Gia merentangkan kedua tangannya ke atas, lalu ke kanan dan kiri dan sedikit menghela napas ketika akhirnya waktu kerja untuk hari ini telah selesai. Gadis itu sedikit melirik ke atas dari kubikelnya, memperhatikan beberapa rekan kerja yang juga melakukan hal yang sama dengannya. Percayalah, bekerja di depan laptop hampir seharian itu jauh lebih melelahkan. Karena itu pula, Gia harus menggunakan kacamata untuk bekerja.
Gia mengambil ponselnya yang terletak di atas meja. Waktu telah menunjukkan pukul tujuh malam. Sebenarnya, Gia bisa saja pulang sebelum jam tujuh. Namun, pekerjaan hari ini terpaksa membuatnya mengundur waktu pulang.
Satu notifikasi khusus yang Gia buat untuk Jesatya tiba-tiba terdengar. Gia terkesiap, membuka satu pesan yang baru saja Jesatya kirimkan untuknya. Random—tapi akan selalu membuat Gia tersenyum, karena itu adalah tipikal seorang Jesatya Sejati.
Jesa: Gia, masa tadi aku ketemu setan
Gia semakin melebarkan senyumnya dan dengan cepat mengetikkan sebuah balasan hingga mereka bertukar beberapa pesan, seolah melupakan apa yang mereka bicarakan siang tadi.
Gia: Apaan sih je? Setan apa?
Jesa: Gak tau. Tiba-tiba ngilang. Serem deh.
Jesa: Kamu di mana? Udah pulang?
Gia: Belum. Aku masih di kantor. Pulang jam 9 mungkin.
Jesa: Kenapa kok malem banget gi? Banyak kerjaan? Mau aku jemput?
Gia: Ga usah, jes. Aku kan bawa mobil.
Jesa: Oh iya. Ya udah hati-hati.
Jesa: Btw, aku gak mau ngomong sama mami dan papi kamu. Kamu tau kan, papi kamu itu serem.
Gia refleks meloloskan kekehan dari mulutnya hingga membuat Ella yang masih berkutat di depan komputer melirik sebentar.
Gia: After all this time kamu masih takut sama papi? Hahahaha
Gia: Eh bentar ... jadi, kita putus?
Jesa: Belum
Jesa: Give me some time ya gi. Pikirin lagi, ya? Kamu yakin mau kehilangan cowok keren kayak aku?
Gia: You wish Jesatyaaaa
Jesa: Hahahahaha
Gia mengulum senyum, mengakhiri konversasinya bersama Jesatya dan meletakkan ponselnya lagi di atas meja lalu bersiap-siap untuk pulang.
***
Tepat pukul sembilan malam Gia meninggalkan kantornya bersama Ella dan sama-sama berdiri di lobi untuk menunggu jemputan.
“Lo dijemput Jesa?”
Gia menggeleng menjawab pertanyaan Ella. Senyuman tipis tampak menghiasi wajahnya. Ia berbohong kepada Jesatya ketika lelaki itu bertanya pukul berapa ia akan meninggalkan kantor. Gia tidak berbohong soal jam pulangnya, melainkan tentang dirinya yang membawa kendaraan. Gia tidak membawa mobil hari ini.
“Gue naik taksi online aja, La.” jawab Gia akhirnya.
“Lah, biasanya lo dijemput Jesa kalau pulang larut gini, Gi.”
“ya ... itu kan biasanya—waktu hubungan gue baik-baik aja sama Jesa, La.”
“Emang sekarang? Udah putus? Belum, ‘kan? Tadi gue lihat lo ketawa-ketawa aja tuh bales message-nya Jesa—” Ella tiba-tiba terkesiap sambil menutup mulutnya. “Jangan bilang lo punya selingkuhan, Gi?!”
“Enggak ya, La!” seru Gia gemas. “Enak aja lo. Iya, tadi itu gue chat-an sama Jesa, kok.”
“Hah? Terus? Ih, aneh banget lo berdua.”
Gia tertawa. Ia tidak heran jika orang-orang kebingungan dengan hubungannya dan Jesatya. Meski di dalam terasa begitu kosong, tapi sesungguhnya mereka bisa menjadi teman sampai kapan pun. Mungkin, berteman memang lebih cocok untuknya dan Jesatya.
“Udah. Lo enggak bakalan ngerti, La. Pacaran aja lo cuma sekali,” canda Gia.
Ella langsung merengut sebal. “Iya, gue tahu, Gi, tahuuuu banget. Gue emang bukan pakarnya.”
“Tuh, jemputan lo udah datang,” sahut Gia saat mengenali Mobilio hitam berhenti di depan mereka. “Semoga sama yang ini pengalaman lo soal cinta-cintaan nambah ya, La.”
Ella memutar bola matanya dan memberikan jari tengah kepada Gia. Gadis itu hanya tertawa lalu melambaikan tangannya saat Ella telah masuk ke dalam mobil Nathan—gebetannya, dan melambai kepada Gia.
Gia kemudian meraih handphone-nya yang ada di dalam tas. Namun, barang-barangnya yang ada di dalam tas justru terjatuh dan membuat Gia berdecak. Hari ini jelas bukan hari yang baik buat gue.
Gia berjongkok, mengutip sisir, hand cream-nya, lipstik, dan dompet—yang ternyata lebih dulu diambil oleh seseorang di hadapannya. Gia tersentak, menyangka seseorang itu tidak memiliki tujuan yang baik. Ketika ia dan seseorang itu sama-sama berdiri, Gia terhenyak selama beberapa menit sambil menerima dompet yang diserahkan oleh orang itu.
Sekon berikutnya, Gia tersadar dan memukul lengan orang itu dengan dompetnya. “Lo tuh ya, Zra!”
Ezra—seseorang yang ia sangka tidak memiliki niat yang baik langsung tertawa puas. “Muka lo panik banget, Gi.”
“Ya, paniklah, sialan lo!” balas Gia, memasukkan dompetnya ke dalam tas. “Harta gue di situ semua. Gue pikir siapa tadi,” lanjutnya dan kembali menatap Ezra, teman pacarnya—yang entah mengapa bisa ada di kantornya selarut ini. “Ngomong-ngomong, lo ngapain di sini, Zra?”
Ezra tiba-tiba menghembuskan napas berat. “Gue habis ketemu sama bos lo yang super classy itu.”
“Bu Clarissa? Lo mau interview dia?”
Ezra mengangguk. “Lo enggak tahu? Dia ngundang gue sama reporter lain buat makan malam di ruangannya.”
Gia tiba-tiba tergelak. “Pasti lo semua disuruh nulis yang baik-baik.”
“Apa lagi kalau bukan itu,” Ezra menggeleng, sudah terlalu paham dengan profesi yang ia jalan selama empat tahun. “BTW, lo ngapain? Nungguin Bang Jesa?”
“Enggak. Gue baru aja mau mesen taksi online, Zra.”
“Tumben banget enggak dijemput Bang Jesa?”
Gia hanya menggeleng, air mukanya seketika berubah dan Ezra tahu bahwa ia tidak boleh bertanya apa pun lagi mengenai Jesatya kepada Gia.
“Pulang sama gue aja, Gi. Udah malem.” ujar Ezra, membuat Gia menoleh ke arahnya.
“Enggak apa-apa emang? Kayaknya kita enggak searah.”
“Gampanglah kalau soal searah enggak searahnya. Yuk? Mobil gue di bawah.”
Gia tersenyum, mengikuti Ezra yang berjalan lebih dulu darinya menuju basement parkiran gedung itu.
***
“Gi, lo bisa cerita sama gue.” Suara Ezra mengudara ketika mobil yang ia bawa berhasil keluar dari gedung kantor Gia.
Gia tersenyum kecut. Di antara teman-teman Jesatya, ia memang lebih dekat dengan Ezra. Ezra adalah orang yang mengenalkan Gia kepada Jesatya empat tahun lalu—saat ia dan Jesatya menghadiri sebuah seminar.
Gia masih mengingat bagaimana pertemuan mereka saat itu. Ia dan Ezra duduk bersampingan dan menguap dengan kompak karena lelah menghadiri seminar yang telah berjalan selama dua jam penuh. Kaduanya saling pandang, kemudian tertawa bersama. Saat itulah, mereka bertukar nama dan Ezra membawa Gia makan siang bersama teman-temannya karena Gia memang sendirian saat itu.
“Zra,” ujar Gia. “Di mata lo, gue sama Jesa tuh, sekarang gimana sih?”
Ezra terdiam sejenak, seolah menimbang-nimbang kata apa yang harus ia sampaikan kepada Gia. Tentu saja, Gia langsung menyadari itu.
“Lo enggak perlu sungkan, Zra. Kalau menurut lo gue sama Jesa kayak enggak pacaran lagi, ya enggak apa.”
“Iya sih,” jawab Ezra segera. “Emang enggak kayak orang pacaran lagi. Kenapa? Udah sama-sama bosen ya lo berdua?”
“Mungkin.” Gia tersenyum tipis. “Gue sama Jesa kayak menjalani itu semua dengan terpaksa.”
“Lo apa Jesa?” balas Ezra, membalas senyuman Gia. “Karena gue lihat, Jesa biasa aja. Enggak sedikit pun terpaksa.”
“Sejak kapan lo bisa baca pikiran Jesa, Zra?”
Ezra seketika tergelak. “Iya ya, Gi. Sejak kapan?” katanya setelah puas tertawa. “Tapi, yang gue lihat, dia tetap jadi Jesa yang peduli sama elo, Gi.”
Gia bergeming, teringat dengan chat Jesatya tadi kepadanya. Jesatya memintanya berpikir ulang. Begitu pula dengan Ella yang selalu mengingatkannya untuk tidak mengambil keputusan yang salah. Ucapan-ucapan mereka itu membuat keraguan datang kepada dirinya. Lagi. Entah yang sudah keberapa kalinya.
“Lo sama Jesa kan udah lama. Orang tua lo berdua udah saling kenal. Apa enggak sayang?”
“Nah itu,” tukas Gia. “Yang gue dan Jesa pikirin tuh tiap mau putus, pasti orang tua, Zra. Lo tahu kan gimana orang tua gue sama Jesa? Aneh banget. Kayak enggak sabaran buat besanan.”
Ezra terkekeh, ia sangat paham dengan yang satu itu. “Bener sih, Gi. Kenapa, ya? Lo enggak coba tanya sama mami lo?”
“Pernah. Gue pernah tanya dan lo tahu Mami jawab apa?”
“Apa?”
“Katanya, kapan lagi punya calon mantu cakep kayak Jesa, Gi?” sahut Gia menirukan ucapan maminya saat itu dan mengundang tawa dari Ezra. “Bete enggak sih, Zra? Enggak ada serius-seriusnya.”
“Ya kali aja alasannya emang itu, Gi.”
“Enggak mungkin, lah. Jesa enggak cakep-cakep amat tahu.”
Ezra tertawa dan mendadak, suasana di dalam mobil hening. Gia sibuk memikirkan kembali hubungannya dengan Jesatya. Hingga keheningan itu terpaksa diusik oleh Ezra dengan menghidupkan radio di mobilnya.
Lagu Alexandra dari Reality Club tiba-tiba mengudara—tepat di bagian lirik yang sangat mengena untuk seorang Luthesa Gianina. I fell in love with Alexandra. Lantas, Gia tersenyum dengan penuh arti.
“Kenapa lo?” Ezra bertanya, menangkap lengkungan di bibir Gia dari ujung matanya.
“Ini. Gue inget banget dulu Jesa suka nyanyiin lagu ini, Zra. Part I fell in love with Alexandra, dia ganti jadi I fell in love with Gianina. Even though i barely met her, event though we’d break our hearts...” Gia menggantungkan lirik lagu itu dan mengangguk pelan. “Kinda miss those moments, when we were so in love.”
Ezra menyunggingkan senyum. Baik dirinya dan Gia mungkin sudah sama-sama tahu apa yang harus mereka lakukan.
“You can always fix it, Gi.”
“Thank you, Zra.”
Benar. Mungkin ... dia akan mencoba kembali, kembali ke masa-masa membahagiakan itu bersama Jesatya-nya.
***
Jesatya melangkahkan kakinya keluar dari kamar mandi sembari mengeringkan rambut dengan handuk di kepala. Sayup-sayup suara berisik dari lantai bawah terdengar dan membuatnya menyunggingkan senyum. Ia baru saja hendak turun ke lantai satu ketika dering handphone mengurungkan niatnya.
Jesatya berjalan ke arah meja untuk mengambil handphone-nya dan kontak dengan nama “My Luthesa” terpampang di layar.
“Hei, Luthesa.” sapa Jesatya sambil duduk di tepi kasurnya. “Udah sampai rumah?”
“Udah. Kamu di mana, Jes? Udah di apartemen?”
Jesatya tersenyum, kembali melirik ke arah pintu. “Aku di rumah Raga.”
“Di sana lagi? Kayak enggak punya rumah.”
Jesatya tertawa mendengar komentar Gia. Sebab, Gia sudah lelah mendengar dirinya lebih sering menghabiskan waktu di rumah Raga dari pada di apartemennya sendiri. Alasannya selalu sama. Jesatya senang dengan suasana rumah Raga yang ramai karena temannya itu tinggal bersama adik-adiknya. Tidak hanya satu, tetapi tiga dan itu membuat rumahnya tidak pernah sepi.
“Di unit sepi, Gi. Kamu tahu kan aku di sini—”
“Cuma mau ketemu Rafka? Yeah, I get it, Jesa. Asal alasannya bukan ketemu Rena, ya.”
Lagi, Jesatya tertawa. Rafka itu adik paling kecilnya Raga, ngomong-ngomong, dan benar-benar alasan Jesatya mengapa ia senang menginap di rumah Raga. Bahkan, Raga memberikan satu kamar kosong untuknya menginap di rumah itu.
“Emang kalau alasannya ketemu Rena, gimana? Jealous?”
Rena—adik perempuan satu-satunya Raga yang amat sangat dijaga olehnya dan juga kembaran Rena. Berteman dengan Raga sejak SMA, membuat Jesatya tanpa sadar ikut menganggap adik-adik Raga sebagai adiknya. Terlebih, ia memang merupakan anak tunggal.
Tahun pertama berpacaran dengan Gia, gadis itu sempat merasa sangat cemburu. Sebab, Jesatya selalu tidur di rumah Raga dan tampak akrab dengan Rena. Namun sekarang, Gia sama sekali tidak merasa terganggu dengan itu. Apalagi ia dan Rena sekarang sudah seperti teman yang tak terpisahkan.
“I’m not, Jes.” balas Gia.
“Jadi, kenapa nelepon? Mengingat gimana kita siang tadi, aku cukup kaget kamu nelepon cuma buat nanya ini.”
“Aku lebih kaget waktu kamu nge-chat cuma buat bilang ada setan? You’re so random.”
Senyum Jesatya tak lepas dari wajahnya. Ia bangkit berdiri, berjalan menuju jendela kamar dan memperhatikan suasana komplek perumahan tempat Raga tinggal yang sepi.
“Jadi ... Kenapa, Gi? Mau ngobrolin apa?”
Terdengar sepi di seberang sana. Gia tidak mengatakan apa pun. Namun, sepinya itu tak berlangsung lama ketika akhirnya Gia mulai bersuara.
“Kalau ... Kamu enggak sibuk weekend ini, mau lunch bareng, enggak? Di Belle’s.”
Atas ucapan Gia tersebut, barulah senyum yang sejak tadi terpatri di wajah Jesatya luntur. Bukannya ia tak senang, melainkan merasa kebingungan dengan ajakan Gia yang terkesan mendadak. Pasalnya, tadi siang, Gia baru saja mengajaknya untuk berpisah.
“Gi ... Ini bukan karena kamu mau ajak putus lagi, ‘kan?”
Gia terkekeh. “Enggak, Jesa. Aku... Mau coba perbaiki lagi hubungan kita.”
Mendengar itu, senyum yang sempat pudar beberapa detik lalu pun perlahan kembali mewarnai air muka Jesatya. “Of course, Luthesa. Let’s fix it.”
“Kak Jesaaaa! Pizza!”
Jesatya melirik ke arah pintu yang kemudian terbuka, menampakkan sosok Rena yang sedang memakan sepotong pizza.
“Ups, lagi teleponan? Siapa?”
“Gia,” kata Jesatya.
Rena kemudian menghampiri Jesatya. “Kak Giaaaa! Aku pinjem lagi Kak Jesa-nya!”
Gia tertawa. “Pinjem lama-lama juga enggak apa, Ren.”
“Ih, ogah! Enggak mau sama bapak-bapak!”
“Enak aja lu! Sana-sana, ntar gue turun!” sahut Jesatya sambil mendorong tubuh Rena untuk keluar. Rena mengerucutkan bibirnya sebal, menjulurkan lidah, lalu meninggalkan kamar itu.
“Ya udah. See you on the weekend ya, Je?”
“See you, Gi. Good night.”
Jesatya menutup sambungan teleponnya bersama Gia dan meletakkan benda itu ke atas meja. Berhubung Rena sudah sampai menjemputnya untuk memakan Pizza yang sepertinya baru saja dipesan oleh Raga, Jesatya pun akhirnya menghampiri adik beradik itu ke lantai bawah.
“Udah tidur lo, Jes?” tanya Raga yang duduk di sofa bersama adik bungsunya, Rafka.
“Enggak. Lagi teleponan sama Gia.” jawab Jesatya, duduk di sebelah Rafka dan langsung memeluk bocah berumur tujuh belas tahun itu. “Rafka, enak banget makannya. Suapin Abang, dong.”
“Kan! Kalah nih aku jadinya!” sahut Rafka marah-marah. Jesatya hanya tertawa mendengarnya. Selalu merasa gemas jika Rafka sudah marah-marah seperti itu.
“Kok bisa masih teleponan, sih? Kan, mau putus.” ujar Raga.
“Hah? Putus?” Rena dan Regi, kembarannya langsung menyahut dengan kompak.
“Serius, Bang? Mau putus sama Gia?” ulang Regi.
“Enggak ah, belum. Kenapa emang?”
“Mau gue pepet, lah!” kata Regi lagi yang kemudian langsung mendapat lemparan kacang atom dari Rena dan Raga.
“Eh ....” Rafka tiba-tiba bersuara, menurunkan ponsel ke pangkuannya. “Mumpung ada Bang Jesa, aku mau nanya.”
“Nanya apa?” tanya Jesatya bingung. Raga, Regi, dan Rena pun ikut menatap Rafka penasaran.
“Iya ... supaya aku enggak dimarahin,” kata Rafka lagi pelan.
“Eh, kamu habis ngapain?!” sahut Rena.
“Awas ya macem-macem!” tegur Regi ikut-ikutan.
Raga kemudian ikut menegur Rena dan Regi. “Hei, biarin dulu adiknya ngomong.”
Rafka mengejek Regi lalu kemudian menatap Jesatya di sampingnya. “Aku cuma mau nanya. Enggak penting, sih. Tapi, penasaran.”
“Iya, apa, Raf? Enggak bakalan dimarahin.” ujar Jesatya.
Rafka memandangi Raga, Rena, Regi, dan Jesatya bergantian. Tatapannya ragu, takut kalau-kalau, pertanyaan itu malah mengundang amukan. Terutama dari Abang Regi yang sumbu marahnya pendek sekali.
“Rasanya ... rokok itu kayak apa, sih?”
“REGI! LO APAIN ADIK GUE?!” seru Jesatya.
“ADIK GUE INI MAH, BUKAN ADIK LO KALI, BANG!” balas Regi.
“REGI, INI SEMUA SALAH LO!” Rena pun ikut menimpali. Sedangkan Raga, lebih memilih untuk diam.
Jesatya sangat menantikan akhir pekannya minggu ini. Semua dikarenakan janjinya bersama Gia untuk makan siang bersama di Belle’s, tempat pertama kali mereka mulai menyandang status sebagai sepasang sekasih.Salah satu faktor hambarnya hubungan ia dan Gia adalah kesibukan masing-masing yang menghambat waktu untuk menghabiskan waktu bersama. Jesatya bahkan tidak ingat kapan terakhir kali ia mengajak Gia untuk pergi bersama di akhir pekan.Menyadari bagaimana ia pun merasa semangat hari ini, Jesatya yakin bahwa perasaannya kepada Gia masih tersimpan di lubuk hatinya yang paling dalam. Perasaannya seperti dulu—yang selalu tidak sabar untuk menghabiskan waktu bersama dengan Gia.“Jadi juga lo pergi?”Jesatya yang baru saja menuruni tangga di kediaman rumah Ardhias langsung disambut oleh Raga—si pemilik rumah yang sedang bersantai menikmati secangkir kopi hangat di ruang keluarga. Sadar dengan pertanyaan Raga yang sedikit sarkas, Jesatya tersenyum.“Jadi. Semoga,” ujarnya sambil menilik rum
Tanpa ada pesan, pun telepon dari Gia sore itu, membuat Jesatya menghela napas saat ia melihat Instagram Story milik Gia bersama Ezra dan Danish. Tidak, Jesatya sama sekali tidak cemburu dan marah melihat kedua teman satu kantornya makan siang bersama kekasihnya. Yang ia sesalkan, harusnya Gia dapat mengabari ke mana ia akan pergi kesibukannya hari ini.Jesatya meringis, membuka kacamata dan meletakkan benda itu ke atas meja di samping tempat tidur. Ia menatap lurus langit-langit kamarnya—di rumah Raga.Seharusnya, Jesatya memikirkan Gia dan juga rencana mereka hari ini. Tapi anehnya, wajah yang terbayang sore itu bukan milik Gia, melainkan milih Daisi yang memberikannya senyuman kecil sesaat sebelum mereka berpisah siang tadi.Dengan cepat, Jesatya menggeleng dan bangkit dari tidurnya. “Anjir, kenapa gue jadi mikirin dia? Udah sinting.”Di saat yang bersamaan, handphone Jesatya berdering dan mengagetkannya. Jesatya langsung meraih benda itu dan melihat ibunya menelepon. Tanpa menungg
“Minggu ini kita ke rumah Jesa.” Gia tidak pernah merasa sefrustrasi ini ketika mendapatkan pesan dari sang mami. Gia sudah menduga, cepat atau lambat, Mami dan Papinya akan mengetahui tentang hubungannya dan Jesa yang berada di ujung tanduk.Sudah beberapa hari sejak akhir pekan kemarin, Gia dan Jesatya masih belum bertukar kabar. Entah keduanya saling menunggu mengabari atau malah memang sengaja membiarkan semuanya berakhir dengan sendirinya.Sambil menyesap es kopi yang baru saja ia pesan di coffee shop lantai dasar kantornya, Gia menatap handphone-nya, memandangi pesan yang ia terima dari maminya pagi ini tanpa mengirimkan sebuah balasan. Gia yakin, Jesatya sudah mengetahui tentang ini lebih dulu darinya. Akan tetapi, pria itu tetap saja bungkam. Harusnya, ia membicarakan itu dengan Gia, bukan?Masih dengan memegang dan melihat handphone-nya di tangan, Gia mulai melangkahkan kaki menuju lift untuk kembali ke ruangannya.“Gia!”Perempuan itu berhenti, menoleh ke arah suara yang ba
Perjalanan menuju rumah orang tua Jesatya berlangsung hening. Tidak ada satu kata yang terucap dari Gia pun Jesatya. Setelah hari di mana Jesatya menghubunginya dan mengajak untuk berpisah di depan orang tuanya, Jesatya dan Gia tidak lagi saling menghubungi dan benar-benar seperti orang lain.Selama itu pula, Gia sama sekali tidak merasa merindukan atau memikirkan Jesatya. Tetapi ketika bertemu hari ini, Gia merasa sedih, sebab sejak Jesatya menjemputnya ke apartemen, tidak ada konversasi apa pun yang terjadi di dalam mobil.Mobil Jesatya kemudian berhenti di sebuah rumah mewah bertingkat dua, di mana pagarnya langsung terbuka secara otomatis ketika satpam rumah mengenali mobil milik Jesatya. Gia menatap rumah orang tua Jesatya itu dalam diam, ia bahkan tidak tahu kapan terakhir kali menginjakkan kaki ke rumah ini.“Hei,” panggil Jesatya, membuat Gia menoleh. “Nanti kita dengerin mereka ngomong dulu. Kalau udah, baru giliran kita.”
Gia merapikan selimut yang menyelimuti papinya di kamar rumah sakit. Setelah jatuhnya Willy hari itu di rumah Jesatya, ia sempat tak sadarkan diri seharian.Willy pernah operasi dan pemasangan ring pada jantungnya sekitar sembilan bulan yang lalu. Akhir-akhir ini, kondisinya memang sedang menurun dan sering mengeluh kepada istrinya, Liana. Rupanya, pembicaraan yang cukup serius di rumah Jesatya itu mampu membuatnya terjatuh dan tak sadarkan diri.Gia memandangi papinya dengan nanar. Melihat Willy terbaring lemah membuat air matanya menetes lagi dan memori terpaksa membawanya kembali ke tiga hari yang lalu saat mereka membawa Willy ke rumah sakit bersama keluarga Jesatya juga.Pertama kali melihat papinya tak sadarkan diri membuat Gia ketakutan setengah mati. Tangannya bergetar dan jantungnya tidak berhenti berdetak dengan cepat. Ia terlalu takut untuk memikirkan hal-hal yang mungkin dapat terjadi kepada Willy. Gia bahkan tidak menangis karena tak ingin
“Kak, lo beneran break sama Kak Gia, ya?”Hari ini adalah hari sabtu, lima hari setelah Jesatya dan Gia memutuskan untuk istirahat sejenak dari hubungan mereka. Jesatya tidak yakin dengan perbedaan kata break dan break up, sebenarnya. Menurutnya, kedua kata itu sama saja, tidak ada bedanya.Seperti biasanya di sabtu pagi, Jesatya membantu Rena menyirami tanaman peninggalan almarhumah ibunya di taman belakang yang masih Rena dan saudara lainnya jaga. Tanpa terkecuali, termasuk Jesatya juga yang telah lama mengenal keluarga itu.“Kenapa?” Jesatya bertanya tanpa mengalihkan pandangannya dari bunga-bunga cantik berwarna merah muda yang sedang ia siram.Rena mematikan selang airnya, menyudahi menyirami tanaman karena ia merasa telah cukup melakukan itu. Rena membalikkan tubuh, menatap punggung Jesatya. “Karena kemarin gue sempat lihat dia makan siang bareng cowok?”Ucapan Rena tersebut membu
“Free dari gue, Zra.”Ezra memandangi dua gelas es kopi susu yang baru saja Hazel letakkan di atas meja untuknya dan Danish. Mereka baru saja menyelesaikan sesi wawancara dengan Hazel, selaku pemiliki Haz Coffee Shop.“Thank you, Zel.” Ezra tersenyum dan menyesap es kopi miliknya. Kebetulan, setelah take berkali-kali dan mengulang pertanyaan yang sama, Ezra cukup kehausan.Ezra tidak begitu mengenal Hazel. Namun, ia lumayan sering datang ke kedai kopi ini karena direkomendasi oleh Raga dan Jesatya. Sedangkan Danish, karena memang sudah berteman dengan Rena dan Regi cukup lama, ia juga cukup sering duduk di Haz bersama teman-temannya. Menurut Danish, Haz memang lumayan populer di kalangan anak muda.“Rena belum ke sini, ya?” Suara berat Danish tahu-tahu mengudara setelah pria itu mengedarkan pandangan dan melirik arlojinya. Sudah jam 1 siang. “Biasanya jam segini dia udah dateng
“Kak, lo beneran break sama Kak Gia, ya?”Hari ini adalah hari sabtu, lima hari setelah Jesatya dan Gia memutuskan untuk istirahat sejenak dari hubungan mereka. Jesatya tidak yakin dengan perbedaan kata break dan break up, sebenarnya. Menurutnya, kedua kata itu sama saja, tidak ada bedanya.Seperti biasanya di sabtu pagi, Jesatya membantu Rena menyirami tanaman peninggalan almarhumah ibunya di taman belakang yang masih Rena dan saudara lainnya jaga. Tanpa terkecuali, termasuk Jesatya juga yang telah lama mengenal keluarga itu.“Kenapa?” Jesatya bertanya tanpa mengalihkan pandangannya dari bunga-bunga cantik berwarna merah muda yang sedang ia siram.Rena mematikan selang airnya, menyudahi menyirami tanaman karena ia merasa telah cukup melakukan itu. Rena membalikkan tubuh, menatap punggung Jesatya. “Karena kemarin gue sempat lihat dia makan siang bareng cowok?”Ucapan Rena tersebut membu
Jesatya sudah memantapkan hatinya bahwa ia tidak akan marah kepada Ezra ketika bertemu lelaki itu di kantor. Hanya saja, setelah melihat wajah Ezra, ia justru teringat dengan Gia dan perasaan marah itu kembali muncul. Jesatya merasa dikhianati oleh keduanya.Padahal, belum tentu perasaan keduanya sama. Bisa saja hanya Gia yang menyukai Ezra. Sementara Ezra tidak demikian. Sejujurnya, Jesatya tidak masalah jika Gia menyukai orang lain. Tapi dari banyaknya orang lain, kenapa lelaki itu harus Ezra? Orang yang hampir setiap hari ia lihat di kantor di pagi hari.Mata Jesatya tidak berhenti mengikuti Ezra yang baru saja datang dan duduk di mejanya. Lelaki itu kemudian berdiri, pergi ke pantry dan duduk lagi membawa secangkir kopi. Ketika ia duduk, matanya bertemu pandang dengan Jesatya, tidak sadar bahwa lelaki berkacamata itu sejak tadi memperhatikannya.“Ngopi, Bang?” tanya Ezra.Jesatya menggeleng lalu menurunkan pandangannya, meremas kertas-kertas yang berserakan di atas meja. Ia menghe
“Kenapa sih lo bisa suka wasabi? Gue benci banget. Kayak pasta gigi.”Ezra tertawa mendengar komentar Gia yang merengut ketika melihat pria itu menambahkan wasabi ke dalam sausnya. Menurut Gia, rasa wasabi itu seperti pasta gigi. Sejak dulu hingga sekarang, Gia heran mengapa Ezra senang sekali menambahkan wasabi ketika sedang makan sushi bersama.“Enak tahu, Gi.” kata Ezra membela diri.“Lo doang yang bilang enak!” balas Gia tak mau kalah.“Gue dan para pecinta wasabi.”“Kata gue, lo semua aneh.”Ezra tertawa lagi dan menggelengkan kepalanya. “Lo enggak suka wasabi tapi lo suka mint choco.”“Itu dua hal yang berbeda, Ezra.”“Jelas sama.”Dahi Gia semakin mengernyit. “Mending kita udahin berdebatnya.”“Good idea.”Gia menggelengkan kepala sambil mengulum senyum di bibirnya. Diam-diam, Gia merasa berterima kasih kepada Ezra yang tadi tiba-tiba mengajaknya makan siang bersama. Sebab jika saat itu Ezra tidak menghubunginya, Gia pasti akan kalut di dalam kamarnya setelah telepon dari Liana
Gia melepas kacamatanya setelah berkutat cukup lama di depan laptop. Gadis itu memijit pelipisnya pelan, matanya sudah lelah menatap laptop selama beberapa jam. Gia pikir, hari Minggu-nya ini akan berakhir dengan baik, tanpa harus memeriksa pekerjaan pun tanpa harus menyentuh laptopnya.Namun sayang, Clarissa terlalu baik untuk membiarkan angan Gia itu menjadi kenyataan. Pada pukul sepuluh pagi tadi—tepat sebelum Gia hendak menikmati kolam renang apartemen, Clarissa tiba-tiba mengirimkan Email penting yang harus Gia periksa. Hasilnya, Gia harus menyelesaikan pekerjaannya itu hari ini juga. Maka dengan berat hati, Gia terpaksa merelakan hari Minggu-nya yang santai itu.Pekerjaan Gia selesai di pukul dua siang dan Gia sudah kehilangan selera untuk makan atau bahkan melanjutkan rencananya untuk berenang tadi pagi. Setelah menghabiskan es kopinya di dalam tumbler, Gia meraih ponselnya untuk memeriksa benda itu. Pada saat itu pula, sebuah panggilan muncul di ponselnya, memperlihatkan nama
Perkataan Ella tempo hari harusnya tidak perlu Gia pikirkan terlalu dalam. Namun nyatanya, Gia malah memikirkan perkataan Ella itu hari-hari berikutnya hingga akhir pekan kembali menyambutnya dan Ezra lagi. Hari ini, ia dan Ezra sepakat untuk belanja bulanan kebutuhan di apartemen masing-masing.Sambil memperhatikan Ezra yang sedang bingung memilih pembersih muka yang baru, Gia jadi kepikiran dengan kata-kata Ella lagi.Gia dan Ezra sudah berteman empat tahun lamanya. Ketika Ezra mengenalkan Gia kepada Jesatya, Ezra tahu bahwa keduanya akan berakhir memiliki hubungan yang spesial. Tetapi setelah itu, Gia tidak tahu tentang kehidupan asmara Ezra. Sama sekali.Sekarang, Gia menjadi merasa bersalah. Ezra selalu menjadi tempat bagi Gia untuk bercerita masalah hubungannya dengan Jesatya. Bahkan kalau dipikir-pikir, Ezra bisa saja menyebutkan kronologi penyebab bertengkar Gia dan Jesatya dari nomor satu sampai sekian.Ezra selalu menjadi pendengar yang baik. Tapi, ia tak pernah menceritakan
Gia menundukkan kepala dan dengan sengaja mengacak rambutnya agar menutupi wajah. Entah kenapa, Gia tidak ingin bertemu dengan Jesatya. Seketika keputusannya untuk datang ke Haz malam ini mengundang penyesalan. Gia tidak menduga ia bisa sedikit kesal melihat keakraban Jesatya dengan perempuan lain.Lalu, Gia tersentak dan mengangkat kepalanya. “Kenapa gue kayak gini, sih?! Enggak jelas.”“Luthesa,”Sekali lagi, Gia tersentak. Gia tidak mau repot-repot untuk menebak siapa yang sedang menyapanya. Hanya satu orang yang sering menyapanya dengan Luthesa. Hanya Jesatya Sejati, yang mampu melakukan itu.Tanpa diduga-duga, Jesatya duduk di hadapan Gia dan menyunggingkan senyum, tanpa canggung sedikit pun. Terkadang, Gia tidak habis pikir dengan Jesatya.“Kenapa nunduk-nunduk gitu?”“Enggak apa,” Gia menjawab dengan cepat, melempar pandangannya ke mana saja asal bukan kepada Jesatya.“Kenap
Suara tepuk tangan yang meriah langsung terdengar ketika Yovie and Nuno menyanyikan lagu kelima. Dikta, vokalisnya mengucapkan terima kasih sekali lagi sebelum pergi ke ruang istirahat yang sudah Hazel siapkan untuk mereka. Ketika panggung kosong, Samuel—salah satu Barista yang bekerja di Haz mengambil alih mikrofon.“Yah, kayaknya kita telat deh, Gi.” kata Ezra saat melihat panggung diisi oleh Samuel dan tidak melihat Yovie and Nuno ada di mana pun.“Lo sih tadi pakai acara ngajak makan dulu. Padahal gue udah bilang makan di Haz aja.” Gia pun merungut. Tadi ketika Ezra menjemputnya, pria itu malah mengajaknya makan malam dulu di luar.“Ya habisnya gue pengin ayam bakar deket apartemen lo itu. Enak sih.”Gia menggelengkan kepalanya dan duduk di kursi kosong yang diarahkan oleh staff di Haz. Sementara kepala Ezra sibuk mencari-cari sosok Hazel. Setidaknya, ia ingin mengucapkan terima kasih secara langsung karena Hazel telah mengundangnya malam ini.Berbeda dengan Ezra yang sibuk mencar
“Kak, lo beneran break sama Kak Gia, ya?”Hari ini adalah hari sabtu, lima hari setelah Jesatya dan Gia memutuskan untuk istirahat sejenak dari hubungan mereka. Jesatya tidak yakin dengan perbedaan kata break dan break up, sebenarnya. Menurutnya, kedua kata itu sama saja, tidak ada bedanya.Seperti biasanya di sabtu pagi, Jesatya membantu Rena menyirami tanaman peninggalan almarhumah ibunya di taman belakang yang masih Rena dan saudara lainnya jaga. Tanpa terkecuali, termasuk Jesatya juga yang telah lama mengenal keluarga itu.“Kenapa?” Jesatya bertanya tanpa mengalihkan pandangannya dari bunga-bunga cantik berwarna merah muda yang sedang ia siram.Rena mematikan selang airnya, menyudahi menyirami tanaman karena ia merasa telah cukup melakukan itu. Rena membalikkan tubuh, menatap punggung Jesatya. “Karena kemarin gue sempat lihat dia makan siang bareng cowok?”Ucapan Rena tersebut membu
“Free dari gue, Zra.”Ezra memandangi dua gelas es kopi susu yang baru saja Hazel letakkan di atas meja untuknya dan Danish. Mereka baru saja menyelesaikan sesi wawancara dengan Hazel, selaku pemiliki Haz Coffee Shop.“Thank you, Zel.” Ezra tersenyum dan menyesap es kopi miliknya. Kebetulan, setelah take berkali-kali dan mengulang pertanyaan yang sama, Ezra cukup kehausan.Ezra tidak begitu mengenal Hazel. Namun, ia lumayan sering datang ke kedai kopi ini karena direkomendasi oleh Raga dan Jesatya. Sedangkan Danish, karena memang sudah berteman dengan Rena dan Regi cukup lama, ia juga cukup sering duduk di Haz bersama teman-temannya. Menurut Danish, Haz memang lumayan populer di kalangan anak muda.“Rena belum ke sini, ya?” Suara berat Danish tahu-tahu mengudara setelah pria itu mengedarkan pandangan dan melirik arlojinya. Sudah jam 1 siang. “Biasanya jam segini dia udah dateng
“Kak, lo beneran break sama Kak Gia, ya?”Hari ini adalah hari sabtu, lima hari setelah Jesatya dan Gia memutuskan untuk istirahat sejenak dari hubungan mereka. Jesatya tidak yakin dengan perbedaan kata break dan break up, sebenarnya. Menurutnya, kedua kata itu sama saja, tidak ada bedanya.Seperti biasanya di sabtu pagi, Jesatya membantu Rena menyirami tanaman peninggalan almarhumah ibunya di taman belakang yang masih Rena dan saudara lainnya jaga. Tanpa terkecuali, termasuk Jesatya juga yang telah lama mengenal keluarga itu.“Kenapa?” Jesatya bertanya tanpa mengalihkan pandangannya dari bunga-bunga cantik berwarna merah muda yang sedang ia siram.Rena mematikan selang airnya, menyudahi menyirami tanaman karena ia merasa telah cukup melakukan itu. Rena membalikkan tubuh, menatap punggung Jesatya. “Karena kemarin gue sempat lihat dia makan siang bareng cowok?”Ucapan Rena tersebut membu