“Nduk, ada apa dengan kamu dan Bisma? Apa kalian ada masalah, kalian sedang bertengkar? Kenapa kamu pulangnya diantar Pak Candra. Nduk, di dalam sebuah hubungan, wajar jika ada masalah, kalian harus menyelesaikannya biar tidak berlarut-larut.”
“Bu, Hayu tidak bertengkar dan juga tidak ada masalah apapun antara kami berdua, Bu.”
Seandainya ibu Hayu tahu, apa yang terjadi dengan anaknya di rumah Bisma, Hayu yakin, ibunya pasti akan sangat bersedih. Hayu tidak mau itu terjadi, Hayu tidak ingin melihat ibunya sedih dan merasa bersalah.
“Apa kamu yakin? Nduk, ingat, kamu bisa menceritakan semua hal pada Ibu. Kamu satu-satunya yang Ibu miliki di dunia ini. Jangan berbohong pada ibu, Nduk. Perasaan seorang ibu itu peka sekali, Hayu. Ibu hanya menunggu waktu saja, kapan kamu akan menceritakan semua pada Ibu. Ibu mungkin tidak bisa membantumu mengatasi masalah kalian. Tapi setidaknya, hati kamu akan merasa lega, setelah menceritakan semuanya pada Ibu.”
Hayu mengangguk mengerti, “Mungkin tidak sekarang, Bu. Hayu belum siap menceritakannya pada Ibu. Tunggu sampai Hayu bisa mengatasinya terlebih dahulu, jika memang Hayu sudah tidak sanggup, maka Hayu akan berbagi dengan Ibu.”
Bu Tuti mengangguk mengerti, sebaiknya memang dia tidak bertanya terlalu banyak dengan putrinya itu, meskipun dia merasa ada yang di sembunyikan Hayu darinya.
“Bu, Hayu ke kamar dulu. Hayu lelah.”
“Istirahatlah, Nduk. Jangan banyak pikiran dan jaga kesehatan kamu.”
Hayu berjalan memasuki kamarnya, menutup pintu rapat-rapat dan menangis tersedu, dia tidak mau ibunya mendengar dirinya menangis.
Ponselnya bergetar, Bisma meneleponnya. Segera Hayu menjawabnya.
“Halo,” sapa Bisma di seberang sana.
“Halo, Bis malam. Kenapa malam-malam menelepon, apa kamu ingin memastikan aku pulang ke rumah?” canda Hayu, berusaha menutupi kesedihannya.
“Iya, aku tadi menyusulmu, tapi ternyata kamu sudah pergi terlebih dahulu.” Sengaja Bisma memancing Hayu agar menceritakan bahwa dia pulang dengan candra. Sayangnya Hayu tak mengatakannya.
“Hem, benarkah. Aku sudah pulang, Bis.”
“Hayu, maafkan Mami, ya, aku sudah menjelaskan banyak hal pada Mami dan Mami bilang dia akan berusaha mengenal dan menerimamu lagi.”
“Apa harus, aku ke rumah kamu lagi? Aku merasa tak pantas berada di sana, Bisma. Secara tidak nyata Mami menunjukkan jurang yang dalam di antara kita, kita memang berbeda, aku hanya orang biasa Bisma. Kamu bukannya tak tahu ke mana arah pembicaraan Mami, bukan? Kenapa selama ini kamu tidak pernah berterus terang padaku, kalau kamu adalah putra dari pemilik Ardinata L.td. Betapa bodohnya aku, kenapa aku ini, hanya karena mencintaimu, aku tak peduli dengan siapa aku menjalani hubungan.”
“Hayu, please. Aku tidak melihatmu, dari mana kamu berasal, aku hanya mencintaimu dengan segala kekurangan dan kelebihan kamu. Apa salahnya? Kalau selama ini, aku tak pernah jujur dan membuka jati diriku yang sebenarnya, karena aku ingin memiliki pasangan yang tidak melihatku dari harta kekayaanku, melainkan aku ingin memiliki pasangan yang benar-benar tulus mencintaiku tanpa embel-embel apapun. Apa kamu mengerti maksudku?”
“Aku mengerti maksud kamu, tapi semenjak kejadian tadi, hati dan pikiranku mulai terbuka, aku yang hanya rakyat jelata ini, mana mungkin bermimpi menjadi cinderella dalam semalam. Ini bukan cerita dongeng yang biasa aku baca ketika aku kecil, Bisma. Ini real life, yang nyatanya cinderella itu, tidak ada di dunia. Itu hanya kamuflase semata. Hanya ada di film-film Korea, dan cerita cinta kita bukan drama. Apa aku sanggup menghapus garis yang sejak pertama aku bertemu dengan keluargamu, sudah terlihat jelas dan tak mungkin ku hapus?”
“Apa kamu masih mencintaiku? Maukah kamu berjuang denganku? Aku tidak ingin kehilangan dirimu Hayu, setahun kita menjalani hubungan ini dan seperti yang kita inginkan, aku akan membawa kamu ke jenjang yang serius, menikah.”
Hayu diam, mulai berpikir apa dia sanggup menghadapi Bu Ayu Ardinata, rasa cintanya memang besar dengan Bisma, tapi dia tidak mau melakukan hal konyol yang akan semakin menyakiti hatinya.
“Hayu, jawab aku. Apa kamu tidak mau berjuang denganku? Apa kamu ingin mencari penggantiku?”
Hayu berdecak kesal, saat ini yang dia butuhkan adalah seseorang yang mampu menenangkannya, memberinya tempat bersandar, tapi kenyataannya, selama setahun hubungannya dengan Bisma, dia lebih banyak mengalah dan selalu menjadi tempat bersandar Bisma. Kini dia merasa lelah. Dia baru menyadari bahwa batas kesabarannya sedang diambang batas.
Sebagai seorang perempuan dan dibesarkan tanpa ayah, terkadang dia ingin merasakan kasih sayang Bisma, bersandar pada Bisma ketika dia lelah dan jenuh, namun semuanya tak pernah dia dapatkan. Dia yang terbiasa mandiri mampu mengatasi apapun sendiri, sedang Bisma kekasihnya, sering menyandarkan diri pada Hayu, mungkin karena Bisma dibesarkan dengan kehidupan yang tidak pernah kekurangan dan hidup tanpa masalah. Dia juga anak satu-satunya, mungkin karena itu, dia lebih manja ketimbang Hayu. Lelaki yang seharusnya memanjakannya, bukannya terbalik.
“Baiklah, aku akan berjuang demi hubungan kita. Tapi, jika aku merasa tak mampu, mungkin, aku bisa saja menyerah pada hubungan kita. Jangan berpikiran yang macam-macam dan jangan memulai pertengkaran denganku, jangan kekanak-kanakan, aku tidak mencari pengganti kamu, Bisma. Aku lelah, sebaiknya akhiri saja panggilan ini. Atau ada hal lain yang ingin kamu sampaikan padaku lagi?”
“Apa kamu menyerah pada keadaan, Hayu? Aku tak ingin kamu menyerah, karena semuanya tergantung padamu, bagaimana kamu bisa masuk ke dalam kehidupan kami.”
Hayu agak emosi dengan perkataan Bisma, “Jadi aku yang berjuang sendiri atau denganmu. Kalau hanya aku saja, untuk apa? Kamu juga harus membantuku meyakinkan orang tuamu, Bisma.”
Kesal dengan Bisma, Hayu langsung mematikan ponselnya. “Begini rasanya menjadi rakyat jelata, aku pikir kasta itu hanya ada di zaman dulu, nyatanya di zaman modern ini masih ada pemikiran di mana orang kaya harus mendapatkan orang yang kaya juga, harus sederajat, kasihan sekali aku.”
Hayu masuk ke kamar mandi, mengganti pakaiannya dan segera merebahkan tubuhnya. Lelah jiwa dan raganya. Perjuangan baru di mulai, entah esok apalagi yang akan mereka lakukan pada Hayu. Agar Hayu sadar siapa dirinya dan Bisma.
Hayu pasrah, dia hanya berdoa untuk mendapatkan jodoh yang terbaik versi Tuhan. Mulai saat ini dia akan berjaga-jaga dari segala kemungkinan kandasnya hubungan dengan Bisma, meski itu menyakitkan untuknya, tapi dia bisa apa.
Bisma Adibrata, lelaki yang bekerja satu kantor dengan Hayu, bekerja sebagai manajer keuangan di Hardana Grup. Lelaki tampan penuh kharisma yang mampu menggetarkan hati para kaum hawa. Sayangnya pilihannya terjatuh pada Hayu Ayunda, perempuan baik hati nan cantik dan manis, yang ramah, juga lembut. Perempuan yang memiliki kedewasaan yang Bisma butuhkan, mampu membuat Bisma merasa disayangi dan diperhatikan.
"Lelah!"
Pagi ini matahari bersinar cerah sekali, sinarnya yang masuk di antara celah jendela kamar Hayu, membuat Hayu menutupi wajahnya dengan sebelah tangan, dia hampir terlambat. Tidak biasanya dia bangun kesiangan seperti pagi ini. Semalaman dia tidak bisa tidur, berpikir banyak hal tentang hubungannya dengan Bisma. Bu Tuti mengetuk pintu kamar anaknya. “Nduk, Bisma sudah menunggumu di luar.” “Masih berani ke sini rupanya.” Hayu membatin kekasihnya itu. “Ya, Bu. Hayu sedang bersiap-siap,” teriak Hayu berlari ke kamar mandi. Dia harus bergegas kalau tak mau terlambat dan kena omel bosnya yang kepo akut itu. Selesai mandi ala kadarnya, dia bergegas keluar kamar, untungnya dia tidak perlu memakai make up, dia tidak suka. Wajahnya yang cantik hanya menggunakan pelembab dan liptint. Baginya itu sudah cukup. Di anugerahi kulit kuning langsat, membuatnya tidak perlu menempelkan berbagai macam kosmetik. Hayu berpamitan pada ibunya yang masih sibuk membuat kue-kue yang sudah d
Hayu mendesah, apalagi yang akan dia alami kali ini, dia berdoa dalam hati semoga semuanya baik-baik saja. Dia tidak mau, kalau Candra tahu apa yang terjadi pada hubungan mereka.Candra keluar dari mobilnya berjalan beriringan dengan Hayu masuk ke dalam restoran.“Lewat sini, Pak Candra,” ucap Hayu menunjukkan jalan. Ternyata mereka datang terlebih dahulu. Malang tak dapat di tolak, tempat mereka duduk, ternyata berdekatan dengan mami Bisma, hanya saja terhalang sekat.“Aku pikir kita terlambat, nyatanya sampai di sini mereka masih belum datang. Kamu yakin jam 10 mereka datang? Kamu sudah mengkonfirmasi lagi jadwal kita bukan?”“Tentu saja sudah, Pak. Mungkin saja macet, jadi mereka agak terlambat.”“Hem, kalau begitu, aku pergi ke toilet dulu sebentar. Kamu nggak apa-apa, kan, saya tinggal sendirian, jangan merindukan aku, ya.” Candra menggoda sekretarisnya itu, tersenyum dan berlalu meninggalkan Hay
Hayu yang sedang menatap ponselnya menoleh ke arah sumber suara. Sekretaris Sean memanggilnya. Hayu melambaikan tangan. Dina menghampiri sahabatnya itu, tak lupa menyapa atasan Hayu yang juga rekan kerja bosnya. “Selamat Pagi, Pak Candra.” Candra hanya mengangguk menanggapi sapaan Dina. “Kenapa terlambat, kami sudah menunggu dari tadi,” tanya Hayu, pada sekretaris Sean yang juga sahabat baiknya “Maaf, Hayu, Pak Sean mendadak harus berangkat ke Macau pagi ini, jadi saya yang akan menggantikan beliau.” “Kalau begitu, ayo kita mulai meetingnya.” Candra berubah menjadi dingin dan tegas begitu bersama klien. Berbanding terbalik saat bersama Hayu. Mereka mendiskusikan kerja sama yang akan mereka lakukan. Tepat ketika jam makan siang, meeting selesai. “Sebaiknya kita makan siang dulu, baru kembali ke kantor,” tawar Candra pada dua sekretaris di depannya itu. “Maaf, Pak. Sebelumnya terima kasih, tapi saya harus kembali ke kantor karena setelah makan siang
Hayu masih bingung dengan perkataan bosnya itu, hingga saat Candra mengajaknya pergi dari sana, Mami Bisma keluar bersama Jelita dan Bisma. Sepertinya mami Bisma sengaja membiarkan Hayu melihat permainan yang sedang dimainkannya. Yang seolah menujukan bahwa sosok jelita yang lebih pantas mendampingi Bisma ketimbang dirinya. Bisma diam saja ketika maminya menggandengkan tangganya dengan tangan Jelita. Jelita yang sudah lama menyukai Bisma tersenyum bahagia. Dia juga merasa senang karena Candra melihat itu semua. Menunjukan pada Candra bahwa di berhasil mendekati Bisma Adibrata, lelaki yang sudah sejak lama dia sukai. Candra mendekati Hayu dan berbisik di telinga Hayu, “Sekarang kamu sudah mengerti apa yang aku katakan bukan?” Seperti tersihir, dia menganggukkan kepalanya. Memang benar yang dikatakan Candra, dia harus menyiapkan mental, setelah ini bisa dipastikan cobaan akan semakin berat. Rasanya dia memang perlu stok sabar dan juga menjaga kewarasannya.
Jelita menghela nafas kasar, melanjutkan perkataannya yang terkesan lebih dominan ketimbang Bisma.“Semua yang kamu lakukan akan jadi pembicaraan publik yang akan berlangsung terus-menerus. Don’t be stupid, Bisma! Jadi siapa wanita itu, siapa wanita yang jadi pesaingku?”Bisma mendengus kasar, mana mungkin maminya tak memberitahukan Jelita, sepertinya tidak mungkin. Atau memang maminya menutupi Hayu, karena dia malu Bisma berhubungan dengan Hayu. Pikiran Bisma berkecamuk, antara mau memberitahukan Jelita atau tidak. Namun setelah menimbang-nimbang sebaiknya dia tidak mengatakan apapun pada jelita.“Nanti kamu juga akan tahu, sudahlah, aku mau bekerja lagi, kalau kamu jadi mengajakku pergi kamu datang saja menjemputku, barangkali kamu juga rindu dengan Candra dan mau melepaskan kerinduan kalian,” ucap Bisma mengejek Jelita.“Nggak usah aneh-aneh, sekarang kamu yang jadi calon suamiku!”Bisma berdecak k
Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Bisma keluar dari ruangannya, hendak menemui Hayu dan mengajaknya pulang, banyak hal yang ingin dia bicarakan. Sayangnya orang yang baru saja dia pikirkan itu terlihat sedang bersama seseorang. “Jelita?” Hayu sedang bersama Jelita saat Bisma mulai mendekat, sepertinya obrolan mereka asyik sekali, sampai-sampai tak tahu jika Bisma sudah ada di belakang mereka. Jelita yang mulai sadar, segera menyambut Bisma dan menggandeng tangganya. “Kita mau ke mana, kamu bilang kamu lagi stres, aku sudah datang ke sini, lho. Kamu menyuruhku menjemputmu, tadi? Finally aku udah di sini, Bisma,” ucapnya manja. Bisma tidak fokus dengan apa yang dikatakan Jelita, dia malah menatap Hayu yang juga sedang menatapnya. Mata Hayu menampakkan kebenciannya. Hayu sakit hati melihat pemandangan yang ada di hadapannya. Untungnya Candra yang hendak pulang melihat sekretarisnya itu sedang menyaksikan adegan dua insan yang tak tahu diri itu. Candra seg
“Aku sudah selesai makan, mau ke toilet, dan tak sengaja melihat kalian di sini, jadi sebagai kawan, tentu saja aku menyapa kalian. Ngomong-ngomong terima kasih tawarannya, Jel. Tapi sayangnya aku tidak tertarik!” Candra seolah memanasi mereka berdua. “Kamu! Apa kamu masih menyimpan rasa bencimu untukku!” seru Jelita menatap Candra. Menelisik, mencari kebohongan di bola matanya. Sungguh Jelita kecewa, tak ada tatapan penuh cinta yang terlihat di mata Candra seperti dulu, saat dia begitu menyukai Jelita. Entah kenapa Jelita merasa kecewa, padahal dia lebih menyukai Bisma ketimbang Candra. “Aku tidak mau membuang waktu dan energiku untuk membenci seseorang, Jelita. Kamu tahu itu. Kita sudah lama berteman jadi kamu tahu bagaimana watakku,” ucapnya santai. Dia melenggang pergi meninggalkan Bisma dan juga Jelita. Bisma menoleh menatap Jelita, “Apa kamu kecewa karena dia sudah tidak mencintaimu lagi? Jadi sebenarnya siapa yang kamu pilih di antara kami, Jel. Tolong
Dengan kecepatan penuh dia melesat. Sampai di rumah, maminya sudah menunggunya di pintu sembari berkacak pinggang. Seseorang yang bersembunyi di belakang maminya keluar, menatap tajam ke arahnya. “Apa kabar, Nak. Sudah cukup main-mainnya. Masuk, banyak hal yang mau papi dan mami katakan padamu!” Bak kerbau di cocok hidungnya, Bisma mengekori langkan kedua orang yang paling disayanginya itu. “Duduk!” Tak berani membantah perintah papinya, dia duduk di sofa, berhadapan dengan maminya. “Kamu tahu kesalahan kamu?” tanya Adibrata pada putra satu-satunya itu. Bisma diam membisu, dia tercekat, dia tahu ini ada hubungannya dengan Hayu. Padahal baru saja, dia meminta Hayu untuk berjuang bersamanya, bahkan besok akan menjemputnya dan mengajak Hayu datang ke rumah. “Jawab, Papi, Bisma. Kamu pasti tahu apa yang Papi maksud bukan?” “Pi, beri dia kesempatan, kalian bahkan belum mengenalnya terlalu jauh, kenapa secepat itu menjatuhkan keputusan.” Bisma hampir pu