Jelita menghela nafas kasar, melanjutkan perkataannya yang terkesan lebih dominan ketimbang Bisma.
“Semua yang kamu lakukan akan jadi pembicaraan publik yang akan berlangsung terus-menerus. Don’t be stupid, Bisma! Jadi siapa wanita itu, siapa wanita yang jadi pesaingku?”
Bisma mendengus kasar, mana mungkin maminya tak memberitahukan Jelita, sepertinya tidak mungkin. Atau memang maminya menutupi Hayu, karena dia malu Bisma berhubungan dengan Hayu. Pikiran Bisma berkecamuk, antara mau memberitahukan Jelita atau tidak. Namun setelah menimbang-nimbang sebaiknya dia tidak mengatakan apapun pada jelita.
“Nanti kamu juga akan tahu, sudahlah, aku mau bekerja lagi, kalau kamu jadi mengajakku pergi kamu datang saja menjemputku, barangkali kamu juga rindu dengan Candra dan mau melepaskan kerinduan kalian,” ucap Bisma mengejek Jelita.
“Nggak usah aneh-aneh, sekarang kamu yang jadi calon suamiku!”
Bisma berdecak k
Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Bisma keluar dari ruangannya, hendak menemui Hayu dan mengajaknya pulang, banyak hal yang ingin dia bicarakan. Sayangnya orang yang baru saja dia pikirkan itu terlihat sedang bersama seseorang. “Jelita?” Hayu sedang bersama Jelita saat Bisma mulai mendekat, sepertinya obrolan mereka asyik sekali, sampai-sampai tak tahu jika Bisma sudah ada di belakang mereka. Jelita yang mulai sadar, segera menyambut Bisma dan menggandeng tangganya. “Kita mau ke mana, kamu bilang kamu lagi stres, aku sudah datang ke sini, lho. Kamu menyuruhku menjemputmu, tadi? Finally aku udah di sini, Bisma,” ucapnya manja. Bisma tidak fokus dengan apa yang dikatakan Jelita, dia malah menatap Hayu yang juga sedang menatapnya. Mata Hayu menampakkan kebenciannya. Hayu sakit hati melihat pemandangan yang ada di hadapannya. Untungnya Candra yang hendak pulang melihat sekretarisnya itu sedang menyaksikan adegan dua insan yang tak tahu diri itu. Candra seg
“Aku sudah selesai makan, mau ke toilet, dan tak sengaja melihat kalian di sini, jadi sebagai kawan, tentu saja aku menyapa kalian. Ngomong-ngomong terima kasih tawarannya, Jel. Tapi sayangnya aku tidak tertarik!” Candra seolah memanasi mereka berdua. “Kamu! Apa kamu masih menyimpan rasa bencimu untukku!” seru Jelita menatap Candra. Menelisik, mencari kebohongan di bola matanya. Sungguh Jelita kecewa, tak ada tatapan penuh cinta yang terlihat di mata Candra seperti dulu, saat dia begitu menyukai Jelita. Entah kenapa Jelita merasa kecewa, padahal dia lebih menyukai Bisma ketimbang Candra. “Aku tidak mau membuang waktu dan energiku untuk membenci seseorang, Jelita. Kamu tahu itu. Kita sudah lama berteman jadi kamu tahu bagaimana watakku,” ucapnya santai. Dia melenggang pergi meninggalkan Bisma dan juga Jelita. Bisma menoleh menatap Jelita, “Apa kamu kecewa karena dia sudah tidak mencintaimu lagi? Jadi sebenarnya siapa yang kamu pilih di antara kami, Jel. Tolong
Dengan kecepatan penuh dia melesat. Sampai di rumah, maminya sudah menunggunya di pintu sembari berkacak pinggang. Seseorang yang bersembunyi di belakang maminya keluar, menatap tajam ke arahnya. “Apa kabar, Nak. Sudah cukup main-mainnya. Masuk, banyak hal yang mau papi dan mami katakan padamu!” Bak kerbau di cocok hidungnya, Bisma mengekori langkan kedua orang yang paling disayanginya itu. “Duduk!” Tak berani membantah perintah papinya, dia duduk di sofa, berhadapan dengan maminya. “Kamu tahu kesalahan kamu?” tanya Adibrata pada putra satu-satunya itu. Bisma diam membisu, dia tercekat, dia tahu ini ada hubungannya dengan Hayu. Padahal baru saja, dia meminta Hayu untuk berjuang bersamanya, bahkan besok akan menjemputnya dan mengajak Hayu datang ke rumah. “Jawab, Papi, Bisma. Kamu pasti tahu apa yang Papi maksud bukan?” “Pi, beri dia kesempatan, kalian bahkan belum mengenalnya terlalu jauh, kenapa secepat itu menjatuhkan keputusan.” Bisma hampir pu
Bisma melemparkan ponselnya begitu saja. Pikirannya menerawang, dia teringat dengan Hayu, teringat akan janjinya pada kekasihnya untuk menjemputnya besok pagi. Bisma keluar kamar, dia ingin bicara dengan Maminya. Ingin mengatakan pada maminya, jika dia akan mengajak Hayu ke rumah esok hari. Baru saja dia membuka pintu kamarnya, seseorang yang familier itu memanggilnya. “Bisma!” “Lho, kok kamu ada di kamar tamu, kamu menginap di sini? Kamu bukannya pulang ke apartemen kamu?” Mendadak tubuhnya terasa berat, dia seperti baru saja tertimpa batu yang besar, ingin mengumpati Jelita saat itu juga. Tapi sayang, hal itu tak urung dilakukannya. Di rumahnya ada aturan di larang mengumpat dan berbicara kasar, jika ada yang melanggarnya, maka sanksi yang diterimanya adalah penarikan black card selama sebulan. “Mami memintaku menginap di sini malam ini, Mami bilang besok ingin mengajakku membuat cookies. Ya, aku mana mungkin menolaknya." Bisma tercengang mendengarnya, ingi
“Aku mau pulang ke apartemen, bukan ke rumah Mamiku Bisma!” serunya kesal. Dia menoleh ke arah Bisma yang diam, dia tahu Bisma sedang kesal padanya juga. Hening tak ada pembicaraan lagi, hingga suara dering ponsel berdering memekakkan telinga mereka berdua. Bisma melirik ponselnya, Hayu menelepon. Dengan gesit Jelita mengambil dan hendak menjawab telepon Bisma. Bisma menyambar ponselnya dengan tangan kirinya, tidak peduli jika menyakiti Jelita. Segera dia mematikan ponselnya, dia tak mau Jelita menjawab telepon Hayu, dan berakhir pada salah paham dengan Hayu. “Kamu menyakiti aku!” teriaknya kesal. “Kamu lancang, kamu mau menjawab telepon dari Hayu. Kamu tahu kita punya privasi!” Jelita tak menjawab, dia tahu dia memang salah. Tapi dia kesal sekali dengan Bisma, entah kenapa hatinya yang tadinya tidak peduli pada hubungan lelaki itu dengan wanita lain biasa saja, sekarang berubah menjadi rasa tidak suka. Setelah tahu siapa perempuan yang dicintai calon suaminya itu. G
Hayu memulai pekerjaannya, dia meretakkan dan memecahkan butir demi butir telur. Hingga saat semua telur-telur mulai pecah, hatinya juga ikut retak karena ucapan Bu Ayu. “Jangan harap saya akan menerima kamu jadi menantu saya, saya hanya mengikuti kemauan anak dan suami saya. Jelita jauh lebih baik ketimbang kamu!” Hayu merasakan rasa perih dihatinya, untungnya dia sudah menyiapkan mentalnya sedemikian rupa, sehingga air mata tak meleleh begitu saja di pipi mulusnya. Dia menguatkan hati dan telinganya, dia yakin setelah ini rintangan akan semakin terjal. “Bu, jadi apalagi yang harus saya lakukan setelah ini?” “Katanya kamu pandai memasak, Ibumu juga bisa membuat kue-kue basah, jadi kenapa kamu bertanya pada saya, apalagi yang harus kamu lakukan, kamu tahu kita akan membuat apa?” Hayu mengangguk, dia tahu Bu Ayu akan membuat kue nastar, terlihat dari bahan yang dia gunakan dan juga selai nanas yang ada di meja. “Ibu mau membuat kue nastar, bukan?” “Iya, ja
Hayu hampir tertawa mendengar perkataan kekasihnya itu, tapi kembali lagi dia menahannya, dia tidak mau mami Bisma semakin membencinya. “Sekarang kamu bersihkan semuanya, Bisma jangan bantu dia!” Glek! Kesusahan Hayu menelan salivanya, dia sudah cukup lelah, dan sekarang dia juga harus membereskan semuanya sendiri. “Tapi, Mi. Kasihan Hayu. Dia pasti lelah sekali sudah membuat nastar dari tadi.” Hayu memegang lengan Bisma dan mendesah kasar. “Sudahlah, aku bisa.” “Kamu dengar sendiri, kan? Dia pasti terbiasa melakukan pekerjaan ini Bisma, sebaiknya kamu keluar, biar mami yang menunggunya di sini.” “Tapi, Mi!” “Kamu masih ingin membuat Mami dekat dengannya atau tidak? Itu terserah kamu, Bisma.” Hayu menatap ke arah kekasihnya dan mengangguk, mengatakan dengan tatapan matanya bahwa dia baik-baik saja. Bisma keluar dari dapur kotor dan menunggu Hayu di ruang keluarga. Ponselnya berdering seseorang yang sedang tak ingin dia ajak bicara, malah menelepon
“Tunggu sebentar, ya. Pak. Lelaki itu mengangguk dan tersenyum. Hayu menyeberang jalan dan memesan mie goreng kesukaan ibunya. Selesai memesan dia menunggu mie goreng matang. Hayu duduk di kursi yang disediakan penjual. Namun dia terkejut melihat seseorang yang berada di sana. Candra sedang asyik menikmati mie goreng sendirian. Dia menatap tak percaya, sekelas CEO mau makan di pinggir jalan. Di mana biasanya mereka hanya mau makan di kelas atas seperti kekasihnya. Bisma mana mau makan di tempat seperti ini, dan itu baru disadari Hayu, ketika dia menginjakkan kaki pertama kali di rumah Bisma. Hayu memalingkan wajah, berpura-pura tak tahu kalau atasannya tak ada di sana. Menggosok kedua tangannya yang agak basah terkena gerimis. Entah kenapa, gerimis turun saat dia hendak menyeberang jalan, tadi. Seolah langit tahu apa yang saat ini dia rasakan. Hayu menunduk menatap sneakersnya yang terkena cipratan air. Dia mendongak ketika ada teh hangat mengepul di depannya.