“Kita putus aja, Je.”
Jesatya mengerjap, ucapan Gia, pacar empat tahunnya itu terdengar mutlak. Makan siang yang sedang ia santap dengan lahap beberapa menit lalu tidak lagi membuatnya berselera.
“Wa—wait, wait, maksudnya apa sih? Tiba-tiba banget.” Jesatya meletakkan sendok dan garpunya di atas piring lalu menatap Gia lekat. Gadisnya itu tidak tampak bercanda sedikit pun.
“You heard me,” balas Gia. “Kita putus aja, Je. Apa kamu enggak capek? The sparks is gone.”
Jesatya menggeleng, menyanggah ucapan Gia itu. “Putus bukan jalan keluarnya, Gia. Kita udah pernah ngelewatin ini, ‘kan?”
Gia menggeleng pelan. Tidak seperti Jesatya yang beberapa menit lalu bisa menyantap makan siangnya dengan santai, Gia sama sekali tidak berselera sejak ia datang menemui Jesatya di restoran ini. Butuh keberanian yang banyak untuknya menemui Jesatya di sini dan mengatakan tujuan awalnya—walau, itu terasa begitu sulit untuk diungkapkan.
Setelah berpikir matang selama tiga malam, Gia kemudian memantapkan hati, bahwa ia tidak bisa lagi melanjutkan hubungannya bersama Jesatya. Putusmungkin memang adalah jalan keluarnya.
“Gia.” Suara Jesatya mulai terdengar pasrah. “Ini bukan cuma soal kita, Gia. Kamu tahu itu, ‘kan?”
Gia mengangguk-angguk, mengalihkan pandangannya ke mana saja asal bukan kepada manik mata Jesatya yang selalu menyejukkan, bahkan saat ini sekalipun.
“Kamu yang ngomong. Ke Mami, ke Mama ... ke semuanya, Je.”
“Enggak.” Jesatya menolak. Jika saja mengatakan hal ini terasa gampang, maka sejak dulu Jesatya akan mengatakannya, tanpa harus Gia yang minta. “Enggak bisa, Gia. Inget, delapan bulan lalu? We’ve tried, didn’t we? Tapi ... Enggak bisa, ‘kan?”
“Jesa, aku tahu ... aku tahu kamu juga enggak punya perasaan itu lagi sama aku. Kita enggak bisa maksa sesuatu, mau udah berapa lama hubungan kita jalan, ‘kan?”
Iya, gue tahu. Gue tahu itu, Gia ....
Jesatya sangat paham dengan maksud ucapan Gia. Sebab, bukan hanya Gia yang merasakan perasaan kosong itu, Jesatya juga sama. Perasaan itu hilang, entah sejak kapan.
Jesatya tidak lagi merasakan kupu-kupu saat bersama Gia. Jesatya tidak lagi merasa excited setiap bertemu dengan Gia. Jesatya merasa semuanya hampa, kosong, dan ia tidak tahu lagi harus mengubah perasaan itu untuk kembali ke perasaan semula. Berbagai cara telah Jesatya coba. Namun, hasilnya nihil. Perasaan itu benar-benar hilang. Baik baginya, maupun bagi Gia. There’s no more us.
“Aku cuma mau bilang itu. Aku mau ke kantor.” Gia bangkit dari duduknya, bermaksud untuk meninggalkan Jesatya saat itu juga.
“Gia,” panggil Jesatya, membuat Gia berhenti sejenak, menatap Jesatya dalam diam. “Apa ini karena seseorang? Is there... someone else?”
“No.” Gia langsung menjawab lalu berlalu pergi, tanpa membiarkan Jesatya menghentikan dirinya lagi.
Jesatya menghembuskan napas berat, menyandarkan tubuhnya ke sandaran di kursi. Setidaknya, tidak ada siapa pun yang merusak hubungan mereka.
“Sekarang ... apa?” gumam Jesatya.
***
Jesatya menghela napas—entah untuk yang keberapa kalinya setelah ia bertemu dengan Gia tadi. Ia tiba di kantor dengan perasaan yang campur aduk—antara lega dan bingung harus melakukan apa. Lega, karena Gia melakukan itu bukan karena orang ketiga dan bingung harus mengatakan apa kepada orang tua mereka.
Dulu, Jesatya dan Gia pernah mencoba mengakhiri hubungan mereka. Percobaan pertama itu ditentang habis-habisan oleh kedua orang tuanya dan Gia. Orang tuanya dan Gia sudah berteman lama dan tentu saja tidak ingin mengakhiri hubungan mereka begitu saja.
“Kalau hubungan udah lama pasti kayak gitu, Je, Gi. Pasti ada aja cobaannya. Percaya deh, kalian berdua pasti bisa ngelewatin ini kok. Jangan nyerah gitu, ya?” kata ibunya Jesatya kala itu, menasihati dirinya dan Gia.
Setiap Jesatya berpikir untuk mengakhiri hubungannya bersama Gia, yang terlintas di benaknya hanya satu; bagaimana cara yang benar untuk meyakinkan kedua orang tuanya agar mereka tahu, bahwa ia dan Gia tidak bisa lagi bersama.
“Kenapa lo?” tanya Raga, begitu Jesatya masuk ke dalam ruangan Haris, Editor in Chief-nya di Resandi.co, tempat ia bekerja.
“Gia?” Haris ikut menimpali, sembari membaca berkas-berkas yang telah menumpuk sejak pagi.
Jesatya tidak perlu repot-repot membenarkan ucapan Haris ataupun tatapan Raga. Sebab, memang tidak ada hal lain yang membuat wajah Jesatya kusut selain seorang Lutesha Gianina.
“Kenapa lagi?” tanya Haris dengan tenang tanpa menoleh ke arah Jesatya.
“Dia mau putus.”
Raga membulatkan mata begitu mendengar ucapan Jesatya. Harusnya dia tidak perlu kaget. “Lagi? Does she really hates you or what, Jes?” Raga terkekeh dan Jesatya menatapnya sebal.
Selain karena hanya Raga yang memanggilnya dengan ‘Jes’, ucapan Raga sebelum itu justru yang paling membuat Jesatya sebal. Mendengar Raga berkata demikian, Jesatya merasa ucapan pria itu ada benarnya juga sampai-sampai, teman-temannya tidak terkejut lagi jika mendengar kabar bahwa Gia ingin putus darinya.
Kenapa Gia mencoba pergi drinya—dengan bersikeras seperti itu?
“Jadi sekarang mau apa lagi? Enggak mungkin ditahan lagi.” sahut Haris.
Jesatya menggeleng, mengacak rambut kecokelatannya frustrasi. “Lo berdua tahu gue enggak bisa. Egoisnya Gia, dia nyuruh gue yang ngomong ke bokap nyokap.”
“Jes.” Raga meletakkan satu berkas yang sedang ia baca ke meja Haris dan menatap Jesatya. “Gue jadi penasaran kenapa mereka ngotot banget. Gimana kalau ternyata—lo dijual, Jes, buat nutupin hutang?”
Jesatya langsung menatap Raga tajam. Sedangkan yang ditatap hanya tertawa puas lalu mengambil setengah berkas yang ada di meja Haris dan membawanya keluar ruangan. Si Redaktur Pelaksana Resandi.co itu terkadang bisa sangat menyebalkan.
Haris ikut tertawa. “Mungkin udah saatnya lo bener-bener tanya sih, Je, kenapa orang tua lo sengotot itu buat mempertahankan hubungan lo sama Gia. Who knows? Bisa aja Raga bener, ‘kan?”
Jesatya bergeming, yang Haris dan Raga katakan mungkin ada benarnya.
Jesatya bangkit dari duduknya, menepuk pundak Haris. “Thanks, Ris.” ujarnya sambil meninggalkan ruangan Haris.
***
Gia tahu, berpisah dengan Jesatya bukanlah keputusan yang baik. Ada banyak muda mudi di luar sana yang berpacaran dan memiliki hubungan yang sudah di ujung tanduk seperti dirinya dan Jesatya. Gia juga tahu, muda mudi itu pasti sudah melakukan berbagai macam cara untuk mempertahankan hubungannya dan berakhir kembali dengan pasangan mereka masing-masing.
Namun, untuk kasus Gia dan Jesatya, rasanya tidak mungkin lagi untuk dipertahankan.
Tidak ada lagi Jesatya atau Gia yang memiliki konversasi random dan hanya mereka yang memahami hingga dapat tertawa bersama. Tidak ada lagi mereka yang berdebat untuk mendengarkan playlist siapa di mobil. Tidak ada lagi mereka yang senang duduk di ayunan balkon apartemen Jesatya sembari memandangi langit malam. Tidak ada lagi ucapan selamat pagi dan seterusnya. Semuanya, tidak ada lagi.
“Jadi, lo resmi putus?”
Gia mengalihkan pandangannya dari foto dirinya bersama Jesatya yang masih ia biarkan menempel di kubikel, kepada Ella, teman dekatnya di kantor.
“Mungkin?” balas Gia tidak yakin.
“Emang diiyain sama Jesa?” sahut Ella lagi.
Gia tidak menjawab dan Ella tahu jawabannya apa. “Berarti belum, lah.” kata Ella. “Lo putus kalau Jesatya juga ngomong gitu, Gi. Kalau belum, ya berarti belum. Lo yakin enggak bakalan nyesel, Gi?”
“Nyesel, ya.” Gia mengulang kata terakhir yang Ella sebutkan. Ia tersenyum tipis. “Gue udah mikirin matang-matang, La. Gue udah yakin sama keputusan gue. Gue enggak mau nyakitin Jesa lebih dalam lagi. Rasa itu udah enggak ada, La.”
“Kali aja lo cuma bosen, Gi, sama Jesa. Dan kali aja itu cuma sementara? Mungkin lo bisa healing berdua. Ke mana kek gitu.”
Gia menggeleng. Ia sudah mencoba saran Ella yang satu itu sekitar tiga bulan yang lalu. Ia dan Jesatya pergi ke Bandung untuk sekadar refreshing sambil mengunjungi keluarga Gia yang ada di sana. Tapi, hasilnya tidak ada.
“Oh, oke, udah pernah. Ke Bandung.” Ella menjawab sendiri dan manggut-manggut, membuat Gia tersenyum kecil padanya. “Bete gue sama lo berdua. Tapi, gue lebih bete sama diri sendiri.”
“Lah, kenapa jadi lo yang bete? Yang pacaran kan, gue sama Jesa.”
“Soalnya gue enggak bisa nolong lo berdua, Giiiii ....” Ella merengek, mengambil kursi kosong yang ada di sebelah kubikel Gia dan berpura-pura menangis. “Gue sayang banget sama lo berdua. Masa putus, sih?”
“Berarti gue sama Jesa enggak jodoh, La ....” Gia mengusap-usap punggung Ella yang masih berpura-pura menangis.
Ella mendengkus, menarik dirinya menjauh dari Gia. “Tapi, daripada nanti udah terlanjur nikah dan berhenti di tengah jalan, enggak enak juga.”
“Yap.” Gia mengangguk setuju. “Udah ah. Ayo kerja lagi. Mbak Stef udah mulai jalan-jalan tuh.”
Ella refleks menggeser kursi ke arah kubikelnya dan kembali bekerja, sebelum ia disemprot habis-habisan oleh Product Manager-nya itu.
***
“Mudah saja bagimu, mudah saja untukmu—“
Jesatya langsung mengganti channel radio di mobil ketika lagu Sheila On 7 berjudul Mudah Saja itu hampir memasuki bagian puncaknya. Jika sebelumnya ia hampir tidak pernah melewati lagu-lagu Sheila On 7, maka kali ini, beda. Jesatya sedang malas untuk mendengarkan lagu Sheila On 7yang mungkin agak mirip dengan kisah cintanya.
Jesatya tidak sedang memikirkan Gia. Ia hanya bingung dengan apa yang harus ia katakan kepada orang tuanya. Lagi pula, hei, kenapa Gia egois sekali menyuruh ia mengatakan ini semua seorang diri?
“Emang bener-bener lu, Gia.” gumam Jesatya sambil menggeleng pelan.
Di saat Jesatya sibuk memikirkan kalimat apa yang harus ia katakan kepada orang tuanya, konsentrasinya justru membuyar di perjalanan hingga ia terkesiap dan terpaksa menginjak rem mendadak ketika seseorang hampir saja menyebrang di depannya.
“Mampus gue,” gumam Jesatya sambil menarik rem tangannya dan bergegas turun dari mobil. Perjalanan menuju apartemennya itu tidak begitu ramai karena ia mengambil rute yang singkat.
Helaan napas lolos dari mulut Jesatya saat ia melihat orang yang hampir dia tabrak selamat dan terlihat sedang berjongkok tak jauh dari mobilnya. Maka, Jesatya memutuskan untuk menghampirinya dan memastikan bahwa seseorang yang sedang berjongkok itu memang manusia—bukan sesuatu yang lain.
“Hei,” sapa Jesatya takut-takut. “Mbak enggak apa-apa?”
Perempuan bersurai panjang itu menoleh. Kedua tangannya tampak sedang menggenggam seekor kucing kecil yang sepertinya melintas di jalan dan hampir Jesatya tabrak. Mata Jesatya membulat dan sekali lagi, ia bernapas lega.
“Ya ampun. Makasih banyak, Mbak, udah selamatin kucingnya. Tapi, Mbaknya enggak apa-apa, kan?”
Perempuan itu bangkit berdiri, mengelus kucing kecil yang sedang mengeong itu dengan kasih sayang. “Enggak apa.” jawab perempuan itu akhirnya sembari mendongakkan wajah untuk menatap Jesatya. “Kucingnya juga enggak apa-apa.”
“Syukurlah. Saya pikir ada apa-apa. Maaf, saya enggak lihat-lihat.” kata Jesatya.
Perempuan itu menggeleng. “Enggak. Masnya udah bener kok bawa mobil. Kucingnya aja yang enggak lihat-lihat. Saya juga salah main nyebrang aja.”
Jesatya mengangguk, memandangi perempuan itu yang berjalan ke tepi dan meletakkan lagi si kucing kecil ke tanah. Kucing kecil itu berlari dengan gesit—entah ke mana. Jesatya menatapnya hati-hati. Pergerakan si perempuan pun tampak hati-hati. Pelan dan anehnya malah menyita perhatian Jesatya—walau ia tidak tahu mengapa ia melakukan itu. Jesatya masih menatapnya, hingga suara klakson mobil dan teriakan seseorang mengagetkannya.
“Hoi! Lo pikir jalan punya bapak lo?!” teriak seseorang.
Jesatya mengerang dan berbalik. “Ugh, I wish.” bisiknya lalu menunduk kepada si pemilik mobil yang baru saja berteriak. “Maaf, Pak.” katanya sambil menepikan mobil.
Saat mobilnya sudah menepi, Jesatya keluar dari mobilnya dan mengedarkan pandangan, mencari-cari perempuan yang tadi hampir ia tabrak. Sialnya, perempuan itu menghilang begitu saja.
Seketika, sekujur tubuhnya merinding.
Gia merentangkan kedua tangannya ke atas, lalu ke kanan dan kiri dan sedikit menghela napas ketika akhirnya waktu kerja untuk hari ini telah selesai. Gadis itu sedikit melirik ke atas dari kubikelnya, memperhatikan beberapa rekan kerja yang juga melakukan hal yang sama dengannya. Percayalah, bekerja di depan laptop hampir seharian itu jauh lebih melelahkan. Karena itu pula, Gia harus menggunakan kacamata untuk bekerja.Gia mengambil ponselnya yang terletak di atas meja. Waktu telah menunjukkan pukul tujuh malam. Sebenarnya, Gia bisa saja pulang sebelum jam tujuh. Namun, pekerjaan hari ini terpaksa membuatnya mengundur waktu pulang.Satu notifikasi khusus yang Gia buat untuk Jesatya tiba-tiba terdengar. Gia terkesiap, membuka satu pesan yang baru saja Jesatya kirimkan untuknya. Random—tapi akan selalu membuat Gia tersenyum, karena itu adalah tipikal seorang Jesatya Sejati.Jesa: Gia, masa tadi aku ketemu setanGia semakin melebarkan senyumnya dan dengan cepat mengetikkan sebuah balasan
Jesatya sangat menantikan akhir pekannya minggu ini. Semua dikarenakan janjinya bersama Gia untuk makan siang bersama di Belle’s, tempat pertama kali mereka mulai menyandang status sebagai sepasang sekasih.Salah satu faktor hambarnya hubungan ia dan Gia adalah kesibukan masing-masing yang menghambat waktu untuk menghabiskan waktu bersama. Jesatya bahkan tidak ingat kapan terakhir kali ia mengajak Gia untuk pergi bersama di akhir pekan.Menyadari bagaimana ia pun merasa semangat hari ini, Jesatya yakin bahwa perasaannya kepada Gia masih tersimpan di lubuk hatinya yang paling dalam. Perasaannya seperti dulu—yang selalu tidak sabar untuk menghabiskan waktu bersama dengan Gia.“Jadi juga lo pergi?”Jesatya yang baru saja menuruni tangga di kediaman rumah Ardhias langsung disambut oleh Raga—si pemilik rumah yang sedang bersantai menikmati secangkir kopi hangat di ruang keluarga. Sadar dengan pertanyaan Raga yang sedikit sarkas, Jesatya tersenyum.“Jadi. Semoga,” ujarnya sambil menilik rum
Tanpa ada pesan, pun telepon dari Gia sore itu, membuat Jesatya menghela napas saat ia melihat Instagram Story milik Gia bersama Ezra dan Danish. Tidak, Jesatya sama sekali tidak cemburu dan marah melihat kedua teman satu kantornya makan siang bersama kekasihnya. Yang ia sesalkan, harusnya Gia dapat mengabari ke mana ia akan pergi kesibukannya hari ini.Jesatya meringis, membuka kacamata dan meletakkan benda itu ke atas meja di samping tempat tidur. Ia menatap lurus langit-langit kamarnya—di rumah Raga.Seharusnya, Jesatya memikirkan Gia dan juga rencana mereka hari ini. Tapi anehnya, wajah yang terbayang sore itu bukan milik Gia, melainkan milih Daisi yang memberikannya senyuman kecil sesaat sebelum mereka berpisah siang tadi.Dengan cepat, Jesatya menggeleng dan bangkit dari tidurnya. “Anjir, kenapa gue jadi mikirin dia? Udah sinting.”Di saat yang bersamaan, handphone Jesatya berdering dan mengagetkannya. Jesatya langsung meraih benda itu dan melihat ibunya menelepon. Tanpa menungg
“Minggu ini kita ke rumah Jesa.” Gia tidak pernah merasa sefrustrasi ini ketika mendapatkan pesan dari sang mami. Gia sudah menduga, cepat atau lambat, Mami dan Papinya akan mengetahui tentang hubungannya dan Jesa yang berada di ujung tanduk.Sudah beberapa hari sejak akhir pekan kemarin, Gia dan Jesatya masih belum bertukar kabar. Entah keduanya saling menunggu mengabari atau malah memang sengaja membiarkan semuanya berakhir dengan sendirinya.Sambil menyesap es kopi yang baru saja ia pesan di coffee shop lantai dasar kantornya, Gia menatap handphone-nya, memandangi pesan yang ia terima dari maminya pagi ini tanpa mengirimkan sebuah balasan. Gia yakin, Jesatya sudah mengetahui tentang ini lebih dulu darinya. Akan tetapi, pria itu tetap saja bungkam. Harusnya, ia membicarakan itu dengan Gia, bukan?Masih dengan memegang dan melihat handphone-nya di tangan, Gia mulai melangkahkan kaki menuju lift untuk kembali ke ruangannya.“Gia!”Perempuan itu berhenti, menoleh ke arah suara yang ba
Perjalanan menuju rumah orang tua Jesatya berlangsung hening. Tidak ada satu kata yang terucap dari Gia pun Jesatya. Setelah hari di mana Jesatya menghubunginya dan mengajak untuk berpisah di depan orang tuanya, Jesatya dan Gia tidak lagi saling menghubungi dan benar-benar seperti orang lain.Selama itu pula, Gia sama sekali tidak merasa merindukan atau memikirkan Jesatya. Tetapi ketika bertemu hari ini, Gia merasa sedih, sebab sejak Jesatya menjemputnya ke apartemen, tidak ada konversasi apa pun yang terjadi di dalam mobil.Mobil Jesatya kemudian berhenti di sebuah rumah mewah bertingkat dua, di mana pagarnya langsung terbuka secara otomatis ketika satpam rumah mengenali mobil milik Jesatya. Gia menatap rumah orang tua Jesatya itu dalam diam, ia bahkan tidak tahu kapan terakhir kali menginjakkan kaki ke rumah ini.“Hei,” panggil Jesatya, membuat Gia menoleh. “Nanti kita dengerin mereka ngomong dulu. Kalau udah, baru giliran kita.”
Gia merapikan selimut yang menyelimuti papinya di kamar rumah sakit. Setelah jatuhnya Willy hari itu di rumah Jesatya, ia sempat tak sadarkan diri seharian.Willy pernah operasi dan pemasangan ring pada jantungnya sekitar sembilan bulan yang lalu. Akhir-akhir ini, kondisinya memang sedang menurun dan sering mengeluh kepada istrinya, Liana. Rupanya, pembicaraan yang cukup serius di rumah Jesatya itu mampu membuatnya terjatuh dan tak sadarkan diri.Gia memandangi papinya dengan nanar. Melihat Willy terbaring lemah membuat air matanya menetes lagi dan memori terpaksa membawanya kembali ke tiga hari yang lalu saat mereka membawa Willy ke rumah sakit bersama keluarga Jesatya juga.Pertama kali melihat papinya tak sadarkan diri membuat Gia ketakutan setengah mati. Tangannya bergetar dan jantungnya tidak berhenti berdetak dengan cepat. Ia terlalu takut untuk memikirkan hal-hal yang mungkin dapat terjadi kepada Willy. Gia bahkan tidak menangis karena tak ingin
“Kak, lo beneran break sama Kak Gia, ya?”Hari ini adalah hari sabtu, lima hari setelah Jesatya dan Gia memutuskan untuk istirahat sejenak dari hubungan mereka. Jesatya tidak yakin dengan perbedaan kata break dan break up, sebenarnya. Menurutnya, kedua kata itu sama saja, tidak ada bedanya.Seperti biasanya di sabtu pagi, Jesatya membantu Rena menyirami tanaman peninggalan almarhumah ibunya di taman belakang yang masih Rena dan saudara lainnya jaga. Tanpa terkecuali, termasuk Jesatya juga yang telah lama mengenal keluarga itu.“Kenapa?” Jesatya bertanya tanpa mengalihkan pandangannya dari bunga-bunga cantik berwarna merah muda yang sedang ia siram.Rena mematikan selang airnya, menyudahi menyirami tanaman karena ia merasa telah cukup melakukan itu. Rena membalikkan tubuh, menatap punggung Jesatya. “Karena kemarin gue sempat lihat dia makan siang bareng cowok?”Ucapan Rena tersebut membu
“Free dari gue, Zra.”Ezra memandangi dua gelas es kopi susu yang baru saja Hazel letakkan di atas meja untuknya dan Danish. Mereka baru saja menyelesaikan sesi wawancara dengan Hazel, selaku pemiliki Haz Coffee Shop.“Thank you, Zel.” Ezra tersenyum dan menyesap es kopi miliknya. Kebetulan, setelah take berkali-kali dan mengulang pertanyaan yang sama, Ezra cukup kehausan.Ezra tidak begitu mengenal Hazel. Namun, ia lumayan sering datang ke kedai kopi ini karena direkomendasi oleh Raga dan Jesatya. Sedangkan Danish, karena memang sudah berteman dengan Rena dan Regi cukup lama, ia juga cukup sering duduk di Haz bersama teman-temannya. Menurut Danish, Haz memang lumayan populer di kalangan anak muda.“Rena belum ke sini, ya?” Suara berat Danish tahu-tahu mengudara setelah pria itu mengedarkan pandangan dan melirik arlojinya. Sudah jam 1 siang. “Biasanya jam segini dia udah dateng
Jesatya sudah memantapkan hatinya bahwa ia tidak akan marah kepada Ezra ketika bertemu lelaki itu di kantor. Hanya saja, setelah melihat wajah Ezra, ia justru teringat dengan Gia dan perasaan marah itu kembali muncul. Jesatya merasa dikhianati oleh keduanya.Padahal, belum tentu perasaan keduanya sama. Bisa saja hanya Gia yang menyukai Ezra. Sementara Ezra tidak demikian. Sejujurnya, Jesatya tidak masalah jika Gia menyukai orang lain. Tapi dari banyaknya orang lain, kenapa lelaki itu harus Ezra? Orang yang hampir setiap hari ia lihat di kantor di pagi hari.Mata Jesatya tidak berhenti mengikuti Ezra yang baru saja datang dan duduk di mejanya. Lelaki itu kemudian berdiri, pergi ke pantry dan duduk lagi membawa secangkir kopi. Ketika ia duduk, matanya bertemu pandang dengan Jesatya, tidak sadar bahwa lelaki berkacamata itu sejak tadi memperhatikannya.“Ngopi, Bang?” tanya Ezra.Jesatya menggeleng lalu menurunkan pandangannya, meremas kertas-kertas yang berserakan di atas meja. Ia menghe
“Kenapa sih lo bisa suka wasabi? Gue benci banget. Kayak pasta gigi.”Ezra tertawa mendengar komentar Gia yang merengut ketika melihat pria itu menambahkan wasabi ke dalam sausnya. Menurut Gia, rasa wasabi itu seperti pasta gigi. Sejak dulu hingga sekarang, Gia heran mengapa Ezra senang sekali menambahkan wasabi ketika sedang makan sushi bersama.“Enak tahu, Gi.” kata Ezra membela diri.“Lo doang yang bilang enak!” balas Gia tak mau kalah.“Gue dan para pecinta wasabi.”“Kata gue, lo semua aneh.”Ezra tertawa lagi dan menggelengkan kepalanya. “Lo enggak suka wasabi tapi lo suka mint choco.”“Itu dua hal yang berbeda, Ezra.”“Jelas sama.”Dahi Gia semakin mengernyit. “Mending kita udahin berdebatnya.”“Good idea.”Gia menggelengkan kepala sambil mengulum senyum di bibirnya. Diam-diam, Gia merasa berterima kasih kepada Ezra yang tadi tiba-tiba mengajaknya makan siang bersama. Sebab jika saat itu Ezra tidak menghubunginya, Gia pasti akan kalut di dalam kamarnya setelah telepon dari Liana
Gia melepas kacamatanya setelah berkutat cukup lama di depan laptop. Gadis itu memijit pelipisnya pelan, matanya sudah lelah menatap laptop selama beberapa jam. Gia pikir, hari Minggu-nya ini akan berakhir dengan baik, tanpa harus memeriksa pekerjaan pun tanpa harus menyentuh laptopnya.Namun sayang, Clarissa terlalu baik untuk membiarkan angan Gia itu menjadi kenyataan. Pada pukul sepuluh pagi tadi—tepat sebelum Gia hendak menikmati kolam renang apartemen, Clarissa tiba-tiba mengirimkan Email penting yang harus Gia periksa. Hasilnya, Gia harus menyelesaikan pekerjaannya itu hari ini juga. Maka dengan berat hati, Gia terpaksa merelakan hari Minggu-nya yang santai itu.Pekerjaan Gia selesai di pukul dua siang dan Gia sudah kehilangan selera untuk makan atau bahkan melanjutkan rencananya untuk berenang tadi pagi. Setelah menghabiskan es kopinya di dalam tumbler, Gia meraih ponselnya untuk memeriksa benda itu. Pada saat itu pula, sebuah panggilan muncul di ponselnya, memperlihatkan nama
Perkataan Ella tempo hari harusnya tidak perlu Gia pikirkan terlalu dalam. Namun nyatanya, Gia malah memikirkan perkataan Ella itu hari-hari berikutnya hingga akhir pekan kembali menyambutnya dan Ezra lagi. Hari ini, ia dan Ezra sepakat untuk belanja bulanan kebutuhan di apartemen masing-masing.Sambil memperhatikan Ezra yang sedang bingung memilih pembersih muka yang baru, Gia jadi kepikiran dengan kata-kata Ella lagi.Gia dan Ezra sudah berteman empat tahun lamanya. Ketika Ezra mengenalkan Gia kepada Jesatya, Ezra tahu bahwa keduanya akan berakhir memiliki hubungan yang spesial. Tetapi setelah itu, Gia tidak tahu tentang kehidupan asmara Ezra. Sama sekali.Sekarang, Gia menjadi merasa bersalah. Ezra selalu menjadi tempat bagi Gia untuk bercerita masalah hubungannya dengan Jesatya. Bahkan kalau dipikir-pikir, Ezra bisa saja menyebutkan kronologi penyebab bertengkar Gia dan Jesatya dari nomor satu sampai sekian.Ezra selalu menjadi pendengar yang baik. Tapi, ia tak pernah menceritakan
Gia menundukkan kepala dan dengan sengaja mengacak rambutnya agar menutupi wajah. Entah kenapa, Gia tidak ingin bertemu dengan Jesatya. Seketika keputusannya untuk datang ke Haz malam ini mengundang penyesalan. Gia tidak menduga ia bisa sedikit kesal melihat keakraban Jesatya dengan perempuan lain.Lalu, Gia tersentak dan mengangkat kepalanya. “Kenapa gue kayak gini, sih?! Enggak jelas.”“Luthesa,”Sekali lagi, Gia tersentak. Gia tidak mau repot-repot untuk menebak siapa yang sedang menyapanya. Hanya satu orang yang sering menyapanya dengan Luthesa. Hanya Jesatya Sejati, yang mampu melakukan itu.Tanpa diduga-duga, Jesatya duduk di hadapan Gia dan menyunggingkan senyum, tanpa canggung sedikit pun. Terkadang, Gia tidak habis pikir dengan Jesatya.“Kenapa nunduk-nunduk gitu?”“Enggak apa,” Gia menjawab dengan cepat, melempar pandangannya ke mana saja asal bukan kepada Jesatya.“Kenap
Suara tepuk tangan yang meriah langsung terdengar ketika Yovie and Nuno menyanyikan lagu kelima. Dikta, vokalisnya mengucapkan terima kasih sekali lagi sebelum pergi ke ruang istirahat yang sudah Hazel siapkan untuk mereka. Ketika panggung kosong, Samuel—salah satu Barista yang bekerja di Haz mengambil alih mikrofon.“Yah, kayaknya kita telat deh, Gi.” kata Ezra saat melihat panggung diisi oleh Samuel dan tidak melihat Yovie and Nuno ada di mana pun.“Lo sih tadi pakai acara ngajak makan dulu. Padahal gue udah bilang makan di Haz aja.” Gia pun merungut. Tadi ketika Ezra menjemputnya, pria itu malah mengajaknya makan malam dulu di luar.“Ya habisnya gue pengin ayam bakar deket apartemen lo itu. Enak sih.”Gia menggelengkan kepalanya dan duduk di kursi kosong yang diarahkan oleh staff di Haz. Sementara kepala Ezra sibuk mencari-cari sosok Hazel. Setidaknya, ia ingin mengucapkan terima kasih secara langsung karena Hazel telah mengundangnya malam ini.Berbeda dengan Ezra yang sibuk mencar
“Kak, lo beneran break sama Kak Gia, ya?”Hari ini adalah hari sabtu, lima hari setelah Jesatya dan Gia memutuskan untuk istirahat sejenak dari hubungan mereka. Jesatya tidak yakin dengan perbedaan kata break dan break up, sebenarnya. Menurutnya, kedua kata itu sama saja, tidak ada bedanya.Seperti biasanya di sabtu pagi, Jesatya membantu Rena menyirami tanaman peninggalan almarhumah ibunya di taman belakang yang masih Rena dan saudara lainnya jaga. Tanpa terkecuali, termasuk Jesatya juga yang telah lama mengenal keluarga itu.“Kenapa?” Jesatya bertanya tanpa mengalihkan pandangannya dari bunga-bunga cantik berwarna merah muda yang sedang ia siram.Rena mematikan selang airnya, menyudahi menyirami tanaman karena ia merasa telah cukup melakukan itu. Rena membalikkan tubuh, menatap punggung Jesatya. “Karena kemarin gue sempat lihat dia makan siang bareng cowok?”Ucapan Rena tersebut membu
“Free dari gue, Zra.”Ezra memandangi dua gelas es kopi susu yang baru saja Hazel letakkan di atas meja untuknya dan Danish. Mereka baru saja menyelesaikan sesi wawancara dengan Hazel, selaku pemiliki Haz Coffee Shop.“Thank you, Zel.” Ezra tersenyum dan menyesap es kopi miliknya. Kebetulan, setelah take berkali-kali dan mengulang pertanyaan yang sama, Ezra cukup kehausan.Ezra tidak begitu mengenal Hazel. Namun, ia lumayan sering datang ke kedai kopi ini karena direkomendasi oleh Raga dan Jesatya. Sedangkan Danish, karena memang sudah berteman dengan Rena dan Regi cukup lama, ia juga cukup sering duduk di Haz bersama teman-temannya. Menurut Danish, Haz memang lumayan populer di kalangan anak muda.“Rena belum ke sini, ya?” Suara berat Danish tahu-tahu mengudara setelah pria itu mengedarkan pandangan dan melirik arlojinya. Sudah jam 1 siang. “Biasanya jam segini dia udah dateng
“Kak, lo beneran break sama Kak Gia, ya?”Hari ini adalah hari sabtu, lima hari setelah Jesatya dan Gia memutuskan untuk istirahat sejenak dari hubungan mereka. Jesatya tidak yakin dengan perbedaan kata break dan break up, sebenarnya. Menurutnya, kedua kata itu sama saja, tidak ada bedanya.Seperti biasanya di sabtu pagi, Jesatya membantu Rena menyirami tanaman peninggalan almarhumah ibunya di taman belakang yang masih Rena dan saudara lainnya jaga. Tanpa terkecuali, termasuk Jesatya juga yang telah lama mengenal keluarga itu.“Kenapa?” Jesatya bertanya tanpa mengalihkan pandangannya dari bunga-bunga cantik berwarna merah muda yang sedang ia siram.Rena mematikan selang airnya, menyudahi menyirami tanaman karena ia merasa telah cukup melakukan itu. Rena membalikkan tubuh, menatap punggung Jesatya. “Karena kemarin gue sempat lihat dia makan siang bareng cowok?”Ucapan Rena tersebut membu