Home / Romansa / Hati Yang Tak Pasti / Takut Dengan Penyesalan

Share

Takut Dengan Penyesalan

Author: inda
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Perjalanan menuju rumah orang tua Jesatya berlangsung hening. Tidak ada satu kata yang terucap dari Gia pun Jesatya. Setelah hari di mana Jesatya menghubunginya dan mengajak untuk berpisah di depan orang tuanya, Jesatya dan Gia tidak lagi saling menghubungi dan benar-benar seperti orang lain.

Selama itu pula, Gia sama sekali tidak merasa merindukan atau memikirkan Jesatya. Tetapi ketika bertemu hari ini, Gia merasa sedih, sebab sejak Jesatya menjemputnya ke apartemen, tidak ada konversasi apa pun yang terjadi di dalam mobil.

Mobil Jesatya kemudian berhenti di sebuah rumah mewah bertingkat dua, di mana pagarnya langsung terbuka secara otomatis ketika satpam rumah mengenali mobil milik Jesatya. Gia menatap rumah orang tua Jesatya itu dalam diam, ia bahkan tidak tahu kapan terakhir kali menginjakkan kaki ke rumah ini.

“Hei,” panggil Jesatya, membuat Gia menoleh. “Nanti kita dengerin mereka ngomong dulu. Kalau udah, baru giliran kita.”

Gia bergeming, memandangi punggung Jesatya yang sudah akan berjalan masuk ke dalam rumah. Di pekarangannya, Gia melihat mobil milik papinya yang sudah tiba duluan. Gia tahu, bahwa papi dan maminya pasti sedang asik berbicara dengan orang tua Jesatya di dalam sana.

Gia mendadak merasa sangat gugup. Takut, jika keputusannya dan Jesatya tidak dapat diterima oleh orang tua mereka.

“Gia?” suara Jesatya terdengar, menatap Gia yang tak beranjak dari posisinya berdiri. Melihat itu, Jesatya menghampirinya. “Kenapa, Gi?”

“Kenapa kamu bisa tenang-tenang aja?”

“Jadi aku harus gimana?” Jesatya menghela napasnya. “Ini yang kamu mau, kan?”

Gia mengernyitkan dahi, tidak senang dengan nada bicara Jesatya. “Maunya aku? Bukannya kamu juga sama? Kenapa seolah-olah ini cuma salahnya aku, Jes?”

Jesatya mengernyit, mulai tak suka arah pembicaraan ini. “Didn’t I try to fix it several times?”

You asked me to break up!” balas Gia dengan nada tinggi.

“Udah lah,” tutur Jesatya. “Enggak ada gunanya berdebat sekarang. Kita masuk aja, udah ditungguin.”

Do you have someone else?”

Jesatya langsung membalikkan tubuhnya. “What? Seriously, Gia? Sekarang, kamu nuduh-nuduh aku?”

“Aku enggak bisa maafin kamu kalau kamu punya someone else, Jes.”

That’s mean you’re still love me, Gianina.”

“Bukan itu—”

Jesatya mengibaskan tangannya, terlalu malas untuk mendengarkan ucapan Gia lagi. “Udah. Enough. Ayo kita masuk.”

Sejujurnya, Jesatya merasa tersinggung dengan tuduhan Gia tentang dirinya yang—mungkin memiliki seseorang yang lain di hatinya. Ini bukan karena Jesatya menyukai Daisi atau pun orang lain. Tetapi tentang Jesatya yang sudah tidak dapat lagi membendung ketidakjelasannya hubungan mereka.

Tidak ingin terlalu larut dalam ketidakjelasan itu, Jesatya mengambil sebuah keputusan yang mungkin saja akan ia sesali. Namun, Jesatya yakin, itu akan menjadi keputusan terbaik untuknya dan Gia.

Melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah ini bersama Gia, membuat Jesatya teringat dengan pertama kali ia berencana membawa Gia ke rumah itu.

Jakarta, September 2017

Malam itu hujan, tidak deras pun tidak biasa saja. Cuaca malam itu cukup menjadi alasan bagi Gia untuk berada di dalam pelukan Jesatya yang tengah memejamkan mata, beristirahat karena baru saja tiba di apartemen setelah lembur dari pekerjaannya. Sedangkan Gia, gadis itu memang berada di sana sejak jam kerjanya selesai.

Sambil menunggu kepulangan sang kekasih, Gia tertidur dan tidak sadar ketika sudah membuka mata, Jesatya tidur di sebelahnya. Dengan seulas senyum cantik terpatri di wajah, Gia memeluk erat Jesatya.

“Malem ini enaknya makan apa ya?” gumam Jesatya dengan suara serak karena baru terbangun dari tidurnya.

Sambil mengencangkan pelukannya dan memejamkan mata, Gia menjawab, “Makan Indomie kuah kayaknya enak, Yang.”

“Hmm … good idea.” balas Jesatya.

“Lepasin dulu dong. Aku mau ke dapur.”

Jesatya tersenyum. “Kamu juga dong lepasin.”

Senyuman Gia pun bertukar menjadi sebuah kekehan kecil yang akan selalu terdengar indah di telinga Jesatya. “I miss you so much.”

I miss you more, Sayang. Seharian ini aku cuma mikirin kamu.” kata Jesatya.

Ucapan itu terdengar tidak serius di telinga Gia. Namun karena Jesatya yang mengatakannya, maka Gia akan percaya walau hanya sedikit. Dengan perut yang sudah berteriak untuk diisi, Gia melepas pelukannya dan bangkit dari tempat tidur menuju dapur.

Jesatya yang kini sudah sadar seratus persen pun mengekorinya dan duduk di salah satu kursi di meja makan, memperhatikan Gia yang tengah mempersiapkan dua mangkok Indomie kuah.

“Telurnya satu atau dua?”

“Dua dong. Punyaku setengah matang.” jawab Jesatya.

“Baik, Pak. Minumnya mau apa, nih?” balas Gia sambil bercanda.

Jesatya tertawa dan berjalan sendiri ke kulkas sebelum menatap Gia lagi. “Minumannya air putih dingin aja, enggak apa ya, Bu?”

Gia mendengus, mengulum senyum dan kembali memotong bawang dan sedikit cabe sebagai penyedap makan malam mereka.

“Ah… ngomong-ngomong soal makan malam,” Jesatya menyahut, menggantungkan ucapannya. “Mama mau ketemu kamu.”

Karena ucapan itu, Gia menghentingkan tangannya yang sedang sibuk sejenak lalu membalikkan tubuh, menatap Jesatya lekat. “Mami juga sama, mau ketemu kamu. Mami bilang kamu mirip sama—”

“Mama bilang kamu mirip sama—”

Gia dan Jesatya sama-sama menghentikan ucapan mereka ketika tersadar betapa miripnya kalimat yang terucap dari keduanya. Setelah itu, mereka tertawa dengan kompak.

“Kamu dulu,” kata Jesatya.

“Mami bilang kamu mirip sama temannya. Jadi… dia penasaran dan mau ketemu kamu.” jelas Gia.

Jesatya mengernyit. Sebab ucapan maminya Gia itu sama persis dengan ucapan mamanya kemarin. “Loh, Mama juga ngomong kayak gitu,”

Keduanya kembali terdiam, mencoba mencerna omongan kedua ibunya masing-masing. Tak lama, Jesatya menyengir kaku.

Don’t tell me …”

“Itu bakalan jadi kebetulan yang mengerikan, Jes. Trust me.” tambah Gia.

I know!” Jesatya tertawa pelan. “Gimana kalau kita bikin janjinya di luar aja? Kamu ajak Mami dan aku ajak Mama.”

That’s a good idea.” Gia tersenyum dan berjalan ke belakang Jesatya selagi merebus air untuk dimasak. Gia kemudian melingkarkan tangannya di dada Jesatya. “Enggak sabar kalau ternyata mereka emang saling kenal. Menurut kamu… itu kebetulan atau takdir?”

I believe it’s destiny…” gumam Jesatya, menarik tangan Gia dan membuat gadis itu terduduk di pangkuannya. Jesatya menatap Gia lekat, pandangannya turun kepada bibir merahnya. “Because it’s you, Gianina.” katanya dan mencium Gia dalam.

-ooo-

Gia duduk di hadapan orang tuanya dalam diam, membiarkan orang tua mereka saling bercengkerama, sedangkan dirinya dan Jesatya lebih memilih untuk diam. Jelas sekali, bahwa orang tua mereka hanya saling melepas kerinduan karena sudah lama tidak bertemu.

Lucy, mamanya Jesatya—dan Liana, maminya Gia, ternyata adalah sahabat semasa kuliah yang sempat tidak berkomunikasi lagi. Ketika Lucy sering kali melihat anak laki-lakinya memposting foto Gia di I*******m, Lucy langsung teringat dengan Liana, sahabatnya itu. Begitu pula dengan Liana, yang merasakan hal yang sama. Sebab menurut keduanya, anak mereka memiliki kemiripan dengan diri mereka.

Maka hari itu, ketika Lucy dan Liana bertemu, mereka benar-benar sangat heboh dalam mengekspresikan kebahagiaan karena sudah lama tidak bertemu. Dekatnya kembali mereka pun membuat peluang bisnis bagi Andre—papanya Jesatya, dan Willy—papinya Gia untuk menjalin hubungan baik.

Dan mungkin karena itu pula lah, mereka bersikeras membuat Jesatya dan Gia menikah agar hubungan Lucy dan Liana, serta bisnis keduanya berjalan dengan baik.

Jesatya tidak pernah merasa sekesal ini saat mendengar suara tawa dari orang tuanya yang bahkan tidak menanyakan apakah dia dan Gia sedang baik-baik saja atau tidak. Mereka hanya membicarakan diri sendiri tanpa tahu bagaimana perasaan anak-anaknya. Itu semua membuat Jesatya muak.

Setelah menarik napas dalam-dalam, mengepalkan kedua tangannya di bawah meja, Jesatya yakin bahwa ia bisa melakukan ini. Suka atau tidak, Jesatya ingin segera menyelesaikan semuanya.

“Aku sama Gia mau putus.”

Suara Jesatya yang tiba-tiba mengudara itu tidak hanya membuat semuanya hening, tetapi juga Gia yang terkejut karena lelaki itu tidak memberikan aba-aba sebelumnya.

“Jesa… kamu ngomong apa, sih?” Lucy mencoba mencairkan suasana dengan kekehan kecil. “Kamu laper banget ya, sampai-sampai ngomong gitu—”

“Enggak, Ma.” Jesatya menatap Lucy lurus. “Aku sama Gia benar-benar mau putus. Itu keputusan kami.”

“Jesa—” Andre mencoba bersuara, namun Jesatya segera menyanggah ucapan papanya lagi.

“Pa, it’s over. Aku sama Gia, udah enggak bisa sama-sama lagi.”

Liana tiba-tiba tertawa dan menggenggam tangan Gia, menarik perhatian anak satu-satunya itu. “Kalian kenapa sih? Lagi berantem, ya?”

“Daripada ngomong yang enggak-enggak, Jes, mending kita ngomongin pertunangan kalian aja.” Willy pun tidak mau ketinggalan.

Gia mengernyit, memejamkan matanya. “Mami… Papi… Kali ini Gia benar-benar mau putus sama Jesa. Gia udah enggak bisa lanjut lagi sama Jesa. Tolong ngertiin kami.”

“Gia… kamu yakin enggak bakalan nyesel?” tanya Lucy. “Kamu yakin ini keputusan terbaik?”

Gia menatap Lucy dan terdiam. Gia tahu, bahwa keputusan ini nantinya akan mengarah kepada sebuah penyesalan. Entah itu hanya penyesalan sesaat atau pun penyesalan selamanya. Namun lebih dari semua asumsinya itu, Gia yakin bahwa ia hanya akan menyesal sesaat. Sebab, ia dan Jesatya memang tidak akan bisa melanjutkan hubungan ini lagi.

“Mungkin Gia bakalan nyesel,” ucap Gia. “Tapi itu lebih baik daripada bikin Jesa dan Gia gini-gini terus. Kita enggak bahagia.”

Jesatya menoleh kepada Gia dan terhenyak. Begitu pula dengan orang-orang yang ada di sana, menyaksikan bagaimana Gia mengatakan itu dengan sejujur-jujurnya.

“Gia… coba pikir-pikir lagi.” kata Willy berusaha membujuk.

Gia lantas menoleh kepada papinya dengan sorot mata kecewa. “Gia sama Jesa udah mikirin ini matang-matang, Pi! Gia sama Jesa udah capek kayak gini terus. Tapi… Mami, Papi, Tante Lucy, sama Om Andre cuma mikirin diri sendiri. Enggak pernah mikirin anaknya bahagia atau enggak!”

“Gia!” tegur Liana. “Kita tentu aja mikirin kamu dan Jesa. Makanya kita enggak sabar nunggu kabar pertunangan kamu, kan?!”

“Gia enggak bisa tunangan sama Jesa kalau engak punya perasaan apa-apa lagi buat Jesa!” jelas Gia.

Jesatya menurunkan pandangannya dan tersenyum miris. Meski ia tahu bagaimana perasaannya dan Gia sudah mulai pudar, tetapi mendengar itu secara langsung dari mulut Gia membuat hatinya perih.

So, this is it ya, Gi.

Gia sudah mulai meneteskan air matanya karena menahan emosi sedari tadi. Melihat itu, Willy mengedarkan pandangannya. Suasana yang hidup beberapa menit lalu hilang sudah. Willy kemudian bangkit dari duduknya. “Kita pulang, Mi. Kamu juga, Gia.”

“Ta—tapi, Pi…”

“Pulang, Mi.” kata Willy lagi sambil menarik tangan Gia.

Sambil berlinang air mata, Gia beranjak dari duduknya dan mengikuti Willy yang menariknya. Ketika Gia berpikir bahwa semuanya bisa diselesaikan dengan baik, tentu saja ia tahu bahwa itu salah besar.

Begitu juga saat Willy yang menarik tangannya tiba-tiba jatuh ke lantai sambil memegang dadanya. Gia terkesiap, memandangi papinya terjatuh dan mendengar teriakan Liana di belakangnya.

“Papi!”

Begitu cepat, hingga Gia tidak dapat memproses apa yang akan terjadi selanjutnya.

Related chapters

  • Hati Yang Tak Pasti   Untuk Mencari Jawaban

    Gia merapikan selimut yang menyelimuti papinya di kamar rumah sakit. Setelah jatuhnya Willy hari itu di rumah Jesatya, ia sempat tak sadarkan diri seharian.Willy pernah operasi dan pemasangan ring pada jantungnya sekitar sembilan bulan yang lalu. Akhir-akhir ini, kondisinya memang sedang menurun dan sering mengeluh kepada istrinya, Liana. Rupanya, pembicaraan yang cukup serius di rumah Jesatya itu mampu membuatnya terjatuh dan tak sadarkan diri.Gia memandangi papinya dengan nanar. Melihat Willy terbaring lemah membuat air matanya menetes lagi dan memori terpaksa membawanya kembali ke tiga hari yang lalu saat mereka membawa Willy ke rumah sakit bersama keluarga Jesatya juga.Pertama kali melihat papinya tak sadarkan diri membuat Gia ketakutan setengah mati. Tangannya bergetar dan jantungnya tidak berhenti berdetak dengan cepat. Ia terlalu takut untuk memikirkan hal-hal yang mungkin dapat terjadi kepada Willy. Gia bahkan tidak menangis karena tak ingin

  • Hati Yang Tak Pasti   Perasaan Yang Mengambang

    “Kak, lo beneran break sama Kak Gia, ya?”Hari ini adalah hari sabtu, lima hari setelah Jesatya dan Gia memutuskan untuk istirahat sejenak dari hubungan mereka. Jesatya tidak yakin dengan perbedaan kata break dan break up, sebenarnya. Menurutnya, kedua kata itu sama saja, tidak ada bedanya.Seperti biasanya di sabtu pagi, Jesatya membantu Rena menyirami tanaman peninggalan almarhumah ibunya di taman belakang yang masih Rena dan saudara lainnya jaga. Tanpa terkecuali, termasuk Jesatya juga yang telah lama mengenal keluarga itu.“Kenapa?” Jesatya bertanya tanpa mengalihkan pandangannya dari bunga-bunga cantik berwarna merah muda yang sedang ia siram.Rena mematikan selang airnya, menyudahi menyirami tanaman karena ia merasa telah cukup melakukan itu. Rena membalikkan tubuh, menatap punggung Jesatya. “Karena kemarin gue sempat lihat dia makan siang bareng cowok?”Ucapan Rena tersebut membu

  • Hati Yang Tak Pasti   Mendengarkan

    “Free dari gue, Zra.”Ezra memandangi dua gelas es kopi susu yang baru saja Hazel letakkan di atas meja untuknya dan Danish. Mereka baru saja menyelesaikan sesi wawancara dengan Hazel, selaku pemiliki Haz Coffee Shop.“Thank you, Zel.” Ezra tersenyum dan menyesap es kopi miliknya. Kebetulan, setelah take berkali-kali dan mengulang pertanyaan yang sama, Ezra cukup kehausan.Ezra tidak begitu mengenal Hazel. Namun, ia lumayan sering datang ke kedai kopi ini karena direkomendasi oleh Raga dan Jesatya. Sedangkan Danish, karena memang sudah berteman dengan Rena dan Regi cukup lama, ia juga cukup sering duduk di Haz bersama teman-temannya. Menurut Danish, Haz memang lumayan populer di kalangan anak muda.“Rena belum ke sini, ya?” Suara berat Danish tahu-tahu mengudara setelah pria itu mengedarkan pandangan dan melirik arlojinya. Sudah jam 1 siang. “Biasanya jam segini dia udah dateng

  • Hati Yang Tak Pasti   Saling Mengisi Waktu

    “Kak, lo beneran break sama Kak Gia, ya?”Hari ini adalah hari sabtu, lima hari setelah Jesatya dan Gia memutuskan untuk istirahat sejenak dari hubungan mereka. Jesatya tidak yakin dengan perbedaan kata break dan break up, sebenarnya. Menurutnya, kedua kata itu sama saja, tidak ada bedanya.Seperti biasanya di sabtu pagi, Jesatya membantu Rena menyirami tanaman peninggalan almarhumah ibunya di taman belakang yang masih Rena dan saudara lainnya jaga. Tanpa terkecuali, termasuk Jesatya juga yang telah lama mengenal keluarga itu.“Kenapa?” Jesatya bertanya tanpa mengalihkan pandangannya dari bunga-bunga cantik berwarna merah muda yang sedang ia siram.Rena mematikan selang airnya, menyudahi menyirami tanaman karena ia merasa telah cukup melakukan itu. Rena membalikkan tubuh, menatap punggung Jesatya. “Karena kemarin gue sempat lihat dia makan siang bareng cowok?”Ucapan Rena tersebut membu

  • Hati Yang Tak Pasti   Alexandra

    Suara tepuk tangan yang meriah langsung terdengar ketika Yovie and Nuno menyanyikan lagu kelima. Dikta, vokalisnya mengucapkan terima kasih sekali lagi sebelum pergi ke ruang istirahat yang sudah Hazel siapkan untuk mereka. Ketika panggung kosong, Samuel—salah satu Barista yang bekerja di Haz mengambil alih mikrofon.“Yah, kayaknya kita telat deh, Gi.” kata Ezra saat melihat panggung diisi oleh Samuel dan tidak melihat Yovie and Nuno ada di mana pun.“Lo sih tadi pakai acara ngajak makan dulu. Padahal gue udah bilang makan di Haz aja.” Gia pun merungut. Tadi ketika Ezra menjemputnya, pria itu malah mengajaknya makan malam dulu di luar.“Ya habisnya gue pengin ayam bakar deket apartemen lo itu. Enak sih.”Gia menggelengkan kepalanya dan duduk di kursi kosong yang diarahkan oleh staff di Haz. Sementara kepala Ezra sibuk mencari-cari sosok Hazel. Setidaknya, ia ingin mengucapkan terima kasih secara langsung karena Hazel telah mengundangnya malam ini.Berbeda dengan Ezra yang sibuk mencar

  • Hati Yang Tak Pasti   Something Might Happen

    Gia menundukkan kepala dan dengan sengaja mengacak rambutnya agar menutupi wajah. Entah kenapa, Gia tidak ingin bertemu dengan Jesatya. Seketika keputusannya untuk datang ke Haz malam ini mengundang penyesalan. Gia tidak menduga ia bisa sedikit kesal melihat keakraban Jesatya dengan perempuan lain.Lalu, Gia tersentak dan mengangkat kepalanya. “Kenapa gue kayak gini, sih?! Enggak jelas.”“Luthesa,”Sekali lagi, Gia tersentak. Gia tidak mau repot-repot untuk menebak siapa yang sedang menyapanya. Hanya satu orang yang sering menyapanya dengan Luthesa. Hanya Jesatya Sejati, yang mampu melakukan itu.Tanpa diduga-duga, Jesatya duduk di hadapan Gia dan menyunggingkan senyum, tanpa canggung sedikit pun. Terkadang, Gia tidak habis pikir dengan Jesatya.“Kenapa nunduk-nunduk gitu?”“Enggak apa,” Gia menjawab dengan cepat, melempar pandangannya ke mana saja asal bukan kepada Jesatya.“Kenap

  • Hati Yang Tak Pasti   Tak Pasti

    Perkataan Ella tempo hari harusnya tidak perlu Gia pikirkan terlalu dalam. Namun nyatanya, Gia malah memikirkan perkataan Ella itu hari-hari berikutnya hingga akhir pekan kembali menyambutnya dan Ezra lagi. Hari ini, ia dan Ezra sepakat untuk belanja bulanan kebutuhan di apartemen masing-masing.Sambil memperhatikan Ezra yang sedang bingung memilih pembersih muka yang baru, Gia jadi kepikiran dengan kata-kata Ella lagi.Gia dan Ezra sudah berteman empat tahun lamanya. Ketika Ezra mengenalkan Gia kepada Jesatya, Ezra tahu bahwa keduanya akan berakhir memiliki hubungan yang spesial. Tetapi setelah itu, Gia tidak tahu tentang kehidupan asmara Ezra. Sama sekali.Sekarang, Gia menjadi merasa bersalah. Ezra selalu menjadi tempat bagi Gia untuk bercerita masalah hubungannya dengan Jesatya. Bahkan kalau dipikir-pikir, Ezra bisa saja menyebutkan kronologi penyebab bertengkar Gia dan Jesatya dari nomor satu sampai sekian.Ezra selalu menjadi pendengar yang baik. Tapi, ia tak pernah menceritakan

  • Hati Yang Tak Pasti   Cusiousity

    Gia melepas kacamatanya setelah berkutat cukup lama di depan laptop. Gadis itu memijit pelipisnya pelan, matanya sudah lelah menatap laptop selama beberapa jam. Gia pikir, hari Minggu-nya ini akan berakhir dengan baik, tanpa harus memeriksa pekerjaan pun tanpa harus menyentuh laptopnya.Namun sayang, Clarissa terlalu baik untuk membiarkan angan Gia itu menjadi kenyataan. Pada pukul sepuluh pagi tadi—tepat sebelum Gia hendak menikmati kolam renang apartemen, Clarissa tiba-tiba mengirimkan Email penting yang harus Gia periksa. Hasilnya, Gia harus menyelesaikan pekerjaannya itu hari ini juga. Maka dengan berat hati, Gia terpaksa merelakan hari Minggu-nya yang santai itu.Pekerjaan Gia selesai di pukul dua siang dan Gia sudah kehilangan selera untuk makan atau bahkan melanjutkan rencananya untuk berenang tadi pagi. Setelah menghabiskan es kopinya di dalam tumbler, Gia meraih ponselnya untuk memeriksa benda itu. Pada saat itu pula, sebuah panggilan muncul di ponselnya, memperlihatkan nama

Latest chapter

  • Hati Yang Tak Pasti   What Are We?

    Jesatya sudah memantapkan hatinya bahwa ia tidak akan marah kepada Ezra ketika bertemu lelaki itu di kantor. Hanya saja, setelah melihat wajah Ezra, ia justru teringat dengan Gia dan perasaan marah itu kembali muncul. Jesatya merasa dikhianati oleh keduanya.Padahal, belum tentu perasaan keduanya sama. Bisa saja hanya Gia yang menyukai Ezra. Sementara Ezra tidak demikian. Sejujurnya, Jesatya tidak masalah jika Gia menyukai orang lain. Tapi dari banyaknya orang lain, kenapa lelaki itu harus Ezra? Orang yang hampir setiap hari ia lihat di kantor di pagi hari.Mata Jesatya tidak berhenti mengikuti Ezra yang baru saja datang dan duduk di mejanya. Lelaki itu kemudian berdiri, pergi ke pantry dan duduk lagi membawa secangkir kopi. Ketika ia duduk, matanya bertemu pandang dengan Jesatya, tidak sadar bahwa lelaki berkacamata itu sejak tadi memperhatikannya.“Ngopi, Bang?” tanya Ezra.Jesatya menggeleng lalu menurunkan pandangannya, meremas kertas-kertas yang berserakan di atas meja. Ia menghe

  • Hati Yang Tak Pasti   Dua Sisi

    “Kenapa sih lo bisa suka wasabi? Gue benci banget. Kayak pasta gigi.”Ezra tertawa mendengar komentar Gia yang merengut ketika melihat pria itu menambahkan wasabi ke dalam sausnya. Menurut Gia, rasa wasabi itu seperti pasta gigi. Sejak dulu hingga sekarang, Gia heran mengapa Ezra senang sekali menambahkan wasabi ketika sedang makan sushi bersama.“Enak tahu, Gi.” kata Ezra membela diri.“Lo doang yang bilang enak!” balas Gia tak mau kalah.“Gue dan para pecinta wasabi.”“Kata gue, lo semua aneh.”Ezra tertawa lagi dan menggelengkan kepalanya. “Lo enggak suka wasabi tapi lo suka mint choco.”“Itu dua hal yang berbeda, Ezra.”“Jelas sama.”Dahi Gia semakin mengernyit. “Mending kita udahin berdebatnya.”“Good idea.”Gia menggelengkan kepala sambil mengulum senyum di bibirnya. Diam-diam, Gia merasa berterima kasih kepada Ezra yang tadi tiba-tiba mengajaknya makan siang bersama. Sebab jika saat itu Ezra tidak menghubunginya, Gia pasti akan kalut di dalam kamarnya setelah telepon dari Liana

  • Hati Yang Tak Pasti   Cusiousity

    Gia melepas kacamatanya setelah berkutat cukup lama di depan laptop. Gadis itu memijit pelipisnya pelan, matanya sudah lelah menatap laptop selama beberapa jam. Gia pikir, hari Minggu-nya ini akan berakhir dengan baik, tanpa harus memeriksa pekerjaan pun tanpa harus menyentuh laptopnya.Namun sayang, Clarissa terlalu baik untuk membiarkan angan Gia itu menjadi kenyataan. Pada pukul sepuluh pagi tadi—tepat sebelum Gia hendak menikmati kolam renang apartemen, Clarissa tiba-tiba mengirimkan Email penting yang harus Gia periksa. Hasilnya, Gia harus menyelesaikan pekerjaannya itu hari ini juga. Maka dengan berat hati, Gia terpaksa merelakan hari Minggu-nya yang santai itu.Pekerjaan Gia selesai di pukul dua siang dan Gia sudah kehilangan selera untuk makan atau bahkan melanjutkan rencananya untuk berenang tadi pagi. Setelah menghabiskan es kopinya di dalam tumbler, Gia meraih ponselnya untuk memeriksa benda itu. Pada saat itu pula, sebuah panggilan muncul di ponselnya, memperlihatkan nama

  • Hati Yang Tak Pasti   Tak Pasti

    Perkataan Ella tempo hari harusnya tidak perlu Gia pikirkan terlalu dalam. Namun nyatanya, Gia malah memikirkan perkataan Ella itu hari-hari berikutnya hingga akhir pekan kembali menyambutnya dan Ezra lagi. Hari ini, ia dan Ezra sepakat untuk belanja bulanan kebutuhan di apartemen masing-masing.Sambil memperhatikan Ezra yang sedang bingung memilih pembersih muka yang baru, Gia jadi kepikiran dengan kata-kata Ella lagi.Gia dan Ezra sudah berteman empat tahun lamanya. Ketika Ezra mengenalkan Gia kepada Jesatya, Ezra tahu bahwa keduanya akan berakhir memiliki hubungan yang spesial. Tetapi setelah itu, Gia tidak tahu tentang kehidupan asmara Ezra. Sama sekali.Sekarang, Gia menjadi merasa bersalah. Ezra selalu menjadi tempat bagi Gia untuk bercerita masalah hubungannya dengan Jesatya. Bahkan kalau dipikir-pikir, Ezra bisa saja menyebutkan kronologi penyebab bertengkar Gia dan Jesatya dari nomor satu sampai sekian.Ezra selalu menjadi pendengar yang baik. Tapi, ia tak pernah menceritakan

  • Hati Yang Tak Pasti   Something Might Happen

    Gia menundukkan kepala dan dengan sengaja mengacak rambutnya agar menutupi wajah. Entah kenapa, Gia tidak ingin bertemu dengan Jesatya. Seketika keputusannya untuk datang ke Haz malam ini mengundang penyesalan. Gia tidak menduga ia bisa sedikit kesal melihat keakraban Jesatya dengan perempuan lain.Lalu, Gia tersentak dan mengangkat kepalanya. “Kenapa gue kayak gini, sih?! Enggak jelas.”“Luthesa,”Sekali lagi, Gia tersentak. Gia tidak mau repot-repot untuk menebak siapa yang sedang menyapanya. Hanya satu orang yang sering menyapanya dengan Luthesa. Hanya Jesatya Sejati, yang mampu melakukan itu.Tanpa diduga-duga, Jesatya duduk di hadapan Gia dan menyunggingkan senyum, tanpa canggung sedikit pun. Terkadang, Gia tidak habis pikir dengan Jesatya.“Kenapa nunduk-nunduk gitu?”“Enggak apa,” Gia menjawab dengan cepat, melempar pandangannya ke mana saja asal bukan kepada Jesatya.“Kenap

  • Hati Yang Tak Pasti   Alexandra

    Suara tepuk tangan yang meriah langsung terdengar ketika Yovie and Nuno menyanyikan lagu kelima. Dikta, vokalisnya mengucapkan terima kasih sekali lagi sebelum pergi ke ruang istirahat yang sudah Hazel siapkan untuk mereka. Ketika panggung kosong, Samuel—salah satu Barista yang bekerja di Haz mengambil alih mikrofon.“Yah, kayaknya kita telat deh, Gi.” kata Ezra saat melihat panggung diisi oleh Samuel dan tidak melihat Yovie and Nuno ada di mana pun.“Lo sih tadi pakai acara ngajak makan dulu. Padahal gue udah bilang makan di Haz aja.” Gia pun merungut. Tadi ketika Ezra menjemputnya, pria itu malah mengajaknya makan malam dulu di luar.“Ya habisnya gue pengin ayam bakar deket apartemen lo itu. Enak sih.”Gia menggelengkan kepalanya dan duduk di kursi kosong yang diarahkan oleh staff di Haz. Sementara kepala Ezra sibuk mencari-cari sosok Hazel. Setidaknya, ia ingin mengucapkan terima kasih secara langsung karena Hazel telah mengundangnya malam ini.Berbeda dengan Ezra yang sibuk mencar

  • Hati Yang Tak Pasti   Saling Mengisi Waktu

    “Kak, lo beneran break sama Kak Gia, ya?”Hari ini adalah hari sabtu, lima hari setelah Jesatya dan Gia memutuskan untuk istirahat sejenak dari hubungan mereka. Jesatya tidak yakin dengan perbedaan kata break dan break up, sebenarnya. Menurutnya, kedua kata itu sama saja, tidak ada bedanya.Seperti biasanya di sabtu pagi, Jesatya membantu Rena menyirami tanaman peninggalan almarhumah ibunya di taman belakang yang masih Rena dan saudara lainnya jaga. Tanpa terkecuali, termasuk Jesatya juga yang telah lama mengenal keluarga itu.“Kenapa?” Jesatya bertanya tanpa mengalihkan pandangannya dari bunga-bunga cantik berwarna merah muda yang sedang ia siram.Rena mematikan selang airnya, menyudahi menyirami tanaman karena ia merasa telah cukup melakukan itu. Rena membalikkan tubuh, menatap punggung Jesatya. “Karena kemarin gue sempat lihat dia makan siang bareng cowok?”Ucapan Rena tersebut membu

  • Hati Yang Tak Pasti   Mendengarkan

    “Free dari gue, Zra.”Ezra memandangi dua gelas es kopi susu yang baru saja Hazel letakkan di atas meja untuknya dan Danish. Mereka baru saja menyelesaikan sesi wawancara dengan Hazel, selaku pemiliki Haz Coffee Shop.“Thank you, Zel.” Ezra tersenyum dan menyesap es kopi miliknya. Kebetulan, setelah take berkali-kali dan mengulang pertanyaan yang sama, Ezra cukup kehausan.Ezra tidak begitu mengenal Hazel. Namun, ia lumayan sering datang ke kedai kopi ini karena direkomendasi oleh Raga dan Jesatya. Sedangkan Danish, karena memang sudah berteman dengan Rena dan Regi cukup lama, ia juga cukup sering duduk di Haz bersama teman-temannya. Menurut Danish, Haz memang lumayan populer di kalangan anak muda.“Rena belum ke sini, ya?” Suara berat Danish tahu-tahu mengudara setelah pria itu mengedarkan pandangan dan melirik arlojinya. Sudah jam 1 siang. “Biasanya jam segini dia udah dateng

  • Hati Yang Tak Pasti   Perasaan Yang Mengambang

    “Kak, lo beneran break sama Kak Gia, ya?”Hari ini adalah hari sabtu, lima hari setelah Jesatya dan Gia memutuskan untuk istirahat sejenak dari hubungan mereka. Jesatya tidak yakin dengan perbedaan kata break dan break up, sebenarnya. Menurutnya, kedua kata itu sama saja, tidak ada bedanya.Seperti biasanya di sabtu pagi, Jesatya membantu Rena menyirami tanaman peninggalan almarhumah ibunya di taman belakang yang masih Rena dan saudara lainnya jaga. Tanpa terkecuali, termasuk Jesatya juga yang telah lama mengenal keluarga itu.“Kenapa?” Jesatya bertanya tanpa mengalihkan pandangannya dari bunga-bunga cantik berwarna merah muda yang sedang ia siram.Rena mematikan selang airnya, menyudahi menyirami tanaman karena ia merasa telah cukup melakukan itu. Rena membalikkan tubuh, menatap punggung Jesatya. “Karena kemarin gue sempat lihat dia makan siang bareng cowok?”Ucapan Rena tersebut membu

DMCA.com Protection Status