“Boleh aku masuk? Apa aku mengganggumu? Aku hanya membutuhkan waktu sebentar denganmu. Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan padamu. Apa kamu sudah sarapan?” Chandra menunjukkan kotak makannya pada Jelita. “Jadi aku mengganggumu, kamu sedang sarapan, ya. Apa sebaiknya aku pergi saja.” “Tidak perlu, sebaiknya sekarang saja kamu katakan apa yang ingin kamu katakan, sebentar lagi aku akan bertemu dengan klien.” “Apa benar kalian melihat Mamiku dan Papi Bisma bersama? Tolong katakan yang sejujurnya padaku. Aku sempat mendengar mereka membicarakan Mami dan juga Pak Adibrata. Jadi sebenarnya apa yang terjadi. Apakah kecurigaanku itu memang benar terjadi? Bukankah kalian sempat bertemu mereka berdua?” Candra bingung, dia tak tahu harus menjawab apa. Kalau dia mengatakan iya, Candra tak ingin melihat Jelita kecewa. Bagaimanapun Jelita pernah hadir di dalam hatinya dan sempat bertakhta di sana. Namun, di satu sisi dia tidak ingin membohongi Jelita, sebab bagaimanapun juga Jelita harus tahu
Jelita geming, menunggu jawaban dari calon suaminya, sementara Nyonya Adibrata dengan sengaja membuang muka menghindari tatapan calon menantunya. Seketika Jelita sudah bisa menebak apa yang akan terjadi selanjutnya. Alih-alih mendapatkan jawaban dari orang yang saat ini menjadi tumpuan harapannya, dia lebih memilih untuk keluar dari ruang rawat inap Bu Ayu. Dengan langkah gontai dan kepala yang tertunduk lesu, dia meraih handle pintu dan berusaha keluar dari kamar itu. Jelita terduduk di kursi yang berada di luar ruangan. Saat ini dia tak tahu, apalagi yang harus dilakukannya. Terkadang hidup memang selucu itu, dia dikecewakan orang yang paling dekat dengannya sendiri. Harapan yang terlalu tinggi, kini mengkhianatinya bertubi-tubi. Membuatnya terpuruk di tengah badai, terombang-ambing hingga ke palung dasar rasa kecewanya. Tak dia nyana sama sekali Bisma keluar, Jelita menoleh ke arahnya. Bisma mendudukkan tubuhnya di sebelah Jelita. Dia menghela nafas panjang dan dalam, seolah ingi
Bisma mengetuk pintu kaca mobil Jelita. Mau tak mau Jelita menurunkan kaca pintu mobil miliknya. Dia tak mengerti dengan sikap Bisma. Bukankah kekasihnya itu sudah jelas-jelas mengatakan hal yang tak bisa dia harapkan sama sekali. Lalu untuk apa dia mengejarnya hingga kemari. “Ada apa, Mami sudah menjelaskan segalanya. Semuanya sudah berakhir bukan? Apa yang ingin kamu katakan padaku kali ini, rasanya tak mungkin kamu berubah pikiran.” “Maafkan aku, Jelita, semuanya harus berakhir begini, aku masih pada keputusan yang sama. Hati-hati di jalan.” Jelita menghela nafas, Bisma tak mengubah keputusannya. Jelita tak ingin menjawab perkataan Bisma selain anggukan kecil yang ditunjukkan sebagai respons darinya. Jelita tak peduli Bisma masih berdiri di sana. Dia memilih meninggalkan tempat yang saat ini tak ingin dia pijak. Tempat di mana dia menaruh harapan kosong, dengan pintalan asa yang berantakan. Melajukan kendaraannya di jalanan, berbaur dengan kendaraan lainnya. Selama perjalanan pu
Hayu tertawa geli, dia hanya bercanda, tapi reaksi yang ditunjukkan Jelita padanya menurutnya terlalu berlebihan.“Hei aku hanya bercanda, kenapa kamu seserius itu? Nikmati saja waktumu, toh aku tidak pergi ke mana-mana.”Jelita menghela nafas lega, dia pikir sudah mengganggu Hayu sehingga dia mengusirnya. Jelita menyeruput kopinya dan memakan kembali kue buatan ibu Hayu yang sejak tadi membuat air liurnya menetes.Jelita memasukkan kue basah dengan warna dan aroma pandan ke dalam mulutnya. Baru saja dia mengunyahnya, suara yang sangat familiar menyapa telinganya.“Lho, Jelita, kamu kok di sini, Nak?”Jelita tersedak, Hayu melesatkan tangannya cepat, mengulurkan kopi milik Jelita. “Hati-hati, minumlah, jangan menyepelekan tersedak, itu bisa membuatmu mati!”Mendengar kalimat yang terlontar dari mulut Hayu barusan, malah semakin membuat Jelita terbatuk-batuk.Mami Candra yang memiliki hati yang lembut pun segera menghampiri Jelita dan mengusap punggung gadis itu hingga batukny
Mama Candra terkekeh geli melihat reaksi putranya. Dia menaik -turunkan kedua alisnya, menggoda putranya yang tersenyum-senyum tipis, mempertahankan gengsinya..“Mama nggak pulang? Bukankah ada sesuatu yang mau Mama kerjakan?”“Jadi kamu mengusir Mama? Mau jadi anak durhaka, mau mama kutuk kalian cepat punya anak?”Mama Candra berpura-pura marah pada putranya, tapi sejurus kemudian di terkekeh, dia tahu putranya sengaja mengusirnya. Mama Candra menyeruput tehnya dan menatap Hayu.“Nduk, Mama lupa, Mama ada janji dengan teman-teman arisan Mama. Mama pulang dulu, ya, titip Candra, dia suka nakal kalau nggak ada Mama. Kalau dia macam-macam denganmu bilang Mama, biar langsung Mama nikahkan sama kamu, Nduk.”Hayu ingin tertawa, tapi dia berusaha menahannya dengan melipat kedua bibirnya ke dalam. Dia mengangguk merespons mama Candra. Melihat wajah Hayu yang bersemu merah, Mama Candra tersenyum senang. Apalagi putranya, dia gemas sekali melihat Hayu tersipu malu-malu.Hayu menciu
“Jadi, apa pekerjaan kamu?”“Saya sekretaris di Hardana Grup, Bu.”“Jangan panggil saya, Bu. Panggil saya, Nyonya Adibrata.”“Mi!” seru Bisma anak semata wayangnya.“Jangan ikut campur, Bisma!”Malam ini, Bisma memperkenalkan Hayu dengan keluarganya, keluarga Adibrata. Hayu, yang dulu tidak tahu bahwa Bisma termasuk keluarga ningrat, sekarang mulai mengerti. Kenapa selama mereka menjalin hubungan, Bisma tidak pernah membawa Hayu menemui keluarganya. Jarak antara mereka terlalu jauh. Status sosial mereka sungguh berbeda.Hayu mulai sadar ke mana arah pembicaraan orang tua Bisma. Dia berusaha menguatkan hatinya demi lelaki yang dicintainya itu. Dia harus memasang wajah semanis mungkin, meskipun dia tahu, hatinya akan semakin sakit mendengar kalimat demi kalimat yang akan dilontarkan Nyonya Adibrata.Bisma terdiam menerima teguran dari maminya. Nyonya Ayu Adibrata memandangi Hay
Hayu melongo, kenapa mendadak bosnya ada di sini.“Bapak, jelangkung? Datang tak diundang? Kenapa bisa ada di sini?”“Ini jalan raya, yang siapa saja boleh melewatinya, Hayu. Saya sedang lewat dan melihatmu seperti orang gila. Makanya, saya menghampiri kamu. Lagi ada masalah? Bisma ke mana? Kalian lagi berantem?”Hayu yang tadinya sedih, mendadak menjadi kesal karena bosnya, Candra Hardana. Kalau di novel-novel sosok CEO cenderung dingin, tidak bagi sosok Candra, dia selalu mengganggu sekretarisnya itu. Memiliki jiwa kepo akut dan juga komentator yang luar biasa cerewet.“Bapak, kepo! Mending Bapak antar saya pulang, sekarang.”“Berani ya, kamu menyuruh saya, mau saya potong gaji kamu bulan ini!”“Maaf, Pak. Bagaimana saya hidup, kalau gaji saya dipotong. Kasihani saya, Pak.”“Masuk!” perintah Candra pada sekretarisnya itu.Hayu masuk ke dalam mobil Candra.
“Nduk, ada apa dengan kamu dan Bisma? Apa kalian ada masalah, kalian sedang bertengkar? Kenapa kamu pulangnya diantar Pak Candra. Nduk, di dalam sebuah hubungan, wajar jika ada masalah, kalian harus menyelesaikannya biar tidak berlarut-larut.”“Bu, Hayu tidak bertengkar dan juga tidak ada masalah apapun antara kami berdua, Bu.”Seandainya ibu Hayu tahu, apa yang terjadi dengan anaknya di rumah Bisma, Hayu yakin, ibunya pasti akan sangat bersedih. Hayu tidak mau itu terjadi, Hayu tidak ingin melihat ibunya sedih dan merasa bersalah.“Apa kamu yakin? Nduk, ingat, kamu bisa menceritakan semua hal pada Ibu. Kamu satu-satunya yang Ibu miliki di dunia ini. Jangan berbohong pada ibu, Nduk. Perasaan seorang ibu itu peka sekali, Hayu. Ibu hanya menunggu waktu saja, kapan kamu akan menceritakan semua pada Ibu. Ibu mungkin tidak bisa membantumu mengatasi masalah kalian. Tapi setidaknya, hati kamu akan merasa lega, setelah menceritakan semuanya