Hayu melongo, kenapa mendadak bosnya ada di sini.
“Bapak, jelangkung? Datang tak diundang? Kenapa bisa ada di sini?”
“Ini jalan raya, yang siapa saja boleh melewatinya, Hayu. Saya sedang lewat dan melihatmu seperti orang gila. Makanya, saya menghampiri kamu. Lagi ada masalah? Bisma ke mana? Kalian lagi berantem?”
Hayu yang tadinya sedih, mendadak menjadi kesal karena bosnya, Candra Hardana. Kalau di novel-novel sosok CEO cenderung dingin, tidak bagi sosok Candra, dia selalu mengganggu sekretarisnya itu. Memiliki jiwa kepo akut dan juga komentator yang luar biasa cerewet.
“Bapak, kepo! Mending Bapak antar saya pulang, sekarang.”
“Berani ya, kamu menyuruh saya, mau saya potong gaji kamu bulan ini!”
“Maaf, Pak. Bagaimana saya hidup, kalau gaji saya dipotong. Kasihani saya, Pak.”
“Masuk!” perintah Candra pada sekretarisnya itu.
Hayu masuk ke dalam mobil Candra. Malam ini, malam minggu, bisa saja bosnya itu pulang dari kencan buta yang sering dijadwalkan oleh ibunya.
Candra masuk ke dalam mobil, menyusuri jalanan malam yang lumayan ramai malam ini. Mungkin karena malam minggu banyak orang menikmati weekend setelah enam hari bekerja keras.
“Bapak habis kencan buta lagi?”
“Sok tahu kamu, kamu kenapa menangis di jalanan? Memang kamu dari mana? Bisma ke mana? Sudah dua kali lho, saya menanyakan ini. Kamu harusnya bersyukur punya atasan yang baik dan perhatian seperti saya. Apalagi harus repot mengantarkan kamu pulang, saya jadi berpikir, yang bos itu saya atau kamu.”
“Saya dari rumah Bisma, Pak. Kenapa bapak tidak pernah cerita ke saya, kalau bawahan bapak, sekaligus sahabat bapak itu, adalah putra dari keluarga Adibrata. Bapak tega sama saya. Bapak sungguh terlalu.”
Candra melirik ke arah Hayu, dia sudah bisa menebak apa yang terjadi dengan Hayu.
“Apa yang mereka lakukan padamu?”
“Tidak ada, saya hanya terkejut dengan kenyataan yang harus saya hadapi karena kebodohan saya.”
Hayu tak ingin menceritakan kejadian di rumah Bisma. Dia tak ingin Candra tahu apa yang terjadi di sana, di mana ibu Bisma menunjukkan bahwa status mereka berbeda.
Candra tahu seperti apa keluarga Bisma, dia yakin orang tua Bisma pasti merendahkan sekretarisnya itu. Candra diam, tak lagi berkomentar. Bagaimanapun itu urusan mereka sendiri.
Beberapa kali mengantar sekretarisnya pulang, membuat dia hafal di mana rumah Hayu. Mereka tiba di rumah Hayu. Tampak ibu Hayu duduk di teras rumah, sepertinya menunggu Hayu pulang. Hayu turun dari mobil Candra, dia mengira Candra akan langsung pergi. Nyatanya dia ikut turun dan menghampiri ibu Hayu.
“Selamat malam, Bu,” ucap Candra menyalami ibu Hayu.
“Malam, Pak Candra. Terima kasih sudah mengantar Hayu pulang. Ibu cemas sekali.”
Kening Hayu berkerut, “Ada apa, Bu. Apa ada sesuatu yang terjadi?”
“Tidak ada, hanya tadi Bisma menelepon ibu, katanya kamu pulang sendirian, jadi ibu khawatir, apa terjadi sesuatu dengan_?”
Candra yang merasa mereka ingin membicarakan sesuatu, buru-buru pamit pada mereka berdua. “Maaf, sudah malam, saya permisi dulu.”
Bu Tuti, ibu Hayu pun mengangguk, “Hati-hati, Pak.”
Candra membalasnya dengan senyuman dan segera masuk ke dalam mobil. Hayu baru sadar, kalau dia belum mengucapkan terima kasih pada atasannya, segera Hayu menghampiri mobil Candra. “Terima kasih, Pak Bos.”
Candra mengangguk dan menutup kaca mobilnya, melajukan kendaraannya di jalan, berbaur dengan kendaraan lainnya.
Sementara tak jauh dari mereka ada Bisma yang sejak tadi mengamati interaksi mereka bertiga. Setelah Hayu pulang, Bisma yang tidak tenang, segera keluar menyusul Hayu, sayangnya Hayu sudah tak terlihat di sekitar rumahnya. Karena itu dia memutuskan untuk menelepon ibu Hayu. Memastikan Hayu sudah sampai di rumah atau belum. Ketika bu Tuti mengatakan bahwa putrinya belum sampai di rumah, dengan segera Bisma menyusulnya. Tapi saat sampai di rumah Hayu. Dia di suguhkan dengan pemandangan yang membuatnya sesak. Dia bukanya tak tahu, kalau sahabatnya itu juga menyukai Hayu. Meskipun Candra sering menutupinya, tapi sebagai lelaki, dia sangat tahu bagaimana perasaan Candra pada Hayu.
Memutar mobilnya kembali pulang ke rumahnya. Bu Ayu yang menunggu Bisma pulang kesal melihat putranya. “Ada yang ingin Mami bicarakan denganmu, Bisma. Duduk!”
Bisma yang sedang kesal tak menjawab ucapan maminya, dia mendudukkan tubuhnya dengan kasar, “Ada apa lagi, Mi. Bisma tahu apa yang akan Mami bicarakan. Bukankah Mami sendiri yang bilang akan menerima menantu seperti yang Bisma inginkan, tapi kenapa Mami bersikap, seolah-olah menolak Hayu.”
“Mami memang pernah bilang begitu, Bisma. Tapi bukan berarti kamu bisa memilih istri semaumu sendiri, kita harus tahu, bibit, bebet dan bobotnya. Mami nggak mau punya cucu yang tidak jelas keturunannya.”
“Jadi Mami pikir, Hayu berasal dari keluarga yang tidak jelas bibitnya, seperti itu? Bukankah Mami sudah menanyakan padanya, dia punya orang tua, Mami. Lagi pula ini zaman modern ,Mi. Kenapa harus melihat orang lain dari status sosialnya. Kita tidak hidup di zaman kerajaan Mami, yang semuanya berada di tingkatan kasta masing-masing. Mi, Bisma serius dengan Hayu. Bisma mohon, Mi. Bukankah Mami selalu bilang, semua manusia sama di mata Tuhan.”
Kali ini nyonya Ayu tak sanggup menjawab perkataan putranya, dia diam, namun sejurus kemudian dia berkata, “Kamu benar, setiap manusia sama di mata Tuhan. Tapi Mami bukan Tuhan. Jadi, semua orang berbeda di mata Mami! Semua orang tua pasti menginginkan yang terbaik untuk anaknya, Bisma. Apalagi kamu satu-satunya anak Mami, pewaris tunggal kerjaan bisnis Adibrata. Jadi sudah seharusnya, Mami memilih-milih calon menantu Mami. Kita juga masih ada keturunan ningrat, kamu harus ingat itu!”
Bisma tak mau kalah dari maminya, dia masih berusaha memberikan argumennya, “Mi, Mami baru sekali bertemu Hayu, kenapa sudah berpikiran bahwa Hayu tidak pantas untuk Bisma, Mi. Cobalah lebih dekat dengan Hayu, Mi. Mami pasti akan jatuh cinta dengan segala hal tentangnya, dia kriteria perempuan yang baik dan pantas dijadikan istri, Mi.”
“Kamu yakin, kok Mami nggak yakin, ya. Dia bisa mendekati kamu karena uang, jangan bodoh, Bisma.” Bu Ayu tak mau kalah dengan putranya, kamus mutlak, anak harus menurut orang tua sudah terpatri di dalam otaknya.
Bisma pusing dengan perkataan maminya, satu sisi dia tidak mau menjadi durhaka, satu sisi yang lain, dia sangat mencintai Hayu, perempuan berparas cantik dan juga baik.
“Mi, Hayu bukan perempuan seperti itu, dia tidak tahu kalau Bisma anak dari keluarga Adibrata. Dia hanya tahu, kalau Bisma hanya seorang manajer biasa yang bekerja satu kantor dengannya, baru hari ini dia tahu, kalau Bisma, anak dari Nyonya Ayu Adibrata!”
Bisma mulai lelah menjelaskan pada maminya, dia mendengus kesal, mengambil nafas dalam-dalam dan membuangnya kasar. “Mi, tolonglah, beri Hayu kesempatan untuk lebih dekat dengan Mami.”
“Baiklah!”
“Nduk, ada apa dengan kamu dan Bisma? Apa kalian ada masalah, kalian sedang bertengkar? Kenapa kamu pulangnya diantar Pak Candra. Nduk, di dalam sebuah hubungan, wajar jika ada masalah, kalian harus menyelesaikannya biar tidak berlarut-larut.”“Bu, Hayu tidak bertengkar dan juga tidak ada masalah apapun antara kami berdua, Bu.”Seandainya ibu Hayu tahu, apa yang terjadi dengan anaknya di rumah Bisma, Hayu yakin, ibunya pasti akan sangat bersedih. Hayu tidak mau itu terjadi, Hayu tidak ingin melihat ibunya sedih dan merasa bersalah.“Apa kamu yakin? Nduk, ingat, kamu bisa menceritakan semua hal pada Ibu. Kamu satu-satunya yang Ibu miliki di dunia ini. Jangan berbohong pada ibu, Nduk. Perasaan seorang ibu itu peka sekali, Hayu. Ibu hanya menunggu waktu saja, kapan kamu akan menceritakan semua pada Ibu. Ibu mungkin tidak bisa membantumu mengatasi masalah kalian. Tapi setidaknya, hati kamu akan merasa lega, setelah menceritakan semuanya
Pagi ini matahari bersinar cerah sekali, sinarnya yang masuk di antara celah jendela kamar Hayu, membuat Hayu menutupi wajahnya dengan sebelah tangan, dia hampir terlambat. Tidak biasanya dia bangun kesiangan seperti pagi ini. Semalaman dia tidak bisa tidur, berpikir banyak hal tentang hubungannya dengan Bisma. Bu Tuti mengetuk pintu kamar anaknya. “Nduk, Bisma sudah menunggumu di luar.” “Masih berani ke sini rupanya.” Hayu membatin kekasihnya itu. “Ya, Bu. Hayu sedang bersiap-siap,” teriak Hayu berlari ke kamar mandi. Dia harus bergegas kalau tak mau terlambat dan kena omel bosnya yang kepo akut itu. Selesai mandi ala kadarnya, dia bergegas keluar kamar, untungnya dia tidak perlu memakai make up, dia tidak suka. Wajahnya yang cantik hanya menggunakan pelembab dan liptint. Baginya itu sudah cukup. Di anugerahi kulit kuning langsat, membuatnya tidak perlu menempelkan berbagai macam kosmetik. Hayu berpamitan pada ibunya yang masih sibuk membuat kue-kue yang sudah d
Hayu mendesah, apalagi yang akan dia alami kali ini, dia berdoa dalam hati semoga semuanya baik-baik saja. Dia tidak mau, kalau Candra tahu apa yang terjadi pada hubungan mereka.Candra keluar dari mobilnya berjalan beriringan dengan Hayu masuk ke dalam restoran.“Lewat sini, Pak Candra,” ucap Hayu menunjukkan jalan. Ternyata mereka datang terlebih dahulu. Malang tak dapat di tolak, tempat mereka duduk, ternyata berdekatan dengan mami Bisma, hanya saja terhalang sekat.“Aku pikir kita terlambat, nyatanya sampai di sini mereka masih belum datang. Kamu yakin jam 10 mereka datang? Kamu sudah mengkonfirmasi lagi jadwal kita bukan?”“Tentu saja sudah, Pak. Mungkin saja macet, jadi mereka agak terlambat.”“Hem, kalau begitu, aku pergi ke toilet dulu sebentar. Kamu nggak apa-apa, kan, saya tinggal sendirian, jangan merindukan aku, ya.” Candra menggoda sekretarisnya itu, tersenyum dan berlalu meninggalkan Hay
Hayu yang sedang menatap ponselnya menoleh ke arah sumber suara. Sekretaris Sean memanggilnya. Hayu melambaikan tangan. Dina menghampiri sahabatnya itu, tak lupa menyapa atasan Hayu yang juga rekan kerja bosnya. “Selamat Pagi, Pak Candra.” Candra hanya mengangguk menanggapi sapaan Dina. “Kenapa terlambat, kami sudah menunggu dari tadi,” tanya Hayu, pada sekretaris Sean yang juga sahabat baiknya “Maaf, Hayu, Pak Sean mendadak harus berangkat ke Macau pagi ini, jadi saya yang akan menggantikan beliau.” “Kalau begitu, ayo kita mulai meetingnya.” Candra berubah menjadi dingin dan tegas begitu bersama klien. Berbanding terbalik saat bersama Hayu. Mereka mendiskusikan kerja sama yang akan mereka lakukan. Tepat ketika jam makan siang, meeting selesai. “Sebaiknya kita makan siang dulu, baru kembali ke kantor,” tawar Candra pada dua sekretaris di depannya itu. “Maaf, Pak. Sebelumnya terima kasih, tapi saya harus kembali ke kantor karena setelah makan siang
Hayu masih bingung dengan perkataan bosnya itu, hingga saat Candra mengajaknya pergi dari sana, Mami Bisma keluar bersama Jelita dan Bisma. Sepertinya mami Bisma sengaja membiarkan Hayu melihat permainan yang sedang dimainkannya. Yang seolah menujukan bahwa sosok jelita yang lebih pantas mendampingi Bisma ketimbang dirinya. Bisma diam saja ketika maminya menggandengkan tangganya dengan tangan Jelita. Jelita yang sudah lama menyukai Bisma tersenyum bahagia. Dia juga merasa senang karena Candra melihat itu semua. Menunjukan pada Candra bahwa di berhasil mendekati Bisma Adibrata, lelaki yang sudah sejak lama dia sukai. Candra mendekati Hayu dan berbisik di telinga Hayu, “Sekarang kamu sudah mengerti apa yang aku katakan bukan?” Seperti tersihir, dia menganggukkan kepalanya. Memang benar yang dikatakan Candra, dia harus menyiapkan mental, setelah ini bisa dipastikan cobaan akan semakin berat. Rasanya dia memang perlu stok sabar dan juga menjaga kewarasannya.
Jelita menghela nafas kasar, melanjutkan perkataannya yang terkesan lebih dominan ketimbang Bisma.“Semua yang kamu lakukan akan jadi pembicaraan publik yang akan berlangsung terus-menerus. Don’t be stupid, Bisma! Jadi siapa wanita itu, siapa wanita yang jadi pesaingku?”Bisma mendengus kasar, mana mungkin maminya tak memberitahukan Jelita, sepertinya tidak mungkin. Atau memang maminya menutupi Hayu, karena dia malu Bisma berhubungan dengan Hayu. Pikiran Bisma berkecamuk, antara mau memberitahukan Jelita atau tidak. Namun setelah menimbang-nimbang sebaiknya dia tidak mengatakan apapun pada jelita.“Nanti kamu juga akan tahu, sudahlah, aku mau bekerja lagi, kalau kamu jadi mengajakku pergi kamu datang saja menjemputku, barangkali kamu juga rindu dengan Candra dan mau melepaskan kerinduan kalian,” ucap Bisma mengejek Jelita.“Nggak usah aneh-aneh, sekarang kamu yang jadi calon suamiku!”Bisma berdecak k
Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Bisma keluar dari ruangannya, hendak menemui Hayu dan mengajaknya pulang, banyak hal yang ingin dia bicarakan. Sayangnya orang yang baru saja dia pikirkan itu terlihat sedang bersama seseorang. “Jelita?” Hayu sedang bersama Jelita saat Bisma mulai mendekat, sepertinya obrolan mereka asyik sekali, sampai-sampai tak tahu jika Bisma sudah ada di belakang mereka. Jelita yang mulai sadar, segera menyambut Bisma dan menggandeng tangganya. “Kita mau ke mana, kamu bilang kamu lagi stres, aku sudah datang ke sini, lho. Kamu menyuruhku menjemputmu, tadi? Finally aku udah di sini, Bisma,” ucapnya manja. Bisma tidak fokus dengan apa yang dikatakan Jelita, dia malah menatap Hayu yang juga sedang menatapnya. Mata Hayu menampakkan kebenciannya. Hayu sakit hati melihat pemandangan yang ada di hadapannya. Untungnya Candra yang hendak pulang melihat sekretarisnya itu sedang menyaksikan adegan dua insan yang tak tahu diri itu. Candra seg
“Aku sudah selesai makan, mau ke toilet, dan tak sengaja melihat kalian di sini, jadi sebagai kawan, tentu saja aku menyapa kalian. Ngomong-ngomong terima kasih tawarannya, Jel. Tapi sayangnya aku tidak tertarik!” Candra seolah memanasi mereka berdua. “Kamu! Apa kamu masih menyimpan rasa bencimu untukku!” seru Jelita menatap Candra. Menelisik, mencari kebohongan di bola matanya. Sungguh Jelita kecewa, tak ada tatapan penuh cinta yang terlihat di mata Candra seperti dulu, saat dia begitu menyukai Jelita. Entah kenapa Jelita merasa kecewa, padahal dia lebih menyukai Bisma ketimbang Candra. “Aku tidak mau membuang waktu dan energiku untuk membenci seseorang, Jelita. Kamu tahu itu. Kita sudah lama berteman jadi kamu tahu bagaimana watakku,” ucapnya santai. Dia melenggang pergi meninggalkan Bisma dan juga Jelita. Bisma menoleh menatap Jelita, “Apa kamu kecewa karena dia sudah tidak mencintaimu lagi? Jadi sebenarnya siapa yang kamu pilih di antara kami, Jel. Tolong