Hayu memulai pekerjaannya, dia meretakkan dan memecahkan butir demi butir telur. Hingga saat semua telur-telur mulai pecah, hatinya juga ikut retak karena ucapan Bu Ayu.
“Jangan harap saya akan menerima kamu jadi menantu saya, saya hanya mengikuti kemauan anak dan suami saya. Jelita jauh lebih baik ketimbang kamu!”Hayu merasakan rasa perih dihatinya, untungnya dia sudah menyiapkan mentalnya sedemikian rupa, sehingga air mata tak meleleh begitu saja di pipi mulusnya. Dia menguatkan hati dan telinganya, dia yakin setelah ini rintangan akan semakin terjal.“Bu, jadi apalagi yang harus saya lakukan setelah ini?”“Katanya kamu pandai memasak, Ibumu juga bisa membuat kue-kue basah, jadi kenapa kamu bertanya pada saya, apalagi yang harus kamu lakukan, kamu tahu kita akan membuat apa?”Hayu mengangguk, dia tahu Bu Ayu akan membuat kue nastar, terlihat dari bahan yang dia gunakan dan juga selai nanas yang ada di meja.“Ibu mau membuat kue nastar, bukan?”“Iya, jaHalo, terima kasih sudah mampir di ceritaku🤗
Hayu hampir tertawa mendengar perkataan kekasihnya itu, tapi kembali lagi dia menahannya, dia tidak mau mami Bisma semakin membencinya. “Sekarang kamu bersihkan semuanya, Bisma jangan bantu dia!” Glek! Kesusahan Hayu menelan salivanya, dia sudah cukup lelah, dan sekarang dia juga harus membereskan semuanya sendiri. “Tapi, Mi. Kasihan Hayu. Dia pasti lelah sekali sudah membuat nastar dari tadi.” Hayu memegang lengan Bisma dan mendesah kasar. “Sudahlah, aku bisa.” “Kamu dengar sendiri, kan? Dia pasti terbiasa melakukan pekerjaan ini Bisma, sebaiknya kamu keluar, biar mami yang menunggunya di sini.” “Tapi, Mi!” “Kamu masih ingin membuat Mami dekat dengannya atau tidak? Itu terserah kamu, Bisma.” Hayu menatap ke arah kekasihnya dan mengangguk, mengatakan dengan tatapan matanya bahwa dia baik-baik saja. Bisma keluar dari dapur kotor dan menunggu Hayu di ruang keluarga. Ponselnya berdering seseorang yang sedang tak ingin dia ajak bicara, malah menelepon
“Tunggu sebentar, ya. Pak. Lelaki itu mengangguk dan tersenyum. Hayu menyeberang jalan dan memesan mie goreng kesukaan ibunya. Selesai memesan dia menunggu mie goreng matang. Hayu duduk di kursi yang disediakan penjual. Namun dia terkejut melihat seseorang yang berada di sana. Candra sedang asyik menikmati mie goreng sendirian. Dia menatap tak percaya, sekelas CEO mau makan di pinggir jalan. Di mana biasanya mereka hanya mau makan di kelas atas seperti kekasihnya. Bisma mana mau makan di tempat seperti ini, dan itu baru disadari Hayu, ketika dia menginjakkan kaki pertama kali di rumah Bisma. Hayu memalingkan wajah, berpura-pura tak tahu kalau atasannya tak ada di sana. Menggosok kedua tangannya yang agak basah terkena gerimis. Entah kenapa, gerimis turun saat dia hendak menyeberang jalan, tadi. Seolah langit tahu apa yang saat ini dia rasakan. Hayu menunduk menatap sneakersnya yang terkena cipratan air. Dia mendongak ketika ada teh hangat mengepul di depannya.
Setelah tadi bersama Candra emosinya sempat menurun drastis, tapi sekarang, emosinya naik lagi, tersulut lagi, karena Bisma. Dia yang tadi berpikir untuk menenangkan pikiran dengan tidur, nyatanya malah pikirannya semakin kalut. Ponselnya berdering, Hayu menatap layar ponselnya. Candra meneleponnya, mungkin ingin menanyakan keberadaan dirinya. Tapi Hayu yang hendak ke kamar mandi mengabaikan layar ponselnya yang masih berkelap-kelip itu, dia melempar ponsel ke ranjang dan melanjutkan langkah ke kamar mandi. Selesai mandi dia membaringkan tubuhnya di ranjang. Rasa lelah yang melanda tubuhnya sudah agak berkurang. Dia ingat jika atasannya tadi meneleponnya. Hayu mengetik pesan. [Saya sudah di rumah, Pak. Maaf tadi saya sedang mandi. Terima kasih.] Send! Tak menunggu Candra membalas pesannya, dia langsung saja mematikan lampu kamarnya dan tidur. Dia bahkan lupa, jika dia belum makan malam. Lelah yang menderanya, membuatnya tertidur begitu lelap, hingga tak tahu jik
Candra membuka mulutnya, Hayu memasukkan sepertiga kue lemper ke dalam mulut Candra. Namun Hayu terenyak kaget, saat lidah Candra tak sengaja menyentuh jari Hayu. “Ough..” “Damn,” rutuknya dalam hati, tak sengaja kata itu lolos dari mulutnya, membuatnya malu pada Hayu. “Maaf, aku tak sengaja.” “Its ok, Pak, saya mungkin yang memasukkannya terlalu dalam.” Glek! Entah setan dari mana yang merasukinya, Candra mendadak salah tingkah sendiri dengan ucapan Hayu. Mukanya memanas, wajah yang tadinya putih bersih itu mendadak menjadi merah seperti kepiting rebus. Hayu yang menatapnya, mengernyitkan keningnya heran. “Bapak sakit?” tanyanya pada Candra. “Enggak, aku baik-baik saja Hayu.” “Tapi kenapa muka Bapak merah begitu?” “Aku malu padamu.” Hayu terkekeh, tak biasanya bosnya yang kepo akut itu bisa malu padanya, padahal biasanya dia mana pernah punya rasa malu. Untungnya pembahasan mereka terhenti ketika mobil yang Candra kendarai sudah masuk
Candra menikmati secangkir expreso yang dia pesan, sementara Hayu, mulai memakan nasi goreng yang masih mengepulkan asapnya, hingga suara seseorang yang sangat dikenalnya memanggil mereka. Mereka menoleh ke arah sumber suara dan saling melempar tatapan. Jelita tampak tersenyum melangkah menghampiri mereka berdua. Hayu sungguh tak menyangka akan bertemu dengan wanita kesayangan mami Bisma. Seketika, dia tak mampu menelan nasi goreng yang sudah terlanjur masuk di kerongkongannya. Dalam hati, Hayu mengutuk nasibnya yang menyedihkan itu. Candra tahu, Hayu tak nyaman dengan kedatangan Jelita. Tapi dia hanya diam saja. “Hayu, minum dulu.” Hayu mengangguk. Mencoba melegakan tenggorokannya dengan minuman yang sudah dipesannya. Jelita duduk di samping Candra. Menatap Hayu dan menampilkan senyum palsunya. Hayu menyapanya. “Selamat pagi, Mbak.” “Pagi, Hayu. Kamu sepagi ini sudah bersama atasanmu, dari jauh kalian terlihat seperti pasangan yang serasi.” Candr
“Sebagai teman dan sebagai orang yang pernah mencintaimu, aku cukup tahu banyak tentang kamu, seperti apa kamu, ketika menginginkan sesuatu.” “Cukup! Aku tidak mu mendengarkan apapun darimu, dan juga, jangan berprasangka buruk denganku, kalau memang aku melakukan segala cara, sudah sejak lama aku menggunakan cara lain untuk mendekati Bisma, menidurinya, misalnya.” Candra kesal mendengarnya, tangannya mengepal di bawah meja. Meski sudah tidak ada lagi rasa untuk jelita, dia cukup kesal dengan ucapan Jelita yang terkesan murahan. Candra berharap Hayu segera kembali, sehingga dia bisa segera pergi dari sana. Atau setidaknya, Bisma datang dan membawa Jelita pergi dari hadapannya, dan sepertinya, apa yang dia harapkan terkabul. Bisma menghampiri mereka berdua. “Jel,” panggil Bisma. Betapa terkejutnya Bisma ketika tahu jika Jelita sedang bersama Candra. “Kalian?” tanya Bisma pada mereka berdua ketika sudah dekat. “Tak sengaja bertemu dengannya, dia sedang bersama H
“Apa kamu akan mempertahankan Bisma di samping kamu? Atau kamu akan meninggalkannya dan mencari lelaki lain, yang bisa menerima kamu apa adanya, dan membahagiakan kamu dengan limpahan kasih sayang dan segala rasa cintanya?” Hayu diam, tak menjawab pertanyaan yang akan menjerumuskan dirinya sendiri. Walau dalam hati ingin dia menjawab, bahwa dia akan terus berjuang demi Bisma, anggap saja dia terlihat bodoh, tapi dia bukan tipe orang yang dengan mudah menyerah begitu saja dengan keadaan sebelum memperjuangkannya setengah mati. Candra menoleh, menatap Hayu yang diam saja, dia tahu apa yang Hayu pikirkan, dia mendesah kasar, sungguh tak habis pikir dengan wanita yang saat ini ada di sebelahnya. Dia yang tidak terlibat dengan Bisma saja, sudah bisa memprediksi ending drama mereka. Tapi ini, wanita baik-baik yang masih polos harus menjadi korban kegengsian mereka dengan embel-embel status sosial. “Jangan di jawab kalau kamu keberatan, saya bahkan sudah tahu seperti apa jawaba
“Kamu ingin tidur sejenak, apa perlu kita pindah tempat dan mencari hot-?” “Stop! Cukup, jangan teruskan , apalagi jika itu adalah sebuah ide gila yang baru saja masuk di kepala Anda.” Candra terbahak, “Kamu pikir aku akan bilang apa? Jangan negatif thinking, deh, aku hanya mengajakmu hot pot, biar kamu berkeringat dan nggak mengantuk, kamu tahu sendiri, tadi aku hanya menemanimu makan dan minum secangkir kopi, jadi sekarang aku mulai lapar. Kita masih ada waktu satu jam untuk kembali ke kantor, jadi bagaimana menurutmu?” Hayu tersenyum simpul, menggigit bibirnya, wajahnya merah padam menahan malu, dengan tak tahu dirinya, dia berpikir bahwa Candra akan mengajaknya ke hotel. Sungguh, dia merutuki kebodohannya kali ini, bisa-bisanya pikirannya berkelana ke sana. “Maafkan saya, Pak. Saya tak bermaksud-.“ Candra tertawa, “Kamu ini, kenapa berpikir sampai ke sana, kamu kan, tahu, aku orang seperti apa. Tapi kalau kamu mau mengajakku ke hotel sekedar tidur siang, aku