Hayu mendesah, apalagi yang akan dia alami kali ini, dia berdoa dalam hati semoga semuanya baik-baik saja. Dia tidak mau, kalau Candra tahu apa yang terjadi pada hubungan mereka.Candra keluar dari mobilnya berjalan beriringan dengan Hayu masuk ke dalam restoran.“Lewat sini, Pak Candra,” ucap Hayu menunjukkan jalan. Ternyata mereka datang terlebih dahulu. Malang tak dapat di tolak, tempat mereka duduk, ternyata berdekatan dengan mami Bisma, hanya saja terhalang sekat.“Aku pikir kita terlambat, nyatanya sampai di sini mereka masih belum datang. Kamu yakin jam 10 mereka datang? Kamu sudah mengkonfirmasi lagi jadwal kita bukan?”“Tentu saja sudah, Pak. Mungkin saja macet, jadi mereka agak terlambat.”“Hem, kalau begitu, aku pergi ke toilet dulu sebentar. Kamu nggak apa-apa, kan, saya tinggal sendirian, jangan merindukan aku, ya.” Candra menggoda sekretarisnya itu, tersenyum dan berlalu meninggalkan Hay
Hayu yang sedang menatap ponselnya menoleh ke arah sumber suara. Sekretaris Sean memanggilnya. Hayu melambaikan tangan. Dina menghampiri sahabatnya itu, tak lupa menyapa atasan Hayu yang juga rekan kerja bosnya. “Selamat Pagi, Pak Candra.” Candra hanya mengangguk menanggapi sapaan Dina. “Kenapa terlambat, kami sudah menunggu dari tadi,” tanya Hayu, pada sekretaris Sean yang juga sahabat baiknya “Maaf, Hayu, Pak Sean mendadak harus berangkat ke Macau pagi ini, jadi saya yang akan menggantikan beliau.” “Kalau begitu, ayo kita mulai meetingnya.” Candra berubah menjadi dingin dan tegas begitu bersama klien. Berbanding terbalik saat bersama Hayu. Mereka mendiskusikan kerja sama yang akan mereka lakukan. Tepat ketika jam makan siang, meeting selesai. “Sebaiknya kita makan siang dulu, baru kembali ke kantor,” tawar Candra pada dua sekretaris di depannya itu. “Maaf, Pak. Sebelumnya terima kasih, tapi saya harus kembali ke kantor karena setelah makan siang
Hayu masih bingung dengan perkataan bosnya itu, hingga saat Candra mengajaknya pergi dari sana, Mami Bisma keluar bersama Jelita dan Bisma. Sepertinya mami Bisma sengaja membiarkan Hayu melihat permainan yang sedang dimainkannya. Yang seolah menujukan bahwa sosok jelita yang lebih pantas mendampingi Bisma ketimbang dirinya. Bisma diam saja ketika maminya menggandengkan tangganya dengan tangan Jelita. Jelita yang sudah lama menyukai Bisma tersenyum bahagia. Dia juga merasa senang karena Candra melihat itu semua. Menunjukan pada Candra bahwa di berhasil mendekati Bisma Adibrata, lelaki yang sudah sejak lama dia sukai. Candra mendekati Hayu dan berbisik di telinga Hayu, “Sekarang kamu sudah mengerti apa yang aku katakan bukan?” Seperti tersihir, dia menganggukkan kepalanya. Memang benar yang dikatakan Candra, dia harus menyiapkan mental, setelah ini bisa dipastikan cobaan akan semakin berat. Rasanya dia memang perlu stok sabar dan juga menjaga kewarasannya.
Jelita menghela nafas kasar, melanjutkan perkataannya yang terkesan lebih dominan ketimbang Bisma.“Semua yang kamu lakukan akan jadi pembicaraan publik yang akan berlangsung terus-menerus. Don’t be stupid, Bisma! Jadi siapa wanita itu, siapa wanita yang jadi pesaingku?”Bisma mendengus kasar, mana mungkin maminya tak memberitahukan Jelita, sepertinya tidak mungkin. Atau memang maminya menutupi Hayu, karena dia malu Bisma berhubungan dengan Hayu. Pikiran Bisma berkecamuk, antara mau memberitahukan Jelita atau tidak. Namun setelah menimbang-nimbang sebaiknya dia tidak mengatakan apapun pada jelita.“Nanti kamu juga akan tahu, sudahlah, aku mau bekerja lagi, kalau kamu jadi mengajakku pergi kamu datang saja menjemputku, barangkali kamu juga rindu dengan Candra dan mau melepaskan kerinduan kalian,” ucap Bisma mengejek Jelita.“Nggak usah aneh-aneh, sekarang kamu yang jadi calon suamiku!”Bisma berdecak k
Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Bisma keluar dari ruangannya, hendak menemui Hayu dan mengajaknya pulang, banyak hal yang ingin dia bicarakan. Sayangnya orang yang baru saja dia pikirkan itu terlihat sedang bersama seseorang. “Jelita?” Hayu sedang bersama Jelita saat Bisma mulai mendekat, sepertinya obrolan mereka asyik sekali, sampai-sampai tak tahu jika Bisma sudah ada di belakang mereka. Jelita yang mulai sadar, segera menyambut Bisma dan menggandeng tangganya. “Kita mau ke mana, kamu bilang kamu lagi stres, aku sudah datang ke sini, lho. Kamu menyuruhku menjemputmu, tadi? Finally aku udah di sini, Bisma,” ucapnya manja. Bisma tidak fokus dengan apa yang dikatakan Jelita, dia malah menatap Hayu yang juga sedang menatapnya. Mata Hayu menampakkan kebenciannya. Hayu sakit hati melihat pemandangan yang ada di hadapannya. Untungnya Candra yang hendak pulang melihat sekretarisnya itu sedang menyaksikan adegan dua insan yang tak tahu diri itu. Candra seg
“Aku sudah selesai makan, mau ke toilet, dan tak sengaja melihat kalian di sini, jadi sebagai kawan, tentu saja aku menyapa kalian. Ngomong-ngomong terima kasih tawarannya, Jel. Tapi sayangnya aku tidak tertarik!” Candra seolah memanasi mereka berdua. “Kamu! Apa kamu masih menyimpan rasa bencimu untukku!” seru Jelita menatap Candra. Menelisik, mencari kebohongan di bola matanya. Sungguh Jelita kecewa, tak ada tatapan penuh cinta yang terlihat di mata Candra seperti dulu, saat dia begitu menyukai Jelita. Entah kenapa Jelita merasa kecewa, padahal dia lebih menyukai Bisma ketimbang Candra. “Aku tidak mau membuang waktu dan energiku untuk membenci seseorang, Jelita. Kamu tahu itu. Kita sudah lama berteman jadi kamu tahu bagaimana watakku,” ucapnya santai. Dia melenggang pergi meninggalkan Bisma dan juga Jelita. Bisma menoleh menatap Jelita, “Apa kamu kecewa karena dia sudah tidak mencintaimu lagi? Jadi sebenarnya siapa yang kamu pilih di antara kami, Jel. Tolong
Dengan kecepatan penuh dia melesat. Sampai di rumah, maminya sudah menunggunya di pintu sembari berkacak pinggang. Seseorang yang bersembunyi di belakang maminya keluar, menatap tajam ke arahnya. “Apa kabar, Nak. Sudah cukup main-mainnya. Masuk, banyak hal yang mau papi dan mami katakan padamu!” Bak kerbau di cocok hidungnya, Bisma mengekori langkan kedua orang yang paling disayanginya itu. “Duduk!” Tak berani membantah perintah papinya, dia duduk di sofa, berhadapan dengan maminya. “Kamu tahu kesalahan kamu?” tanya Adibrata pada putra satu-satunya itu. Bisma diam membisu, dia tercekat, dia tahu ini ada hubungannya dengan Hayu. Padahal baru saja, dia meminta Hayu untuk berjuang bersamanya, bahkan besok akan menjemputnya dan mengajak Hayu datang ke rumah. “Jawab, Papi, Bisma. Kamu pasti tahu apa yang Papi maksud bukan?” “Pi, beri dia kesempatan, kalian bahkan belum mengenalnya terlalu jauh, kenapa secepat itu menjatuhkan keputusan.” Bisma hampir pu
Bisma melemparkan ponselnya begitu saja. Pikirannya menerawang, dia teringat dengan Hayu, teringat akan janjinya pada kekasihnya untuk menjemputnya besok pagi. Bisma keluar kamar, dia ingin bicara dengan Maminya. Ingin mengatakan pada maminya, jika dia akan mengajak Hayu ke rumah esok hari. Baru saja dia membuka pintu kamarnya, seseorang yang familier itu memanggilnya. “Bisma!” “Lho, kok kamu ada di kamar tamu, kamu menginap di sini? Kamu bukannya pulang ke apartemen kamu?” Mendadak tubuhnya terasa berat, dia seperti baru saja tertimpa batu yang besar, ingin mengumpati Jelita saat itu juga. Tapi sayang, hal itu tak urung dilakukannya. Di rumahnya ada aturan di larang mengumpat dan berbicara kasar, jika ada yang melanggarnya, maka sanksi yang diterimanya adalah penarikan black card selama sebulan. “Mami memintaku menginap di sini malam ini, Mami bilang besok ingin mengajakku membuat cookies. Ya, aku mana mungkin menolaknya." Bisma tercengang mendengarnya, ingi