“Hahahahaha kita sebentar lagi akan menjadi kaya raya!” ucap salah satu seorang pria dengan suara begitu keras, yang disusul oleh sorakan meriah dari beberapa pria lainnya di dalam ruangan tersebut. Suasana saat ini begitu pekat, berisik, dan kotor. Semua tampak begitu bahagia terkecuali satu orang yang mulutnya terikat sobekan kain dengan erat. Itu adalah seorang wanita yang keadaannya begitu lusuh dan penuh dengan beberapa luka di sekitar wajah serta tubuhnya. Kedua tangannya tak dapat bergerak sebab rantai yang mengikatnya begitu kuat. Dia hanya memasang wajah sendu dengan tubuh kecilnya yang sudah lemas. Matanya juga sembab dan dirinya berpikir bahwa jiwanya sudah tidak ada di raganya saat ini.
Dia hanya ingin mati. Tapi itu tidak dibiarkan terjadi. Para penculik-penculik tersebut masih berusaha keras untuk membuatnya tetap hidup meski dia terus disiksa berkali-kali hanya untuk membuat sebuah ancaman kepada keluarganya. Bahkan air matanya saja sudah kering. Dia lelah. Dia hanya ingin mati saja kalau sudah begini. Rasa sakit yang dia rasakan saat ini seperti sedang berjalan di atas duri yang terbakar. “Selagi menunggu keluarga itu ke sini, bagaimana dengan wanita itu? Apa kita harus tetap membuatnya hidup?” tanya salah seorang pria yang memakai 𝘣𝘦𝘢𝘯𝘪𝘦 berwarna biru gelap. Pertanyaan itu dilontarkan untuk ketuanya. Sang ketua hanya menatap sengit ke arah wanita yang terikat tak berdaya itu. Sebuah senyuman miring penuh kelicikan pun muncul di wajahnya. “Biarkan dia tetap seperti itu. Kita akan menyiksanya perlahan sampai mereka datang. Jangan biarkan dia mati lebih dulu,” jawaban kejam itu dibalas oleh anggukan keras tanda setuju. Helena─sandera yang tubuhnya sudah terkulai lemah itu hanya mendengarkan dengan rasa sakit di dadanya. Dia ingin menangis begitu kencang. Namun matanya sudah sangat lelah mengeluarkan air mata. Dia berharap ini segera berakhir walau dia tidak tahu apakah dirinya akan tetap hidup atau tidak. “Ayah … Ibu …,” rintihan kecil itu cukup menyiksa batinnya. Luka-luka di sekujur tubuhnya sakit tak terelakan namun hatinya yang rapuh itu lebih hancur dari segalanya. Kenapa bisa seperti ini? Kenapa harus dirinya yang menjadi korban? Helena bukanlah wanita lemah. Fisik dan mentalnya secara utuh sangat kuat walau tubuhnya terbilang cukup kecil. Dia bukannya tidak bisa melawan. Tapi sialnya dia saat ini sedang lengah. Bisa dikatakan Helena merupakan mantan atlet taekwondo dan cukup menguasai beberapa ilmu dari Martial Arts. Biasanya dia dapat menjaga dirinya secara penuh namun hari sial sungguh tidak ada kalender. Saat perjalanan menuju Roma, Italia untuk liburan, tiba-tiba kilatan cahaya kegelapan datang begitu saja. Sepertinya dia sudah diintai cukup lama sehingga para penculik tersebut dengan mudah menjalankan rencana busuknya. Sampailah Helena di tempat yang tidak diketahui ini. Salah satu pria dengan kupluk biru tua itu menghampirinya. Langkah pria tersebut sungguh membuat Helena cukup bergetar ketakutan. Pria tersebut lalu merendahkan tubuhnya sejajar dengan Helena. Dengan kasar, tangan pria itu mencengkram kuat dagunya hingga tertarik ke depan. Mata bertemu mata dan senyum miring terpampang di wajah pria penculik itu. “Kau tahu? Pelacak ini dapat melihat pergerakan keluargamu, entah siapapun itu. Setiap langkah mereka yang semakin mendekat, kami akan menyiksamu sesuai dengan jumlah jaraknya,” ucap penculik tersebut yang membuat Helena tak bergeming. Pria itu lalu mengeluarkan pisau lipatnya dan diarahkan ke leher. “Kuakui kau manis tapi wajah dan tubuhmu saja tidak cukup untuk membayar semua kekacauan yang ayahmu perbuat.” Bilah tajam itu perlahan membelai leher jenjang Helena. Helena hanya diam sembari menahan nafasnya. Matanya menyipit dengan pupil yang bergetar setiap mata pisau tersebut bergerak yang membuatnya tidak nyaman. Mendadak Helena meringis kecil saat bilah tersebut mulai sedikit menyayat sisi lehernya. Dia sangat ingin berteriak bahkan memukul orang yang ada di hadapannya ini jika saja kekuatannya tidak terkuras habis. Namun tubuhnya kaku bahkan dia mulai memejamkan matanya. “Ada yang datang,” ucapan singkat itu menghentikan pergerakan pria dengan pisau lipat itu. Dia lalu menengok ke arah rekannya yang tampak sedang serius mendengarkan sesuatu. “Siapa? Apakah itu mereka?” tanya sang ketua kepada pria berambut agak keriting dengan alis yang terangkat. “Tapi di pelacak ini, mereka sama sekali belum bergerak,” timpa pria dengan kupluk sambil memperhatikan tanda merah kecil di alat pelacak tersebut. Semua agak terheran apakah ini hanya gurauan atau bukan. “Tapi saya mendengar suara langkah kaki di sekitar sini.” Pernyataan pria berambut agak keriting tersebut cukup membuat semuanya terdiam dan saling melihat satu sama lain. Perlahan mereka berkumpul seolah bersiap jika ada penyusup yang menghampiri. “Jika ini hanya gurauanmu, kepalamu akan menghilang, Tando,” ancam sang ketua sembari mengeluarkan senjata apinya. Masing-masing mereka telah memegang senjata dan memasang sikap bersiaga di dekat pintu. Mereka saling memberi kode mulut tanpa suara untuk meyakinkan apakah langkah yang didengar memang benar adanya. Mereka pun terdiam beberapa detik. “.....” “.....” Tak ada suara yang berarti tapi keadaan semakin terasa mencurigakan. Bahkan Helena yang setengah tersadar pun hanya terdiam dengan perasaan yang tak menentu. Lalu ketua tersebut memerintahkan salah satu bawahannya untuk mendekat ke arah pintu dan mengeceknya. Saat pria bernama Tando itu berjalan perlahan dan mulai membuka pintu, lorong di bangunan itu terlihat sunyi. Penerangan yang agak redup juga masih terlihat sama seperti sebelumnya. Keheningan tersebut seolah menjadi jawaban bahwa suara yang dia dengar sebelumnya hanya ilusi. Tando berbalik untuk memberi jawaban dengan gelengan kepala. Namun sesaat dirinya melangkah untuk kembali masuk, tubuhnya mendadak kaku beberapa detik sebelum ambruk ke tanah. Beberapa pasang mata yang terbelalak melihat kejadian secepat kilat itu terbujur kaku saat kepala rekannya tersebut ternyata tertancap sebuah lemparan pisau. Darah menggenang begitu banyak di sekitaran. “Si-sial!” Tak butuh waktu lama saat sebuah granat asap tiba-tiba terlempar ke dalam ruangan. Seketika ruangan tersebut dipenuhi oleh asap putih yang cukup tebal dan membuat semua orang yang ada di sanaㅡbahkan Helena sekalipun terbatuk-batuk. Mata mereka terasa perih, namun para penculik tersebut harus tetap bersiaga sebab ini jelas sebuah penyusupan. Mereka sangat memperhatikan suara atau gerakan kecil sekalipun meski penglihatan mereka sangat terbatas saat ini. Tak ada langkah atau suara yang terdengar. Sampai saat pria dengan beanie berwarna biru tua tersebut mendadak ambruk dengan luka sayatan cukup besar di lehernya. Mendengar ada suara ambrukan di tanah itu membuat yang lainnya semakin waspada. “Joral? Joral!? 𝘈𝘬𝘩ㅡ” Mulutnya seketika dibekap dan lehernya tertancap pisau oleh seseorang tak diketahui yang membuatnya langsung tewas. Satu lagi tubuh korban yang ambruk dan semua terjadi begitu cepat seolah mereka diburu oleh 𝘣𝘢𝘺𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯 yang berbahaya. Kecemasan mulai muncul di benak masing-masing sisa penculik tersebut. Sudah ada 3 korban yang berjatuhan dan ini merupakan hal yang sangat mengancam. “Siapa pengecut yang datang ke sini?! Keluarlah kau, bajingan!” geram sang ketua dengan urat yang muncul di dahinya. Disisi lain, Helena tak melihat begitu jelas dengan apa yang terjadi saat ini. Kepalanya sangat pusing sehingga dia ingin pingsan saja. Tapi tubuhnya seolah menolak untuk hal tersebut dan ini membuat dirinya tersiksa. Sepertinya obat yang diberikan penculik tersebut sebelumnya masih belum reda efeknya. Sosok bayangan yang tak diketahui ini kembali menjatuhkan dua korban selanjutnya dan masing-masing diserang dengan luka yang hampir sama dengan yang sebelumnya. Entah pelaku gila mana yang dapat melakukan semua ini dengan cepat. Bahkan saat mereka mencoba menembak dengan acak, itu sama sekali tidak berguna. Kini, hanya dua penculik yang tersisa, termasuk sang ketuanya. “Ck! Bajingan ini … Leon, bawa wanita itu sekarang! Kita akan pergi dari sini.” “Baik Bos!” Pria bernama Leon itu langsung berbalik dan melangkah menuju Helena yang kondisinya sungguh terlihat buruk. Meski asap putih belum sepenuhnya hilang, tapi penglihatan sudah mulai kembali normal. Sang ketua masih berwaspada melihat sekitar dan perlihat terlihat banyaknya mayat dari rekan-rekannya yang tewas. “Orang gila mana yang melakukan ini semua.” Hanya ada satu nama yang sebenarnya muncul dibenaknya. Namun dia tepis jauh-jauh karena rasanya jauh dari kata mungkin. “Tidak mungkin itu 𝘮𝘦𝘳𝘦𝘬𝘢 ….” Selagi masih mewaspadai sekitar dan menunggu Leon datang dari bilik tembok, dia merasa curiga sebab anggotanya itu tak kunjung datang membawa sanderanya. “Leon?” Merasa janggal, sang ketua melangkah menuju posisi di mana Helena dibekap. Namun pupil matanya langsung mengecil kala rasa terkejutnya melihat Leon sudah terbujur kaku di tanah dengan bergelimang warna merah pekat. “Sial sial sial!” Baru hanya mengungkapkan umpatan semata, kini lehernya harus tergores dengan senjata tajam yang membuatnya sedikit bergetar saat darah segar mengalir deras. Matanya yang berkunang melihat satu sosok pria dengan wajah yang tertutup topeng dan pakaian serba hitam. Tak butuh lama untuk membuatnya ambruk seketika dan ruangan tersebut langsung senyap. Helena yang masih tak paham apa yang terjadi, dengan mata sayu serta penglihatan samar melihat apa yang di depannya seperti sebuah cuplikan mimpi. Dua mayat berada di depannya dan membuat Helena berpikir bahwa dirinya mungkin korban selanjutnya. Sesosok pria berpakaian serba hitam itu perlahan menghampirinya. Meski pandangannya buram, tapi Helena dapat melihat topeng yang dikenakan pria itu mendekat ke arahnya. Sarung tangan hitam yang tercium bau darah menyentuh wajahnya dan membuka lilitan kain yang menutupi mulutnya selama ini. “Kamu siapa … apakah aku … akan mati??” Pertanyaan dengan suara yang serak dan tertatih itu tak dijawab oleh pria misterius di depannya. Namun Helena bisa merasakan bahwa pria tersebut sedang melepas rantai yang mengikat tangannya dan terlihat jelas luka yang buruk di sekitar pergelangan tangannya akibat gesekan. Tubuhnya seketika digendong oleh pria tersebut dengan tiba-tiba. Helena jelas tak paham apa yang terjadi. Apakah ini penyelamatan atau dia kembali diculik oleh geng yang berbeda? Tubuhnya yang lemah hanya pasrah saat pria itu membawanya pergi keluar dari bangunan tersebut. Entah ke mana dirinya akan dibawa, namun dia tidak merasakan ancaman yang terlalu bahaya. Namun yang dia tau pasti, pria yang menggendongnya ini jelas berbahaya. Meski rasanya tidak begitu nyaman dan membingungkan, kepalanya makin terasa sakit. Udara menyapu rambut dan untuk pertama kalinya setelah cukup lama terkurung di bangunan, Helena seolah berada di dunia lain. “Wow, kau cepat sekali, kawan.” “Buka pintunya.” Pria berpakaian hitam lainnya membukakan pintu mobil dan Helena dibawa masuk ke dalam. Helena tak mendengar jelas apa yang mereka perbincangkan saat ini. Tapi dia yakin bahwa pria misterius itu ternyata tidak sendirian. “Apa aku diculik lagi?” gumamnya dengan nada begitu rendah. Lalu pria bertopeng itu kembali menghampirinya dengan setengah badannya yang masuk ke dalam mobil belakang. “Beristirahatlah.” Ucapan singkat yang tak terdengar begitu jelas di telinga Helena itu membuatnya sedikit mengernyitkan dahi. Seketika pria itu melakukan sesuatu yang terduga. Dia mengeluarkan sebuah obat kecil yang diteteskan ke sapu tangan. Lalu membekapnya ke arah hidungnya. Helena ingin memberontak tapi kekuatan obat ituㅡyang diyakini adalah 𝘬𝘭𝘰𝘳𝘰𝘧𝘰𝘳𝘮, berdosis sangat kuat dan sangat menyengat. Tubuhnya pun semakin melemah dan pandangannya tambah kabur. Seketika, semuanya menjadi gelap.ㅡ 4 bulan kemudian ㅡ[Lena, apa kamu yakin akan melakukannya?] tanya seorang wanita paruh baya dari seberang telepon dengan nada khawatir. Helena yang masih berdandan di depan cermin pun menjawab dengan senyuman, walau senyumannya tersebut tak dapat dilihat oleh wanita paruh baya itu.“Tidak apa-apa, Ibu. Aku baik-baik saja. Lagipula, aku hanya perlu menggantikan ayah saja ‘kan?”[Itu memang benar tapi … bagaimana dengan kondisimu?]“Aku sehat 100%. Ibu tidak perlu khawatir, setelah acaranya usai, aku akan beristirahat.” Helena mencoba menenangkan sang ibunda yang masih mengkhawatirkan kondisinya. Sudah 4 bulan berlalu semenjak kejadian mematikan itu terjadi. Helena jelas mengingat hal tersebut ketika dirinya tersadar dari koma selama dua bulan. Dia masih bisa merasakan bagaimana tubuhnya disiksa oleh para penculik, disuntik obat yang tidak diketahui, dan membuatnya tidak dapat pingsan dengan mudah. Keinginannya untuk mati pada saat itu sangat tinggi. Bahkan dia meminta maaf kepada k
Pagi telah datang dan Helena yang memang rajin bangun pagi sudah lebih dulu membuat teh hangat. Suasana pagi di Berlin cukup dingin meski Helena memakai piyama berbahan tebal. Tidak ada jadwal yang menanti hari ini jadi Helena memutuskan untuk bersantai saja di apartemennya. “Apakah aku berbelanja saja nanti? Kebetulan makanan di sini juga hampir habis,” gumamnya sambil berjalan menuju sofa dan membawa segelas teh hangat. Dia lalu duduk dengan santai dan meminum teh tersebut dengan nikmat. Setelahnya Helena membuka ponsel dan terdapat cukup banyak pemberitahuan dari keluarga dan juga teman-temannya.[𝙈𝙚𝙨𝙨𝙖𝙜𝙚𝙨] 𝙈𝙤𝙢 𝙎𝙖𝙮𝙖𝙣𝙜, 𝙖𝙥𝙖𝙠𝙖𝙝 𝙠𝙖𝙢𝙪 𝙗𝙚𝙧𝙞𝙨𝙩𝙞𝙧𝙖𝙝𝙖𝙩 𝙙𝙚𝙣𝙜𝙖𝙣 𝙗𝙖𝙞𝙠? 𝙆𝙖𝙢𝙪 𝙩𝙞𝙙𝙖𝙠 𝙠𝙚𝙡𝙚𝙡𝙖𝙝𝙖𝙣 𝙨𝙖𝙖𝙩 𝙢𝙚𝙣𝙜𝙝𝙖𝙙𝙞𝙧𝙞 𝙖𝙘𝙖𝙧𝙖 𝙞𝙩𝙪, 𝙗𝙪𝙠𝙖𝙣? 𝙈𝙤𝙢 𝙏𝙤𝙡𝙤𝙣𝙜 𝙝𝙪𝙗𝙪𝙣𝙜𝙞 𝙄𝙗𝙪 𝙣𝙖𝙣𝙩𝙞 𝙃𝙖𝙣𝙣𝙖𝙝: 𝙆𝙖𝙠, 𝙖𝙥𝙖 𝙥𝙖𝙨𝙨𝙬𝙤𝙧𝙙 𝙡𝙖𝙥𝙩𝙤𝙥𝙢𝙪 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙙𝙞 𝙨𝙞𝙣𝙞? 𝙈𝙞𝙖 𝙈𝙚𝙡𝙞𝙨𝙨𝙖: 𝙃𝙚𝙞
“Aku harus segera mencari pekerjaan baru …,” gumam Helena dengan matanya yang agak lelah sebab sudah berjam-jam dirinya di depan laptop. Dirinya merevisi CV berkali-kali agar terlihat menarik para perusahaan. Sesekali dia meregangkan tangan dan tubuhnya itu. Lalu dia sedikit merintih saat bekas luka di bagian pinggang kanannya agak tertarik.“Aduh! Luka ini.”Jelas bahwa bekas luka itu berasal dari kejadian mematikan 4 bulan lalu. Sebenarnya Helena masih merasa takjub dengan dirinya sendiri karena masih dapat bertahan hidup hingga saat ini. Ya, meski itu memang tujuan para penculik untuk membuatnya tetap hidup agar dapat disiksa perlahan tetapi sedikit keberuntungannya itu membawa secercah kehidupan untuknya. Jika bukan karena pria misterius yang dulu pernah menyelamatkannya, mungkin tidak ada Helena saat ini.“Kira-kira, siapa ya orang itu?” gumamnya sambil bertanya-tanya dalam hati. Sebenarnya Helena masih merasa penasaran dengan pria bertopeng tak dikenal itu. Sebelumnya dia pernah
Hari telah berganti dan hari ini adalah hari pertama Helena bekerja di tempat keluarga Hanstedorf. Helena mengemasi beberapa barangnya untuk dibawa ke mansion tersebut. Sedikit demi sedikit dia akan membawa beberapa barang pentingnya pindah. Helena tidak berniat untuk mengosongkan apartemen begitu saja. Sebab, tempat itu dapat digunakan untuk keluarganya jika mereka berkunjung.Helena sendiri sebenarnya masih tidak menyangka akan mendapat pekerjaan baru dengan cara seperti ini. Entah itu hasil rekomendasi ayahnya atau bukan, setidaknya Helena dapat kembali beraktifitas. Lagipula dia merasa bahwa keluarga Hanstedorf memiliki kenyamanan tersendiri baginya. Dimulai dari Sarah, Luke, lalu Jason, semuanya ramah dan baik kepadanya. Helena tidak ingin terlalu naif tetapi bisa dikatakan bahwa instingnya selalu benar.Meski dirinya belum berkenalan lebih jauh dengan beberapa orang lainnya di mansion itu, tetapi itu sudah cukup bagi Helena. Helena ingin melakukan yang terbaik meski pekerjaannya
“𝘜𝘨𝘩 … lukaku.”Saat Helena melihat bekas jahitan di pinggang kanannya, dia merasa sedikit jijik. Luka ini seolah meninggalkan banyak trauma yang tak dapat Helena lupakan. Namun baginya, trauma merupakan hal yang lebih baik dihadapi saja agar berdamai dengan sendirinya. Meski sebagian dalam dirinya menolak akan hal tersebut.Pagi di Berlin dapat mencapai 11 derajat atau bahkan kurang dari itu mengingat ini masih musim gugur. Terkadang hidung Helena akan terasa beku mendadak sebab dia sebenarnya tidak begitu kuat dengan suhu dingin. Meski begitu, Helena masih menikmati kota di negara ini.Bisa dikatakan bahwa semalam adalah hari pertama Helena tidur di tempat tinggal yang baru yakni mansion Hanstedorf. Dia masih tidak menyangka bahwa kamarnya cukup luas, sedikit lebih dari kamar yang berada di apartemennya. Helena tidur cukup pulas yang menandakan dia memang nyaman. Pagi ini Helena akan sarapan untuk pertama kalinya di sini. Langkah kakinya menuruni anak tangga dengan perlahan.“Hel
Malam telah menunjukkan waktu dini hari dan Helena mendadak terbangun dengan keringat dingin di pelipisnya. Kepalanya terasa berat. Mimpi buruk tentang penculikannya mendadak menghantui alam bawah sadarnya. “Sial … ini bahkan masuk ke mimpiku,” gerutu Helena sembari memegang kepalanya yang pusing. Kejadian itu memang membawa luka yang cukup dalam baginya. Tentu, tidak mungkin Helena akan lupa begitu saja. Namun Helena bersikeras untuk mengabaikan potongan-potongan memori buruk itu. Tapi siapa sangka itu akan membawanya ke dalam mimpi buruk.“Aku harus minum sesuatu untuk menenangkanku,” gumamnya lalu bangkit dari tempat tidur. Helena lalu melangkah keluar dari kamar dan terlihat lorong lantai ini begitu sunyi.“Tentu saja semuanya sudah tidur.”Meski sepi, tetapi beruntung penerangan di mansion pada waktu ini masih terbilang cukup terang. Walau ada beberapa area yang gelap. Dapur berada di lantai paling dasar. Harus melewati pintu halaman belakang dulu untuk mencapai ke sana. Karena