Tanpa ada pesan, pun telepon dari Gia sore itu, membuat Jesatya menghela napas saat ia melihat I*******m Story milik Gia bersama Ezra dan Danish. Tidak, Jesatya sama sekali tidak cemburu dan marah melihat kedua teman satu kantornya makan siang bersama kekasihnya. Yang ia sesalkan, harusnya Gia dapat mengabari ke mana ia akan pergi kesibukannya hari ini.
Jesatya meringis, membuka kacamata dan meletakkan benda itu ke atas meja di samping tempat tidur. Ia menatap lurus langit-langit kamarnya—di rumah Raga.
Seharusnya, Jesatya memikirkan Gia dan juga rencana mereka hari ini. Tapi anehnya, wajah yang terbayang sore itu bukan milik Gia, melainkan milih Daisi yang memberikannya senyuman kecil sesaat sebelum mereka berpisah siang tadi.
Dengan cepat, Jesatya menggeleng dan bangkit dari tidurnya. “Anjir, kenapa gue jadi mikirin dia? Udah sinting.”
Di saat yang bersamaan, handphone Jesatya berdering dan mengagetkannya. Jesatya langsung meraih benda itu dan melihat ibunya menelepon. Tanpa menunggu lagi, Jesatya langsung mengangkatnya.
“Ya, Ma?”
“Kamu di mana, Jes?”
“Di rumah Raga.” Jesatya menyengir, walau tahu ibunya tidak akan bisa melihat itu. Seperti yang sudah-sudah, ibunya langsung mengeluh.
“Di sana lagi. Kayak enggak punya rumah aja.”
Jesatya tertawa. Komentar ibunya itu persis sekali dengan komentar yang selalu Gia berikan setiap Jesatya menginap di rumah Raga.
“Kenapa, Ma?” tanya Jesatya, menanyakan alasan ibunya menelepon. Sebab, ibunya bukanlah orang yang suka menelepon. Wanita yang paling ia kasihi itu adalah tipe yang lebih senang bertanya lewat pesan saja.
“Kamu kapan pulang? Udah dua minggu kamu enggak ke sini.”
Jesatya menggaruk keningnya, sedang memikirkan jawaban yang dapat diterima oleh sang ibu. Pasalnya, Jesatya memang jarang pulang ke rumah karena menghindari pertanyaan seputar pernikahan dari orang tuanya.
Rumah orang tua Jesatya sebenarnya tidak jauh. Masih berada di Jakarta, seperti dirinya. Namun, untuk pulang ke rumah dengan kondisi hubungannya yang menggantung seperti ini, sepertinya akan sulit. Ucapan Raga hari itu di ruangan Haris tiba-tiba terlintas, membuat Jesatya merasa bahwa ini adalah peluang untuk menanyakan itu kepada ibunya.
“Ma, aku mau nanya.”
“Tanya apa?”
“Kenapa sih Mama dan Papa ngotot aku nikahnya harus sama Gia?”
“Loh? Kamu berantem sama Gia? Lagi?”
Lagi. Jesatya terdiam dan tidak bisa memberi komentar apa-apa terkait itu.
“Ma, gini, ya ... kalau ternyata aku dan Gia enggak berjodoh, apa mungkin harus dilanjutin? Aku enggak terima jawaban Mama seperti yang waktu itu.”
“Jesa ... Mama udah sayang sama Gia kayak anak Mama sendiri. Mama enggak tahu bisa nerima calon kamu selain Gia. Lagi pula, Papa juga merasakan itu, bukan cuma Mama. Kami juga udah kenal sama orang tua Gia, udah klop. Mencari besan yang sesuai itu juga enggak gampang loh, Jes. Kalau menikah itu, dua keluarga yang disatukan. Akur dengan calon keluarga baru itu juga mendukung kelancaran pernikahan kamu.”
“Buat apa akur sama calon keluarga kalau enggak bisa lagi akur sama calon istri, Ma?”
Kali ini, ibunya terdiam, bahkan cukup lama.
“Kamu sama Gia minggu depan harus ke rumah, ya. Kita makan bareng, sama orang tuanya Gia juga.”
“Ma—“
“Enggak ada tapi-tapi. Mama tutup.”
Ibu Jesatya langsung menutup teleponnya tanpa membiarkan Jesatya mengatakan apa pun lagi. Jesatya menghela napas dan melempar handphone-nya ke atas kasur dengan kasar. Sebenernya, yang nikah itu gue apa mereka, sih?! Ribet banget!
Saat Jesatya sedang tidak mood untuk melakukan apa pun, sebuah ketukan kecil di pintu kamarnya terdengar sebanyak dua kali. Pria itu menoleh, membiarkan Rena mendorong pintu kamarnya dan berdiri di muka pintu.
“Sorry ... gue ganggu, ya?”
Jesatya menggeleng, meminta Rena menghampiri dengan tangannya tanpa bersuara. Perempuan berambut panjang ikal itu menyunggingkan senyum dan duduk di tepi tempat tidur.
“Kak, ntar malem gue sama Regi mau ngopi. Kak Jesa mau ikut?”
Jesatya menggeleng lagi. Wajahnya tampak lelah. “Enggak deh, Ren. Gue mau tidur aja. Capek.”
Rena mengangguk, memandangi Jesatya dengan lekat. Jesatya itu biasanya akan selalu menjahili dirinya dan Rafka jika sedang menginap di rumah. Tapi, mendengar hubungan Jesatya seperti di ambang-ambang dengan Gia, membuat pria itu menjadi tidak bersemangat melakukan apa pun.
“Maaf, tadi gue sedikit denger lo lagi teleponan sama Tante Lucy.” ujar Rena, menyebutkan nama ibunya Jesatya. “Kak Jesa beneran mau putus sama Kak Gia, ya?”
Jesatya menarik napas panjang dan menghelakannya. “Gue enggak tahu, Ren. Gue bingung, takut nyesel kalau ngeiyain apa yang Gia minta.”
“Kak Gia yang minta?”
“Iya, dia yang pengin putus. Alasannya masih selalu sama. Sparks-nya udah enggak ada.”
“Hmmm ... tapi, kalau gue lihat pas lo teleponan sama Kak Gia tadi malem, masih ada kok, dikit. Jadi ... masih bisa diselamatin, kalau lo dan Kak Gia mau.”
“Menurut lo begitu?”
Rena mengangguk. “Iya. Tergantung kemauan lo dan Kak Gia. Kalau lo berdua enggak niat, enggak bakalan bisa. Semua tergantung dari niat, Kak. Dicoba dulu, hasilnya gimana, itu urusan nanti.”
Jesatya termangu, perlahan menipiskan senyum dan terkekeh pelan. Ia mengangguk, mengiyakan ucapan Rena yang ada benarnya juga. “Thanks, Rena.”
“Jadi, gimana? Mau ikut?” tanya Rena lagi.
“Raga sama Rafka?”
“Enggak. Kak Raga males dan Rafka apa lagi.”
Jesatya bergumam, tampak berpikir. Melihat lamanya lelaki itu berpikir, Rena mengernyit dan menarik-narik tangan Jesatya.
“Ayolah, Kak! Kapan lagi gabung sama anak-anak muda?!” gurau Rena.
“Anak muda apaan sih! Cuma beda empat tahun doang, Ren!”
“Yang penting belum mau ke tiga puluh!” balas Rena tak mau kalah.
Jesatya tertawa lalu menganggukkan kepalanya beberapa kali agar Rena berhenti menarik-narik tangannya. Jesatya tahu, Rena melakukan itu supaya ia terhibur dan tidak terlalu memikirkan permasalahannya bersama Gia.
“Oke, oke. Gue ikut.” ujar Jesatya akhirnya. “Raga beneran enggak mau ikut dia? Lo harusnya cariin abang lo itu cewek, Ren.”
“Ih, itu mah pilihannya Kak Raga. Gue enggak mau ikut campur.” kata Rena. Ia kemudian melebarkan senyumnya. “Jam tujuh, ya!” serunya sambil berjalan meninggalkan kamar Jesatya.
Jesatya menghela napasnya. Yah ... tidak ada salahnya juga sesekali ia duduk bersama Rena dan Regi.
***
Jesatya mengerlingkan pandangannya pada sebuah kedai kopi minimalis yang didesain dengan sangat cantik dan kekinian, tidak jauh berbeda dari kedai-kedai kopi modern lainnya. Yang Jesatya tahu, kedai kopi ini milik sahabat baiknya Rena dan Regi dan mereka memang sering menghabiskan waktu di sini, apalagi di malam minggu.
Jesatya pernah datang ke tempat ini beberapa kali. Jadi, ia cukup mengenal si pemilik kedai kopi yang bernama Hazel itu.
“Hai, Bang Jesa!” Hazel langsung menyapanya ketika melihat Jesatya datang bersama Rena dan Regi. Ia berjalan menghampiri Jesatya dan mengangkat tangan kanannya untuk menyalami Jesatya. “Apa kabar?”
“Baik, Zel. Lo apa kabar? Makin ramai aja nih, kedai lo.”
Hazel terkekeh dan mengangguk mengiyakan. “Iya, nih. Alhamdulillah. Mau pesen apa, Bang? Yang biasa?”
Jesatya menganggukkan kepalanya kepada Rena. “Tanya Rena aja ya, Zel. Gue mau ke toilet dulu nih.”
“Siap,” balas Hazel yang kemudian mengobrol bersama Rena dan Regi di tempat mereka biasa duduk.
Jesatya tersenyum dan berjalan menuju toilet yang terletak di dekat tangga menuju lantai dua. Toilet itu harus melewati taman belakang Haz—nama coffee shop milik Hazel itu. Terakhir datang kemari, Jesatya masih memuji interior tempat itu dan sekarang pun rasanya masih sama.
Setelah Jesatya selesai di toilet dan mencuci kedua tangannya, pria itu keluar dari toilet dan bermaksud untuk menghampiri Rena dan Regi. Namun, langkahnya terhenti ketika ia melihat seorang perempuan yang tidak asing sedang berjongkok di dekat kolam ikan sembari memberi makan kucing-kucing liar dengan botol makanan di tangannya.
Seulas senyum kemudian terpatri di wajah Jesatya, tidak menduga bahwa ia akan bertemu lagi dengan Daisi di tempat ini.
“Daisi?”
Daisi mendongak, mengerjap beberapa kali karena kebingungan melihat Jesatya di sana. Gadis itu berdiri dan ikut menyunggingkan senyumnya. “Kak Jesa?”
Jesatya terkekeh. “Ketemu lagi.”
“Iya, nih. Datang sama Rena dan Regi, ya?”
Jesatya refleks menoleh untuk menatap Rena dan Regi yang sedang tertawa bersama teman-temannya. Tak lama, ia kembali menatap Daisi. “Gitu deh. Dipaksa sih sama Rena.”
“Rena sama Regi enggak pernah absen malam minggu ke sini. Mau tahu kenapa?”
“Kenapa?”
Daisi mengulum senyum yang menarik dan menoleh ke arah coffee bar dan menunjuk Hazel yang sedang sibuk. “Itu Kak Hazel. Kakak sepupu gue.”
Jesatya tampak terkejut. “Lo sepupuan sama Hazel?”
“Loh, kenal?”
Jesatya mengiyakan. “Emang enggak sesering Rena dan Regi, tapi gue beberapa kali ke sini kok, bahkan tanpa si kembar itu. Kadang sama Raga.”
Daisi mengangguk paham. “Sampai mana tadi?”
“Sampai lo sepupuan sama Hazel.”
“Oh iya,” ujar Daisi membuat Jesatya menyengir. “Kak Hazel itu ... adalah salah satu alasan kenapa Rena sering mampir ke sini. Dia naksir.”
“Oh wow,” balas Jesatya. “Berita yang sangat menarik sekali untuk gue ketahui, thanks, Daisi.”
Daisi terkekeh. “You’re welcome.”
“Terus, kalau buat Regi?” tanya Jesatya lagi. Informasi-informasi ini tentu sangat menarik baginya.
Daisi kembali menoleh ke coffee bar, mencari-cari sosok perempuan berambut pendek yang tidak terlihat di sana. Daisi bergumam, mengernyitkan dahi. “Kok enggak ada, sih?”
Tiba-tiba, pintu toilet wanita terbuka, menampilkan sosok perempuan yang Daisi cari sejak tadi. Perempuan itu tersenyum kepada Daisi sebelum akhirnya kembali ke coffee bar.
“Itu,” kata Daisi. “Namanya Jovanka, cewek dingin yang enggak pedulian. And yes, Regi suka tapi masih ditolak mulu sama Jo.”
Jesatya mengangguk sembari mengusap dagu, tampak serius mendengarkan cerita Daisi. “Menarik banget loh, Si. Bisa gue gunakan kalau Si kembar enggak nurut, nih.”
Daisi terkesiap dan langsung menoleh kepada Jesatya. “Jangan kasih tahu kalau gue yang bilang, ya!”
Jesatya menyipitkan matanya dan menganggukkan kepala. “Aman.”
Daisi tersenyum. “Kayaknya lo deket banget sama keluarga Rena.”
“Iya. Gue sama Raga udah temenan dari SMA, sih. Jadi udah kenal lama banget. Bahkan lebih sering tinggal di rumah Raga daripada apartemen sendiri.” Jesatya tersenyum, menatap Si Kembar yang sedang asik. “Di rumah mereka lebih ramai daripada apartemen gue yang sepi.”
“I can relate that,” balas Daisi. “Gue pernah beberapa kali ke rumah Rena dan yah ... lo bener. Emang ramai banget and it’s fun.”
Jesatya balas tersenyum lalu mengajak Daisi untuk masuk ke dalam. “Ngomong-ngomong, waktu gue ke sini, kenapa enggak pernah lihat lo, ya?”
“Karena emang baru sekarang aja part time di sini. Sebelumnya enggak kok.”
Jesatya mengangguk paham. Pantas saja, ia tidak pernah melihat Daisi sebelumnya ketika ia datang ke Haz sendirian, bersama Si Kembar, atau pun Raga.
“Gue masuk dulu ya, Kak. Kalau bolos ntar dimarahin Kak Hazel.” Daisi menyengir lalu berjalan masuk lewat pintu belakang menuju dapur Haz.
“Kak Jesa!” seru Rena dari tempatnya.
“Iya!” balas Jesatya, menghampiri Si Kembar di tempat mereka duduk. Dan sesekali, melirik ke arah dapur, walau Daisi tak terlihat lagi di sana.
***
Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam, di mana Gia kembali duduk di mobil Ezra dan diantar pulang oleh pria itu.
“Lo jadi ngantarin gue pulang lagi deh,” ujar Gia.
Ezra yang tidak mengalihkan pandangannya dari jalanan seketika tersenyum mendengar komentar Gia tersebut. Padahal, Ezra sama sekali tidak keberatan melakukan itu. Lagi pula, Ezra tidak mungkin juga meninggalkan teman sekaligus pacar temannya sendirian setelah mereka makan-makan tadi bersama Danish.
“Emang tadi lo pergi sama Danish ya, Zra?” tanya Gia, mengingat Danish yang tidak ikut pulang bersama mereka.
“Waktu pergi tadi iya, Gi. Bareng dari kantor. Biasalah, Danish mah anak nongkrong.”
“Anak nongkrong banget emang. Temen-temen gue aja sampai kenal sama Danish.”
“Gimana sama Jesa, Gi? Udah ada ngehubungin lo?”
Raut wajah Gia mendadak kesal ketika Ezra membahas tentang pacarnya itu. Sebab pria itu memang belum ada menghubunginya. Entah menunggu Gia menghubungi duluan atau malah sama sekali tidak berniat mengubungi karena ia sudah asik duluan di luar sana.
“Ah, elo mah, Zra ... ngapain sih bahas-bahas dia. Gue udah lupa padahal.” kata Gia sebal.
“Bukan gitu, Gi ... yang namanya masalah itu ya harus segera diselesaikan. Masalah kalau didiemin ntar makin gede terus makin susah buat diselesaiin.”
Gia terdiam, melempar pandangannya ke luar jendela. Bukannya ia tak sadar dengan itu, tentu saja ia sangat paham dan bahkan telah melewati masa-masa itu lebih dari sekali bersama Jesatya. Akan tetapi malam ini, Gia hanya tidak ingin memikirkan soal itu.
“Ya udah, Gi. Jangan bete dong.” ujar Ezra. “Udah nyampe nih.”
Gia menengok, tidak sadar bahwa sejak tadi Ezra telah memasuki area gedung apartemen tempat dia tinggal. Gia menghela napas, entah mengapa merasa sedikit kecewa karena telah sampai di apartemennya. Padahal, ia ingin bercerita lebih banyak dengan Ezra.
“Thanks lagi ya, Zra. Bukan cuma soal tumpangan tapi buat wejangan-wejangannya juga.” kata Gia setelah menutup pintu mobil Ezra.
“Wejangan apaan, sih? Ngejek lu.” balas Ezra membuat Gia tertawa.
Setelah meredakan tawanya, Gia mengulum senyum dan membalikkan tubuh, bermaksud untuk meninggalkan Ezra dan membiarkan pria itu pulang.
“Gia,” panggil Ezra.
Gia menghentikan langkah, memutar tubuhnya dan menatap Ezra.
“Good night.” Ezra tersenyum sebelum melajukan mobilnya meninggalkan area gedung apartemen.
“Minggu ini kita ke rumah Jesa.” Gia tidak pernah merasa sefrustrasi ini ketika mendapatkan pesan dari sang mami. Gia sudah menduga, cepat atau lambat, Mami dan Papinya akan mengetahui tentang hubungannya dan Jesa yang berada di ujung tanduk.Sudah beberapa hari sejak akhir pekan kemarin, Gia dan Jesatya masih belum bertukar kabar. Entah keduanya saling menunggu mengabari atau malah memang sengaja membiarkan semuanya berakhir dengan sendirinya.Sambil menyesap es kopi yang baru saja ia pesan di coffee shop lantai dasar kantornya, Gia menatap handphone-nya, memandangi pesan yang ia terima dari maminya pagi ini tanpa mengirimkan sebuah balasan. Gia yakin, Jesatya sudah mengetahui tentang ini lebih dulu darinya. Akan tetapi, pria itu tetap saja bungkam. Harusnya, ia membicarakan itu dengan Gia, bukan?Masih dengan memegang dan melihat handphone-nya di tangan, Gia mulai melangkahkan kaki menuju lift untuk kembali ke ruangannya.“Gia!”Perempuan itu berhenti, menoleh ke arah suara yang ba
Perjalanan menuju rumah orang tua Jesatya berlangsung hening. Tidak ada satu kata yang terucap dari Gia pun Jesatya. Setelah hari di mana Jesatya menghubunginya dan mengajak untuk berpisah di depan orang tuanya, Jesatya dan Gia tidak lagi saling menghubungi dan benar-benar seperti orang lain.Selama itu pula, Gia sama sekali tidak merasa merindukan atau memikirkan Jesatya. Tetapi ketika bertemu hari ini, Gia merasa sedih, sebab sejak Jesatya menjemputnya ke apartemen, tidak ada konversasi apa pun yang terjadi di dalam mobil.Mobil Jesatya kemudian berhenti di sebuah rumah mewah bertingkat dua, di mana pagarnya langsung terbuka secara otomatis ketika satpam rumah mengenali mobil milik Jesatya. Gia menatap rumah orang tua Jesatya itu dalam diam, ia bahkan tidak tahu kapan terakhir kali menginjakkan kaki ke rumah ini.“Hei,” panggil Jesatya, membuat Gia menoleh. “Nanti kita dengerin mereka ngomong dulu. Kalau udah, baru giliran kita.”
Gia merapikan selimut yang menyelimuti papinya di kamar rumah sakit. Setelah jatuhnya Willy hari itu di rumah Jesatya, ia sempat tak sadarkan diri seharian.Willy pernah operasi dan pemasangan ring pada jantungnya sekitar sembilan bulan yang lalu. Akhir-akhir ini, kondisinya memang sedang menurun dan sering mengeluh kepada istrinya, Liana. Rupanya, pembicaraan yang cukup serius di rumah Jesatya itu mampu membuatnya terjatuh dan tak sadarkan diri.Gia memandangi papinya dengan nanar. Melihat Willy terbaring lemah membuat air matanya menetes lagi dan memori terpaksa membawanya kembali ke tiga hari yang lalu saat mereka membawa Willy ke rumah sakit bersama keluarga Jesatya juga.Pertama kali melihat papinya tak sadarkan diri membuat Gia ketakutan setengah mati. Tangannya bergetar dan jantungnya tidak berhenti berdetak dengan cepat. Ia terlalu takut untuk memikirkan hal-hal yang mungkin dapat terjadi kepada Willy. Gia bahkan tidak menangis karena tak ingin
“Kak, lo beneran break sama Kak Gia, ya?”Hari ini adalah hari sabtu, lima hari setelah Jesatya dan Gia memutuskan untuk istirahat sejenak dari hubungan mereka. Jesatya tidak yakin dengan perbedaan kata break dan break up, sebenarnya. Menurutnya, kedua kata itu sama saja, tidak ada bedanya.Seperti biasanya di sabtu pagi, Jesatya membantu Rena menyirami tanaman peninggalan almarhumah ibunya di taman belakang yang masih Rena dan saudara lainnya jaga. Tanpa terkecuali, termasuk Jesatya juga yang telah lama mengenal keluarga itu.“Kenapa?” Jesatya bertanya tanpa mengalihkan pandangannya dari bunga-bunga cantik berwarna merah muda yang sedang ia siram.Rena mematikan selang airnya, menyudahi menyirami tanaman karena ia merasa telah cukup melakukan itu. Rena membalikkan tubuh, menatap punggung Jesatya. “Karena kemarin gue sempat lihat dia makan siang bareng cowok?”Ucapan Rena tersebut membu
“Free dari gue, Zra.”Ezra memandangi dua gelas es kopi susu yang baru saja Hazel letakkan di atas meja untuknya dan Danish. Mereka baru saja menyelesaikan sesi wawancara dengan Hazel, selaku pemiliki Haz Coffee Shop.“Thank you, Zel.” Ezra tersenyum dan menyesap es kopi miliknya. Kebetulan, setelah take berkali-kali dan mengulang pertanyaan yang sama, Ezra cukup kehausan.Ezra tidak begitu mengenal Hazel. Namun, ia lumayan sering datang ke kedai kopi ini karena direkomendasi oleh Raga dan Jesatya. Sedangkan Danish, karena memang sudah berteman dengan Rena dan Regi cukup lama, ia juga cukup sering duduk di Haz bersama teman-temannya. Menurut Danish, Haz memang lumayan populer di kalangan anak muda.“Rena belum ke sini, ya?” Suara berat Danish tahu-tahu mengudara setelah pria itu mengedarkan pandangan dan melirik arlojinya. Sudah jam 1 siang. “Biasanya jam segini dia udah dateng
“Kak, lo beneran break sama Kak Gia, ya?”Hari ini adalah hari sabtu, lima hari setelah Jesatya dan Gia memutuskan untuk istirahat sejenak dari hubungan mereka. Jesatya tidak yakin dengan perbedaan kata break dan break up, sebenarnya. Menurutnya, kedua kata itu sama saja, tidak ada bedanya.Seperti biasanya di sabtu pagi, Jesatya membantu Rena menyirami tanaman peninggalan almarhumah ibunya di taman belakang yang masih Rena dan saudara lainnya jaga. Tanpa terkecuali, termasuk Jesatya juga yang telah lama mengenal keluarga itu.“Kenapa?” Jesatya bertanya tanpa mengalihkan pandangannya dari bunga-bunga cantik berwarna merah muda yang sedang ia siram.Rena mematikan selang airnya, menyudahi menyirami tanaman karena ia merasa telah cukup melakukan itu. Rena membalikkan tubuh, menatap punggung Jesatya. “Karena kemarin gue sempat lihat dia makan siang bareng cowok?”Ucapan Rena tersebut membu
Suara tepuk tangan yang meriah langsung terdengar ketika Yovie and Nuno menyanyikan lagu kelima. Dikta, vokalisnya mengucapkan terima kasih sekali lagi sebelum pergi ke ruang istirahat yang sudah Hazel siapkan untuk mereka. Ketika panggung kosong, Samuel—salah satu Barista yang bekerja di Haz mengambil alih mikrofon.“Yah, kayaknya kita telat deh, Gi.” kata Ezra saat melihat panggung diisi oleh Samuel dan tidak melihat Yovie and Nuno ada di mana pun.“Lo sih tadi pakai acara ngajak makan dulu. Padahal gue udah bilang makan di Haz aja.” Gia pun merungut. Tadi ketika Ezra menjemputnya, pria itu malah mengajaknya makan malam dulu di luar.“Ya habisnya gue pengin ayam bakar deket apartemen lo itu. Enak sih.”Gia menggelengkan kepalanya dan duduk di kursi kosong yang diarahkan oleh staff di Haz. Sementara kepala Ezra sibuk mencari-cari sosok Hazel. Setidaknya, ia ingin mengucapkan terima kasih secara langsung karena Hazel telah mengundangnya malam ini.Berbeda dengan Ezra yang sibuk mencar
Gia menundukkan kepala dan dengan sengaja mengacak rambutnya agar menutupi wajah. Entah kenapa, Gia tidak ingin bertemu dengan Jesatya. Seketika keputusannya untuk datang ke Haz malam ini mengundang penyesalan. Gia tidak menduga ia bisa sedikit kesal melihat keakraban Jesatya dengan perempuan lain.Lalu, Gia tersentak dan mengangkat kepalanya. “Kenapa gue kayak gini, sih?! Enggak jelas.”“Luthesa,”Sekali lagi, Gia tersentak. Gia tidak mau repot-repot untuk menebak siapa yang sedang menyapanya. Hanya satu orang yang sering menyapanya dengan Luthesa. Hanya Jesatya Sejati, yang mampu melakukan itu.Tanpa diduga-duga, Jesatya duduk di hadapan Gia dan menyunggingkan senyum, tanpa canggung sedikit pun. Terkadang, Gia tidak habis pikir dengan Jesatya.“Kenapa nunduk-nunduk gitu?”“Enggak apa,” Gia menjawab dengan cepat, melempar pandangannya ke mana saja asal bukan kepada Jesatya.“Kenap
Jesatya sudah memantapkan hatinya bahwa ia tidak akan marah kepada Ezra ketika bertemu lelaki itu di kantor. Hanya saja, setelah melihat wajah Ezra, ia justru teringat dengan Gia dan perasaan marah itu kembali muncul. Jesatya merasa dikhianati oleh keduanya.Padahal, belum tentu perasaan keduanya sama. Bisa saja hanya Gia yang menyukai Ezra. Sementara Ezra tidak demikian. Sejujurnya, Jesatya tidak masalah jika Gia menyukai orang lain. Tapi dari banyaknya orang lain, kenapa lelaki itu harus Ezra? Orang yang hampir setiap hari ia lihat di kantor di pagi hari.Mata Jesatya tidak berhenti mengikuti Ezra yang baru saja datang dan duduk di mejanya. Lelaki itu kemudian berdiri, pergi ke pantry dan duduk lagi membawa secangkir kopi. Ketika ia duduk, matanya bertemu pandang dengan Jesatya, tidak sadar bahwa lelaki berkacamata itu sejak tadi memperhatikannya.“Ngopi, Bang?” tanya Ezra.Jesatya menggeleng lalu menurunkan pandangannya, meremas kertas-kertas yang berserakan di atas meja. Ia menghe
“Kenapa sih lo bisa suka wasabi? Gue benci banget. Kayak pasta gigi.”Ezra tertawa mendengar komentar Gia yang merengut ketika melihat pria itu menambahkan wasabi ke dalam sausnya. Menurut Gia, rasa wasabi itu seperti pasta gigi. Sejak dulu hingga sekarang, Gia heran mengapa Ezra senang sekali menambahkan wasabi ketika sedang makan sushi bersama.“Enak tahu, Gi.” kata Ezra membela diri.“Lo doang yang bilang enak!” balas Gia tak mau kalah.“Gue dan para pecinta wasabi.”“Kata gue, lo semua aneh.”Ezra tertawa lagi dan menggelengkan kepalanya. “Lo enggak suka wasabi tapi lo suka mint choco.”“Itu dua hal yang berbeda, Ezra.”“Jelas sama.”Dahi Gia semakin mengernyit. “Mending kita udahin berdebatnya.”“Good idea.”Gia menggelengkan kepala sambil mengulum senyum di bibirnya. Diam-diam, Gia merasa berterima kasih kepada Ezra yang tadi tiba-tiba mengajaknya makan siang bersama. Sebab jika saat itu Ezra tidak menghubunginya, Gia pasti akan kalut di dalam kamarnya setelah telepon dari Liana
Gia melepas kacamatanya setelah berkutat cukup lama di depan laptop. Gadis itu memijit pelipisnya pelan, matanya sudah lelah menatap laptop selama beberapa jam. Gia pikir, hari Minggu-nya ini akan berakhir dengan baik, tanpa harus memeriksa pekerjaan pun tanpa harus menyentuh laptopnya.Namun sayang, Clarissa terlalu baik untuk membiarkan angan Gia itu menjadi kenyataan. Pada pukul sepuluh pagi tadi—tepat sebelum Gia hendak menikmati kolam renang apartemen, Clarissa tiba-tiba mengirimkan Email penting yang harus Gia periksa. Hasilnya, Gia harus menyelesaikan pekerjaannya itu hari ini juga. Maka dengan berat hati, Gia terpaksa merelakan hari Minggu-nya yang santai itu.Pekerjaan Gia selesai di pukul dua siang dan Gia sudah kehilangan selera untuk makan atau bahkan melanjutkan rencananya untuk berenang tadi pagi. Setelah menghabiskan es kopinya di dalam tumbler, Gia meraih ponselnya untuk memeriksa benda itu. Pada saat itu pula, sebuah panggilan muncul di ponselnya, memperlihatkan nama
Perkataan Ella tempo hari harusnya tidak perlu Gia pikirkan terlalu dalam. Namun nyatanya, Gia malah memikirkan perkataan Ella itu hari-hari berikutnya hingga akhir pekan kembali menyambutnya dan Ezra lagi. Hari ini, ia dan Ezra sepakat untuk belanja bulanan kebutuhan di apartemen masing-masing.Sambil memperhatikan Ezra yang sedang bingung memilih pembersih muka yang baru, Gia jadi kepikiran dengan kata-kata Ella lagi.Gia dan Ezra sudah berteman empat tahun lamanya. Ketika Ezra mengenalkan Gia kepada Jesatya, Ezra tahu bahwa keduanya akan berakhir memiliki hubungan yang spesial. Tetapi setelah itu, Gia tidak tahu tentang kehidupan asmara Ezra. Sama sekali.Sekarang, Gia menjadi merasa bersalah. Ezra selalu menjadi tempat bagi Gia untuk bercerita masalah hubungannya dengan Jesatya. Bahkan kalau dipikir-pikir, Ezra bisa saja menyebutkan kronologi penyebab bertengkar Gia dan Jesatya dari nomor satu sampai sekian.Ezra selalu menjadi pendengar yang baik. Tapi, ia tak pernah menceritakan
Gia menundukkan kepala dan dengan sengaja mengacak rambutnya agar menutupi wajah. Entah kenapa, Gia tidak ingin bertemu dengan Jesatya. Seketika keputusannya untuk datang ke Haz malam ini mengundang penyesalan. Gia tidak menduga ia bisa sedikit kesal melihat keakraban Jesatya dengan perempuan lain.Lalu, Gia tersentak dan mengangkat kepalanya. “Kenapa gue kayak gini, sih?! Enggak jelas.”“Luthesa,”Sekali lagi, Gia tersentak. Gia tidak mau repot-repot untuk menebak siapa yang sedang menyapanya. Hanya satu orang yang sering menyapanya dengan Luthesa. Hanya Jesatya Sejati, yang mampu melakukan itu.Tanpa diduga-duga, Jesatya duduk di hadapan Gia dan menyunggingkan senyum, tanpa canggung sedikit pun. Terkadang, Gia tidak habis pikir dengan Jesatya.“Kenapa nunduk-nunduk gitu?”“Enggak apa,” Gia menjawab dengan cepat, melempar pandangannya ke mana saja asal bukan kepada Jesatya.“Kenap
Suara tepuk tangan yang meriah langsung terdengar ketika Yovie and Nuno menyanyikan lagu kelima. Dikta, vokalisnya mengucapkan terima kasih sekali lagi sebelum pergi ke ruang istirahat yang sudah Hazel siapkan untuk mereka. Ketika panggung kosong, Samuel—salah satu Barista yang bekerja di Haz mengambil alih mikrofon.“Yah, kayaknya kita telat deh, Gi.” kata Ezra saat melihat panggung diisi oleh Samuel dan tidak melihat Yovie and Nuno ada di mana pun.“Lo sih tadi pakai acara ngajak makan dulu. Padahal gue udah bilang makan di Haz aja.” Gia pun merungut. Tadi ketika Ezra menjemputnya, pria itu malah mengajaknya makan malam dulu di luar.“Ya habisnya gue pengin ayam bakar deket apartemen lo itu. Enak sih.”Gia menggelengkan kepalanya dan duduk di kursi kosong yang diarahkan oleh staff di Haz. Sementara kepala Ezra sibuk mencari-cari sosok Hazel. Setidaknya, ia ingin mengucapkan terima kasih secara langsung karena Hazel telah mengundangnya malam ini.Berbeda dengan Ezra yang sibuk mencar
“Kak, lo beneran break sama Kak Gia, ya?”Hari ini adalah hari sabtu, lima hari setelah Jesatya dan Gia memutuskan untuk istirahat sejenak dari hubungan mereka. Jesatya tidak yakin dengan perbedaan kata break dan break up, sebenarnya. Menurutnya, kedua kata itu sama saja, tidak ada bedanya.Seperti biasanya di sabtu pagi, Jesatya membantu Rena menyirami tanaman peninggalan almarhumah ibunya di taman belakang yang masih Rena dan saudara lainnya jaga. Tanpa terkecuali, termasuk Jesatya juga yang telah lama mengenal keluarga itu.“Kenapa?” Jesatya bertanya tanpa mengalihkan pandangannya dari bunga-bunga cantik berwarna merah muda yang sedang ia siram.Rena mematikan selang airnya, menyudahi menyirami tanaman karena ia merasa telah cukup melakukan itu. Rena membalikkan tubuh, menatap punggung Jesatya. “Karena kemarin gue sempat lihat dia makan siang bareng cowok?”Ucapan Rena tersebut membu
“Free dari gue, Zra.”Ezra memandangi dua gelas es kopi susu yang baru saja Hazel letakkan di atas meja untuknya dan Danish. Mereka baru saja menyelesaikan sesi wawancara dengan Hazel, selaku pemiliki Haz Coffee Shop.“Thank you, Zel.” Ezra tersenyum dan menyesap es kopi miliknya. Kebetulan, setelah take berkali-kali dan mengulang pertanyaan yang sama, Ezra cukup kehausan.Ezra tidak begitu mengenal Hazel. Namun, ia lumayan sering datang ke kedai kopi ini karena direkomendasi oleh Raga dan Jesatya. Sedangkan Danish, karena memang sudah berteman dengan Rena dan Regi cukup lama, ia juga cukup sering duduk di Haz bersama teman-temannya. Menurut Danish, Haz memang lumayan populer di kalangan anak muda.“Rena belum ke sini, ya?” Suara berat Danish tahu-tahu mengudara setelah pria itu mengedarkan pandangan dan melirik arlojinya. Sudah jam 1 siang. “Biasanya jam segini dia udah dateng
“Kak, lo beneran break sama Kak Gia, ya?”Hari ini adalah hari sabtu, lima hari setelah Jesatya dan Gia memutuskan untuk istirahat sejenak dari hubungan mereka. Jesatya tidak yakin dengan perbedaan kata break dan break up, sebenarnya. Menurutnya, kedua kata itu sama saja, tidak ada bedanya.Seperti biasanya di sabtu pagi, Jesatya membantu Rena menyirami tanaman peninggalan almarhumah ibunya di taman belakang yang masih Rena dan saudara lainnya jaga. Tanpa terkecuali, termasuk Jesatya juga yang telah lama mengenal keluarga itu.“Kenapa?” Jesatya bertanya tanpa mengalihkan pandangannya dari bunga-bunga cantik berwarna merah muda yang sedang ia siram.Rena mematikan selang airnya, menyudahi menyirami tanaman karena ia merasa telah cukup melakukan itu. Rena membalikkan tubuh, menatap punggung Jesatya. “Karena kemarin gue sempat lihat dia makan siang bareng cowok?”Ucapan Rena tersebut membu