“Minggu ini kita ke rumah Jesa.” Gia tidak pernah merasa sefrustrasi ini ketika mendapatkan pesan dari sang mami. Gia sudah menduga, cepat atau lambat, Mami dan Papinya akan mengetahui tentang hubungannya dan Jesa yang berada di ujung tanduk.
Sudah beberapa hari sejak akhir pekan kemarin, Gia dan Jesatya masih belum bertukar kabar. Entah keduanya saling menunggu mengabari atau malah memang sengaja membiarkan semuanya berakhir dengan sendirinya.
Sambil menyesap es kopi yang baru saja ia pesan di coffee shop lantai dasar kantornya, Gia menatap handphone-nya, memandangi pesan yang ia terima dari maminya pagi ini tanpa mengirimkan sebuah balasan. Gia yakin, Jesatya sudah mengetahui tentang ini lebih dulu darinya. Akan tetapi, pria itu tetap saja bungkam. Harusnya, ia membicarakan itu dengan Gia, bukan?
Masih dengan memegang dan melihat handphone-nya di tangan, Gia mulai melangkahkan kaki menuju lift untuk kembali ke ruangannya.
“Gia!”
Perempuan itu berhenti, menoleh ke arah suara yang baru saja meneriaki namanya. Ia terperangah dan perlahan, sebuah senyuman manis terukir di wajahnya.
“Ezra ... kok di sini lagi, sih?”
Ezra, dengan senyuman lebarnya menghampiri Gia. “Gue ngasih draft ke Clarissa sebelum dicetak, Gi.”
“Yang kayak gitu bukannya bisa di email aja ya, Zra?”
“Enggak mau dia. Udah gue bilang di Email aja. Eh, malah disuruh dateng.”
Gia tersenyum. “Jangan-jangan dia naksir lo lagi, Zra!”
“Enggak!” Ezra langsung menolak mentah-mentah. Membayangkannya saja, Ezra sudah ngeri sendiri. “Gue enggak suka sama yang lebih tua.”
“Alah, cuma beda lima tahun doang, Zra.”
Ezra langsung menggeleng cepat. “Mau lebih tua tiga atau lima kek, tetap ogah.”
Gia tertawa lagi. Melihat bagaimana Ezra dengan terang-terangan menolak ditaksir oleh bosnya itu, tentu saja menjadi candaan tersendiri baginya. Sebab, Clarissa memang benar-benar tipikal seorang wanita karir yang masih betah menyendiri.
Gia kemudian menatap Ezra lekat. Empat tahun yang lalu saat pertama kali berkenalan dengan Ezra—hingga sekarang, Ezra juga belum memiliki seorang perempuan di hatinya. Setiap kali ditanya, Ezra juga akan memberikan jawaban yang serupa yang selalu diberikan oleh Clarissa, yaitu, masih betah sendirian.
“Zra,”
“Ya?” balas Ezra, merogoh isi ranselnya entah mencari apa.
“Jesa di kantor gimana? Lagi sibuk, ya?”
Ezra mendongak, menatap Gia. “Gi, gue tuh kerjanya di lapangan. Jarang banget ketemu sama Bang Jesa. Kalau lo tanya Danish gimana, gue bisa jawab. Tapi, kalau lo tanya Bang Jesa, gue enggak bisa jawab. Mending tanya Bang Raga atau Bang Haris aja.”
Gia berdecak sebal. “Iya, sih. Tapi, gue kan deketnya sama lo, Zra ... bukan sama mereka.”
“Ya udah,” balas Ezra. “Mending lo tanya orangnya langsung. Kenapa sih? Masih enggak baik setelah sabtu kemarin?”
Gia menggeleng pelan. “Enggak. Bahkan gue sama dia enggak ada kontakan lagi setelah itu, Zra.”
“Gemes gue lihat lo berdua,” kata Ezra. “Daripada menduga-duga, mending diomongin lagi. Ketemu, selesaiin. Daripada kayak gini.”
Gia menipiskan senyumnya melihat reaksi Ezra yang biasa saja. Sejak berpacaran dengan Jesatya, Gia hanya memiliki dua teman untuk mendengarkan keluh kesahnya. Dua orang tersebut adalah Ella dan Ezra. Ella, sebagai teman akrabnya di kantor dan Ezra, sebagai orang ia kenal lebih dulu daripada Jesatya dan kebetulan satu kantor dengan pria itu.
Selama Gia bercerita dengan Ezra, Gia tidak pernah menduga-duga apakah Ezra bosan dengan cerita ketidakjelasan hubungannya bersama Jesatya. Namun hari ini, melihat Ezra memberikan reaksi seperti itu, sepertinya Gia tahu bahwa ia sudah sedikit kesal karena masalah yang Gia ceritakan selalu saja sama.
“Zra, lo bosen ya gue ceritain masalah ini terus?”
Ezra menoleh, tampak terkejut mendengar pertanyaan yang Gia lontarkan. “Ngomong apa sih, Gi? Kapan gue bilang gue bosen? Jangan suka berprasangka buruk deh, Gi.”
“Tapi lo kayak kesel kalau gue cerita.”
“Bener, gue kesel.” Ezra mengakui. “Kesel karena gerak lo cuma di situ doang, Gi. Jesa juga sama. Padahal sebenernya, kalau lo berdua mau memperbaiki hubungan lo itu, bisa aja. Tapi, semuanya balik ke diri lo masing-masing lagi.”
Gia menghela napas. Sungguh, Gia juga bingung dengan apa yang ia inginkan. Di sisi lain, tuntutan dari orang tuanya dan Jesatya lebih menjadi beban daripada dengan ketidakjelasan hubungan yang ia miliki bersama Jesatya. Gia merasa seperti dikontrol dan ucapan mereka adalah mutlak.
Orang tuanya merasa apa yang mereka putuskan untuk Gia sudah yang terbaik, tetapi Gia dan Jesatya merasa sebaliknya. Ini kehidupan Gia, seharusnya, ia yang paling tahu apa yang ia rasakan.
“Hei, Ezra!”
Gia dan Ezra sama-sama menoleh kepada Clarissa yang baru saja keluar dari lift bersama sekretarisnya. Wanita berambut panjang berwarna cokelat itu ia biarkan terurai. Jangan lupakan bagaimana modisnya seorang CEO Produk Kecantikan. Oh, dan juga, tas tangannya yang bermerk mahal itu.
“Lo belum pulang?” sapanya ketika ia menghampiri Gia dan Ezra. Matanya menatap lurus ke Ezra dan seolah menganggap Gia tidak ada di sana sama sekali.
“Belum, Bu. Ngobrol sama Gia dulu.” balas Ezra sopan.
Clarissa mengernyitkan dahinya, tidak menyukai bagaimana cara Ezra memanggilnya di luar pekerjaan. “No, no—jangan panggil gue Ibu. Clarissa aja.”
Gia mengalihkan pandangannya, berusaha untuk menahan senyum agar tidak terlalu jelas bahwa ia sedang menertawai Ezra sekarang. Sementara itu, Ezra tampak terkejut dan salah tingkah.
“Oke.” kata Ezra singkat. Pria itu sampai bingung harus mengatakan apa lagi.
Clarissa tersenyum lalu menyentuh bahu Ezra dan berkata, “Gue duluan ya. Hati-hati lo pulangnya.”
Ezra mengerjap dan Clarissa pergi melewatinya entah ke mana bersama sekretarisnya itu. Setelah Clarissa sudah cukup jauh, tawa Gia langsung meledak.
“Gue bilang juga apa, Zra! Dia beneran naksir lo!”
“Gi, sumpah … gue merinding!”
“Selamat ya, Zra … bentar lagi lo jadi kaya!”
“Amit-amit!”
***
Jesatya baru saja mengistirahatkan matanya setelah berkutat selama tiga jam penuh di depan komputer. Ia bersandar pada sandaran kursi, menatap langit-langit ruangannya dan memutar kursinya itu. Sambil memejamkan mata, Jesatya sedang membayangkan menu makanan yang akan ia santap sepulang kerja nanti dan membawanya pulang ke rumah Raga.
“Sakit pinggang kalau meeting selalu berjam-jam kayak gini.”
Jesatya membuka matanya lalu melihat Raga dan Haris yang baru saja masuk ke ruangan dengan mengeluh. Memang, Jesatya belum melihat Raga dan Haris lagi sejak pergi ke ruangan divisi lain tiga jam yang lalu untuk menghadiri rapat.
Raga tampak begitu lelah sambil meletakkan Ipad-nya di kubikel dan duduk di kursi sambil bersandar, melakukan apa yang Jesatya lakukan.
“Lama amat? Bahas apa sih?” tanya Jesatya.
“Biasa lah. Ditanyain mau release yang mana supaya bisa disamain dengan konten untuk I*******m.” Haris yang menjawab sambil membawa dua gelas air putih untuknya dan Raga. “Eh, sorry ya, Je, lo ambil sendiri aja.”
Jesatya tentu saja tidak memperdulikan itu dan berencana untuk kembali memejamkan matanya sebelum kembali berkeja.
“Eh, Si Hazel makin-makin sukses aja, nih.” Tahu-tahu saja, Raga menyahut. Mendengar nama Hazel dibuat membuat Jesatya mengurungkan niatnya untuk kembali mengistirahatkan matanya.
“Kenapa sama Hazel?” tanya Jesatya penasaran.
“Iya. Tadi, diminta buat wawancara Haz supaya dimuat di majalah terus kalau bisa mau ada Live I*******m bareng gitu. Itu juga kalau Hazel mau, sih.” jelas Raga.
Membicarakan Hazel, tentu saja membuat Jesatya teringat dengan Daisi. Entah ada setan apa yang merasuki Jesatya siang itu, ia tiba-tiba bersemangat untuk mendengarkan rencana ini lebih lanjut. Gilanya lagi, ia ingin ikut dengan Ezra jika Hazel memang bersedia untuk di-wawancarai.
Sadar dengan apa yang sedang ia pikirkan, Jesatya langsung menggelengkan kepalanya, berusaha menghapus tentang Daisi dari kepalanya. Terlepas dengan ketidakjelasan hubungannya bersama Gia, status Gia di dalam hidupnya masih sama. Masih sebagai pacarnya dan Jesatya jelas tidak ingin menjadi laki-laki yang brengsek.
“Astaga … kayaknya gue udah gila deh.” gumam Jesatya, mengundang tanda tanya dari Raga dan Haris.
“Kenapa lo?” tanya Haris kemudian.
Jesatya menggeleng lagi dan bangkit dari duduknya lalu mengambil ponselnya yang terletak di atas meja. “Gue ngopi ke bawah dulu ya.”
Jesatya kemudian pergi meninggalkan ruangannya, masih membuat penasaran kedua temannya. Namun, tidak mau banyak bertanya, Raga dan Haris pun kembali ke pekerjaan masing-masing dan membiarkan Jesatya mengambil waktunya sebanyak mungkin untuk beristirahat.
***
Hari-hari saat berpacaran dengan Gia di awal-awal tahun terasa mengasyikkan. Jesatya selalu tidak sabar untuk bertemu Gia. Tidak sabar untuk memeluknya, menciumnya, atau hanya sekadar bergandengan tangan saja. Namun sekarang, terasa sulit untuk dilakukan. Belum lagi, Jesatya tidak bisa menghentikan kepalanya yang sibuk memikirkan Daisi.
Jesatya tahu, bahwa ia sedang tertarik dengan perempuan yang baru saja ia kenal itu. Rasa ketertarikannya itu membuatnya merasa bersalah kepada Gia. Jesatya menatap ponselnya, melihat satu per satu fotonya bersama Gia yang sudah disimpan sejak berbulan-bulan yang lalu. Jesatya bahkan tidak ingat kapan terakhir kali Gia mau berfoto bersamanya.
Setelah tidak menghubungi Gia selama beberapa hari, hari ini, Jesatya memutuskan untuk meneleponnya duluan.
“Halo?” sapa Gia di seberang sana.
Jesatya tersenyum. “Hei. Lagi kerja?”
“Iya. Tapi enggak sibuk banget kok. Kenapa?”
“Weekend ini kita bakalan dinner. Tahu?”
Gia terdiam sejenak sebelum akhirnya hanya bergumam untuk membalas.
“Jadi … ayo kita putus, Gia.”
“Hah?”
“Putus … di depan orang tua kita. Supaya semuanya jelas.”
Perjalanan menuju rumah orang tua Jesatya berlangsung hening. Tidak ada satu kata yang terucap dari Gia pun Jesatya. Setelah hari di mana Jesatya menghubunginya dan mengajak untuk berpisah di depan orang tuanya, Jesatya dan Gia tidak lagi saling menghubungi dan benar-benar seperti orang lain.Selama itu pula, Gia sama sekali tidak merasa merindukan atau memikirkan Jesatya. Tetapi ketika bertemu hari ini, Gia merasa sedih, sebab sejak Jesatya menjemputnya ke apartemen, tidak ada konversasi apa pun yang terjadi di dalam mobil.Mobil Jesatya kemudian berhenti di sebuah rumah mewah bertingkat dua, di mana pagarnya langsung terbuka secara otomatis ketika satpam rumah mengenali mobil milik Jesatya. Gia menatap rumah orang tua Jesatya itu dalam diam, ia bahkan tidak tahu kapan terakhir kali menginjakkan kaki ke rumah ini.“Hei,” panggil Jesatya, membuat Gia menoleh. “Nanti kita dengerin mereka ngomong dulu. Kalau udah, baru giliran kita.”
Gia merapikan selimut yang menyelimuti papinya di kamar rumah sakit. Setelah jatuhnya Willy hari itu di rumah Jesatya, ia sempat tak sadarkan diri seharian.Willy pernah operasi dan pemasangan ring pada jantungnya sekitar sembilan bulan yang lalu. Akhir-akhir ini, kondisinya memang sedang menurun dan sering mengeluh kepada istrinya, Liana. Rupanya, pembicaraan yang cukup serius di rumah Jesatya itu mampu membuatnya terjatuh dan tak sadarkan diri.Gia memandangi papinya dengan nanar. Melihat Willy terbaring lemah membuat air matanya menetes lagi dan memori terpaksa membawanya kembali ke tiga hari yang lalu saat mereka membawa Willy ke rumah sakit bersama keluarga Jesatya juga.Pertama kali melihat papinya tak sadarkan diri membuat Gia ketakutan setengah mati. Tangannya bergetar dan jantungnya tidak berhenti berdetak dengan cepat. Ia terlalu takut untuk memikirkan hal-hal yang mungkin dapat terjadi kepada Willy. Gia bahkan tidak menangis karena tak ingin
“Kak, lo beneran break sama Kak Gia, ya?”Hari ini adalah hari sabtu, lima hari setelah Jesatya dan Gia memutuskan untuk istirahat sejenak dari hubungan mereka. Jesatya tidak yakin dengan perbedaan kata break dan break up, sebenarnya. Menurutnya, kedua kata itu sama saja, tidak ada bedanya.Seperti biasanya di sabtu pagi, Jesatya membantu Rena menyirami tanaman peninggalan almarhumah ibunya di taman belakang yang masih Rena dan saudara lainnya jaga. Tanpa terkecuali, termasuk Jesatya juga yang telah lama mengenal keluarga itu.“Kenapa?” Jesatya bertanya tanpa mengalihkan pandangannya dari bunga-bunga cantik berwarna merah muda yang sedang ia siram.Rena mematikan selang airnya, menyudahi menyirami tanaman karena ia merasa telah cukup melakukan itu. Rena membalikkan tubuh, menatap punggung Jesatya. “Karena kemarin gue sempat lihat dia makan siang bareng cowok?”Ucapan Rena tersebut membu
“Free dari gue, Zra.”Ezra memandangi dua gelas es kopi susu yang baru saja Hazel letakkan di atas meja untuknya dan Danish. Mereka baru saja menyelesaikan sesi wawancara dengan Hazel, selaku pemiliki Haz Coffee Shop.“Thank you, Zel.” Ezra tersenyum dan menyesap es kopi miliknya. Kebetulan, setelah take berkali-kali dan mengulang pertanyaan yang sama, Ezra cukup kehausan.Ezra tidak begitu mengenal Hazel. Namun, ia lumayan sering datang ke kedai kopi ini karena direkomendasi oleh Raga dan Jesatya. Sedangkan Danish, karena memang sudah berteman dengan Rena dan Regi cukup lama, ia juga cukup sering duduk di Haz bersama teman-temannya. Menurut Danish, Haz memang lumayan populer di kalangan anak muda.“Rena belum ke sini, ya?” Suara berat Danish tahu-tahu mengudara setelah pria itu mengedarkan pandangan dan melirik arlojinya. Sudah jam 1 siang. “Biasanya jam segini dia udah dateng
“Kak, lo beneran break sama Kak Gia, ya?”Hari ini adalah hari sabtu, lima hari setelah Jesatya dan Gia memutuskan untuk istirahat sejenak dari hubungan mereka. Jesatya tidak yakin dengan perbedaan kata break dan break up, sebenarnya. Menurutnya, kedua kata itu sama saja, tidak ada bedanya.Seperti biasanya di sabtu pagi, Jesatya membantu Rena menyirami tanaman peninggalan almarhumah ibunya di taman belakang yang masih Rena dan saudara lainnya jaga. Tanpa terkecuali, termasuk Jesatya juga yang telah lama mengenal keluarga itu.“Kenapa?” Jesatya bertanya tanpa mengalihkan pandangannya dari bunga-bunga cantik berwarna merah muda yang sedang ia siram.Rena mematikan selang airnya, menyudahi menyirami tanaman karena ia merasa telah cukup melakukan itu. Rena membalikkan tubuh, menatap punggung Jesatya. “Karena kemarin gue sempat lihat dia makan siang bareng cowok?”Ucapan Rena tersebut membu
Suara tepuk tangan yang meriah langsung terdengar ketika Yovie and Nuno menyanyikan lagu kelima. Dikta, vokalisnya mengucapkan terima kasih sekali lagi sebelum pergi ke ruang istirahat yang sudah Hazel siapkan untuk mereka. Ketika panggung kosong, Samuel—salah satu Barista yang bekerja di Haz mengambil alih mikrofon.“Yah, kayaknya kita telat deh, Gi.” kata Ezra saat melihat panggung diisi oleh Samuel dan tidak melihat Yovie and Nuno ada di mana pun.“Lo sih tadi pakai acara ngajak makan dulu. Padahal gue udah bilang makan di Haz aja.” Gia pun merungut. Tadi ketika Ezra menjemputnya, pria itu malah mengajaknya makan malam dulu di luar.“Ya habisnya gue pengin ayam bakar deket apartemen lo itu. Enak sih.”Gia menggelengkan kepalanya dan duduk di kursi kosong yang diarahkan oleh staff di Haz. Sementara kepala Ezra sibuk mencari-cari sosok Hazel. Setidaknya, ia ingin mengucapkan terima kasih secara langsung karena Hazel telah mengundangnya malam ini.Berbeda dengan Ezra yang sibuk mencar
Gia menundukkan kepala dan dengan sengaja mengacak rambutnya agar menutupi wajah. Entah kenapa, Gia tidak ingin bertemu dengan Jesatya. Seketika keputusannya untuk datang ke Haz malam ini mengundang penyesalan. Gia tidak menduga ia bisa sedikit kesal melihat keakraban Jesatya dengan perempuan lain.Lalu, Gia tersentak dan mengangkat kepalanya. “Kenapa gue kayak gini, sih?! Enggak jelas.”“Luthesa,”Sekali lagi, Gia tersentak. Gia tidak mau repot-repot untuk menebak siapa yang sedang menyapanya. Hanya satu orang yang sering menyapanya dengan Luthesa. Hanya Jesatya Sejati, yang mampu melakukan itu.Tanpa diduga-duga, Jesatya duduk di hadapan Gia dan menyunggingkan senyum, tanpa canggung sedikit pun. Terkadang, Gia tidak habis pikir dengan Jesatya.“Kenapa nunduk-nunduk gitu?”“Enggak apa,” Gia menjawab dengan cepat, melempar pandangannya ke mana saja asal bukan kepada Jesatya.“Kenap
Perkataan Ella tempo hari harusnya tidak perlu Gia pikirkan terlalu dalam. Namun nyatanya, Gia malah memikirkan perkataan Ella itu hari-hari berikutnya hingga akhir pekan kembali menyambutnya dan Ezra lagi. Hari ini, ia dan Ezra sepakat untuk belanja bulanan kebutuhan di apartemen masing-masing.Sambil memperhatikan Ezra yang sedang bingung memilih pembersih muka yang baru, Gia jadi kepikiran dengan kata-kata Ella lagi.Gia dan Ezra sudah berteman empat tahun lamanya. Ketika Ezra mengenalkan Gia kepada Jesatya, Ezra tahu bahwa keduanya akan berakhir memiliki hubungan yang spesial. Tetapi setelah itu, Gia tidak tahu tentang kehidupan asmara Ezra. Sama sekali.Sekarang, Gia menjadi merasa bersalah. Ezra selalu menjadi tempat bagi Gia untuk bercerita masalah hubungannya dengan Jesatya. Bahkan kalau dipikir-pikir, Ezra bisa saja menyebutkan kronologi penyebab bertengkar Gia dan Jesatya dari nomor satu sampai sekian.Ezra selalu menjadi pendengar yang baik. Tapi, ia tak pernah menceritakan
Jesatya sudah memantapkan hatinya bahwa ia tidak akan marah kepada Ezra ketika bertemu lelaki itu di kantor. Hanya saja, setelah melihat wajah Ezra, ia justru teringat dengan Gia dan perasaan marah itu kembali muncul. Jesatya merasa dikhianati oleh keduanya.Padahal, belum tentu perasaan keduanya sama. Bisa saja hanya Gia yang menyukai Ezra. Sementara Ezra tidak demikian. Sejujurnya, Jesatya tidak masalah jika Gia menyukai orang lain. Tapi dari banyaknya orang lain, kenapa lelaki itu harus Ezra? Orang yang hampir setiap hari ia lihat di kantor di pagi hari.Mata Jesatya tidak berhenti mengikuti Ezra yang baru saja datang dan duduk di mejanya. Lelaki itu kemudian berdiri, pergi ke pantry dan duduk lagi membawa secangkir kopi. Ketika ia duduk, matanya bertemu pandang dengan Jesatya, tidak sadar bahwa lelaki berkacamata itu sejak tadi memperhatikannya.“Ngopi, Bang?” tanya Ezra.Jesatya menggeleng lalu menurunkan pandangannya, meremas kertas-kertas yang berserakan di atas meja. Ia menghe
“Kenapa sih lo bisa suka wasabi? Gue benci banget. Kayak pasta gigi.”Ezra tertawa mendengar komentar Gia yang merengut ketika melihat pria itu menambahkan wasabi ke dalam sausnya. Menurut Gia, rasa wasabi itu seperti pasta gigi. Sejak dulu hingga sekarang, Gia heran mengapa Ezra senang sekali menambahkan wasabi ketika sedang makan sushi bersama.“Enak tahu, Gi.” kata Ezra membela diri.“Lo doang yang bilang enak!” balas Gia tak mau kalah.“Gue dan para pecinta wasabi.”“Kata gue, lo semua aneh.”Ezra tertawa lagi dan menggelengkan kepalanya. “Lo enggak suka wasabi tapi lo suka mint choco.”“Itu dua hal yang berbeda, Ezra.”“Jelas sama.”Dahi Gia semakin mengernyit. “Mending kita udahin berdebatnya.”“Good idea.”Gia menggelengkan kepala sambil mengulum senyum di bibirnya. Diam-diam, Gia merasa berterima kasih kepada Ezra yang tadi tiba-tiba mengajaknya makan siang bersama. Sebab jika saat itu Ezra tidak menghubunginya, Gia pasti akan kalut di dalam kamarnya setelah telepon dari Liana
Gia melepas kacamatanya setelah berkutat cukup lama di depan laptop. Gadis itu memijit pelipisnya pelan, matanya sudah lelah menatap laptop selama beberapa jam. Gia pikir, hari Minggu-nya ini akan berakhir dengan baik, tanpa harus memeriksa pekerjaan pun tanpa harus menyentuh laptopnya.Namun sayang, Clarissa terlalu baik untuk membiarkan angan Gia itu menjadi kenyataan. Pada pukul sepuluh pagi tadi—tepat sebelum Gia hendak menikmati kolam renang apartemen, Clarissa tiba-tiba mengirimkan Email penting yang harus Gia periksa. Hasilnya, Gia harus menyelesaikan pekerjaannya itu hari ini juga. Maka dengan berat hati, Gia terpaksa merelakan hari Minggu-nya yang santai itu.Pekerjaan Gia selesai di pukul dua siang dan Gia sudah kehilangan selera untuk makan atau bahkan melanjutkan rencananya untuk berenang tadi pagi. Setelah menghabiskan es kopinya di dalam tumbler, Gia meraih ponselnya untuk memeriksa benda itu. Pada saat itu pula, sebuah panggilan muncul di ponselnya, memperlihatkan nama
Perkataan Ella tempo hari harusnya tidak perlu Gia pikirkan terlalu dalam. Namun nyatanya, Gia malah memikirkan perkataan Ella itu hari-hari berikutnya hingga akhir pekan kembali menyambutnya dan Ezra lagi. Hari ini, ia dan Ezra sepakat untuk belanja bulanan kebutuhan di apartemen masing-masing.Sambil memperhatikan Ezra yang sedang bingung memilih pembersih muka yang baru, Gia jadi kepikiran dengan kata-kata Ella lagi.Gia dan Ezra sudah berteman empat tahun lamanya. Ketika Ezra mengenalkan Gia kepada Jesatya, Ezra tahu bahwa keduanya akan berakhir memiliki hubungan yang spesial. Tetapi setelah itu, Gia tidak tahu tentang kehidupan asmara Ezra. Sama sekali.Sekarang, Gia menjadi merasa bersalah. Ezra selalu menjadi tempat bagi Gia untuk bercerita masalah hubungannya dengan Jesatya. Bahkan kalau dipikir-pikir, Ezra bisa saja menyebutkan kronologi penyebab bertengkar Gia dan Jesatya dari nomor satu sampai sekian.Ezra selalu menjadi pendengar yang baik. Tapi, ia tak pernah menceritakan
Gia menundukkan kepala dan dengan sengaja mengacak rambutnya agar menutupi wajah. Entah kenapa, Gia tidak ingin bertemu dengan Jesatya. Seketika keputusannya untuk datang ke Haz malam ini mengundang penyesalan. Gia tidak menduga ia bisa sedikit kesal melihat keakraban Jesatya dengan perempuan lain.Lalu, Gia tersentak dan mengangkat kepalanya. “Kenapa gue kayak gini, sih?! Enggak jelas.”“Luthesa,”Sekali lagi, Gia tersentak. Gia tidak mau repot-repot untuk menebak siapa yang sedang menyapanya. Hanya satu orang yang sering menyapanya dengan Luthesa. Hanya Jesatya Sejati, yang mampu melakukan itu.Tanpa diduga-duga, Jesatya duduk di hadapan Gia dan menyunggingkan senyum, tanpa canggung sedikit pun. Terkadang, Gia tidak habis pikir dengan Jesatya.“Kenapa nunduk-nunduk gitu?”“Enggak apa,” Gia menjawab dengan cepat, melempar pandangannya ke mana saja asal bukan kepada Jesatya.“Kenap
Suara tepuk tangan yang meriah langsung terdengar ketika Yovie and Nuno menyanyikan lagu kelima. Dikta, vokalisnya mengucapkan terima kasih sekali lagi sebelum pergi ke ruang istirahat yang sudah Hazel siapkan untuk mereka. Ketika panggung kosong, Samuel—salah satu Barista yang bekerja di Haz mengambil alih mikrofon.“Yah, kayaknya kita telat deh, Gi.” kata Ezra saat melihat panggung diisi oleh Samuel dan tidak melihat Yovie and Nuno ada di mana pun.“Lo sih tadi pakai acara ngajak makan dulu. Padahal gue udah bilang makan di Haz aja.” Gia pun merungut. Tadi ketika Ezra menjemputnya, pria itu malah mengajaknya makan malam dulu di luar.“Ya habisnya gue pengin ayam bakar deket apartemen lo itu. Enak sih.”Gia menggelengkan kepalanya dan duduk di kursi kosong yang diarahkan oleh staff di Haz. Sementara kepala Ezra sibuk mencari-cari sosok Hazel. Setidaknya, ia ingin mengucapkan terima kasih secara langsung karena Hazel telah mengundangnya malam ini.Berbeda dengan Ezra yang sibuk mencar
“Kak, lo beneran break sama Kak Gia, ya?”Hari ini adalah hari sabtu, lima hari setelah Jesatya dan Gia memutuskan untuk istirahat sejenak dari hubungan mereka. Jesatya tidak yakin dengan perbedaan kata break dan break up, sebenarnya. Menurutnya, kedua kata itu sama saja, tidak ada bedanya.Seperti biasanya di sabtu pagi, Jesatya membantu Rena menyirami tanaman peninggalan almarhumah ibunya di taman belakang yang masih Rena dan saudara lainnya jaga. Tanpa terkecuali, termasuk Jesatya juga yang telah lama mengenal keluarga itu.“Kenapa?” Jesatya bertanya tanpa mengalihkan pandangannya dari bunga-bunga cantik berwarna merah muda yang sedang ia siram.Rena mematikan selang airnya, menyudahi menyirami tanaman karena ia merasa telah cukup melakukan itu. Rena membalikkan tubuh, menatap punggung Jesatya. “Karena kemarin gue sempat lihat dia makan siang bareng cowok?”Ucapan Rena tersebut membu
“Free dari gue, Zra.”Ezra memandangi dua gelas es kopi susu yang baru saja Hazel letakkan di atas meja untuknya dan Danish. Mereka baru saja menyelesaikan sesi wawancara dengan Hazel, selaku pemiliki Haz Coffee Shop.“Thank you, Zel.” Ezra tersenyum dan menyesap es kopi miliknya. Kebetulan, setelah take berkali-kali dan mengulang pertanyaan yang sama, Ezra cukup kehausan.Ezra tidak begitu mengenal Hazel. Namun, ia lumayan sering datang ke kedai kopi ini karena direkomendasi oleh Raga dan Jesatya. Sedangkan Danish, karena memang sudah berteman dengan Rena dan Regi cukup lama, ia juga cukup sering duduk di Haz bersama teman-temannya. Menurut Danish, Haz memang lumayan populer di kalangan anak muda.“Rena belum ke sini, ya?” Suara berat Danish tahu-tahu mengudara setelah pria itu mengedarkan pandangan dan melirik arlojinya. Sudah jam 1 siang. “Biasanya jam segini dia udah dateng
“Kak, lo beneran break sama Kak Gia, ya?”Hari ini adalah hari sabtu, lima hari setelah Jesatya dan Gia memutuskan untuk istirahat sejenak dari hubungan mereka. Jesatya tidak yakin dengan perbedaan kata break dan break up, sebenarnya. Menurutnya, kedua kata itu sama saja, tidak ada bedanya.Seperti biasanya di sabtu pagi, Jesatya membantu Rena menyirami tanaman peninggalan almarhumah ibunya di taman belakang yang masih Rena dan saudara lainnya jaga. Tanpa terkecuali, termasuk Jesatya juga yang telah lama mengenal keluarga itu.“Kenapa?” Jesatya bertanya tanpa mengalihkan pandangannya dari bunga-bunga cantik berwarna merah muda yang sedang ia siram.Rena mematikan selang airnya, menyudahi menyirami tanaman karena ia merasa telah cukup melakukan itu. Rena membalikkan tubuh, menatap punggung Jesatya. “Karena kemarin gue sempat lihat dia makan siang bareng cowok?”Ucapan Rena tersebut membu