Jesatya sangat menantikan akhir pekannya minggu ini. Semua dikarenakan janjinya bersama Gia untuk makan siang bersama di Belle’s, tempat pertama kali mereka mulai menyandang status sebagai sepasang sekasih.
Salah satu faktor hambarnya hubungan ia dan Gia adalah kesibukan masing-masing yang menghambat waktu untuk menghabiskan waktu bersama. Jesatya bahkan tidak ingat kapan terakhir kali ia mengajak Gia untuk pergi bersama di akhir pekan.
Menyadari bagaimana ia pun merasa semangat hari ini, Jesatya yakin bahwa perasaannya kepada Gia masih tersimpan di lubuk hatinya yang paling dalam. Perasaannya seperti dulu—yang selalu tidak sabar untuk menghabiskan waktu bersama dengan Gia.
“Jadi juga lo pergi?”
Jesatya yang baru saja menuruni tangga di kediaman rumah Ardhias langsung disambut oleh Raga—si pemilik rumah yang sedang bersantai menikmati secangkir kopi hangat di ruang keluarga. Sadar dengan pertanyaan Raga yang sedikit sarkas, Jesatya tersenyum.
“Jadi. Semoga,” ujarnya sambil menilik rumah yang biasanya ramai, kini tampak sepi. “Kok sepi, sih? Adik-adik lo mana?”
“Ke Exhibition-nya Rena, Jes. Bukannya Rena udah ngasih tahu semalam?” balas Raga. “Regi ikut sama Rena bantuin untuk persiapan. Ntar lagi gue nyusul ke sana sama Rafka.”
“Astaga ... iya, ya. Gue lupa. Ntar deh habis makan siang gue nyusul bareng Gia, ya.”
Raga manggut-manggut, mencicipi kopinya dengan hati-hati seraya memandangi Jesatya yang menuangkan kopi untuknya sendiri. “Jadi, makan siang ini dalam rangka apa, Jes?”
“We want to fix it,” jawab Jesatya setelah merasakan hangatnya kopi. Ia menghela napas dan tersenyum. “Walaupun gue enggak berharap tinggi, Ga ... tapi, enggak ada salahnya, ‘kan?”
Raga menyunggingkan senyum. Ia telah mengenal Jesatya sejak SMA dan sangat tahu bagaimana loyalnya Jesatya dalam menjalin suatu hubungan. Bahkan, Gia adalah pacarnya yang paling lama menjalin hubungan dengannya.
“Bagus, sih. Kali aja bisa balik kayak dulu, Jes. Who knows, ‘kan?”
I hope so, Jesatya membatin. Berharap yang ia harapkan dan Raga katakan bisa berjalan dengan baik. Lagi pula, mencari orang baru yang benar-benar pas untuknya di umur sekarang tidaklah mudah.
Jesatya pun mengeluarkan handphone-nya dan mengirimkan pesan untuk Gia, bermaksud untuk menjemput gadis itu di apartemennya. Tidak perlu waktu lama baginya untuk menunggu balasan dari Gia. Hanya saja, balasan yang Gia berikan untuknya justru sangat mengecewakan.
My Luthesa: Jesa, maaf banget. Aku mendadak ada kerjaan, disuruh Bu Clarissa ke kantor buat bantuin dia. Maaf banget ... nanti aku hubungi kalau udah kelar kerja.
“Enggak bakalan bisa kayaknya,” tutur Jesatya sambil meletakkan handphone-nya ke atas meja dengan kasar. Ia mengusap wajahnya pelan. “Gia mendadak ada urusan kantor. Selalu kayak gini, Ga. Ujung-ujungnya gue atau Gia yang bakalan kesel dan kita berantem lagi.”
Raga menatap temannya itu dalam diam. Jesatya terlihat sudah muak dengan kondisinya bersama pacarnya itu. Raga pun tahu, ke mana pesan itu akan berlanjut nantinya.
“Daripada lo galau kayak gini, ikut gue ke Exhibition-nya Rena aja mau enggak?”
***
Kesal? Tentu saja. Jesatya kesal karena hanya ia yang terlihat menantikan menghabiskan akhir pekan bersama Gia. Walau begitu, Jesatya tidak bisa menyalahkan Gia. Jesatya tahu bagaimana menyebalkannya Clarissa—CEO perusahaan tempat Gia bekerja.
“Kan yang ngeliput Clarissa, si Ezra, Jes.” sahut Raga.
Jesatya yang sedang menyetir menoleh sekilas kepada Raga lalu kembali menatap lurus jalanan. “Oh iya? Kok gue enggak tahu, sih.”
“Lo kapan tahunya,” ejek Raga dan Jesatya menanggapi dengan kekehan kecil.
“Rafka, jangan main game mulu. Nanti kamu pusing.” tegur Raga tiba-tiba kepada adik paling kecilnya yang duduk di belakang.
“Hmmm,” Rafka si anak bungsu itu hanya berdeham malas.
Karena sudah terlanjur berpakaian bagus di hari Sabtu, Jesatya langsung setuju untuk ikut dengan Raga ke Photography Exhibition Rena.
***
Pameran foto tersebut cukup ramai. Setelah Jesatya melihat hasil potret milik Rena, Jesatya memutuskan untuk berjalan-jalan sendiri mengelilingi pameran itu.
Dari pamflet yang ia pegang, Jesatya merasa takjub sendiri dengan hasil potret yang sedang dipamerkan di sana. Senyum kecil tampak menghiasi wajahnya, sudah lama juga ia tidak datang ke tempat seperti ini.
Langkah Jesatya terhenti tepat di depan sebuah gambar bunga Daisy dengan sinar matahari hampir terbenam. Jesatya termangu menatapnya.
Indah. Gambar itu benar-benar indah—hingga membuat Jesatya tidak dapat mengatakan apa pun. Jesatya mendekat, membaca nama yang tertera di bawah bingkainya.
Daisila Alma Meisie—“Aku pun, ingin seperti bunga Daisy”. Tulisnya di sana.
Jesatya tanpa sadar tersenyum lagi. “Even namanya juga indah banget. Keren.”
“Gambarnya Daisi emang keren. Bete.”
Jesatya menoleh ke sampingnya, Rena berdiri di sana sembari memandangi foto milik Daisi.
“Lo kenal, Ren?”
Rena mengangguk. “Kenal. Pernah satu komunitas. Bisa dibilang rival gue, sih.”
Jesatya menatapnya tidak percaya. “Masa, sih?”
“Ih, beneran, Kak! Kalau kata guru gue sih gitu.”
Jesatya terbahak, mau tak mau mengiyakan perkataan Rena dan mengacak pelan rambut perempuan yang sudah ia anggap seperti adiknya sendiri.
“Tapi, Daisi tuh enggak kayak namanya sih, Kak.” cetus Rena seraya merapikan rambutnya sendiri.
“Maksudnya?”
“Dia bilang, dia enggak suka namanya karena suka dibandingin sama bunga Daisy. Padahal ... namanya cantik. Iya, ‘kan?”
Jesatya kembali memandangi foto itu dan tersenyum kecil. “Bener. Namanya cantik.”
“Nah, panjang umur. Orangnya datang. Daisi!”
Jesatya langsung saja menolehkan kepala ke arah Rena melihat—memanggil Daisi yang sepertinya sedang berjalan ke arah mereka.
Senyum yang terpatri di wajah Jesatya karena tak sabar bertemu dengan si pemotret pemandangan indah itu pudar, saat ia mengenali wajah Daisi yang semakin mendekat dengannya.
Itu ... dia, perempuan yang hampir ia tabrak beberapa hari yang lalu. Perempuan yang hampir tetabrak karena menyelamatkan kucing. Perempuan yang Jesatya kira adalah makhluk tak berwujud.
Ternyata, namanya Daisi. Perempuan yang seindah namanya.
***
Jesatya memandangi Daisi—si pemilik gambar bunga Daisy di bawah matahari hampir terbenam lekat.
Saat bertemu dengan Daisi di bawah gelapnya malam, Jesatya tidak begitu memperhatikan selain rambut hitam legamnya yang malam itu ia biarkan terurai. Selain itu, Daisi juga menggunakan kacamata.
“Hai, Ren,” sapa Daisi kepada Rena, menyunggingkan senyum kecilnya. “Gimana?”
“Apanya? Foto lo? Mau gue puji kayak gimana lagi, Si?”
Daisi terkekeh pelan hingga netranya menangkap sosok Jesatya yang berdiri di dekat Rena.
“Cowok lo ya, Ren?” tanya Daisi yang dengan cepat langsung disanggah oleh Rena.
“Enak aja, enggak!”
“Kok lo kayak enggak terima gitu sih, Ren?!” Jesatya pun menyahut, tersinggung dengan ucapan Rena.
Rena memutar bola matanya, mengabaikan ucapan Jesatya. “Ini temennya Kak Raga, Si, bukan cowok gue.”
Daisi lalu menoleh, menatap Jesatya lagi. Cukup lama keduanya saling menatap, hingga Daisi terkesiap saat ia mengenali wajah Jesatya.
“Eh ... Mas ini bukannya yang malam itu hampir nabrak kucing, ya?”
Rena, yang sejak tadi hanya memperhatikan keduanya langsung mengernyitkan dahi kepada Jesatya. “Kok nyetir enggak hati-hati sih, Kak?!”
“Ngelihat kucingnya aja enggak, Ren. Duh, bawel amat sih lo,” balas Jesatya.
Rena menggelengkan kepalanya. Lalu, seseorang dari arah tempat fotonya dipamerkan memanggil. Maka Rena pun pamit kepada Daisi dan Jesatya, meninggalkan keduanya dalam kecanggungan.
“Ngomong-ngomong, gue bukannya hampir nabrak kucing tapi hampir nabrak lo.” Suara Jesatya mengudara lebih dulu.
Daisi tertawa. “Maaf ya, Mas, soalnya kalau gue teriak juga kayaknya lo enggak denger.”
“Jesatya aja, enggak usah Mas.”
“Eh ... emang umurnya berapa? Gue enggak suka manggil orang yang lebih tua enggak pakai embel-embel. Panggil Kakak aja gimana?”
Mendengar itu, entah kenapa, Jesatya langsung menyunggingkan senyum. “Boleh juga.”
Daisi ikut tersenyum lalu memandangi hasil potretnya sendiri. Ia pun ikut merasa puas dengan hasil karyanya.
“Foto lo bagus banget. Ambil di mana?”
“London,” jawab Daisi. “Kebetulan waktu itu lagi liburan. Terus, enggak sengaja lewat taman yang banyak Daisy-nya. Jadi, gue jepret aja. Enggak nyangka juga hasilnya bagus.”
“It’s beautiful.” puji Jesatya tulus. Bagi Jesatya pun, melihat foto itu menenangkan hatinya—entah karena apa. Hanya saja, saat ia melihat itu, perasaan kesalnya terhadap Gia pun hilang.
Daisi menoleh, tersenyum kepada Jesatya. “Senang dengernya kalau banyak yang suka.”
Jesatya meliriknya sekilas dan kembali memperhatikan foto milik Daisi. Tulisan yang Daisi buat tepat di bawah foto itu tiba-tiba membuat Jesatya bertanya.
“Kenapa lo pengen kayak bunga Daisy?”
Daisi termangu, mengulum senyum dan hanya menatap Jesatya. Tampak sangat jelas dari raut wajah gadis itu bahwa ia tidak ingin membahasnya dan berharap kalimat itu bisa tetap menjadi teka-teki dan membiarkan orang untuk menebaknya. Walau Daisi rasa, semua orang yang mengenalnya tahu tentang hal itu.
“Menurut lo kenapa?”
Jesatya mengulum senyum, merasa lucu dengan pertanyaan yang Daisi berikan kembali untuknya. Jesatya malah bergumam cukup panjang. “Kayaknya enggak etis kalau gue nebak itu di hari pertama kita ketemu ya.”
“Itu lo tahu jawabannya.” balas Daisi lalu berlalu pergi meninggalkan Jesatya.
Jesatya memandangi punggung Daisi yang berjalan menjauhi dirinya sembari menyapa beberapa orang yang menyapanya. Ia menggeleng, kembali memandangi hasil jepretan Daisi yang sepertinya tidak akan bosan ia pandangi sampai kapan pun.
***
Gia menggeram kesal saat ia diperintahkan Clarissa secara mendadak untuk datang ke kantor di akhir pekan. Sungguh, jika saja Clarissa bukan bosnya, ia tidak akan repot-repot mematuhi ucapan wanita berusia empat puluh itu.
Clarissa bilang, untuk interview khususnya hari ini, ia membutuhkan kehadiran Product Designer untuk hadir di kantor. Katanya, agar Gia juga bisa turut serta menjelaskan tentang Product perusahaan dan dari banyaknya Product Designer di kantor itu, Gia lah yang terpilih.
Setelah interview-nya selesai, Gia buru-buru pergi meninggalkan ruangan Clarissa dan berjalan menuju balkon. Ia langsung membuka handphone-nya dan memeriksa chat dari Jesatya. Namun nyatanya, ia tak melihat balasan atau pertanyaan apa pun lagi dari Jesatya. Gia menghela napas, mendongakkan kepalanya dan menatap langit sore hari itu.
Sebuah kaleng soft drink dingin tiba-tiba terasa di pipi kirinya. Gia terkesiap dan langsung menoleh, untuk melihat Ezra yang sedang memamerkan gigi putih bersihnya.
“Zra ... bisa enggak sih, jangan ngagetin gue.”
Ezra terkekeh dan menyerahkan satu kaleng soft drink untuk Gia. “Kenapa sih? Jelek banget itu muka.”
“Menurut lo aja!” keluh Gia. “Gue disuruh tiba-tiba datang pas weekend, Zra, weekend!” Gia menggelengkan kepalanya. “Gue harusnya lagi makan siang di Belle’s sama Jesa. Lagi ngenang masa-masa dulu. Bukannya di sini ... kejebak sama bos yang nyebelin. Udah gitu, Jesa kayaknya marah banget, sampai enggak bales chat gue lagi.”
“Bang Jesa kayaknya lagi di Exhibition-nya Rena tuh. Gue lihat I* Story-nya Rena tadi.” ujar Ezra, meneguk minuman dinginnya. “Mungkin karena lagi ramai, dia enggak sempat lihat handphone, Gi.”
Gia manggut-manggut, berharap apa yang Ezra katakan itu benar. “Mungkin aja ya, Zra. Gue kayaknya udah ngecewain dia, sih.”
“Dia pasti kesel, Gi. Tapi ... gue rasa dia bisa ngerti, kok.”
Gia menoleh, menatap Ezra lekat-lekat. “Zra ... lo tuh, kenapa baik banget, sih?!” serunya sembari menggoncang tubuh Ezra beberapa kali.
“Iya, iya, udah, Gi, udah.”
Gia tertawa. “Eh, ngomong-ngomong, bukannya lo datang sama Danish? Mana anaknya?”
Ezra membalikkan tubuhnya, memandangi Danish—si Fotografer—yang datang bersamanya hari ini. Pria itu baru saja datang menghampiri Ezra sembari menenteng ranselnya yang berat.
“Zra!” Danish berteriak, membuat atensi Gia pun teralih padanya. “Bisa-bisanya ninggalin gue.”
“Sorry, sorry.” kata Ezra.
Danish yang akhirnya berhasil menghampiri Ezra dan Gia menghelaka napas sambil dan meletakkan ranselnya di bawah. “Berat banget. Capek. Besok gue bakalan tidur seharian!”
“Capek ya, Nish?” tanya Gia. “Makan, yuk!”
Danish mengangguk-angguk. “Boleh banget tuh, Gi. Tapi, bentar lagi ya. Gue masih capek banget ini.”
“Aman! Iya kan, Zra?” kata Gia.
Ezra menyunggingkan senyum, menatap Gia dan mengangguk. Seketika, Gia melupakan masalahnya bersama Jesatya dan memutuskan untuk berjalan sendiri-sendiri, hanya untuk hari ini.
Tanpa ada pesan, pun telepon dari Gia sore itu, membuat Jesatya menghela napas saat ia melihat Instagram Story milik Gia bersama Ezra dan Danish. Tidak, Jesatya sama sekali tidak cemburu dan marah melihat kedua teman satu kantornya makan siang bersama kekasihnya. Yang ia sesalkan, harusnya Gia dapat mengabari ke mana ia akan pergi kesibukannya hari ini.Jesatya meringis, membuka kacamata dan meletakkan benda itu ke atas meja di samping tempat tidur. Ia menatap lurus langit-langit kamarnya—di rumah Raga.Seharusnya, Jesatya memikirkan Gia dan juga rencana mereka hari ini. Tapi anehnya, wajah yang terbayang sore itu bukan milik Gia, melainkan milih Daisi yang memberikannya senyuman kecil sesaat sebelum mereka berpisah siang tadi.Dengan cepat, Jesatya menggeleng dan bangkit dari tidurnya. “Anjir, kenapa gue jadi mikirin dia? Udah sinting.”Di saat yang bersamaan, handphone Jesatya berdering dan mengagetkannya. Jesatya langsung meraih benda itu dan melihat ibunya menelepon. Tanpa menungg
“Minggu ini kita ke rumah Jesa.” Gia tidak pernah merasa sefrustrasi ini ketika mendapatkan pesan dari sang mami. Gia sudah menduga, cepat atau lambat, Mami dan Papinya akan mengetahui tentang hubungannya dan Jesa yang berada di ujung tanduk.Sudah beberapa hari sejak akhir pekan kemarin, Gia dan Jesatya masih belum bertukar kabar. Entah keduanya saling menunggu mengabari atau malah memang sengaja membiarkan semuanya berakhir dengan sendirinya.Sambil menyesap es kopi yang baru saja ia pesan di coffee shop lantai dasar kantornya, Gia menatap handphone-nya, memandangi pesan yang ia terima dari maminya pagi ini tanpa mengirimkan sebuah balasan. Gia yakin, Jesatya sudah mengetahui tentang ini lebih dulu darinya. Akan tetapi, pria itu tetap saja bungkam. Harusnya, ia membicarakan itu dengan Gia, bukan?Masih dengan memegang dan melihat handphone-nya di tangan, Gia mulai melangkahkan kaki menuju lift untuk kembali ke ruangannya.“Gia!”Perempuan itu berhenti, menoleh ke arah suara yang ba
Perjalanan menuju rumah orang tua Jesatya berlangsung hening. Tidak ada satu kata yang terucap dari Gia pun Jesatya. Setelah hari di mana Jesatya menghubunginya dan mengajak untuk berpisah di depan orang tuanya, Jesatya dan Gia tidak lagi saling menghubungi dan benar-benar seperti orang lain.Selama itu pula, Gia sama sekali tidak merasa merindukan atau memikirkan Jesatya. Tetapi ketika bertemu hari ini, Gia merasa sedih, sebab sejak Jesatya menjemputnya ke apartemen, tidak ada konversasi apa pun yang terjadi di dalam mobil.Mobil Jesatya kemudian berhenti di sebuah rumah mewah bertingkat dua, di mana pagarnya langsung terbuka secara otomatis ketika satpam rumah mengenali mobil milik Jesatya. Gia menatap rumah orang tua Jesatya itu dalam diam, ia bahkan tidak tahu kapan terakhir kali menginjakkan kaki ke rumah ini.“Hei,” panggil Jesatya, membuat Gia menoleh. “Nanti kita dengerin mereka ngomong dulu. Kalau udah, baru giliran kita.”
Gia merapikan selimut yang menyelimuti papinya di kamar rumah sakit. Setelah jatuhnya Willy hari itu di rumah Jesatya, ia sempat tak sadarkan diri seharian.Willy pernah operasi dan pemasangan ring pada jantungnya sekitar sembilan bulan yang lalu. Akhir-akhir ini, kondisinya memang sedang menurun dan sering mengeluh kepada istrinya, Liana. Rupanya, pembicaraan yang cukup serius di rumah Jesatya itu mampu membuatnya terjatuh dan tak sadarkan diri.Gia memandangi papinya dengan nanar. Melihat Willy terbaring lemah membuat air matanya menetes lagi dan memori terpaksa membawanya kembali ke tiga hari yang lalu saat mereka membawa Willy ke rumah sakit bersama keluarga Jesatya juga.Pertama kali melihat papinya tak sadarkan diri membuat Gia ketakutan setengah mati. Tangannya bergetar dan jantungnya tidak berhenti berdetak dengan cepat. Ia terlalu takut untuk memikirkan hal-hal yang mungkin dapat terjadi kepada Willy. Gia bahkan tidak menangis karena tak ingin
“Kak, lo beneran break sama Kak Gia, ya?”Hari ini adalah hari sabtu, lima hari setelah Jesatya dan Gia memutuskan untuk istirahat sejenak dari hubungan mereka. Jesatya tidak yakin dengan perbedaan kata break dan break up, sebenarnya. Menurutnya, kedua kata itu sama saja, tidak ada bedanya.Seperti biasanya di sabtu pagi, Jesatya membantu Rena menyirami tanaman peninggalan almarhumah ibunya di taman belakang yang masih Rena dan saudara lainnya jaga. Tanpa terkecuali, termasuk Jesatya juga yang telah lama mengenal keluarga itu.“Kenapa?” Jesatya bertanya tanpa mengalihkan pandangannya dari bunga-bunga cantik berwarna merah muda yang sedang ia siram.Rena mematikan selang airnya, menyudahi menyirami tanaman karena ia merasa telah cukup melakukan itu. Rena membalikkan tubuh, menatap punggung Jesatya. “Karena kemarin gue sempat lihat dia makan siang bareng cowok?”Ucapan Rena tersebut membu
“Free dari gue, Zra.”Ezra memandangi dua gelas es kopi susu yang baru saja Hazel letakkan di atas meja untuknya dan Danish. Mereka baru saja menyelesaikan sesi wawancara dengan Hazel, selaku pemiliki Haz Coffee Shop.“Thank you, Zel.” Ezra tersenyum dan menyesap es kopi miliknya. Kebetulan, setelah take berkali-kali dan mengulang pertanyaan yang sama, Ezra cukup kehausan.Ezra tidak begitu mengenal Hazel. Namun, ia lumayan sering datang ke kedai kopi ini karena direkomendasi oleh Raga dan Jesatya. Sedangkan Danish, karena memang sudah berteman dengan Rena dan Regi cukup lama, ia juga cukup sering duduk di Haz bersama teman-temannya. Menurut Danish, Haz memang lumayan populer di kalangan anak muda.“Rena belum ke sini, ya?” Suara berat Danish tahu-tahu mengudara setelah pria itu mengedarkan pandangan dan melirik arlojinya. Sudah jam 1 siang. “Biasanya jam segini dia udah dateng
“Kak, lo beneran break sama Kak Gia, ya?”Hari ini adalah hari sabtu, lima hari setelah Jesatya dan Gia memutuskan untuk istirahat sejenak dari hubungan mereka. Jesatya tidak yakin dengan perbedaan kata break dan break up, sebenarnya. Menurutnya, kedua kata itu sama saja, tidak ada bedanya.Seperti biasanya di sabtu pagi, Jesatya membantu Rena menyirami tanaman peninggalan almarhumah ibunya di taman belakang yang masih Rena dan saudara lainnya jaga. Tanpa terkecuali, termasuk Jesatya juga yang telah lama mengenal keluarga itu.“Kenapa?” Jesatya bertanya tanpa mengalihkan pandangannya dari bunga-bunga cantik berwarna merah muda yang sedang ia siram.Rena mematikan selang airnya, menyudahi menyirami tanaman karena ia merasa telah cukup melakukan itu. Rena membalikkan tubuh, menatap punggung Jesatya. “Karena kemarin gue sempat lihat dia makan siang bareng cowok?”Ucapan Rena tersebut membu
Suara tepuk tangan yang meriah langsung terdengar ketika Yovie and Nuno menyanyikan lagu kelima. Dikta, vokalisnya mengucapkan terima kasih sekali lagi sebelum pergi ke ruang istirahat yang sudah Hazel siapkan untuk mereka. Ketika panggung kosong, Samuel—salah satu Barista yang bekerja di Haz mengambil alih mikrofon.“Yah, kayaknya kita telat deh, Gi.” kata Ezra saat melihat panggung diisi oleh Samuel dan tidak melihat Yovie and Nuno ada di mana pun.“Lo sih tadi pakai acara ngajak makan dulu. Padahal gue udah bilang makan di Haz aja.” Gia pun merungut. Tadi ketika Ezra menjemputnya, pria itu malah mengajaknya makan malam dulu di luar.“Ya habisnya gue pengin ayam bakar deket apartemen lo itu. Enak sih.”Gia menggelengkan kepalanya dan duduk di kursi kosong yang diarahkan oleh staff di Haz. Sementara kepala Ezra sibuk mencari-cari sosok Hazel. Setidaknya, ia ingin mengucapkan terima kasih secara langsung karena Hazel telah mengundangnya malam ini.Berbeda dengan Ezra yang sibuk mencar
Jesatya sudah memantapkan hatinya bahwa ia tidak akan marah kepada Ezra ketika bertemu lelaki itu di kantor. Hanya saja, setelah melihat wajah Ezra, ia justru teringat dengan Gia dan perasaan marah itu kembali muncul. Jesatya merasa dikhianati oleh keduanya.Padahal, belum tentu perasaan keduanya sama. Bisa saja hanya Gia yang menyukai Ezra. Sementara Ezra tidak demikian. Sejujurnya, Jesatya tidak masalah jika Gia menyukai orang lain. Tapi dari banyaknya orang lain, kenapa lelaki itu harus Ezra? Orang yang hampir setiap hari ia lihat di kantor di pagi hari.Mata Jesatya tidak berhenti mengikuti Ezra yang baru saja datang dan duduk di mejanya. Lelaki itu kemudian berdiri, pergi ke pantry dan duduk lagi membawa secangkir kopi. Ketika ia duduk, matanya bertemu pandang dengan Jesatya, tidak sadar bahwa lelaki berkacamata itu sejak tadi memperhatikannya.“Ngopi, Bang?” tanya Ezra.Jesatya menggeleng lalu menurunkan pandangannya, meremas kertas-kertas yang berserakan di atas meja. Ia menghe
“Kenapa sih lo bisa suka wasabi? Gue benci banget. Kayak pasta gigi.”Ezra tertawa mendengar komentar Gia yang merengut ketika melihat pria itu menambahkan wasabi ke dalam sausnya. Menurut Gia, rasa wasabi itu seperti pasta gigi. Sejak dulu hingga sekarang, Gia heran mengapa Ezra senang sekali menambahkan wasabi ketika sedang makan sushi bersama.“Enak tahu, Gi.” kata Ezra membela diri.“Lo doang yang bilang enak!” balas Gia tak mau kalah.“Gue dan para pecinta wasabi.”“Kata gue, lo semua aneh.”Ezra tertawa lagi dan menggelengkan kepalanya. “Lo enggak suka wasabi tapi lo suka mint choco.”“Itu dua hal yang berbeda, Ezra.”“Jelas sama.”Dahi Gia semakin mengernyit. “Mending kita udahin berdebatnya.”“Good idea.”Gia menggelengkan kepala sambil mengulum senyum di bibirnya. Diam-diam, Gia merasa berterima kasih kepada Ezra yang tadi tiba-tiba mengajaknya makan siang bersama. Sebab jika saat itu Ezra tidak menghubunginya, Gia pasti akan kalut di dalam kamarnya setelah telepon dari Liana
Gia melepas kacamatanya setelah berkutat cukup lama di depan laptop. Gadis itu memijit pelipisnya pelan, matanya sudah lelah menatap laptop selama beberapa jam. Gia pikir, hari Minggu-nya ini akan berakhir dengan baik, tanpa harus memeriksa pekerjaan pun tanpa harus menyentuh laptopnya.Namun sayang, Clarissa terlalu baik untuk membiarkan angan Gia itu menjadi kenyataan. Pada pukul sepuluh pagi tadi—tepat sebelum Gia hendak menikmati kolam renang apartemen, Clarissa tiba-tiba mengirimkan Email penting yang harus Gia periksa. Hasilnya, Gia harus menyelesaikan pekerjaannya itu hari ini juga. Maka dengan berat hati, Gia terpaksa merelakan hari Minggu-nya yang santai itu.Pekerjaan Gia selesai di pukul dua siang dan Gia sudah kehilangan selera untuk makan atau bahkan melanjutkan rencananya untuk berenang tadi pagi. Setelah menghabiskan es kopinya di dalam tumbler, Gia meraih ponselnya untuk memeriksa benda itu. Pada saat itu pula, sebuah panggilan muncul di ponselnya, memperlihatkan nama
Perkataan Ella tempo hari harusnya tidak perlu Gia pikirkan terlalu dalam. Namun nyatanya, Gia malah memikirkan perkataan Ella itu hari-hari berikutnya hingga akhir pekan kembali menyambutnya dan Ezra lagi. Hari ini, ia dan Ezra sepakat untuk belanja bulanan kebutuhan di apartemen masing-masing.Sambil memperhatikan Ezra yang sedang bingung memilih pembersih muka yang baru, Gia jadi kepikiran dengan kata-kata Ella lagi.Gia dan Ezra sudah berteman empat tahun lamanya. Ketika Ezra mengenalkan Gia kepada Jesatya, Ezra tahu bahwa keduanya akan berakhir memiliki hubungan yang spesial. Tetapi setelah itu, Gia tidak tahu tentang kehidupan asmara Ezra. Sama sekali.Sekarang, Gia menjadi merasa bersalah. Ezra selalu menjadi tempat bagi Gia untuk bercerita masalah hubungannya dengan Jesatya. Bahkan kalau dipikir-pikir, Ezra bisa saja menyebutkan kronologi penyebab bertengkar Gia dan Jesatya dari nomor satu sampai sekian.Ezra selalu menjadi pendengar yang baik. Tapi, ia tak pernah menceritakan
Gia menundukkan kepala dan dengan sengaja mengacak rambutnya agar menutupi wajah. Entah kenapa, Gia tidak ingin bertemu dengan Jesatya. Seketika keputusannya untuk datang ke Haz malam ini mengundang penyesalan. Gia tidak menduga ia bisa sedikit kesal melihat keakraban Jesatya dengan perempuan lain.Lalu, Gia tersentak dan mengangkat kepalanya. “Kenapa gue kayak gini, sih?! Enggak jelas.”“Luthesa,”Sekali lagi, Gia tersentak. Gia tidak mau repot-repot untuk menebak siapa yang sedang menyapanya. Hanya satu orang yang sering menyapanya dengan Luthesa. Hanya Jesatya Sejati, yang mampu melakukan itu.Tanpa diduga-duga, Jesatya duduk di hadapan Gia dan menyunggingkan senyum, tanpa canggung sedikit pun. Terkadang, Gia tidak habis pikir dengan Jesatya.“Kenapa nunduk-nunduk gitu?”“Enggak apa,” Gia menjawab dengan cepat, melempar pandangannya ke mana saja asal bukan kepada Jesatya.“Kenap
Suara tepuk tangan yang meriah langsung terdengar ketika Yovie and Nuno menyanyikan lagu kelima. Dikta, vokalisnya mengucapkan terima kasih sekali lagi sebelum pergi ke ruang istirahat yang sudah Hazel siapkan untuk mereka. Ketika panggung kosong, Samuel—salah satu Barista yang bekerja di Haz mengambil alih mikrofon.“Yah, kayaknya kita telat deh, Gi.” kata Ezra saat melihat panggung diisi oleh Samuel dan tidak melihat Yovie and Nuno ada di mana pun.“Lo sih tadi pakai acara ngajak makan dulu. Padahal gue udah bilang makan di Haz aja.” Gia pun merungut. Tadi ketika Ezra menjemputnya, pria itu malah mengajaknya makan malam dulu di luar.“Ya habisnya gue pengin ayam bakar deket apartemen lo itu. Enak sih.”Gia menggelengkan kepalanya dan duduk di kursi kosong yang diarahkan oleh staff di Haz. Sementara kepala Ezra sibuk mencari-cari sosok Hazel. Setidaknya, ia ingin mengucapkan terima kasih secara langsung karena Hazel telah mengundangnya malam ini.Berbeda dengan Ezra yang sibuk mencar
“Kak, lo beneran break sama Kak Gia, ya?”Hari ini adalah hari sabtu, lima hari setelah Jesatya dan Gia memutuskan untuk istirahat sejenak dari hubungan mereka. Jesatya tidak yakin dengan perbedaan kata break dan break up, sebenarnya. Menurutnya, kedua kata itu sama saja, tidak ada bedanya.Seperti biasanya di sabtu pagi, Jesatya membantu Rena menyirami tanaman peninggalan almarhumah ibunya di taman belakang yang masih Rena dan saudara lainnya jaga. Tanpa terkecuali, termasuk Jesatya juga yang telah lama mengenal keluarga itu.“Kenapa?” Jesatya bertanya tanpa mengalihkan pandangannya dari bunga-bunga cantik berwarna merah muda yang sedang ia siram.Rena mematikan selang airnya, menyudahi menyirami tanaman karena ia merasa telah cukup melakukan itu. Rena membalikkan tubuh, menatap punggung Jesatya. “Karena kemarin gue sempat lihat dia makan siang bareng cowok?”Ucapan Rena tersebut membu
“Free dari gue, Zra.”Ezra memandangi dua gelas es kopi susu yang baru saja Hazel letakkan di atas meja untuknya dan Danish. Mereka baru saja menyelesaikan sesi wawancara dengan Hazel, selaku pemiliki Haz Coffee Shop.“Thank you, Zel.” Ezra tersenyum dan menyesap es kopi miliknya. Kebetulan, setelah take berkali-kali dan mengulang pertanyaan yang sama, Ezra cukup kehausan.Ezra tidak begitu mengenal Hazel. Namun, ia lumayan sering datang ke kedai kopi ini karena direkomendasi oleh Raga dan Jesatya. Sedangkan Danish, karena memang sudah berteman dengan Rena dan Regi cukup lama, ia juga cukup sering duduk di Haz bersama teman-temannya. Menurut Danish, Haz memang lumayan populer di kalangan anak muda.“Rena belum ke sini, ya?” Suara berat Danish tahu-tahu mengudara setelah pria itu mengedarkan pandangan dan melirik arlojinya. Sudah jam 1 siang. “Biasanya jam segini dia udah dateng
“Kak, lo beneran break sama Kak Gia, ya?”Hari ini adalah hari sabtu, lima hari setelah Jesatya dan Gia memutuskan untuk istirahat sejenak dari hubungan mereka. Jesatya tidak yakin dengan perbedaan kata break dan break up, sebenarnya. Menurutnya, kedua kata itu sama saja, tidak ada bedanya.Seperti biasanya di sabtu pagi, Jesatya membantu Rena menyirami tanaman peninggalan almarhumah ibunya di taman belakang yang masih Rena dan saudara lainnya jaga. Tanpa terkecuali, termasuk Jesatya juga yang telah lama mengenal keluarga itu.“Kenapa?” Jesatya bertanya tanpa mengalihkan pandangannya dari bunga-bunga cantik berwarna merah muda yang sedang ia siram.Rena mematikan selang airnya, menyudahi menyirami tanaman karena ia merasa telah cukup melakukan itu. Rena membalikkan tubuh, menatap punggung Jesatya. “Karena kemarin gue sempat lihat dia makan siang bareng cowok?”Ucapan Rena tersebut membu