Share

3. Memata-matai

Pagi telah datang dan Helena yang memang rajin bangun pagi sudah lebih dulu membuat teh hangat. Suasana pagi di Berlin cukup dingin meski Helena memakai piyama berbahan tebal. Tidak ada jadwal yang menanti hari ini jadi Helena memutuskan untuk bersantai saja di apartemennya.

“Apakah aku berbelanja saja nanti? Kebetulan makanan di sini juga hampir habis,” gumamnya sambil berjalan menuju sofa dan membawa segelas teh hangat. Dia lalu duduk dengan santai dan meminum teh tersebut dengan nikmat. Setelahnya Helena membuka ponsel dan terdapat cukup banyak pemberitahuan dari keluarga dan juga teman-temannya.

[𝙈𝙚𝙚𝙚𝙖𝙜𝙚𝙚]

𝙈𝙀𝙢 <3: 𝙎𝙖𝙮𝙖𝙣𝙜, 𝙖𝙥𝙖𝙠𝙖𝙝 𝙠𝙖𝙢𝙪 𝙗𝙚𝙧𝙞𝙚𝙩𝙞𝙧𝙖𝙝𝙖𝙩 𝙙𝙚𝙣𝙜𝙖𝙣 𝙗𝙖𝙞𝙠? 𝙆𝙖𝙢𝙪 𝙩𝙞𝙙𝙖𝙠 𝙠𝙚𝙡𝙚𝙡𝙖𝙝𝙖𝙣 𝙚𝙖𝙖𝙩 𝙢𝙚𝙣𝙜𝙝𝙖𝙙𝙞𝙧𝙞 𝙖𝙘𝙖𝙧𝙖 𝙞𝙩𝙪, 𝙗𝙪𝙠𝙖𝙣?

𝙈𝙀𝙢 <3: 𝙏𝙀𝙡𝙀𝙣𝙜 𝙝𝙪𝙗𝙪𝙣𝙜𝙞 𝙄𝙗𝙪 𝙣𝙖𝙣𝙩𝙞

𝙃𝙖𝙣𝙣𝙖𝙝: 𝙆𝙖𝙠, 𝙖𝙥𝙖 𝙥𝙖𝙚𝙚𝙬𝙀𝙧𝙙 𝙡𝙖𝙥𝙩𝙀𝙥𝙢𝙪 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙙𝙞 𝙚𝙞𝙣𝙞?

𝙈𝙞𝙖 𝙈𝙚𝙡𝙞𝙚𝙚𝙖: 𝙃𝙚𝙞, 𝙠𝙚𝙣𝙖𝙥𝙖 𝙠𝙖𝙢𝙪 𝙣𝙜𝙜𝙖𝙠 𝙗𝙞𝙡𝙖𝙣𝙜 𝙖𝙠𝙪 𝙠𝙖𝙡𝙖𝙪 𝙪𝙙𝙖𝙝 𝙗𝙖𝙡𝙞𝙠 𝙠𝙚 𝙅𝙚𝙧𝙢𝙖𝙣 :( 𝙠𝙞𝙩𝙖 𝙣𝙜𝙜𝙖𝙠 𝙚𝙚𝙢𝙥𝙖𝙩 𝙠𝙚𝙩𝙚𝙢𝙪 𝙟𝙖𝙙𝙞𝙣𝙮𝙖 


𝙍𝙪𝙗𝙮 𝙎𝙖𝙫𝙖𝙧𝙖: 𝘟𝙖𝙣𝙩𝙞𝙠, 𝙠𝙖𝙢𝙪 𝙙𝙞 𝘜𝙚𝙧𝙡𝙞𝙣 𝙠𝙖𝙣? 𝘜𝙖𝙜𝙞 𝙖𝙡𝙖𝙢𝙖𝙩 𝙖𝙥𝙖𝙧𝙩𝙚𝙢𝙚𝙣𝙢𝙪, 𝙖𝙠𝙪 𝙢𝙖𝙪 𝙗𝙚𝙧𝙠𝙪𝙣𝙟𝙪𝙣𝙜.

Helena melengkungkan senyuman saat membaca beberapa pesan dari keluarga dan juga sahabat-sahabatnya. Dirinya mulai membalas pesan satu persatu, kemudian Helena mencoba untuk menghubungi ibunya.

“Halo, Ibu?”

[Lena sayang 
 bagaimana acara semalam? Berjalan lancar?]

“Berjalan dengan sangat baik. Maaf baru menghubungi, aku semalam langsung tidur saat sampai apartemen.”

[Tidak masalah, Nak 
 Ibu sempat khawatir mengira kamu akan pingsan di sana.]

Kekhawatiran sang ibunda jelas mengundang senyuman kecil di wajah Helena. Dia sangat paham, bahwa ibunya pasti masih merasa cemas dengan kondisi kesehatannya. Dengan tutur kata yang lembut, Helena mencoba menenangkan.

“Itu tidak akan terjadi, Bu.”

[Ibu hanya khawatir.]

Setelah beberapa waktu berbincang dengan ibunya, Helena pun bergegas ke kamar mandi dan bersiap diri untuk bertemu dengan salah satu sahabatnya yang memang tinggal di Berlin. Kabar mengenai dirinya yang sedang sakit, membawa kekhawatiran tersendiri untuk teman-teman terdekatnya. Ya, tidak ada yang tahu bahwa dia telah mengalami penculikan dan Helena pun tidak berniat untuk memberi tahu hal ini.

Sebab di Berlin masih musim gugur, suhu udara pun masih terbilang dingin namun sejuk. Helena memakai atasan lengan panjang berwarna putih gading dengan 𝘭𝘰𝘯𝘚 𝘀𝘰𝘢𝘵 coklat muda beserta celana jeans. Rambut hitamnya yang panjang dan bergelombang dibiarkan tergerai dan Helena siap beranjak keluar.

Tempat pertemuannya dengan sang sahabat tak terlalu jauh. Dibutuhkan sekitar 20 menit untuk mencapai tujuan dengan menggunakan kereta. Suasana hatinya sedang baik mengingat Helena akhirnya dapat menikmati jalan-jalan santai di Berlin setelah sekian lama. Dia ingat saat dirinya harus terbaring lemah dengan lama di rumah sakit. Itu sungguh membosankan.

Sesampai di tempat tujuan, Helena mencari sosok sahabatnya itu dan tak butuh waktu lama baginya untuk menemukannya.

“Ruby!”

“Helena!”

Keduanya berpelukan begitu erat. Ini merupakan tanda rindu sebab mereka baru saja bertemu lagi setelah beberapa bulan tidak bertatap muka. Senyum cerah terpampang jelas di wajah wanita berambut kecoklatan tersebut.

“Kenapa kamu tidak membiarkanku ke apartemenmu?! Aku bisa datang ke sana!” pekik Ruby yang sedikit mengomel. Helena hanya terkekeh dengan omelannya.

“Aku tidak ingin merepotkanmu.”

“Tapi kamu baru saja sembuh, anak nakal! Ini, terima ini!” Ruby lalu memberi sebuah dua 𝘱𝘢𝘱𝘊𝘳 𝘣𝘢𝘚 kepada Helena. Helena pun menerimanya dengan raut wajah kebingungan.

“Apa ini? Ulang tahunku bahkan sudah lewat.”

“Hadiah atas kesembuhanmu! Ada juga yang dari grup kelas jadi terimalah. Mereka semua mengkhawatirkanmu.”

Helena tersenyum mendengarnya sembari menatap dua hadiah tersebut. Dapat dikatakan bahwa pertemanan Helena di Jerman cukup baik. Dia masih berhubungan erat dengan teman-teman sekampusnya dulu. Dia bahkan tak menyangka bahwa mereka masih mengkhawatirkannya meski jarang bertemu.

“Terima kasih,” ucapan tulus datang dari mulut Helena. Mereka berdua pun menikmati jalan-jalan santai sambil berbincang banyak hal. Berlin merupakan ibu kota Jerman yang sangat luas. Meski sebagian besarnya tentu memakai bahasa Jerman, namun tak jarang ada yang memakai bahasa Inggris juga. Tempat ini indah dan membawa kesan tersendiri bagi Helena. Meski dirinya lebih menyukai makanan dari negara asalnya namun Helena tetap menyukai tempat ini.

“Mengapa kamu tidak mencoba menjadi pengajar di Freie?” tanya Ruby sembari menggigit 𝘩𝘰𝘵𝘥𝘰𝘚 nya yang masih agak panas. Mereka saat ini duduk di tempat terbuka dengan kedai 𝘩𝘰𝘵𝘥𝘰𝘚 terenak di sampingnya. Angin yang sejuk membawa kenyamanan tersendiri bagi mereka.

“Aku 
 ragu bisa melakukannya.”

“Kenapa? Kamu kan cerdas. Bahkan kamu adalah anak emas Profesor Schneider.”

“Tidak, tidak. Dari mana info itu beredar?”

“Bukankah semua anak jurusan kita mengetahuinya?”

Tidak salah tapi juga tidak benar. Bagaimanapun, Helena menyangkal setengah mati mengenai berita simpang siur itu. Memang, dia pernah menjadi asisten dosen untuk Profesornya tersebut tapi itu hanya sebentar. Namun entah kenapa berita tentang dia yang menjadi “anak emas” beredar begitu saja.

“Aku pesan dua dan tidak pedas untuk yang satunya. Oh! Tolong pakai keju juga.” pekik seseorang yang sepertinya sedang memesan 𝘩𝘰𝘵𝘥𝘰𝘚. Suaranya terdengar sampai ke telinga Helena dan dia merasa pernah mendengar suara ini sebelumnya. Helena kemudian sedikit menengok dan benar saja dugaannya.

“Sarah?”

“Oh? Helena, hai!”

Pemilik nama Sarah langsung menghampir tempat duduk Helena dengan wajah yang riang. Helena terkadang merasa terpukau dengan sisi ceria dari gadis tersebut.

“Kita bertemu lagi di sini.”

“Benar! Aku tak menyangka akan bertemu denganmu lagi dan apakah kamu bersama temanmu?” tanya Sarah sambil menoleh ke arah Ruby dengan senyuman lebarnya. Ruby mendadak gugup seketika.

“Iya, ini temanku, namanya Ruby,” ucap Helena sambil memperkenalkan nama sahabatnya tersebut. Ruby yang matanya membesar kala melihat Sarah pun memperkenalan diri dengan amat kaku.

“A-aku Ruby 
”

“Aku Sarah! Senang bertemu denganmu!”

Helena dengan heran melihat Ruby yang merasa sangat gugup saat berjabat tangan dengan Sarah. Ingin mencairkan suasana, Helena pun membuka mulutnya.

“Sarah, apakah kamu datang ke sini sendirian?”

“Tentu saja tidak. Aku bersama kakakku tapi dia tidak mau turun dari mobilnya,” Helena mengangguk paham dan ingin menanyakan, “𝘈𝘱𝘢 𝘬𝘢𝘬𝘢𝘬𝘮𝘶 𝘱𝘳𝘪𝘢 𝘥𝘊𝘯𝘚𝘢𝘯 𝘳𝘢𝘮𝘣𝘶𝘵 𝘎𝘢𝘭𝘫𝘶 𝘪𝘵𝘶?” namun Helena memilih tutup mulut saja.

“Baiklah 
”

“Lalu bagaimana denganmu? Apa yang kamu lakukan di sini? Apa kamu sedang berjalan santai dengan temanmu?”

“Bisa dikatakan seperti itu. Aku baru bertemu dengannya setelah sekian lama jadi di sinilah kami berada sekarang.”

“Ya, dia baru saja sembuh dari sakitnya. Tentu saja aku ingin merayakan kesembuhannya,” timpal Ruby yang disambut senggolan tangan oleh Helena. Sarah yang mendengar hal tersebut sedikit melebarkan matanya.

“Kamu baru saja sembuh?! Kamu sakit apa?!” tanya Sarah dengan nada khawatirnya. Bukannya tidak ingin menjawab jujur tetapi Helena merasa bahwa Sarah tidak mengetahui soal penculikannya. Kemungkinan besar memang hanya orang tertentu di keluarga Hanstedorf saja yang tahu. Namun, Helena juga bingung untuk menjawabnya dengan kebohongan.

“A-ah 
 tidak, hanya saja 
 memang kesehatanku sedang menurun.”

“Bukankah kamu dirawat inap dan melakukan operasi juga?” timpal Ruby sekali lagi yang membuat Helena melotot ke arahnya.

“𝘖𝘩 𝘎𝘶𝘯𝘚𝘚𝘶𝘩 𝘵𝘊𝘮𝘢𝘯 𝘺𝘢𝘯𝘚 𝘎𝘪𝘢𝘭𝘢𝘯.”

“Operasi?? Seberapa parah penyakitmu, Helena?!” pekik Sarah yang semakin merasa khawatir. Helena bersumpah ingin menyumpal mulut Ruby dengan botol minuman di depannya. Suasana yang berat ini membuat pusing di kepala Helena mendadak kambuh.

“Tidak, tidak. Hanya sajaㅡ”

“Pesanan atas nama Sarah!”

“Ah, 𝘩𝘰𝘵𝘥𝘰𝘚 ku sudah ada,” Dewi Fortuna mungkin berada dipihak Helena saat ini juga sehingga dirinya menghela napas dengan lega. Sarah lalu berjalan menghampiri kedai tersebut dan mengambil pesanannya kemudian kembali lagi ke Helena.

“Apakah kamu akan makan di sini? Bagaimana dengan kakakmu?”

“Hm 
 ya, sebenarnya aku ingin makan di sini dulu dan membiarkan kakakku menunggu.”

“Bukankah kamu harus bilang kepadanya dulu? Membuat orang menunggu terlalu lama itu tidak baik,” ujar Helena yang membuat Sarah berpikir sejenak. Ada raut wajah yang jengkel saat dia memikirkan sesuatu namun Sarah paham maksud baik dari Helena. Hanya saja 


“Biarkan saja dia menunggu! Lagipula ini tidak sebanding dengan aku yang selalu menunggu dia!” gerutu Sarah merasa kesal sendiri. Helena dan Ruby hanya saling melempar pandangan. Jelas keduanya merasa bahwa Sarah dipastikan lebih muda dari mereka.

“Bagaimana kalau kakakmu nanti marah? Sebaiknya bilang saja dulu melalui telpon,” ucap Helena memberi saran sebaik mungkin. Namun sepertinya itu masih belum berhasil.

“Tapi aku hanya makan sebentar saja di sini. Aku sedang malas melihatnya, dia menyebalkan,” terlihat Sarah memanyunkan bibir bawahnya. Helena merasa ingin tertawa karena gadis ini begitu lucu saat merajuk. Ini mengingatkannya kepada adiknya yang berada di Indonesia.

“Huh? Tapi bukankah kamu membeli dua 𝘩𝘰𝘵𝘥𝘰𝘚 itu untuk kakakmu juga?”

“Ah ini 
,” ada keheningan beberapa detik saat Sarah memandang satu bungkus 𝘩𝘰𝘵𝘥𝘰𝘚 yang memang diperuntukkan untuk kakaknya itu.

“Sebaiknya kamu makan bersama dengan kakakmu. Bukankah itu lebih baik?” ujar Helena kembali sambil tersenyum ramah. Terdengar suara decakan kecil dari Sarah yang sepertinya agak kecewa. Namun itu tidak masalah karena Helena tidak ingin jika Sarah sampai bertengkar dengan kakaknya sendiri meski itu sepele.

“Uhh baiklah 
 padahal aku masih ingin mengobrol dengan kalian,” terlihat raut wajah Sarah yang sedih ke arah Helena. Tangan Helena pun dengan lembut mengusap kepala rambut 𝘣𝘭𝘰𝘯𝘥 kecoklatan itu.

“Kalau bertemu lagi, kita akan mengobrol banyak.”

“Kalau begitu, boleh aku minta nomㅡ” suara Sarah terjeda kala ponselnya berdering dan seketika raut wajahnya berubah. “Ah orang sialan ini!”

Sarah lalu mengangkat telpon tersebut dengan perasaan jengkel. Helena bisa menebak bahwa itu pasti dari kakaknya. Ruby masih mencoba menghabiskan potongan 𝘩𝘰𝘵𝘥𝘰𝘚 nya sambil memperhatikan gadis di hadapannya. Tak lama, telpon itu pun usai.

“Kakakmu?” tanya Helena memastikan dan Sarah mengangguk dengan kesal.

“Dia ingin aku kembali. Sangat menyebalkan!”

“Kembalilah sebelum kakakmu menjadi marah.”

“Huh, dia sudah marah dan akan selalu begitu. Aku harus kembali sebelum dia ke sini dan menyeretku,” Helena dan Ruby hanya saling bertukar pandang sebab merasa bingung untuk merespon hal tersebut.

“Baiklah, sampai jumpa lagi, Sarah.”

“Sampai jumpa lagi, Helena! Selamat menikmati waktu santaimu dan sampai jumpa juga, Ruby!”

Ketiganya saling melambaikan tangan tanda perpisahan. Terdengar suara kelegaan dari Ruby yang membuat Helena menengok ke arahnya.

“Ada apa denganmu? Gugup tak biasanya.”

“Hei 
 beritahu aku, bagaimana kamu bisa mengenalnya?!”

“Maksudmu mengenal Sarah?”

“Iya! Dia! Bagaimana kamu bisa akrab dengannya seperti itu!”

Helena mengerutkan keningnya. “Memang kenapa? Apa itu aneh?”

“Tidak aneh tapi itu membuatku terkejut! Itu sebabnya aku gugup tidak karuan!” celotehan Ruby membuat kening Helena makin berkerut. Helena sungguh tidak paham maksud dari sahabatnya ini.

“Apa yang membuatmu terkejut? Apakah karena gadis itu terlihat cantik?”

“Bukan! Ya, itu tidak salah karena termasuk juga tetapi bukan itu intinya! Apakah kamu tidak tahu siapa dia?”

Seketika Helena merasa ini seperti kuis dadakan. Haruskah Helena menjawab bahwa Sarah itu adalah anak dari keluarga pembuat senjata? Tapi jika dia berkata seperti itu, tentu akan berbahaya jadi memilih pura-pura tidak tahu adalah jalannya.

“Hm 
 memangnya siapa dia?”

“Dia Sarah Hanstedorf, model majalah bikini!”

Seketika Helena tersedak dengan air liurnya sendiri.

“A-apa??”

Sementara itu, Sarah yang berjalan dengan langkah amarahnya, memasuki mobil hitam Mercedes Benz. Terlihat kakak laki-lakinya yang berambut 𝘞𝘩𝘪𝘵𝘊 𝘣𝘭𝘰𝘯𝘥 itu menunggu dengan raut wajah dinginnya. Mereka bahkan tidak menyapa satu sama lain.

“Ada apa dengan wajahmu?”

“Kenapa kamu bertanya? Kamu menyebalkan!”

“Jika kamu tidak ingin kuantar ke tempat baletmu, keluarlah,” ucapan dingin dari kakaknya itu justru membuat Sarah semakin merasa jengkel. Tak ada jawaban yang ingin diucapkan Sarah. Sang kakak pun menyalakan mesin mobilnya namun Sarah tiba-tiba menyodorkan sesuatu. “Apa?”

“Makananmu!”

“Tidak perlu.”

“Terimalah sialan! Aku memberinya untukmu!” Sarah masih bersikeras untuk memberikan bingkisan 𝘩𝘰𝘵𝘥𝘰𝘚 itu kepada kakaknya namun masih saja ditolak mentah-mentah.

“Kubilang, tidak perlu.”

“Kenapa kamu menjengkelkan?! Kenapa kamu tidak tahu namanya rasa terima kasih?!”

“Perhatikan ucapanmu, Sarah Hanstedorf.”

Sarah paham dimana dirinya harus berhenti. Tatapan tajam kakaknya membuat dirinya tak bergeming meski dia ingin mengomel lebih banyak lagi. Mobil itu pun akhirnya melaju dengan suasana dingin di dalamnya.

“Nick,” panggil seseorang ketika pria bernama Nick ini melangkah masuk ke dalam ruang tamu. Setelah mengantar adik paling kecil, dia langsung bergegas ke rumahnya.

“Dia baik-baik saja. Jadi berhentilah menggangguku untuk memata-matainya,” jelas terdapat sebuah protes dari nadanya. Pria dengan lesung pipi itu lalu tersenyum kala mendengar respon dari adiknya ini. Dia tahu hal ini pasti akan terjadi.

“Kerja bagus. Bagaimanapun juga, keluarga kita sudah sepakat untuk menjaga wanita itu,” jelasnya yang direspon acuh oleh sang adik. Adik yang biasa dipanggil Nick itu hanya berjalan pergi melewatinya. Namun sang kakak tiba-tiba memanggil namanya lagi. “Nick,”

“Apa lagi?”

“Bagaimana kalau kita membawa Helena ke rumah ini?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status