Dengan kecepatan penuh dia melesat. Sampai di rumah, maminya sudah menunggunya di pintu sembari berkacak pinggang. Seseorang yang bersembunyi di belakang maminya keluar, menatap tajam ke arahnya.
“Apa kabar, Nak. Sudah cukup main-mainnya. Masuk, banyak hal yang mau papi dan mami katakan padamu!”Bak kerbau di cocok hidungnya, Bisma mengekori langkan kedua orang yang paling disayanginya itu.“Duduk!”Tak berani membantah perintah papinya, dia duduk di sofa, berhadapan dengan maminya.“Kamu tahu kesalahan kamu?” tanya Adibrata pada putra satu-satunya itu.Bisma diam membisu, dia tercekat, dia tahu ini ada hubungannya dengan Hayu. Padahal baru saja, dia meminta Hayu untuk berjuang bersamanya, bahkan besok akan menjemputnya dan mengajak Hayu datang ke rumah.“Jawab, Papi, Bisma. Kamu pasti tahu apa yang Papi maksud bukan?”“Pi, beri dia kesempatan, kalian bahkan belum mengenalnya terlalu jauh, kenapa secepat itu menjatuhkan keputusan.”Bisma hampir puHalo, terima kasih yang sudah mampir, jangan lupa drop komentar kamu, vote juga, ya.
Bisma melemparkan ponselnya begitu saja. Pikirannya menerawang, dia teringat dengan Hayu, teringat akan janjinya pada kekasihnya untuk menjemputnya besok pagi. Bisma keluar kamar, dia ingin bicara dengan Maminya. Ingin mengatakan pada maminya, jika dia akan mengajak Hayu ke rumah esok hari. Baru saja dia membuka pintu kamarnya, seseorang yang familier itu memanggilnya. “Bisma!” “Lho, kok kamu ada di kamar tamu, kamu menginap di sini? Kamu bukannya pulang ke apartemen kamu?” Mendadak tubuhnya terasa berat, dia seperti baru saja tertimpa batu yang besar, ingin mengumpati Jelita saat itu juga. Tapi sayang, hal itu tak urung dilakukannya. Di rumahnya ada aturan di larang mengumpat dan berbicara kasar, jika ada yang melanggarnya, maka sanksi yang diterimanya adalah penarikan black card selama sebulan. “Mami memintaku menginap di sini malam ini, Mami bilang besok ingin mengajakku membuat cookies. Ya, aku mana mungkin menolaknya." Bisma tercengang mendengarnya, ingi
“Aku mau pulang ke apartemen, bukan ke rumah Mamiku Bisma!” serunya kesal. Dia menoleh ke arah Bisma yang diam, dia tahu Bisma sedang kesal padanya juga. Hening tak ada pembicaraan lagi, hingga suara dering ponsel berdering memekakkan telinga mereka berdua. Bisma melirik ponselnya, Hayu menelepon. Dengan gesit Jelita mengambil dan hendak menjawab telepon Bisma. Bisma menyambar ponselnya dengan tangan kirinya, tidak peduli jika menyakiti Jelita. Segera dia mematikan ponselnya, dia tak mau Jelita menjawab telepon Hayu, dan berakhir pada salah paham dengan Hayu. “Kamu menyakiti aku!” teriaknya kesal. “Kamu lancang, kamu mau menjawab telepon dari Hayu. Kamu tahu kita punya privasi!” Jelita tak menjawab, dia tahu dia memang salah. Tapi dia kesal sekali dengan Bisma, entah kenapa hatinya yang tadinya tidak peduli pada hubungan lelaki itu dengan wanita lain biasa saja, sekarang berubah menjadi rasa tidak suka. Setelah tahu siapa perempuan yang dicintai calon suaminya itu. G
Hayu memulai pekerjaannya, dia meretakkan dan memecahkan butir demi butir telur. Hingga saat semua telur-telur mulai pecah, hatinya juga ikut retak karena ucapan Bu Ayu. “Jangan harap saya akan menerima kamu jadi menantu saya, saya hanya mengikuti kemauan anak dan suami saya. Jelita jauh lebih baik ketimbang kamu!” Hayu merasakan rasa perih dihatinya, untungnya dia sudah menyiapkan mentalnya sedemikian rupa, sehingga air mata tak meleleh begitu saja di pipi mulusnya. Dia menguatkan hati dan telinganya, dia yakin setelah ini rintangan akan semakin terjal. “Bu, jadi apalagi yang harus saya lakukan setelah ini?” “Katanya kamu pandai memasak, Ibumu juga bisa membuat kue-kue basah, jadi kenapa kamu bertanya pada saya, apalagi yang harus kamu lakukan, kamu tahu kita akan membuat apa?” Hayu mengangguk, dia tahu Bu Ayu akan membuat kue nastar, terlihat dari bahan yang dia gunakan dan juga selai nanas yang ada di meja. “Ibu mau membuat kue nastar, bukan?” “Iya, ja
Hayu hampir tertawa mendengar perkataan kekasihnya itu, tapi kembali lagi dia menahannya, dia tidak mau mami Bisma semakin membencinya. “Sekarang kamu bersihkan semuanya, Bisma jangan bantu dia!” Glek! Kesusahan Hayu menelan salivanya, dia sudah cukup lelah, dan sekarang dia juga harus membereskan semuanya sendiri. “Tapi, Mi. Kasihan Hayu. Dia pasti lelah sekali sudah membuat nastar dari tadi.” Hayu memegang lengan Bisma dan mendesah kasar. “Sudahlah, aku bisa.” “Kamu dengar sendiri, kan? Dia pasti terbiasa melakukan pekerjaan ini Bisma, sebaiknya kamu keluar, biar mami yang menunggunya di sini.” “Tapi, Mi!” “Kamu masih ingin membuat Mami dekat dengannya atau tidak? Itu terserah kamu, Bisma.” Hayu menatap ke arah kekasihnya dan mengangguk, mengatakan dengan tatapan matanya bahwa dia baik-baik saja. Bisma keluar dari dapur kotor dan menunggu Hayu di ruang keluarga. Ponselnya berdering seseorang yang sedang tak ingin dia ajak bicara, malah menelepon
“Tunggu sebentar, ya. Pak. Lelaki itu mengangguk dan tersenyum. Hayu menyeberang jalan dan memesan mie goreng kesukaan ibunya. Selesai memesan dia menunggu mie goreng matang. Hayu duduk di kursi yang disediakan penjual. Namun dia terkejut melihat seseorang yang berada di sana. Candra sedang asyik menikmati mie goreng sendirian. Dia menatap tak percaya, sekelas CEO mau makan di pinggir jalan. Di mana biasanya mereka hanya mau makan di kelas atas seperti kekasihnya. Bisma mana mau makan di tempat seperti ini, dan itu baru disadari Hayu, ketika dia menginjakkan kaki pertama kali di rumah Bisma. Hayu memalingkan wajah, berpura-pura tak tahu kalau atasannya tak ada di sana. Menggosok kedua tangannya yang agak basah terkena gerimis. Entah kenapa, gerimis turun saat dia hendak menyeberang jalan, tadi. Seolah langit tahu apa yang saat ini dia rasakan. Hayu menunduk menatap sneakersnya yang terkena cipratan air. Dia mendongak ketika ada teh hangat mengepul di depannya.
Setelah tadi bersama Candra emosinya sempat menurun drastis, tapi sekarang, emosinya naik lagi, tersulut lagi, karena Bisma. Dia yang tadi berpikir untuk menenangkan pikiran dengan tidur, nyatanya malah pikirannya semakin kalut. Ponselnya berdering, Hayu menatap layar ponselnya. Candra meneleponnya, mungkin ingin menanyakan keberadaan dirinya. Tapi Hayu yang hendak ke kamar mandi mengabaikan layar ponselnya yang masih berkelap-kelip itu, dia melempar ponsel ke ranjang dan melanjutkan langkah ke kamar mandi. Selesai mandi dia membaringkan tubuhnya di ranjang. Rasa lelah yang melanda tubuhnya sudah agak berkurang. Dia ingat jika atasannya tadi meneleponnya. Hayu mengetik pesan. [Saya sudah di rumah, Pak. Maaf tadi saya sedang mandi. Terima kasih.] Send! Tak menunggu Candra membalas pesannya, dia langsung saja mematikan lampu kamarnya dan tidur. Dia bahkan lupa, jika dia belum makan malam. Lelah yang menderanya, membuatnya tertidur begitu lelap, hingga tak tahu jik
Candra membuka mulutnya, Hayu memasukkan sepertiga kue lemper ke dalam mulut Candra. Namun Hayu terenyak kaget, saat lidah Candra tak sengaja menyentuh jari Hayu. “Ough..” “Damn,” rutuknya dalam hati, tak sengaja kata itu lolos dari mulutnya, membuatnya malu pada Hayu. “Maaf, aku tak sengaja.” “Its ok, Pak, saya mungkin yang memasukkannya terlalu dalam.” Glek! Entah setan dari mana yang merasukinya, Candra mendadak salah tingkah sendiri dengan ucapan Hayu. Mukanya memanas, wajah yang tadinya putih bersih itu mendadak menjadi merah seperti kepiting rebus. Hayu yang menatapnya, mengernyitkan keningnya heran. “Bapak sakit?” tanyanya pada Candra. “Enggak, aku baik-baik saja Hayu.” “Tapi kenapa muka Bapak merah begitu?” “Aku malu padamu.” Hayu terkekeh, tak biasanya bosnya yang kepo akut itu bisa malu padanya, padahal biasanya dia mana pernah punya rasa malu. Untungnya pembahasan mereka terhenti ketika mobil yang Candra kendarai sudah masuk
Candra menikmati secangkir expreso yang dia pesan, sementara Hayu, mulai memakan nasi goreng yang masih mengepulkan asapnya, hingga suara seseorang yang sangat dikenalnya memanggil mereka. Mereka menoleh ke arah sumber suara dan saling melempar tatapan. Jelita tampak tersenyum melangkah menghampiri mereka berdua. Hayu sungguh tak menyangka akan bertemu dengan wanita kesayangan mami Bisma. Seketika, dia tak mampu menelan nasi goreng yang sudah terlanjur masuk di kerongkongannya. Dalam hati, Hayu mengutuk nasibnya yang menyedihkan itu. Candra tahu, Hayu tak nyaman dengan kedatangan Jelita. Tapi dia hanya diam saja. “Hayu, minum dulu.” Hayu mengangguk. Mencoba melegakan tenggorokannya dengan minuman yang sudah dipesannya. Jelita duduk di samping Candra. Menatap Hayu dan menampilkan senyum palsunya. Hayu menyapanya. “Selamat pagi, Mbak.” “Pagi, Hayu. Kamu sepagi ini sudah bersama atasanmu, dari jauh kalian terlihat seperti pasangan yang serasi.” Candr
Mama Candra terkekeh geli melihat reaksi putranya. Dia menaik -turunkan kedua alisnya, menggoda putranya yang tersenyum-senyum tipis, mempertahankan gengsinya. “Mama nggak pulang? Bukankah ada sesuatu yang mau Mama kerjakan?” “Jadi kamu mengusir Mama? Mau jadi anak durhaka, mau mama kutuk kalian cepat punya anak?” Mama Candra berpura-pura marah pada putranya, tapi sejurus kemudian di terkekeh, dia tahu putranya sengaja mengusirnya. Mama Candra menyeruput tehnya dan menatap Hayu. “Nduk, Mama lupa, Mama ada janji dengan teman-teman arisan Mama. Mama pulang dulu, ya, titip Candra, dia suka nakal kalau nggak ada Mama. Kalau dia macam-macam denganmu bilang Mama, biar langsung Mama nikahkan sama kamu, Nduk.” Hayu ingin tertawa, tapi dia berusaha menahannya dengan melipat kedua bibirnya ke dalam. Dia mengangguk merespons mama Candra. Melihat wajah Hayu yang bersemu merah, Mama Candra tersenyum senang. Apalagi putranya, dia gemas sekali melihat Hayu tersipu malu-malu. Hayu mencium
Hayu tertawa geli, dia hanya bercanda, tapi reaksi yang ditunjukkan Jelita padanya menurutnya terlalu berlebihan. “Hei aku hanya bercanda, kenapa kamu seserius itu. Nikmati saja waktumu, toh aku tidak pergi ke mana-mana.” Jelita menghela nafas lega, dia pikir sudah mengganggu Hayu sehingga dia mengusirnya. Jelita menyeruput kopinya dan memakan kembali kue buatan ibu Hayu yang sejak tadi membuat air liurnya menetes. Jelita memasukkan kue basah dengan warna dan aroma pandan ke dalam mulutnya. Baru saja dia mengunyahnya, suara yang sangat familiar menyapa telinganya. “Lho, Jelita, kamu kok di sini, Nak?” Jelita tersedak, Hayu melesatkan tangannya cepat, mengulurkan kopi milik Jelita. “Hati-hati, minumlah, jangan menyepelekan tersedak, itu bisa membuatmu mati!” Mendengar kalimat yang terlontar dari mulut Hayu barusan, malah semakin membuat Jelita terbatuk-batuk. Mami Candra yang memiliki hati yang lembut pun segera menghampiri Jelita dan mengusap punggung gadis itu hingga b
Bisma mengetuk pintu kaca mobil Jelita. Mau tak mau Jelita menurunkan kaca pintu mobil miliknya. Dia tak mengerti dengan sikap Bisma. Bukankah kekasihnya itu sudah jelas-jelas mengatakan hal yang tak bisa dia harapkan sama sekali. Lalu untuk apa dia mengejarnya hingga kemari. “Ada apa, Mami sudah menjelaskan segalanya. Semuanya sudah berakhir bukan? Apa yang ingin kamu katakan padaku kali ini, rasanya tak mungkin kamu berubah pikiran.” “Maafkan aku, Jelita, semuanya harus berakhir begini, aku masih pada keputusan yang sama. Hati-hati di jalan.” Jelita menghela nafas, Bisma tak mengubah keputusannya. Jelita tak ingin menjawab perkataan Bisma selain anggukan kecil yang ditunjukkan sebagai respons darinya. Jelita tak peduli Bisma masih berdiri di sana. Dia memilih meninggalkan tempat yang saat ini tak ingin dia pijak. Tempat di mana dia menaruh harapan kosong, dengan pintalan asa yang berantakan. Melajukan kendaraannya di jalanan, berbaur dengan kendaraan lainnya. Selama perjalanan pu
Jelita geming, menunggu jawaban dari calon suaminya, sementara Nyonya Adibrata dengan sengaja membuang muka menghindari tatapan calon menantunya. Seketika Jelita sudah bisa menebak apa yang akan terjadi selanjutnya. Alih-alih mendapatkan jawaban dari orang yang saat ini menjadi tumpuan harapannya, dia lebih memilih untuk keluar dari ruang rawat inap Bu Ayu. Dengan langkah gontai dan kepala yang tertunduk lesu, dia meraih handle pintu dan berusaha keluar dari kamar itu. Jelita terduduk di kursi yang berada di luar ruangan. Saat ini dia tak tahu, apalagi yang harus dilakukannya. Terkadang hidup memang selucu itu, dia dikecewakan orang yang paling dekat dengannya sendiri. Harapan yang terlalu tinggi, kini mengkhianatinya bertubi-tubi. Membuatnya terpuruk di tengah badai, terombang-ambing hingga ke palung dasar rasa kecewanya. Tak dia nyana sama sekali Bisma keluar, Jelita menoleh ke arahnya. Bisma mendudukkan tubuhnya di sebelah Jelita. Dia menghela nafas panjang dan dalam, seolah ingi
“Boleh aku masuk? Apa aku mengganggumu? Aku hanya membutuhkan waktu sebentar denganmu. Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan padamu. Apa kamu sudah sarapan?” Chandra menunjukkan kotak makannya pada Jelita. “Jadi aku mengganggumu, kamu sedang sarapan, ya. Apa sebaiknya aku pergi saja.” “Tidak perlu, sebaiknya sekarang saja kamu katakan apa yang ingin kamu katakan, sebentar lagi aku akan bertemu dengan klien.” “Apa benar kalian melihat Mamiku dan Papi Bisma bersama? Tolong katakan yang sejujurnya padaku. Aku sempat mendengar mereka membicarakan Mami dan juga Pak Adibrata. Jadi sebenarnya apa yang terjadi. Apakah kecurigaanku itu memang benar terjadi? Bukankah kalian sempat bertemu mereka berdua?” Candra bingung, dia tak tahu harus menjawab apa. Kalau dia mengatakan iya, Candra tak ingin melihat Jelita kecewa. Bagaimanapun Jelita pernah hadir di dalam hatinya dan sempat bertakhta di sana. Namun, di satu sisi dia tidak ingin membohongi Jelita, sebab bagaimanapun juga Jelita harus tahu
Mau tak mau Hayu pun membuka matanya, Dia malu sekali karena ketahuan oleh Candra. Candra tersenyum melihat Hayu membuka mata. “Apa kamu menginginkan sesuatu atau kamu mau sarapan apa? Mungkin aku bisa membelikannya untukmu." Hayu menggelengkan kepalanya, “Tidak perlu repot-repot, Ibu pasti sudah memasakkan sesuatu untuk kita, aku sudah bilang padamu bukan, kalau hari ini, aku ingin di rumah saja.” Candra mengangguk, “Tentu saja, bukankah aku sudah berjanji padamu kemarin, kalau hari ini kamu bisa mengambil cuti. Fokuslah pada kesehatanmu terlebih dahulu, baru kamu masuk kerja, toh semuanya sudah aku selesaikan. Bisma juga sudah menandatangani semua yang kita butuhkan. Kalau kamu menginginkan sesuatu atau kalau kamu membutuhkan bantuanku, kamu tinggal meneleponku dan aku akan secepat mungkin datang kemari. Sekarang aku harus pergi ke kantor.” Hayu mengangguk. Namun sejurus kemudian ibu Hayu sudah berada di ambang pintu kamar Hayu. “Sarapan dulu sebelum kamu pergi ke kantor, kamu
Candra mengantarkan Hayu pulang ke rumahnya. Ibunya tampak sudah menunggunya di depan pintu, beliau kaget melihat putrinya yang datang dengan wajah yang pucat dan lemas. Bahkan Candra memapahnya. Ibu Hayu pun bertanya “Apa yang terjadi dengan Hayu, dia kenapa, Ndra? Apakah dia sakit. Ayo bawa dia masuk cepat, dan biarkan dia beristirahat di kamarnya. Kamu bisa membantu Ibu mengantarkannya ke kamar, kan? Ibu akan mengambilkan air hangat untuknya.” Candra pun mengangguk, dia menggendong Hayu naik ke kamarnya, menidurkannya di ranjang dan menyelimutinya. “Kamu tahu, Dokter bilang apa padaku? Dia bilang kamu banyak pikiran. Kenapa kamu tidak bercerita tentang sesuatu yang kamu rasakan kepada orang lain, apa kamu tidak takut, jika itu akan selalu membebanimu dan membuatmu berpikir tentang yang hal yang tidak-tidak? Apa kamu tidak takut, jika itu akan berimbas pada mentalmu dan membuatmu harus mengunjungi psikiater?” Hayu menggeleng, “Aku tak tahu harus mengatakan apa, aku sudah berusa
Candra kaget melihat Bisma yang juga ada di sana. “Siapa yang sakit, Ndra.” “Hayu. Kamu sedang apa di sini?” tanya Candra kembali, bukannya tadi mereka baru saja bertemu dan sekarang, mereka juga bertemu lagi di tempat yang sama. Dunia memang sempit, sekeras apa pun dia menghindar, mantan kekasih Hayu ini, selalu ada di mana-mana. "Hayu kenapa? Sakit apa? Bagaimana keadaannya? Apa aku bisa menjenguknya?" “Aldi bilang dia hanya lelah dan juga banyak pikiran, apa nggak sebaiknya, kamu jangan bertemu dengannya dulu, bukan apa-apa, hanya saja aku khawatir kalau ternyata dia banyak pikiran karena masalah kalian. Kamu tahu sendiri, Hayu bukan orang yang suka mengeluarkan keluh kesahnya pada orang lain. Jadi daripada pikirannya semakin terbebani, mendingan kamu menjauh darinya. Aku tidak mau terjadi apa-apa dengannya, apalagi kalau dia sampai harus ke psikiater, please. Lihatlah saja Hayu dari kejauhan, lepaskan dia dari siksa yang sudah kalian lakukan padanya, kata-kata merendahkan a
Hayu yang kelelahan malah tertidur di sofa depan televisi. Candra yang melihatnya pun membetulkan posisi tidurnya dan mengatur suhu AC di ruangan itu, sementara itu, dia masih berkutat dengan masakannya yang masih belum matang.Ponsel Hayu berdering, Hayu sama sekali tak terganggu dengan deringan ponselnya yang cukup memekakkan telinga. Dengan sigap Candra mengambil ponsel Hayu dan melihat siapa yang meneleponnya. Ibu Hayu menelepon. Candra bingung antara ingin menjawab panggilan itu atau tidak, takut jika sang pemilik ponsel marah dengannya. Akhirnya dia putuskan, untuk tak menjawabnya. Dia lebih memilih menelepon ibu Hayu menggunakan ponselnya.Sungguh definisi lelaki idaman. Candra menelepon sembari menunggu steik yang di masaknya matang dengan kematangannya medium rare.Akhirnya setelah menunggu hampir lima menit Ibu Hayu mengangkat teleponnya, “Halo, Bu. Maaf Candra mengganggu Ibu, saat Hayu sedang tidur, nanti mungkin setelah makan malam, Candra akan men