rumah. “Jawab, Papi, Bisma. Kamu pasti tahu apa yang Papi maksud bukan?” “Pi, beri dia kesempatan, kalian bahkan belum mengenalnya terlalu jauh, kenapa secepat itu menjatuhkan keputusan.” Bisma hampir pu
Bisma melemparkan ponselnya begitu saja. Pikirannya menerawang, dia teringat dengan Hayu, teringat akan janjinya pada kekasihnya untuk menjemputnya besok pagi. Bisma keluar kamar, dia ingin bicara dengan Maminya. Ingin mengatakan pada maminya, jika dia akan mengajak Hayu ke rumah esok hari. Baru saja dia membuka pintu kamarnya, seseorang yang familier itu memanggilnya. “Bisma!” “Lho, kok kamu ada di kamar tamu, kamu menginap di sini? Kamu bukannya pulang ke apartemen kamu?” Mendadak tubuhnya terasa berat, dia seperti baru saja tertimpa batu yang besar, ingin mengumpati Jelita saat itu juga. Tapi sayang, hal itu tak urung dilakukannya. Di rumahnya ada aturan di larang mengumpat dan berbicara kasar, jika ada yang melanggarnya, maka sanksi yang diterimanya adalah penarikan black card selama sebulan. “Mami memintaku menginap di sini malam ini, Mami bilang besok ingin mengajakku membuat cookies. Ya, aku mana mungkin menolaknya." Bisma tercengang mendengarnya, ingi
“Aku mau pulang ke apartemen, bukan ke rumah Mamiku Bisma!” serunya kesal. Dia menoleh ke arah Bisma yang diam, dia tahu Bisma sedang kesal padanya juga. Hening tak ada pembicaraan lagi, hingga suara dering ponsel berdering memekakkan telinga mereka berdua. Bisma melirik ponselnya, Hayu menelepon. Dengan gesit Jelita mengambil dan hendak menjawab telepon Bisma. Bisma menyambar ponselnya dengan tangan kirinya, tidak peduli jika menyakiti Jelita. Segera dia mematikan ponselnya, dia tak mau Jelita menjawab telepon Hayu, dan berakhir pada salah paham dengan Hayu. “Kamu menyakiti aku!” teriaknya kesal. “Kamu lancang, kamu mau menjawab telepon dari Hayu. Kamu tahu kita punya privasi!” Jelita tak menjawab, dia tahu dia memang salah. Tapi dia kesal sekali dengan Bisma, entah kenapa hatinya yang tadinya tidak peduli pada hubungan lelaki itu dengan wanita lain biasa saja, sekarang berubah menjadi rasa tidak suka. Setelah tahu siapa perempuan yang dicintai calon suaminya itu. G
Mama Candra terkekeh geli melihat reaksi putranya. Dia menaik -turunkan kedua alisnya, menggoda putranya yang tersenyum-senyum tipis, mempertahankan gengsinya. “Mama nggak pulang? Bukankah ada sesuatu yang mau Mama kerjakan?” “Jadi kamu mengusir Mama? Mau jadi anak durhaka, mau mama kutuk kalian cepat punya anak?” Mama Candra berpura-pura marah pada putranya, tapi sejurus kemudian di terkekeh, dia tahu putranya sengaja mengusirnya. Mama Candra menyeruput tehnya dan menatap Hayu. “Nduk, Mama lupa, Mama ada janji dengan teman-teman arisan Mama. Mama pulang dulu, ya, titip Candra, dia suka nakal kalau nggak ada Mama. Kalau dia macam-macam denganmu bilang Mama, biar langsung Mama nikahkan sama kamu, Nduk.” Hayu ingin tertawa, tapi dia berusaha menahannya dengan melipat kedua bibirnya ke dalam. Dia mengangguk merespons mama Candra. Melihat wajah Hayu yang bersemu merah, Mama Candra tersenyum senang. Apalagi putranya, dia gemas sekali melihat Hayu tersipu malu-malu. Hayu mencium
Hayu tertawa geli, dia hanya bercanda, tapi reaksi yang ditunjukkan Jelita padanya menurutnya terlalu berlebihan. “Hei aku hanya bercanda, kenapa kamu seserius itu. Nikmati saja waktumu, toh aku tidak pergi ke mana-mana.” Jelita menghela nafas lega, dia pikir sudah mengganggu Hayu sehingga dia mengusirnya. Jelita menyeruput kopinya dan memakan kembali kue buatan ibu Hayu yang sejak tadi membuat air liurnya menetes. Jelita memasukkan kue basah dengan warna dan aroma pandan ke dalam mulutnya. Baru saja dia mengunyahnya, suara yang sangat familiar menyapa telinganya. “Lho, Jelita, kamu kok di sini, Nak?” Jelita tersedak, Hayu melesatkan tangannya cepat, mengulurkan kopi milik Jelita. “Hati-hati, minumlah, jangan menyepelekan tersedak, itu bisa membuatmu mati!” Mendengar kalimat yang terlontar dari mulut Hayu barusan, malah semakin membuat Jelita terbatuk-batuk. Mami Candra yang memiliki hati yang lembut pun segera menghampiri Jelita dan mengusap punggung gadis itu hingga b
Bisma mengetuk pintu kaca mobil Jelita. Mau tak mau Jelita menurunkan kaca pintu mobil miliknya. Dia tak mengerti dengan sikap Bisma. Bukankah kekasihnya itu sudah jelas-jelas mengatakan hal yang tak bisa dia harapkan sama sekali. Lalu untuk apa dia mengejarnya hingga kemari. “Ada apa, Mami sudah menjelaskan segalanya. Semuanya sudah berakhir bukan? Apa yang ingin kamu katakan padaku kali ini, rasanya tak mungkin kamu berubah pikiran.” “Maafkan aku, Jelita, semuanya harus berakhir begini, aku masih pada keputusan yang sama. Hati-hati di jalan.” Jelita menghela nafas, Bisma tak mengubah keputusannya. Jelita tak ingin menjawab perkataan Bisma selain anggukan kecil yang ditunjukkan sebagai respons darinya. Jelita tak peduli Bisma masih berdiri di sana. Dia memilih meninggalkan tempat yang saat ini tak ingin dia pijak. Tempat di mana dia menaruh harapan kosong, dengan pintalan asa yang berantakan. Melajukan kendaraannya di jalanan, berbaur dengan kendaraan lainnya. Selama perjalanan pu
Jelita geming, menunggu jawaban dari calon suaminya, sementara Nyonya Adibrata dengan sengaja membuang muka menghindari tatapan calon menantunya. Seketika Jelita sudah bisa menebak apa yang akan terjadi selanjutnya. Alih-alih mendapatkan jawaban dari orang yang saat ini menjadi tumpuan harapannya, dia lebih memilih untuk keluar dari ruang rawat inap Bu Ayu. Dengan langkah gontai dan kepala yang tertunduk lesu, dia meraih handle pintu dan berusaha keluar dari kamar itu. Jelita terduduk di kursi yang berada di luar ruangan. Saat ini dia tak tahu, apalagi yang harus dilakukannya. Terkadang hidup memang selucu itu, dia dikecewakan orang yang paling dekat dengannya sendiri. Harapan yang terlalu tinggi, kini mengkhianatinya bertubi-tubi. Membuatnya terpuruk di tengah badai, terombang-ambing hingga ke palung dasar rasa kecewanya. Tak dia nyana sama sekali Bisma keluar, Jelita menoleh ke arahnya. Bisma mendudukkan tubuhnya di sebelah Jelita. Dia menghela nafas panjang dan dalam, seolah ingi
“Boleh aku masuk? Apa aku mengganggumu? Aku hanya membutuhkan waktu sebentar denganmu. Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan padamu. Apa kamu sudah sarapan?” Chandra menunjukkan kotak makannya pada Jelita. “Jadi aku mengganggumu, kamu sedang sarapan, ya. Apa sebaiknya aku pergi saja.” “Tidak perlu, sebaiknya sekarang saja kamu katakan apa yang ingin kamu katakan, sebentar lagi aku akan bertemu dengan klien.” “Apa benar kalian melihat Mamiku dan Papi Bisma bersama? Tolong katakan yang sejujurnya padaku. Aku sempat mendengar mereka membicarakan Mami dan juga Pak Adibrata. Jadi sebenarnya apa yang terjadi. Apakah kecurigaanku itu memang benar terjadi? Bukankah kalian sempat bertemu mereka berdua?” Candra bingung, dia tak tahu harus menjawab apa. Kalau dia mengatakan iya, Candra tak ingin melihat Jelita kecewa. Bagaimanapun Jelita pernah hadir di dalam hatinya dan sempat bertakhta di sana. Namun, di satu sisi dia tidak ingin membohongi Jelita, sebab bagaimanapun juga Jelita harus tahu
Mau tak mau Hayu pun membuka matanya, Dia malu sekali karena ketahuan oleh Candra. Candra tersenyum melihat Hayu membuka mata. “Apa kamu menginginkan sesuatu atau kamu mau sarapan apa? Mungkin aku bisa membelikannya untukmu." Hayu menggelengkan kepalanya, “Tidak perlu repot-repot, Ibu pasti sudah memasakkan sesuatu untuk kita, aku sudah bilang padamu bukan, kalau hari ini, aku ingin di rumah saja.” Candra mengangguk, “Tentu saja, bukankah aku sudah berjanji padamu kemarin, kalau hari ini kamu bisa mengambil cuti. Fokuslah pada kesehatanmu terlebih dahulu, baru kamu masuk kerja, toh semuanya sudah aku selesaikan. Bisma juga sudah menandatangani semua yang kita butuhkan. Kalau kamu menginginkan sesuatu atau kalau kamu membutuhkan bantuanku, kamu tinggal meneleponku dan aku akan secepat mungkin datang kemari. Sekarang aku harus pergi ke kantor.” Hayu mengangguk. Namun sejurus kemudian ibu Hayu sudah berada di ambang pintu kamar Hayu. “Sarapan dulu sebelum kamu pergi ke kantor, kamu
Candra mengantarkan Hayu pulang ke rumahnya. Ibunya tampak sudah menunggunya di depan pintu, beliau kaget melihat putrinya yang datang dengan wajah yang pucat dan lemas. Bahkan Candra memapahnya. Ibu Hayu pun bertanya “Apa yang terjadi dengan Hayu, dia kenapa, Ndra? Apakah dia sakit. Ayo bawa dia masuk cepat, dan biarkan dia beristirahat di kamarnya. Kamu bisa membantu Ibu mengantarkannya ke kamar, kan? Ibu akan mengambilkan air hangat untuknya.” Candra pun mengangguk, dia menggendong Hayu naik ke kamarnya, menidurkannya di ranjang dan menyelimutinya. “Kamu tahu, Dokter bilang apa padaku? Dia bilang kamu banyak pikiran. Kenapa kamu tidak bercerita tentang sesuatu yang kamu rasakan kepada orang lain, apa kamu tidak takut, jika itu akan selalu membebanimu dan membuatmu berpikir tentang yang hal yang tidak-tidak? Apa kamu tidak takut, jika itu akan berimbas pada mentalmu dan membuatmu harus mengunjungi psikiater?” Hayu menggeleng, “Aku tak tahu harus mengatakan apa, aku sudah berusa
Candra kaget melihat Bisma yang juga ada di sana. “Siapa yang sakit, Ndra.” “Hayu. Kamu sedang apa di sini?” tanya Candra kembali, bukannya tadi mereka baru saja bertemu dan sekarang, mereka juga bertemu lagi di tempat yang sama. Dunia memang sempit, sekeras apa pun dia menghindar, mantan kekasih Hayu ini, selalu ada di mana-mana. "Hayu kenapa? Sakit apa? Bagaimana keadaannya? Apa aku bisa menjenguknya?" “Aldi bilang dia hanya lelah dan juga banyak pikiran, apa nggak sebaiknya, kamu jangan bertemu dengannya dulu, bukan apa-apa, hanya saja aku khawatir kalau ternyata dia banyak pikiran karena masalah kalian. Kamu tahu sendiri, Hayu bukan orang yang suka mengeluarkan keluh kesahnya pada orang lain. Jadi daripada pikirannya semakin terbebani, mendingan kamu menjauh darinya. Aku tidak mau terjadi apa-apa dengannya, apalagi kalau dia sampai harus ke psikiater, please. Lihatlah saja Hayu dari kejauhan, lepaskan dia dari siksa yang sudah kalian lakukan padanya, kata-kata merendahkan a
Hayu yang kelelahan malah tertidur di sofa depan televisi. Candra yang melihatnya pun membetulkan posisi tidurnya dan mengatur suhu AC di ruangan itu, sementara itu, dia masih berkutat dengan masakannya yang masih belum matang.Ponsel Hayu berdering, Hayu sama sekali tak terganggu dengan deringan ponselnya yang cukup memekakkan telinga. Dengan sigap Candra mengambil ponsel Hayu dan melihat siapa yang meneleponnya. Ibu Hayu menelepon. Candra bingung antara ingin menjawab panggilan itu atau tidak, takut jika sang pemilik ponsel marah dengannya. Akhirnya dia putuskan, untuk tak menjawabnya. Dia lebih memilih menelepon ibu Hayu menggunakan ponselnya.Sungguh definisi lelaki idaman. Candra menelepon sembari menunggu steik yang di masaknya matang dengan kematangannya medium rare.Akhirnya setelah menunggu hampir lima menit Ibu Hayu mengangkat teleponnya, “Halo, Bu. Maaf Candra mengganggu Ibu, saat Hayu sedang tidur, nanti mungkin setelah makan malam, Candra akan men