“Mr. Raymond, Anda memiliki beberapa panggilan beruntun dari Miss Cecilia.”
Albert menjatuhkan pena di tangannya dengan muak, lalu menatap bawahannya dingin. “Maurice, kau berani mengganggu pekerjaanku dengan alasan setidak penting itu.”
Maurice, sekretarisnya, menunduk dalam. “Maafkan saya, Sir, tapi seperti yang saya katakan, panggilannya datang secara beruntun sedari tadi, jadi saya berpikir mungkin ada hal penting yang ingin Miss Cecilia bicarakan.”
“Keluar!” titah Albert dengan dingin.
“Ya, Sir.” Maurice langsung keluar dari ruang kerjanya.
Setelah itu, Albert melepas kacamatanya, menghempaskannya ke meja, lalu memijat pangkal hidungnya sambil menahan rasa pening di kepala dan matanya yang terasa lelah.
Dia baru saja memutuskan hubungan dengan kekasihnya yang telah menjalin hubungan dengannya selama lima hari. Lima hari yang sama sekali tidak berarti. Albert memutuskan wanita berambut pirang itu sesaat setelah dia menyinggung masalah keseriusan hubungan mereka.
Albert tidak butuh dan tidak menginginkannya sedikit pun.
Hubungannya bersama kekasih-kekasihnya selama ini hanya sebatas seks saja, tidak pernah lebih dari itu. Albert sebagai pria yang prima tentu saja memiliki gairah yang besar. Dan kontrol dirinya nyaris sama besar dengan gairah yang ia miliki itu. Tapi untuk apa dia menahan-nahan diri di saat perempuan-perempuan itu melemparkan diri mereka padanya secara sukarela? Albert tentu saja menyambutnya dengan tangan terbuka, selama yang perempuan-perempuan itu inginkan sama seperti yang Albert juga inginkan. Bahkan juga tidak lupa, Albert menghadiahi perempuan-perempuan itu dengan pakaian dan perhiasan-perhiasan mahal.
Selama empat tahun belakangan, Albert tidak pernah kesusahan untuk menyalurkan gairah seksnya. Dan semenjak kejadian yang membuatnya tidak lagi memandang tinggi kaum perempuan, nama Albert merebak sebagai playboy incaran banyak wanita.
Dan memang benar, dia adalah seorang billionaire playboy, bahkan setelah menyandang status sebagai suami pun, kelakuannya masih sama, dan Albert pun tidak berniat mengubahnya. Terlebih, setelah mengetahui kelakuan istrinya yang super dingin dan sama sekali tidak menaruh perhatian padanya, tekad Albert semakin kuat untuk bermain-main.
Albert menikahi Sophia semata-mata untuk keperluan bisnis yang ayah gadis itu tawarkan padanya. Bisnis dengan keuntungan yang tidak bisa diabaikan. Dan sepertinya, Louis Abraham juga berpikir hal yang sama.
Ketika ayah gadis itu memberikannya si anak bungsu sebagai bentuk pertalian erat perjanjian mereka, Albert tidak menolak. Dibanding kedua kakaknya, Sophia jauh lebih tertutup dan pendiam. Kriteria yang sangat cocok dengan Albert, karena dengan itu dia tidak akan menuntut apa pun seperti perempuan-perempuan yang selama ini bersamanya.
Albert sempat berpikir untuk serius pada pernikahannya, namun setelah malam pengantin mereka di mana Sophia menolaknya secara mentah-mentah, Albert langsung berubah pikiran. Terlebih, setelahnya Sophia tampak tidak peduli dengan apa pun yang Albert lakukan.
Si gadis manja yang sombong, itulah yang Albert pikirkan.
Albert bahkan terkadang lupa bahwa dia tidak sendiri tinggal di rumah. Karena Sophia lebih sering mengurung diri di kamar. Sehingga Albert merasa bahwa kehidupan pernikahannya tidak jauh berbeda dengan masa lajangnya. Sophia sedikit pun tidak berniat melakukan tugasnya sebagai istri, begitu pun dengan Albert. Maka status mereka hanya tercatat di secarik kertas, tidak lebih dari itu.
Malam ini, setelah berhasil keluar dari segala kesibukan pekerjaan, Albert pulang ke rumahnya, di malam Jumat seperti biasa. Dia mendapati keadaan rumah yang sepi dan sunyi. Padahal dari laporan pegawai rumahnya, Sophia tidak pernah keluar kemana pun semenjak pesta itu.
Apa yang perempuan itu lakukan di kesehariannya?
Albert memang tidak terlalu peduli, hanya penasaran.
Dia langsung masuk ke dalam kamarnya dan mengunci diri di dalam. Albert melonggarkan dasinya, melepas pakaiannya dan masuk ke kamar mandi. Setelah itu, dia membaringkan tubuhnya ke atas ranjang.
Tatapannya menatap langit-langit kamar, pada coretan-coretan cat yang abstrak. Namun, setelah lama berbaring, Albert tidak kunjung merasa kantuk. Napasnya semakin berat dan dia bangkit untuk menaikkan suhu ruangan. Setelah itu, Albert berbaring, dengan selimut yang ia hamparkan menutupi tubuhnya.
***
Pada Jumat pagi, Sophia keluar dari kamarnya untuk sarapan. Sejenak, dia berhenti di depan pintu kamarnya, menoleh ke kiri, pada pintu cokelat tua yang tertutup rapat. Lalu Sophia melanjutkan langkahnya lagi dan menepis pemikiran tidak perlu di kepalanya.
Albert hanya memperkerjakan satu pengurus rumah, Mrs. Florence, atau Dana. Saat ini, wanita paruh baya itu tengah memasak sarapan di dapur. Sophia pernah berkeinginan untuk membantunya dalam hal memasak dan bersih-bersih, akan tetapi dia tidak pernah berhasil melakukan semuanya dengan benar. Dia tidak bisa memasak. Dia juga tidak bisa bersih-bersih.
Sophia menoleh ke arah tangga, pantas saja Albert tidak pernah menganggapnya, dia tidak cocok menjadi istri. Sophia sangat sadar diri pada kekurangannya itu yang terkadang menjadi sangat memuakkan. Tidak peduli sekeras apa dia mencoba, Sophia tidak pernah bisa melakukannya. Ditambah juga dengan perilaku Albert yang sama sekali tidak mencerminkan seorang suami, melenyapkan motivasi Sophia untuk menjadi seorang istri yang baik.
Sekarang, sembari menunggu Dana selesai membuatkannya panekuk, Sophia membaca artikel berita terkini dan mendapati sebuah berita mengenai tandasnya hubungan Albert Raymond dengan selingkuhannya.
Berita tidak penting, dengus Sophia dalam hati. Namun, dia tidak bisa menyingkirkan perasaan lega di dadanya yang muncul begitu saja setiap kali berita sejenis ini muncul. Akan tetapi, hal itu tidak cukup mampu untuk membuatnya berharap terlalu tinggi. Albert tetaplah Albert. Dalam beberapa hari lagi, gosip dirinya yang telah menggandeng wanita baru akan keluar. Anehnya, berita tidak penting itu, tetap dimuat pada halaman gosip untuk kaum wanita yang dipenuhi rasa penasaran oleh sosok Albert Raymond, si playboy yang paling diminati.
“Kenapa kau membaca berita semacam itu sepagi ini, Dear? Jangan merusak harimu dengan bacaan-bacaan tidak bermutu seperti itu,” komentar Dana yang telah meletakkan sepiring panekuk berlumur sirup bluberi dan segelas jus tomat segar di hadapan Sophia.
Sophia hanya tersenyum membalas ucapan Dana itu. Dia memotong panekuknya dengan garpu dan mulai menyuapkan potongannya ke mulut. “Apa semalam dia pulang?” tanya Sophia, tidak bisa menghentikan rasa penasarannya.
Dana mengangguk sembari berbalik merapikan peralatan masak. “Dia sepertinya pulang pada larut malam,” katanya.
“Hmmm,” sahut Sophia, menyuap potongan yang lain dari panekuk yang lezat itu, lalu menyeruput jus tomat kesukaannya.
“Tumben sekali dia belum keluar di jam segini.” Dana bergumam sembari menoleh ke arah tangga.
Sophia mengedikkan bahu, seolah tidak peduli, padahal di dalam di pun juga bertanya-tanya. Biasanya, Albert sarapan lebih dulu darinya, mungkin untuk menghindar dari keadaan canggung yang tidak mengenakkan. Karena itu juga, Sophia sengaja mengundurkan waktu sarapannya menjadi sedikit lebih siang.
“Apa dia baik-baik saja?” gumam Dana.
Dia baik-baik saja, batin Sophia yakin, terlalu yakin sampai dia nyaris terkekeh oleh ironi. Karena tidak mungkin, kan, seorang Albert Raymond menjadi tidak baik-baik saja hanya karena kandasnya hubungannya dengan sang kekasih gelap?
“Sebentar lagi aku harus pergi, aku memiliki janji dengan suamiku untuk mengambil tomat-tomat segar yang telah dipanennya. Apakah kau mau mengantarkan makanan ke kamar Albert, Dear?”
Sophia menghentikan kunyahannya sejenak, lalu mendongak menatap Dana dan menganggukkan kepala.
“Oh, baiklah, ini nampannya,” kata Dana. Tidak lama setelah itu, Dana pamit pergi.
Kemudian, Sophia selesai dengan sarapannya dan telah menghabiskan jus tomatnya. Dia bangkit dengan membawa nampan itu di kedua tangan.
Ketika sampai di depan pintu kamar Albert, Sophia sempat ragu sejenak. Namun pada akhirnya, dia mengetuk pintu itu perlahan, dan tidak ada sahutan.
Sophia mengetuknya sekali lagi, namun masih tidak ada sahutan. Apakah benar Albert semalam pulang? batin Sophia, mengetuk lagi dengan lebih keras. Masih tidak ada sahutan. Sampai pada ketukan keempat, pintu itu melayang terbuka, menampilkan sosok tinggi Albert berdiri di hadapan Sophia dan menatapnya dengan pandangan sayu.
Sophia mengernyit, menatap lelaki itu dari bawah sampai atas. Tubuh Albert yang tinggi sedikit membungkuk dengan sebelah tangan yang bertumpu pada kusen pintu. Wajahnya terlihat pucat dan berkeringat, bahkan dua kancing teratas baju tidurnya terbuka.
“Apa maumu?” tanyanya parau.
***
Sophia mengernyitkan dahi. “Kau baik-baik saja?”“Ya. Dan kalau kau tidak ada kepentingan datang kemari, sebaiknya jangan menggangguku!” tukas Albert sebelum tangannya bergerak menutup pintu. Namun dengan cepat dicegah oleh Sophia dengan kakinya.“Aku membawakanmu sarapan,” kata Sophia.“Ah ya, bilang pada Dana bahwa hari ini aku sepertinya tidak akan turun untuk makan.”Sophia tidak mau kalah ketika Albert hendak menutup pintu kamarnya lagi. “Ini sarapanmu!” tegas Sophia.Albert menghela napas, menatap Sophia jengkel, lalu tangannya terangkat hendak mengambil alih nampan itu dari tangan Sophia, tapi Sophia malah menjauhkannya. Albert berdecak semakin kesal.“Berikan—”“Tanganmu,” Sophia memotong, menatap tangan Albert yang gemetaran, dia tidak akan mampu mengangkat nampan itu tanpa membuat isinya tumpah.Albert sekali lagi menghela napas pasrah dan membuka pintunya lebih lebar. “Bawa ke dalam.”Tanpa disuruh dua kali, Sophia masuk ke dalam kamar Albert dan sedikit terkesiap oleh aroma
Sophia terbangun dari tidurnya dengan kesiap, seolah seseorang telah menyadarkannya dari alam mimpi, dia langsung bangkit dari posisinya dan mengedarkan pandang.Albert tengah bersandar di kepala ranjang, menatapnya datar. Dia tampak lebih baik dari sebelumnya. Sementara itu, Sophia berbaring di sampingnya. Padahal seingat Sophia dia tadi duduk di lantai dan bersandar pada pinggiran ranjang. Kapan dia tertidur dan pindah ke sini?Sophia berdeham, tidak ingin menerka-nerka kenapa dia bisa ada di atas ranjang ini, tidur di samping Albert.“Sudah merasa lebih baik?” tanya Sophia pada Albert sambil menurunkan kakinya ke lantai.Albert mengangguk singkat, menatap setiap pergerakan Sophia dengan raut datar.“Baguslah,” sahut Sophia, lalu melirik nampan di atas nakas yang entah sejak kapan isinya telah tandas. Dan tidak mungkin orang lain yang memakannya selain Albert, kan? Ketika Sophia menoleh ke belakang, Albert masih menatapnya, lalu dia tidak sengaja melihat buku di pangkuan Albert dan p
Berendam, memang pilihan yang tepat.Sophia kembali ke dapur dengan perasaan lebih baik. Namun perasaan itu tidak bertahan terlalu lama. Wajah Sophia memberengut saat melihat Albert, yang sedetik kemudian berubah terkejut melihat apa yang ternyata sedang laki-laki itu lakukan. Dia tengah mengangkat sesendok penuh masakan Sophia ke mulutnya.“Jangan dimakan!” cegah Sophia dengan cepat.Gerakan Albert langsung terhenti. “Kenapa?”“Pokoknya jangan!”“Memang kenapa? Apa kau sekarang sudah tidak sudi berbagi makanan denganku?” tanya Albert dengan tatapan jengah lalu menyuap potongan daging itu masuk ke dalam mulutnya.Tepat pada kunyahan pertama, Albert langsung berhenti dan matanya membelalak.Sophia hanya bisa meringis. “Aku sudah memperingatimu,” gumamnya.Albert melanjutkan kunyahannya dan menelan gumpalan daging alot super pedas itu dengan susah payah, lalu meminum segelas air setelahnya dalam sekali tegukan. “Kau memasak ini?!” tanyanya tidak percaya.Sophia mengangguk perlahan.“Lain
Albert tidak pernah membawa teman wanitanya ke rumah. Atau yang lebih suka Sophia sebut secara gamblang, selingkuhannya.Sophia tahu Albert memiliki unit apartemen mewah di kota, dan Sophia yakin ke sanalah Albert membawa selingkuhan-selingkuhannya singgah. Sophia sama sekali tidak merasa diperlakukan spesial karena hanya dirinya seoranglah yang Albert bawa ke sini. Tentu saja, karena dia istri pria itu.Tapi sekali lagi, label istri itu tidak membuat Sophia merasa lebih.Momen makan malam kemarin telah rusak dari pikiran Sophia ketika paginya dia membaca gosip tentang kembalinya si Pirang alias Cecile, ke pelukan Albert Raymond.Sophia tidak tahu mengapa seseorang benar-benar dibayar untuk menulis sesuatu semacam itu. Tidakkah mereka memiliki topik lain yang lebih bermanfaat untuk disajikan? Apa bagusnya dari mengintili kehidupan hubungan gelap seseorang dan menghardik rumah tangganya?Well, untuk beberapa orang, atau mungkin banyak orang, hal itu memang menarik untuk diikuti.Tapi So
Tidak lama kemudian, Millie Raymond datang. Wanita itu mengenakan jeans panjang, tanktop ketat berkerah sangat rendah yang memberi pemandangan lebih jelas pada payudara besarnya. Wajahnya dipoles makeup berat yang menguatkan kecantikannya. Rambutnya yang lurus dan sangat panjang digerai dan diwarnai pirang terang.Millie tampak mencolok, dan dia berjalan berlenggak-lenggok dengan sepatu berhak tinggi hitam, mengundang beberapa pasang mata tertuju padanya. Atau pada bokongnya yang seksi?Untuk seorang wanita yang telah menyandang status sebagai istri dari seorang pria konglomerat kaya raya, Millie tentu saja tampak sangat muda dan modern. Wajahnya cantik dengan tubuh yang berbentuk sempurna. Sophia tidak ingin tahu apakah itu asli atau hanya hasil rekayasa tangan-tangan ahli para dokter kecantikan.Ketika Millie telah sampai di meja mereka, wanita itu menyapa Albert dengan sangat antusias, lalu merunduk dan memeluk Albert, tidak lupa juga mendaratkan kecupan menggoda di pipinya.Sophia
“Aku sudah katakan padamu, trik ini tidak akan berhasil lagi. Percuma mengajakku ke pertemuan untuk menghindari godaan wanita-wanita itu. Di mata mereka, aku sudah tidak memiliki nilai apa pun sebagai istrimu.”Sophia menoleh pada Albert dan mendapati bahwa ternyata lelaki itu tengah menatapnya. Sophia mengalihkan pandang, menatap lalu lalang kendaraan yang lain dari balik kaca jendela.“Kenapa?” tanya Albert.Kenapa apanya? batin Sophia dengan enggan, kegetiran tersimpan di dalam.“Kenapa mereka akan berpikir seperti itu?”Sophia menatap Albert lagi, tatapannya dingin. “Tentu saja karena kau selingkuh dan tidur dengan wanita berbeda setiap minggunya. Apa kau pikir harga diriku sebagai seorang istri dan perempuan masih tersisa di mata mereka?” Sophia mencemooh.Tatapan Albert menajam dan dengan gerakan sangat cepat, dia mengukung Sophia ke jendela, memojokkannya.Mata Sophia melebar karena terkejut, jantungnya berdetak sangat cepat karena kedekatan wajah mereka.“Kalau kau keberatan, k
Albert membawa Sophia masuk ke dalam mobil dan tidak membiarkannya duduk terlalu jauh dari sisinya.“Lepaskan aku!” pinta Sophia, mencoba menjauh dari kungkungan tangan Albert yang menahannya di tempat. Wajah Sophia merona, ini sama saja seolah Albert tengah memeluknya.“Kau memiliki potensi untuk kabur kapan saja, aku tidak akan membiarkan itu.”“Kenapa?! Kau tidak akan peduli ke mana pun aku pergi! Jadi lepaskan aku!”Albert menggeram dan serta merta mengangkat tubuh Sophia sehingga duduk di atas pangkuannya. Kedua tangan Albert kembali mengungkungnya, lebih intim. Sedangkan untuk menjaga keseimbangannya, dengan refleks tangan Sophia mendarat di bahu pria itu.Sophia terkesiap, merasakan detak jantungnya seolah naik ke tenggorokan, lalu berdetak sangat kencang. “A-apa?!”Albert terkekeh. “Kita akan membahas ini di rumah, Sophie.”“Sudah kubilang, tidak ada yang perlu dibahas lagi!”“Ya, ada.” tatapan Albert menajam, menatap Sophia dengan penuh kuasa. “Ini penting bagiku.”Kepalan tan
Hal yang sedikit membuat Sophia terkejut adalah bahwa ternyata Albert memesankannya satu restoran sekaligus.Sophia tidak mengira lelaki itu benar-benar melakukannya ketika seorang pelayan datang memberikannya salam sebagai Mrs. Raymond. Mendengar nada panggilan pelayan itu membuat Sophia merasa diolok-olok. Jadi dia tidak menyahut ataupun tersenyum seperti dirinya yang biasa.Sophia dipersilakan untuk duduk, di sebuah meja yang telah diatur sedemikian rupa sehingga menampakkan kesan yang mewah dan romantis. Letaknya di samping jendela kaca besar yang langsung menyuguhkan pemandangan kota yang gemerlap.Sekalipun begitu, Sophia merasa sedikit kecewa karena ternyata Albert belum datang.Tipikalnya, pikir Sophia. Pasti sekarang dia tengah tenggelam di tumpukan kerjaannya.Sophia menunggu.Malam ini, dia hanya mengenakan gaun sederhana berwarna merah yang jatuh sampai bawah lututnya, berkerah cukup rendah, dan berlengan panjang yang terbuat dari brukat transparan. Sophia bahkan mengenakan