Share

Hati Sang Bayangan
Hati Sang Bayangan
Penulis: Annelieser

1. Tragedi Italia

Hahahahaha kita sebentar lagi akan menjadi kaya raya!” ucap salah satu seorang pria dengan suara begitu keras, yang disusul oleh sorakan meriah dari beberapa pria lainnya di dalam ruangan tersebut. Suasana saat ini begitu pekat, berisik, dan kotor. Semua tampak begitu bahagia terkecuali satu orang yang mulutnya terikat sobekan kain dengan erat. Itu adalah seorang wanita yang keadaannya begitu lusuh dan penuh dengan beberapa luka di sekitar wajah serta tubuhnya. Kedua tangannya tak dapat bergerak sebab rantai yang mengikatnya begitu kuat. Dia hanya memasang wajah sendu dengan tubuh kecilnya yang sudah lemas. Matanya juga sembab dan dirinya berpikir bahwa jiwanya sudah tidak ada di raganya saat ini.

Dia hanya ingin mati.

Tapi itu tidak dibiarkan terjadi. Para penculik-penculik tersebut masih berusaha keras untuk membuatnya tetap hidup meski dia terus disiksa berkali-kali hanya untuk membuat sebuah ancaman kepada keluarganya. Bahkan air matanya saja sudah kering. Dia lelah. Dia hanya ingin mati saja kalau sudah begini. Rasa sakit yang dia rasakan saat ini seperti sedang berjalan di atas duri yang terbakar.

“Selagi menunggu keluarga itu ke sini, bagaimana dengan wanita itu? Apa kita harus tetap membuatnya hidup?” tanya salah seorang pria yang memakai 𝘣𝘦𝘢𝘯𝘪𝘦 berwarna biru gelap. Pertanyaan itu dilontarkan untuk ketuanya. Sang ketua hanya menatap sengit ke arah wanita yang terikat tak berdaya itu. Sebuah senyuman miring penuh kelicikan pun muncul di wajahnya.

“Biarkan dia tetap seperti itu. Kita akan menyiksanya perlahan sampai mereka datang. Jangan biarkan dia mati lebih dulu,” jawaban kejam itu dibalas oleh anggukan keras tanda setuju. Helena─sandera yang tubuhnya sudah terkulai lemah itu hanya mendengarkan dengan rasa sakit di dadanya. Dia ingin menangis begitu kencang. Namun matanya sudah sangat lelah mengeluarkan air mata. Dia berharap ini segera berakhir walau dia tidak tahu apakah dirinya akan tetap hidup atau tidak.

“Ayah … Ibu …,” rintihan kecil itu cukup menyiksa batinnya. Luka-luka di sekujur tubuhnya sakit tak terelakan namun hatinya yang rapuh itu lebih hancur dari segalanya. Kenapa bisa seperti ini? Kenapa harus dirinya yang menjadi korban?

Helena bukanlah wanita lemah. Fisik dan mentalnya secara utuh sangat kuat walau tubuhnya terbilang cukup kecil. Dia bukannya tidak bisa melawan. Tapi sialnya dia saat ini sedang lengah. Bisa dikatakan Helena merupakan mantan atlet taekwondo dan cukup menguasai beberapa ilmu dari Martial Arts. Biasanya dia dapat menjaga dirinya secara penuh namun hari sial sungguh tidak ada kalender. Saat perjalanan menuju Roma, Italia untuk liburan, tiba-tiba kilatan cahaya kegelapan datang begitu saja. Sepertinya dia sudah diintai cukup lama sehingga para penculik tersebut dengan mudah menjalankan rencana busuknya. Sampailah Helena di tempat yang tidak diketahui ini.

Salah satu pria dengan kupluk biru tua itu menghampirinya. Langkah pria tersebut sungguh membuat Helena cukup bergetar ketakutan. Pria tersebut lalu merendahkan tubuhnya sejajar dengan Helena. Dengan kasar, tangan pria itu mencengkram kuat dagunya hingga tertarik ke depan. Mata bertemu mata dan senyum miring terpampang di wajah pria penculik itu.

“Kau tahu? Pelacak ini dapat melihat pergerakan keluargamu, entah siapapun itu. Setiap langkah mereka yang semakin mendekat, kami akan menyiksamu sesuai dengan jumlah jaraknya,” ucap penculik tersebut yang membuat Helena tak bergeming. Pria itu lalu mengeluarkan pisau lipatnya dan diarahkan ke leher. “Kuakui kau manis tapi wajah dan tubuhmu saja tidak cukup untuk membayar semua kekacauan yang ayahmu perbuat.”

Bilah tajam itu perlahan membelai leher jenjang Helena. Helena hanya diam sembari menahan nafasnya. Matanya menyipit dengan pupil yang bergetar setiap mata pisau tersebut bergerak yang membuatnya tidak nyaman. Mendadak Helena meringis kecil saat bilah tersebut mulai sedikit menyayat sisi lehernya. Dia sangat ingin berteriak bahkan memukul orang yang ada di hadapannya ini jika saja kekuatannya tidak terkuras habis. Namun tubuhnya kaku bahkan dia mulai memejamkan matanya.

“Ada yang datang,” ucapan singkat itu menghentikan pergerakan pria dengan pisau lipat itu. Dia lalu menengok ke arah rekannya yang tampak sedang serius mendengarkan sesuatu.

“Siapa? Apakah itu mereka?” tanya sang ketua kepada pria berambut agak keriting dengan alis yang terangkat.

“Tapi di pelacak ini, mereka sama sekali belum bergerak,” timpa pria dengan kupluk sambil memperhatikan tanda merah kecil di alat pelacak tersebut. Semua agak terheran apakah ini hanya gurauan atau bukan.

“Tapi saya mendengar suara langkah kaki di sekitar sini.” Pernyataan pria berambut agak keriting tersebut cukup membuat semuanya terdiam dan saling melihat satu sama lain. Perlahan mereka berkumpul seolah bersiap jika ada penyusup yang menghampiri.

“Jika ini hanya gurauanmu, kepalamu akan menghilang, Tando,” ancam sang ketua sembari mengeluarkan senjata apinya. Masing-masing mereka telah memegang senjata dan memasang sikap bersiaga di dekat pintu. Mereka saling memberi kode mulut tanpa suara untuk meyakinkan apakah langkah yang didengar memang benar adanya. Mereka pun terdiam beberapa detik.

“.....”

“.....”

Tak ada suara yang berarti tapi keadaan semakin terasa mencurigakan. Bahkan Helena yang setengah tersadar pun hanya terdiam dengan perasaan yang tak menentu. Lalu ketua tersebut memerintahkan salah satu bawahannya untuk mendekat ke arah pintu dan mengeceknya. Saat pria bernama Tando itu berjalan perlahan dan mulai membuka pintu, lorong di bangunan itu terlihat sunyi. Penerangan yang agak redup juga masih terlihat sama seperti sebelumnya. Keheningan tersebut seolah menjadi jawaban bahwa suara yang dia dengar sebelumnya hanya ilusi.

Tando berbalik untuk memberi jawaban dengan gelengan kepala. Namun sesaat dirinya melangkah untuk kembali masuk, tubuhnya mendadak kaku beberapa detik sebelum ambruk ke tanah. Beberapa pasang mata yang terbelalak melihat kejadian secepat kilat itu terbujur kaku saat kepala rekannya tersebut ternyata tertancap sebuah lemparan pisau. Darah menggenang begitu banyak di sekitaran.

“Si-sial!”

Tak butuh waktu lama saat sebuah granat asap tiba-tiba terlempar ke dalam ruangan. Seketika ruangan tersebut dipenuhi oleh asap putih yang cukup tebal dan membuat semua orang yang ada di sanaㅡbahkan Helena sekalipun terbatuk-batuk. Mata mereka terasa perih, namun para penculik tersebut harus tetap bersiaga sebab ini jelas sebuah penyusupan.

Mereka sangat memperhatikan suara atau gerakan kecil sekalipun meski penglihatan mereka sangat terbatas saat ini. Tak ada langkah atau suara yang terdengar. Sampai saat pria dengan beanie berwarna biru tua tersebut mendadak ambruk dengan luka sayatan cukup besar di lehernya. Mendengar ada suara ambrukan di tanah itu membuat yang lainnya semakin waspada.

“Joral? Joral!? 𝘈𝘬𝘩ㅡ”

Mulutnya seketika dibekap dan lehernya tertancap pisau oleh seseorang tak diketahui yang membuatnya langsung tewas. Satu lagi tubuh korban yang ambruk dan semua terjadi begitu cepat seolah mereka diburu oleh 𝘣𝘢𝘺𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯 yang berbahaya. Kecemasan mulai muncul di benak masing-masing sisa penculik tersebut. Sudah ada 3 korban yang berjatuhan dan ini merupakan hal yang sangat mengancam.

“Siapa pengecut yang datang ke sini?! Keluarlah kau, bajingan!” geram sang ketua dengan urat yang muncul di dahinya. Disisi lain, Helena tak melihat begitu jelas dengan apa yang terjadi saat ini. Kepalanya sangat pusing sehingga dia ingin pingsan saja. Tapi tubuhnya seolah menolak untuk hal tersebut dan ini membuat dirinya tersiksa. Sepertinya obat yang diberikan penculik tersebut sebelumnya masih belum reda efeknya.

Sosok bayangan yang tak diketahui ini kembali menjatuhkan dua korban selanjutnya dan masing-masing diserang dengan luka yang hampir sama dengan yang sebelumnya. Entah pelaku gila mana yang dapat melakukan semua ini dengan cepat. Bahkan saat mereka mencoba menembak dengan acak, itu sama sekali tidak berguna. Kini, hanya dua penculik yang tersisa, termasuk sang ketuanya.

Ck! Bajingan ini … Leon, bawa wanita itu sekarang! Kita akan pergi dari sini.”

“Baik Bos!”

Pria bernama Leon itu langsung berbalik dan melangkah menuju Helena yang kondisinya sungguh terlihat buruk. Meski asap putih belum sepenuhnya hilang, tapi penglihatan sudah mulai kembali normal. Sang ketua masih berwaspada melihat sekitar dan perlihat terlihat banyaknya mayat dari rekan-rekannya yang tewas.

“Orang gila mana yang melakukan ini semua.”

Hanya ada satu nama yang sebenarnya muncul dibenaknya. Namun dia tepis jauh-jauh karena rasanya jauh dari kata mungkin.

“Tidak mungkin itu 𝘮𝘦𝘳𝘦𝘬𝘢 ….”

Selagi masih mewaspadai sekitar dan menunggu Leon datang dari bilik tembok, dia merasa curiga sebab anggotanya itu tak kunjung datang membawa sanderanya.

“Leon?”

Merasa janggal, sang ketua melangkah menuju posisi di mana Helena dibekap. Namun pupil matanya langsung mengecil kala rasa terkejutnya melihat Leon sudah terbujur kaku di tanah dengan bergelimang warna merah pekat.

“Sial sial sial!”

Baru hanya mengungkapkan umpatan semata, kini lehernya harus tergores dengan senjata tajam yang membuatnya sedikit bergetar saat darah segar mengalir deras. Matanya yang berkunang melihat satu sosok pria dengan wajah yang tertutup topeng dan pakaian serba hitam. Tak butuh lama untuk membuatnya ambruk seketika dan ruangan tersebut langsung senyap.

Helena yang masih tak paham apa yang terjadi, dengan mata sayu serta penglihatan samar melihat apa yang di depannya seperti sebuah cuplikan mimpi. Dua mayat berada di depannya dan membuat Helena berpikir bahwa dirinya mungkin korban selanjutnya. Sesosok pria berpakaian serba hitam itu perlahan menghampirinya. Meski pandangannya buram, tapi Helena dapat melihat topeng yang dikenakan pria itu mendekat ke arahnya. Sarung tangan hitam yang tercium bau darah menyentuh wajahnya dan membuka lilitan kain yang menutupi mulutnya selama ini.

“Kamu siapa … apakah aku … akan mati??”

Pertanyaan dengan suara yang serak dan tertatih itu tak dijawab oleh pria misterius di depannya. Namun Helena bisa merasakan bahwa pria tersebut sedang melepas rantai yang mengikat tangannya dan terlihat jelas luka yang buruk di sekitar pergelangan tangannya akibat gesekan. Tubuhnya seketika digendong oleh pria tersebut dengan tiba-tiba. Helena jelas tak paham apa yang terjadi. Apakah ini penyelamatan atau dia kembali diculik oleh geng yang berbeda?

Tubuhnya yang lemah hanya pasrah saat pria itu membawanya pergi keluar dari bangunan tersebut. Entah ke mana dirinya akan dibawa, namun dia tidak merasakan ancaman yang terlalu bahaya. Namun yang dia tau pasti, pria yang menggendongnya ini jelas berbahaya. Meski rasanya tidak begitu nyaman dan membingungkan, kepalanya makin terasa sakit.

Udara menyapu rambut dan untuk pertama kalinya setelah cukup lama terkurung di bangunan, Helena seolah berada di dunia lain.

“Wow, kau cepat sekali, kawan.”

“Buka pintunya.”

Pria berpakaian hitam lainnya membukakan pintu mobil dan Helena dibawa masuk ke dalam. Helena tak mendengar jelas apa yang mereka perbincangkan saat ini. Tapi dia yakin bahwa pria misterius itu ternyata tidak sendirian.

“Apa aku diculik lagi?” gumamnya dengan nada begitu rendah. Lalu pria bertopeng itu kembali menghampirinya dengan setengah badannya yang masuk ke dalam mobil belakang.

“Beristirahatlah.”

Ucapan singkat yang tak terdengar begitu jelas di telinga Helena itu membuatnya sedikit mengernyitkan dahi. Seketika pria itu melakukan sesuatu yang terduga. Dia mengeluarkan sebuah obat kecil yang diteteskan ke sapu tangan. Lalu membekapnya ke arah hidungnya. Helena ingin memberontak tapi kekuatan obat ituㅡyang diyakini adalah 𝘬𝘭𝘰𝘳𝘰𝘧𝘰𝘳𝘮, berdosis sangat kuat dan sangat menyengat. Tubuhnya pun semakin melemah dan pandangannya tambah kabur. Seketika, semuanya menjadi gelap.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status