Pagi telah datang dan Helena yang memang rajin bangun pagi sudah lebih dulu membuat teh hangat. Suasana pagi di Berlin cukup dingin meski Helena memakai piyama berbahan tebal. Tidak ada jadwal yang menanti hari ini jadi Helena memutuskan untuk bersantai saja di apartemennya.
“Apakah aku berbelanja saja nanti? Kebetulan makanan di sini juga hampir habis,” gumamnya sambil berjalan menuju sofa dan membawa segelas teh hangat. Dia lalu duduk dengan santai dan meminum teh tersebut dengan nikmat. Setelahnya Helena membuka ponsel dan terdapat cukup banyak pemberitahuan dari keluarga dan juga teman-temannya. [𝙈𝙚𝙨𝙨𝙖𝙜𝙚𝙨] 𝙈𝙤𝙢 <3: 𝙎𝙖𝙮𝙖𝙣𝙜, 𝙖𝙥𝙖𝙠𝙖𝙝 𝙠𝙖𝙪 𝙗𝙚𝙧𝙞𝙨𝙩𝙞𝙧𝙖𝙝𝙖𝙩 𝙙𝙚𝙣𝙜𝙖𝙣 𝙗𝙖𝙞𝙠? 𝙆𝙖𝙪 𝙩𝙞𝙙𝙖𝙠 𝙠𝙚𝙡𝙚𝙡𝙖𝙝𝙖𝙣 𝙨𝙖𝙖𝙩 𝙢𝙚𝙣𝙜𝙝𝙖𝙙𝙞𝙧𝙞 𝙖𝙘𝙖𝙧𝙖 𝙞𝙩𝙪, 𝙗𝙪𝙠𝙖𝙣? 𝙈𝙤𝙢 <3: 𝙏𝙤𝙡𝙤𝙣𝙜 𝙝𝙪𝙗𝙪𝙣𝙜𝙞 𝙄𝙗𝙪 𝙣𝙖𝙣𝙩𝙞 𝙃𝙖𝙣𝙣𝙖𝙝: 𝙆𝙖𝙠, 𝙖𝙥𝙖 𝙥𝙖𝙨𝙨𝙬𝙤𝙧𝙙 𝙡𝙖𝙥𝙩𝙤𝙥𝙢𝙪 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙙𝙞 𝙨𝙞𝙣𝙞? 𝙈𝙞𝙖 𝙈𝙚𝙡𝙞𝙨𝙨𝙖: 𝙃𝙚𝙞, 𝙠𝙚𝙣𝙖𝙥𝙖 𝙠𝙖𝙪 𝙣𝙜𝙜𝙖𝙠 𝙗𝙞𝙡𝙖𝙣𝙜 𝙖𝙠𝙪 𝙠𝙖𝙡𝙖𝙪 𝙪𝙙𝙖𝙝 𝙗𝙖𝙡𝙞𝙠 𝙠𝙚 𝙅𝙚𝙧𝙢𝙖𝙣 :( 𝙠𝙞𝙩𝙖 𝙣𝙜𝙜𝙖𝙠 𝙨𝙚𝙢𝙥𝙖𝙩 𝙠𝙚𝙩𝙚𝙢𝙪 𝙟𝙖𝙙𝙞𝙣𝙮𝙖 … 𝙍𝙪𝙗𝙮 𝙎𝙖𝙫𝙖𝙧𝙖: 𝘾𝙖𝙣𝙩𝙞𝙠, 𝙠𝙖𝙪 𝙙𝙞 𝘽𝙚𝙧𝙡𝙞𝙣 𝙠𝙖𝙣? 𝘽𝙖𝙜𝙞 𝙖𝙡𝙖𝙢𝙖𝙩 𝙖𝙥𝙖𝙧𝙩𝙚𝙢𝙚𝙣𝙢𝙪, 𝙖𝙠𝙪 𝙢𝙖𝙪 𝙗𝙚𝙧𝙠𝙪𝙣𝙟𝙪𝙣𝙜. Helena melengkungkan senyuman saat membaca beberapa pesan dari keluarga dan juga sahabat-sahabatnya. Dirinya mulai membalas pesan satu persatu, kemudian Helena mencoba untuk menghubungi ibunya. “Halo, Ibu?” [Lena sayang … bagaimana acara semalam? Berjalan lancar?] “Berjalan dengan sangat baik. Maaf baru menghubungi, aku semalam langsung tidur saat sampai apartemen.” [Tidak masalah, Nak … Ibu sempat khawatir mengira kau akan pingsan di sana.] Kekhawatiran sang ibunda jelas mengundang senyuman kecil di wajah Helena. Dia sangat paham, bahwa ibunya pasti masih merasa cemas dengan kondisi kesehatannya. Dengan tutur kata yang lembut, Helena mencoba menenangkan. “Itu tidak akan terjadi, Bu.” [Ibu hanya khawatir.] Setelah beberapa waktu berbincang dengan ibunya, Helena pun bergegas ke kamar mandi dan bersiap diri untuk bertemu dengan salah satu sahabatnya yang memang tinggal di Berlin. Kabar mengenai dirinya yang sedang sakit, membawa kekhawatiran tersendiri untuk teman-teman terdekatnya. Ya, tidak ada yang tahu bahwa dia telah mengalami penculikan dan Helena pun tidak berniat untuk memberi tahu hal ini. Sebab di Berlin masih musim gugur, suhu udara pun masih terbilang dingin namun sejuk. Helena memakai atasan lengan panjang berwarna putih gading dengan 𝘭𝘰𝘯𝘨 𝘤𝘰𝘢𝘵 coklat muda beserta celana jeans. Rambut hitamnya yang panjang dan bergelombang dibiarkan tergerai dan Helena siap beranjak keluar. Tempat pertemuannya dengan sang sahabat tak terlalu jauh. Dibutuhkan sekitar 20 menit untuk mencapai tujuan dengan menggunakan kereta. Suasana hatinya sedang baik mengingat Helena akhirnya dapat menikmati jalan-jalan santai di Berlin setelah sekian lama. Dia ingat saat dirinya harus terbaring lemah dengan lama di rumah sakit. Itu sungguh membosankan. Sesampai di tempat tujuan, Helena mencari sosok sahabatnya itu dan tak butuh waktu lama baginya untuk menemukannya. “Ruby!” “Helena!” Keduanya berpelukan begitu erat. Ini merupakan tanda rindu sebab mereka baru saja bertemu lagi setelah beberapa bulan tidak bertatap muka. Senyum cerah terpampang jelas di wajah wanita berambut kecoklatan tersebut. “Kenapa kau tidak membiarkanku ke apartemenmu?! Aku bisa datang ke sana!” pekik Ruby yang sedikit mengomel. Helena hanya terkekeh dengan omelannya. “Aku tidak ingin merepotkanmu.” “Tapi kau baru saja sembuh, anak nakal! Ini, terima ini!” Ruby lalu memberi sebuah dua 𝘱𝘢𝘱𝘦𝘳 𝘣𝘢𝘨 kepada Helena. Helena pun menerimanya dengan raut wajah kebingungan. “Apa ini? Ulang tahunku bahkan sudah lewat.” “Hadiah atas kesembuhanmu! Ada juga yang dari grup kelas jadi terimalah. Mereka semua mengkhawatirkanmu.” Helena tersenyum mendengarnya sembari menatap dua hadiah tersebut. Dapat dikatakan bahwa pertemanan Helena di Jerman cukup baik. Dia masih berhubungan erat dengan teman-teman sekampusnya dulu. Dia bahkan tak menyangka bahwa mereka masih mengkhawatirkannya meski jarang bertemu. “Terima kasih,” ucapan tulus datang dari mulut Helena. Mereka berdua pun menikmati jalan-jalan santai sambil berbincang banyak hal. Berlin merupakan ibu kota Jerman yang sangat luas. Meski sebagian besarnya tentu memakai bahasa Jerman, namun tak jarang ada yang memakai bahasa Inggris juga. Tempat ini indah dan membawa kesan tersendiri bagi Helena. Meski dirinya lebih menyukai makanan dari negara asalnya namun Helena tetap menyukai tempat ini. “Mengapa kau tidak mencoba menjadi pengajar di Freie?” tanya Ruby sembari menggigit 𝘩𝘰𝘵𝘥𝘰𝘨 nya yang masih agak panas. Mereka saat ini duduk di tempat terbuka dengan kedai 𝘩𝘰𝘵𝘥𝘰𝘨 terenak di sampingnya. Angin yang sejuk membawa kenyamanan tersendiri bagi mereka. “Aku … ragu bisa melakukannya.” “Kenapa? Kau kan cerdas. Bahkan kau adalah anak emas Profesor Schneider.” “Tidak, tidak. Dari mana info itu beredar?” “Bukankah semua anak jurusan kita mengetahuinya?” Tidak salah tapi juga tidak benar. Bagaimanapun, Helena menyangkal setengah mati mengenai berita simpang siur itu. Memang, dia pernah menjadi asisten dosen untuk Profesornya tersebut tapi itu hanya sebentar. Namun entah kenapa berita tentang dia yang menjadi “anak emas” beredar begitu saja. “Aku pesan dua dan tidak pedas untuk yang satunya. Oh! Tolong pakai keju juga.” pekik seseorang yang sepertinya sedang memesan 𝘩𝘰𝘵𝘥𝘰𝘨. Suaranya terdengar sampai ke telinga Helena dan dia merasa pernah mendengar suara ini sebelumnya. Helena kemudian sedikit menengok dan benar saja dugaannya. “Sarah?” “Oh? Helena, hai!” Pemilik nama Sarah langsung menghampir tempat duduk Helena dengan wajah yang riang. Helena terkadang merasa terpukau dengan sisi ceria dari gadis tersebut. “Kita bertemu lagi di sini.” “Benar! Aku tak menyangka akan bertemu denganmu lagi dan apakah kau bersama temanmu?” tanya Sarah sambil menoleh ke arah Ruby dengan senyuman lebarnya. Ruby mendadak gugup seketika. “Iya, ini temanku, namanya Ruby,” ucap Helena sambil memperkenalkan nama sahabatnya tersebut. Ruby yang matanya membesar kala melihat Sarah pun memperkenalan diri dengan amat kaku. “A-aku Ruby …” “Aku Sarah! Senang bertemu denganmu!” Helena dengan heran melihat Ruby yang merasa sangat gugup saat berjabat tangan dengan Sarah. Ingin mencairkan suasana, Helena pun membuka mulutnya. “Sarah, apakah kau datang ke sini sendirian?” “Tentu saja tidak. Aku bersama kakakku tapi dia tidak mau turun dari mobilnya,” Helena mengangguk paham dan ingin menanyakan, “𝘈𝘱𝘢 𝘬𝘢𝘬𝘢𝘬𝘮𝘶 𝘱𝘳𝘪𝘢 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘳𝘢𝘮𝘣𝘶𝘵 𝘴𝘢𝘭𝘫𝘶 𝘪𝘵𝘶?” namun Helena memilih tutup mulut saja. “Baiklah …” “Lalu bagaimana denganmu? Apa yang kau lakukan di sini? Apa kau sedang berjalan santai dengan temanmu?” “Bisa dikatakan seperti itu. Aku baru bertemu dengannya setelah sekian lama jadi di sinilah kami berada sekarang.” “Ya, dia baru saja sembuh dari sakitnya. Tentu saja aku ingin merayakan kesembuhannya,” timpal Ruby yang disambut senggolan tangan oleh Helena. Sarah yang mendengar hal tersebut sedikit melebarkan matanya. “Kau baru saja sembuh?! Kau sakit apa?!” tanya Sarah dengan nada khawatirnya. Bukannya tidak ingin menjawab jujur tetapi Helena merasa bahwa Sarah tidak mengetahui soal penculikannya. Kemungkinan besar memang hanya orang tertentu di keluarga Hanstedorf saja yang tahu. Namun, Helena juga bingung untuk menjawabnya dengan kebohongan. “A-ah … tidak, hanya saja … memang kesehatanku sedang menurun.” “Bukankah kau dirawat inap dan melakukan operasi juga?” timpal Ruby sekali lagi yang membuat Helena melotot ke arahnya. “𝘖𝘩 𝘴𝘶𝘯𝘨𝘨𝘶𝘩 𝘵𝘦𝘮𝘢𝘯 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘪𝘢𝘭𝘢𝘯.” “Operasi?? Seberapa parah penyakitmu, Helena?!” pekik Sarah yang semakin merasa khawatir. Helena bersumpah ingin menyumpal mulut Ruby dengan botol minuman di depannya. Suasana yang berat ini membuat pusing di kepala Helena mendadak kambuh. “Tidak, tidak. Hanya sajaㅡ” “Pesanan atas nama Sarah!” “Ah, 𝘩𝘰𝘵𝘥𝘰𝘨 ku sudah ada,” Dewi Fortuna mungkin berada dipihak Helena saat ini juga sehingga dirinya menghela napas dengan lega. Sarah lalu berjalan menghampiri kedai tersebut dan mengambil pesanannya kemudian kembali lagi ke Helena. “Apakah kau akan makan di sini? Bagaimana dengan kakakmu?” “Hm … ya, sebenarnya aku ingin makan di sini dulu dan membiarkan kakakku menunggu.” “Bukankah kau harus bilang kepadanya dulu? Membuat orang menunggu terlalu lama itu tidak baik,” ujar Helena yang membuat Sarah berpikir sejenak. Ada raut wajah yang jengkel saat dia memikirkan sesuatu namun Sarah paham maksud baik dari Helena. Hanya saja … “Biarkan saja dia menunggu! Lagipula ini tidak sebanding dengan aku yang selalu menunggu dia!” gerutu Sarah merasa kesal sendiri. Helena dan Ruby hanya saling melempar pandangan. Jelas keduanya merasa bahwa Sarah dipastikan lebih muda dari mereka. “Bagaimana kalau kakakmu nanti marah? Sebaiknya bilang saja dulu melalui telpon,” ucap Helena memberi saran sebaik mungkin. Namun sepertinya itu masih belum berhasil. “Tapi aku hanya makan sebentar saja di sini. Aku sedang malas melihatnya, dia menyebalkan,” terlihat Sarah memanyunkan bibir bawahnya. Helena merasa ingin tertawa karena gadis ini begitu lucu saat merajuk. Ini mengingatkannya kepada adiknya yang berada di Indonesia. “Huh? Tapi bukankah kau membeli dua 𝘩𝘰𝘵𝘥𝘰𝘨 itu untuk kakakmu juga?” “Ah ini …,” ada keheningan beberapa detik saat Sarah memandang satu bungkus 𝘩𝘰𝘵𝘥𝘰𝘨 yang memang diperuntukkan untuk kakaknya itu. “Sebaiknya kau makan bersama dengan kakakmu. Bukankah itu lebih baik?” ujar Helena kembali sambil tersenyum ramah. Terdengar suara decakan kecil dari Sarah yang sepertinya agak kecewa. Namun itu tidak masalah karena Helena tidak ingin jika Sarah sampai bertengkar dengan kakaknya sendiri meski itu sepele. “Uhh baiklah … padahal aku masih ingin mengobrol dengan kalian,” terlihat raut wajah Sarah yang sedih ke arah Helena. Tangan Helena pun dengan lembut mengusap kepala rambut 𝘣𝘭𝘰𝘯𝘥 kecoklatan itu. “Kalau bertemu lagi, kita akan mengobrol banyak.” “Kalau begitu, boleh aku minta nomㅡ” suara Sarah terjeda kala ponselnya berdering dan seketika raut wajahnya berubah. “Ah orang sialan ini!” Sarah lalu mengangkat telpon tersebut dengan perasaan jengkel. Helena bisa menebak bahwa itu pasti dari kakaknya. Ruby masih mencoba menghabiskan potongan 𝘩𝘰𝘵𝘥𝘰𝘨 nya sambil memperhatikan gadis di hadapannya. Tak lama, telpon itu pun usai. “Kakakmu?” tanya Helena memastikan dan Sarah mengangguk dengan kesal. “Dia ingin aku kembali. Sangat menyebalkan!” “Kembalilah sebelum kakakmu menjadi marah.” “Huh, dia sudah marah dan akan selalu begitu. Aku harus kembali sebelum dia ke sini dan menyeretku,” Helena dan Ruby hanya saling bertukar pandang sebab merasa bingung untuk merespon hal tersebut. “Baiklah, sampai jumpa lagi, Sarah.” “Sampai jumpa lagi, Helena! Selamat menikmati waktu santaimu dan sampai jumpa juga, Ruby!” Ketiganya saling melambaikan tangan tanda perpisahan. Terdengar suara kelegaan dari Ruby yang membuat Helena menengok ke arahnya. “Ada apa denganmu? Gugup tak biasanya.” “Hei … beritahu aku, bagaimana kau bisa mengenalnya?!” “Maksudmu mengenal Sarah?” “Iya! Dia! Bagaimana kau bisa akrab dengannya seperti itu!” Helena mengerutkan keningnya. “Memang kenapa? Apa itu aneh?” “Tidak aneh tapi itu membuatku terkejut! Itu sebabnya aku gugup tidak karuan!” celotehan Ruby membuat kening Helena makin berkerut. Helena sungguh tidak paham maksud dari sahabatnya ini. “Apa yang membuatmu terkejut? Apakah karena gadis itu terlihat cantik?” “Bukan! Ya, itu tidak salah karena termasuk juga tetapi bukan itu intinya! Apakah kau tidak tahu siapa dia?” Seketika Helena merasa ini seperti kuis dadakan. Haruskah Helena menjawab bahwa Sarah itu adalah anak dari keluarga pembuat senjata? Tapi jika dia berkata seperti itu, tentu akan berbahaya jadi memilih pura-pura tidak tahu adalah jalannya. “Hm … memangnya siapa dia?” “Dia Sarah Hanstedorf, model majalah bikini!” Seketika Helena tersedak dengan air liurnya sendiri. “A-apa??” Sementara itu, Sarah yang berjalan dengan langkah amarahnya, memasuki mobil hitam Mercedes Benz. Terlihat kakak laki-lakinya yang berambut 𝘸𝘩𝘪𝘵𝘦 𝘣𝘭𝘰𝘯𝘥 itu menunggu dengan raut wajah dinginnya. Mereka bahkan tidak menyapa satu sama lain. “Ada apa dengan wajahmu?” “Kenapa kau bertanya? Kau menyebalkan!” “Jika kau tidak ingin kuantar ke tempat baletmu, keluarlah,” ucapan dingin dari kakaknya itu justru membuat Sarah semakin merasa jengkel. Tak ada jawaban yang ingin diucapkan Sarah. Sang kakak pun menyalakan mesin mobilnya namun Sarah tiba-tiba menyodorkan sesuatu. “Apa?” “Makananmu!” “Tidak perlu.” “Terimalah sialan! Aku memberinya untukmu!” Sarah masih bersikeras untuk memberikan bingkisan 𝘩𝘰𝘵𝘥𝘰𝘨 itu kepada kakaknya namun masih saja ditolak mentah-mentah. “Kubilang, tidak perlu.” “Kenapa kau menjengkelkan?! Kenapa kau tidak tahu namanya rasa terima kasih?!” “Perhatikan ucapanmu, Sarah Hanstedorf.” Sarah paham dimana dirinya harus berhenti. Tatapan tajam kakaknya membuat dirinya tak bergeming meski dia ingin mengomel lebih banyak lagi. Mobil itu pun akhirnya melaju dengan suasana dingin di dalamnya. “Nick,” panggil seseorang ketika pria bernama Nick ini melangkah masuk ke dalam ruang tamu. Setelah mengantar adik paling kecil, dia langsung bergegas ke rumahnya. “Dia baik-baik saja. Jadi berhentilah menggangguku untuk memata-matainya,” jelas terdapat sebuah protes dari nadanya. Pria dengan lesung pipi itu lalu tersenyum kala mendengar respon dari adiknya ini. Dia tahu hal ini pasti akan terjadi. “Kerja bagus. Bagaimanapun juga, keluarga kita sudah sepakat untuk menjaga wanita itu,” jelasnya yang direspon acuh oleh sang adik. Adik yang biasa dipanggil Nick itu hanya berjalan pergi melewatinya. Namun sang kakak tiba-tiba memanggil namanya lagi. “Nick,” “Apa lagi?” “Bagaimana kalau kita membawa Helena ke rumah ini?”“Aku harus segera mencari pekerjaan baru …,” gumam Helena dengan matanya yang agak lelah sebab sudah berjam-jam dirinya di depan laptop. Dirinya merevisi CV berkali-kali agar terlihat menarik para perusahaan. Sesekali dia meregangkan tangan dan tubuhnya itu. Lalu dia sedikit merintih saat bekas luka di bagian pinggang kanannya agak tertarik. “Aduh! Luka ini.” Jelas bahwa bekas luka itu berasal dari kejadian mematikan 4 bulan lalu. Sebenarnya Helena masih merasa takjub dengan dirinya sendiri karena masih dapat bertahan hidup hingga saat ini. Ya, meski itu memang tujuan para penculik untuk membuatnya tetap hidup agar dapat disiksa perlahan tetapi sedikit keberuntungannya itu membawa secercah kehidupan untuknya. Jika bukan karena pria misterius yang dulu pernah menyelamatkannya, mungkin tidak ada Helena saat ini. “Kira-kira, siapa ya orang itu?” gumamnya sambil bertanya-tanya dalam hati. Sebenarnya Helena masih merasa penasaran dengan pria bertopeng tak dikenal itu. Sebelumnya dia pern
Hari telah berganti dan hari ini adalah hari pertama Helena bekerja di tempat keluarga Hanstedorf. Helena mengemasi beberapa barangnya untuk dibawa ke mansion tersebut. Sedikit demi sedikit dia akan membawa beberapa barang pentingnya pindah. Helena tidak berniat untuk mengosongkan apartemen begitu saja. Sebab, tempat itu dapat digunakan untuk keluarganya jika mereka berkunjung. Helena sendiri sebenarnya masih tidak menyangka akan mendapat pekerjaan baru dengan cara seperti ini. Entah itu hasil rekomendasi ayahnya atau bukan, setidaknya Helena dapat kembali beraktifitas. Lagipula dia merasa bahwa keluarga Hanstedorf memiliki kenyamanan tersendiri baginya. Dimulai dari Sarah, Luke, lalu Jason, semuanya ramah dan baik kepadanya. Helena tidak ingin terlalu naif tetapi bisa dikatakan bahwa instingnya selalu benar. Meski dirinya belum berkenalan lebih jauh dengan beberapa orang lainnya di mansion itu, tetapi itu sudah cukup bagi Helena. Helena ingin melakukan yang terbaik meski pekerjaanny
“𝘜𝘨𝘩 … lukaku.” Saat Helena melihat bekas jahitan di pinggang kanannya, dia merasa sedikit jijik. Luka ini seolah meninggalkan banyak trauma yang tak dapat Helena lupakan. Namun baginya, trauma merupakan hal yang lebih baik dihadapi saja agar berdamai dengan sendirinya. Meski sebagian dalam dirinya menolak akan hal tersebut. Pagi di Berlin dapat mencapai 11 derajat atau bahkan kurang dari itu mengingat ini masih musim gugur. Terkadang hidung Helena akan terasa beku mendadak sebab dia sebenarnya tidak begitu kuat dengan suhu dingin. Meski begitu, Helena masih menikmati kota di negara ini. Bisa dikatakan bahwa semalam adalah hari pertama Helena tidur di tempat tinggal yang baru yakni mansion Hanstedorf. Dia masih tidak menyangka bahwa kamarnya cukup luas, sedikit lebih dari kamar yang berada di apartemennya. Helena tidur cukup pulas yang menandakan dia memang nyaman. Pagi ini Helena akan sarapan untuk pertama kalinya di sini. Langkah kakinya menuruni anak tangga dengan perlahan. “
Malam telah menunjukkan waktu dini hari dan Helena mendadak terbangun dengan keringat dingin di pelipisnya. Kepalanya terasa berat. Mimpi buruk tentang penculikannya mendadak menghantui alam bawah sadarnya. “Sial … ini bahkan masuk ke mimpiku,” gerutu Helena sembari memegang kepalanya yang pusing. Kejadian itu memang membawa luka yang cukup dalam baginya. Tentu, tidak mungkin Helena akan lupa begitu saja. Namun Helena bersikeras untuk mengabaikan potongan-potongan memori buruk itu. Tapi siapa sangka itu akan membawanya ke dalam mimpi buruk. “Aku harus minum sesuatu untuk menenangkanku,” gumamnya lalu bangkit dari tempat tidur. Helena lalu melangkah keluar dari kamar dan terlihat lorong lantai ini begitu sunyi. “Tentu saja semuanya sudah tidur.” Meski sepi, tetapi beruntung penerangan di mansion pada waktu ini masih terbilang cukup terang. Walau ada beberapa area yang gelap. Dapur berada di lantai paling dasar. Harus melewati pintu halaman belakang dulu untuk mencapai ke sana. Kare
Pagi telah menyinari dan wajah Helena terlihat tidak begitu bagus saat ini. Hal itu disebabkan oleh kepingan memori buruknya yang masih menghantui pemikirannya malam itu. Beruntung Helena dapat memaksakan diri untuk tidur. Jika tidak, dia benar-benar akan terlihat seperti mayat hari ini.“Apakah tidak ada cara untuk melenyapkan memori buruk itu?” gerutunya yang kesal sendiri. Meski seperti kurang tidur, Helena tetap dapat bangun pagi untuk menjalani aktivitasnya sebagai Sekretaris. Dirinya bahkan sudah rapi dengan cepat. Yang perlu dilakukannya saat ini adalah sarapan lalu mengerjakan pekerjaannya.Ketika Helena keluar dari kamar, samar-samar dia mendengar suara keributan di lantai dasar. Sepertinya itu dari arah meja makan. Helena melangkah menuruni tangga dan suara itu terdengar semakin jelas. Yang menarik adalah Helena seperti mengenali suara ini.“Kenapa kau tidak menjemputku?!”“Ada Josh, kenapa harus aku?”“Jarak dari sini ke Hotel lebih jauh daripada jarak darimu di bandara!”“B
“Kenapa harus dengannya…,” gumam Helena dalam hati saat dirinya kini sedang menunggu kereta untuk datang. Helena paham bahwa menjadi Sekretaris itu kemungkinan besar akan mengikuti ke mana sang tuan pergi, terlebih jika ada urusan yang sangat penting. Meski Helena baru beberapa hari bekerja di kediaman Hanstedorf, kini dia harus menemani sang atasan untuk mengunjungi acara resmi. Tidak ada yang salah dengan ini, Helena juga akan melakukannya karena itu memang pekerjaannya. Namun yang menjadi masalah adalah dirinya tidak pergi bersama Luke.“Dia bahkan memasang ekspresi seperti itu. Sepertinya suasana hatinya kurang baik. Uhh apa yang harus kulakukan?” Helena sesekali melirik ke arah pria berambut salju itu, yang hanya diam dengan mimik wajah seolah ingin menerkam seseorang. Bahkan dari awal mereka berangkat bersama menuju stasiun, Nicholas sama sekali tidak berbicara sepatah katapun kepada Helena. Ini sedikit membuat Helena merasa canggung sekaligus waspada.Sebenarnya Helena juga tida
“Uhh bukankah orang itu sudah gila?” gerutu Helena saat dirinya menjauh dari Nicholas. Berbicara dengan Nicholas masalah penculikan dan bunuh membunuh itu membuat Helena sakit kepala. Akhirnya dia memutuskan untuk ke restoran yang memang tersedia di kereta ini. Meminum kopi dengan sedikit camilan mungkin dapat membuat pikirannya lebih tenang.Restoran ini cukup bagus dan tidak terlalu banyak orang, yang menjadikan suasananya tenang dan damai. Terdengar lantunan lagu-lagu yang dapat dinikmati sembari melihati pemandangan dari jendela kereta, suasana inilah yang disenangi Helena. “Tidakkah dia lapar atau haus?” gumam Helena kala memikirkan Nicholas yang sepertinya masih asik berkutat dengan buku klasiknya itu. “Kurasa aku harus menawarinya sesuatu.”Memutuskan untuk kembali ke Nicholas mungkin pilihan yang tidak buruk. Setidaknya, pria itu masih atasannya. Tidak mungkin bagi Helena untuk terus menghindar meski rasanya aneh karena mengingat pembicaraan mereka sebelumnya. Saat Helena hend
Dortmund merupakan salah satu kota terbesar yang terletak di wilayah bagian barat Jerman dan masuk ke dalam Rhine Utara-Westphalia. Disebut sebagai metropolitan hijau sebab meski kota ini termasuk kota industri, sebagian wilayahnya terdiri atas jalur air, hutan, ladang, dan ruang hijau seperti Westfalenpark dan Rombergpark.Seperti yang dikatakan Nicholas sebelumnya, kota ini terlihat sama seperti Berlin. Namun jika dilihat lebih jelas, terdapat beberapa perbedaan suasananya. Angin menerpa rambut Helena saat dirinya sudah menginjakkan kaki di kota Dortmund itu. “Wah … tempat ini terasa berbeda.”Suasana hati Helena kian membaik setelah dirinya sudah keluar dari kereta itu. Mengingat kejadian sebelumnya, Helena masih merasa malu. Dia bahkan tidak terlalu banyak bicara dengan Nicholas. Memikirkan bagaimana dia memilih pilihan untuk bersembunyi di kamar mandi yang sempit adalah tindakan konyol. Ya, setidaknya dirinya selamat dari pria pemabuk itu.Mobil sedan hitam menghampiri mereka saa
“Ini ….”Westfalenpark, sebuah taman penghijauan yang terletak di tengah kota Dortmund. Taman ini bisa disebut sebagai paru-paru hijau sebab dipenuhi banyaknya padang rumput, pepohonan, dan bunga-bunga. Siapapun yang menapakkan kakinya di taman ini, akan disuguhi pemandangan asri yang menyejukkan. Meski hari sudah petang namun masih banyak pengunjung yang datang untuk sekedar jalan-jalan atau menikmati suasana musim gugur di sore hari. Terlihat mata Helena yang berbinar saat melihat sepanjang sisinya terdapat bunga-bunga yang cantik. Dia juga dapat melihat ada beberapa anak-anak yang sedang bermain.“Belum pernah ke sini, bukan?” tanya Nicholas ketika melihat Helena yang matanya sibuk berkeliling seolah takjub. Helena lalu mengangguk senang.“Ini sungguh indah! Aku menyukai taman yang seperti ini. Oh aku akan memotret bunga itu,” Helena segera mengeluarkan ponselnya dan mulai mengambil gambar sebanyak mungkin. Nicholas hanya diam memperhatikan wanita itu dengan kedua tangannya dimasukk
“Oh astaga! Sudah jam berapa ini?!” pekik Helena saat dirinya terbangun dengan perasaan terkejut sambil mencari-cari ponselnya. Jam sudah menunjukkan sore hari, waktu yang cukup lama untuk tertidur. Helena pun segera bangun dengan rambutnya yang tidak beraturan. Bahkan dirinya masih memakai pakaian yang sama dari Berlin. “Ah kenapa aku malah tertidur seperti ini ….” gumam Helena yang kakinya langsung melangkah cepat keluar dari kamar. Suasana ruangan hotel VIP ini terasa sepi. Hal ini tentu membuat Helena menjadi bertanya-tanya, “Apakah Nick belum kembali?”Saat dirinya berjalan menuju ruang tengah, Helena tidak merasakan ada siapapun di sini selain keberadaan dirinya. Matanya pun berkeliling melihat keseluruhan ruangan tersebut. Kamar VIP ini benar-benar luas. Sepertinya ini adalah jenis Presidential Suite mengingat adanya ruang TV di tengah, 2 kamar tidur, serta bar kecil. Kemewahan ruangan ini sungguh membuat Helena takjub. Tak sadar dirinya melangkah mendekati pintu yang sepertiny
Dortmund merupakan salah satu kota terbesar yang terletak di wilayah bagian barat Jerman dan masuk ke dalam Rhine Utara-Westphalia. Disebut sebagai metropolitan hijau sebab meski kota ini termasuk kota industri, sebagian wilayahnya terdiri atas jalur air, hutan, ladang, dan ruang hijau seperti Westfalenpark dan Rombergpark.Seperti yang dikatakan Nicholas sebelumnya, kota ini terlihat sama seperti Berlin. Namun jika dilihat lebih jelas, terdapat beberapa perbedaan suasananya. Angin menerpa rambut Helena saat dirinya sudah menginjakkan kaki di kota Dortmund itu. “Wah … tempat ini terasa berbeda.”Suasana hati Helena kian membaik setelah dirinya sudah keluar dari kereta itu. Mengingat kejadian sebelumnya, Helena masih merasa malu. Dia bahkan tidak terlalu banyak bicara dengan Nicholas. Memikirkan bagaimana dia memilih pilihan untuk bersembunyi di kamar mandi yang sempit adalah tindakan konyol. Ya, setidaknya dirinya selamat dari pria pemabuk itu.Mobil sedan hitam menghampiri mereka saa
“Uhh bukankah orang itu sudah gila?” gerutu Helena saat dirinya menjauh dari Nicholas. Berbicara dengan Nicholas masalah penculikan dan bunuh membunuh itu membuat Helena sakit kepala. Akhirnya dia memutuskan untuk ke restoran yang memang tersedia di kereta ini. Meminum kopi dengan sedikit camilan mungkin dapat membuat pikirannya lebih tenang.Restoran ini cukup bagus dan tidak terlalu banyak orang, yang menjadikan suasananya tenang dan damai. Terdengar lantunan lagu-lagu yang dapat dinikmati sembari melihati pemandangan dari jendela kereta, suasana inilah yang disenangi Helena. “Tidakkah dia lapar atau haus?” gumam Helena kala memikirkan Nicholas yang sepertinya masih asik berkutat dengan buku klasiknya itu. “Kurasa aku harus menawarinya sesuatu.”Memutuskan untuk kembali ke Nicholas mungkin pilihan yang tidak buruk. Setidaknya, pria itu masih atasannya. Tidak mungkin bagi Helena untuk terus menghindar meski rasanya aneh karena mengingat pembicaraan mereka sebelumnya. Saat Helena hend
“Kenapa harus dengannya…,” gumam Helena dalam hati saat dirinya kini sedang menunggu kereta untuk datang. Helena paham bahwa menjadi Sekretaris itu kemungkinan besar akan mengikuti ke mana sang tuan pergi, terlebih jika ada urusan yang sangat penting. Meski Helena baru beberapa hari bekerja di kediaman Hanstedorf, kini dia harus menemani sang atasan untuk mengunjungi acara resmi. Tidak ada yang salah dengan ini, Helena juga akan melakukannya karena itu memang pekerjaannya. Namun yang menjadi masalah adalah dirinya tidak pergi bersama Luke.“Dia bahkan memasang ekspresi seperti itu. Sepertinya suasana hatinya kurang baik. Uhh apa yang harus kulakukan?” Helena sesekali melirik ke arah pria berambut salju itu, yang hanya diam dengan mimik wajah seolah ingin menerkam seseorang. Bahkan dari awal mereka berangkat bersama menuju stasiun, Nicholas sama sekali tidak berbicara sepatah katapun kepada Helena. Ini sedikit membuat Helena merasa canggung sekaligus waspada.Sebenarnya Helena juga tida
Pagi telah menyinari dan wajah Helena terlihat tidak begitu bagus saat ini. Hal itu disebabkan oleh kepingan memori buruknya yang masih menghantui pemikirannya malam itu. Beruntung Helena dapat memaksakan diri untuk tidur. Jika tidak, dia benar-benar akan terlihat seperti mayat hari ini.“Apakah tidak ada cara untuk melenyapkan memori buruk itu?” gerutunya yang kesal sendiri. Meski seperti kurang tidur, Helena tetap dapat bangun pagi untuk menjalani aktivitasnya sebagai Sekretaris. Dirinya bahkan sudah rapi dengan cepat. Yang perlu dilakukannya saat ini adalah sarapan lalu mengerjakan pekerjaannya.Ketika Helena keluar dari kamar, samar-samar dia mendengar suara keributan di lantai dasar. Sepertinya itu dari arah meja makan. Helena melangkah menuruni tangga dan suara itu terdengar semakin jelas. Yang menarik adalah Helena seperti mengenali suara ini.“Kenapa kau tidak menjemputku?!”“Ada Josh, kenapa harus aku?”“Jarak dari sini ke Hotel lebih jauh daripada jarak darimu di bandara!”“B
Malam telah menunjukkan waktu dini hari dan Helena mendadak terbangun dengan keringat dingin di pelipisnya. Kepalanya terasa berat. Mimpi buruk tentang penculikannya mendadak menghantui alam bawah sadarnya. “Sial … ini bahkan masuk ke mimpiku,” gerutu Helena sembari memegang kepalanya yang pusing. Kejadian itu memang membawa luka yang cukup dalam baginya. Tentu, tidak mungkin Helena akan lupa begitu saja. Namun Helena bersikeras untuk mengabaikan potongan-potongan memori buruk itu. Tapi siapa sangka itu akan membawanya ke dalam mimpi buruk. “Aku harus minum sesuatu untuk menenangkanku,” gumamnya lalu bangkit dari tempat tidur. Helena lalu melangkah keluar dari kamar dan terlihat lorong lantai ini begitu sunyi. “Tentu saja semuanya sudah tidur.” Meski sepi, tetapi beruntung penerangan di mansion pada waktu ini masih terbilang cukup terang. Walau ada beberapa area yang gelap. Dapur berada di lantai paling dasar. Harus melewati pintu halaman belakang dulu untuk mencapai ke sana. Kare
“𝘜𝘨𝘩 … lukaku.” Saat Helena melihat bekas jahitan di pinggang kanannya, dia merasa sedikit jijik. Luka ini seolah meninggalkan banyak trauma yang tak dapat Helena lupakan. Namun baginya, trauma merupakan hal yang lebih baik dihadapi saja agar berdamai dengan sendirinya. Meski sebagian dalam dirinya menolak akan hal tersebut. Pagi di Berlin dapat mencapai 11 derajat atau bahkan kurang dari itu mengingat ini masih musim gugur. Terkadang hidung Helena akan terasa beku mendadak sebab dia sebenarnya tidak begitu kuat dengan suhu dingin. Meski begitu, Helena masih menikmati kota di negara ini. Bisa dikatakan bahwa semalam adalah hari pertama Helena tidur di tempat tinggal yang baru yakni mansion Hanstedorf. Dia masih tidak menyangka bahwa kamarnya cukup luas, sedikit lebih dari kamar yang berada di apartemennya. Helena tidur cukup pulas yang menandakan dia memang nyaman. Pagi ini Helena akan sarapan untuk pertama kalinya di sini. Langkah kakinya menuruni anak tangga dengan perlahan. “
Hari telah berganti dan hari ini adalah hari pertama Helena bekerja di tempat keluarga Hanstedorf. Helena mengemasi beberapa barangnya untuk dibawa ke mansion tersebut. Sedikit demi sedikit dia akan membawa beberapa barang pentingnya pindah. Helena tidak berniat untuk mengosongkan apartemen begitu saja. Sebab, tempat itu dapat digunakan untuk keluarganya jika mereka berkunjung. Helena sendiri sebenarnya masih tidak menyangka akan mendapat pekerjaan baru dengan cara seperti ini. Entah itu hasil rekomendasi ayahnya atau bukan, setidaknya Helena dapat kembali beraktifitas. Lagipula dia merasa bahwa keluarga Hanstedorf memiliki kenyamanan tersendiri baginya. Dimulai dari Sarah, Luke, lalu Jason, semuanya ramah dan baik kepadanya. Helena tidak ingin terlalu naif tetapi bisa dikatakan bahwa instingnya selalu benar. Meski dirinya belum berkenalan lebih jauh dengan beberapa orang lainnya di mansion itu, tetapi itu sudah cukup bagi Helena. Helena ingin melakukan yang terbaik meski pekerjaanny