“Aku sudah katakan padamu, trik ini tidak akan berhasil lagi. Percuma mengajakku ke pertemuan untuk menghindari godaan wanita-wanita itu. Di mata mereka, aku sudah tidak memiliki nilai apa pun sebagai istrimu.”
Sophia menoleh pada Albert dan mendapati bahwa ternyata lelaki itu tengah menatapnya. Sophia mengalihkan pandang, menatap lalu lalang kendaraan yang lain dari balik kaca jendela.
“Kenapa?” tanya Albert.
Kenapa apanya? batin Sophia dengan enggan, kegetiran tersimpan di dalam.
“Kenapa mereka akan berpikir seperti itu?”
Sophia menatap Albert lagi, tatapannya dingin. “Tentu saja karena kau selingkuh dan tidur dengan wanita berbeda setiap minggunya. Apa kau pikir harga diriku sebagai seorang istri dan perempuan masih tersisa di mata mereka?” Sophia mencemooh.
Tatapan Albert menajam dan dengan gerakan sangat cepat, dia mengukung Sophia ke jendela, memojokkannya.
Mata Sophia melebar karena terkejut, jantungnya berdetak sangat cepat karena kedekatan wajah mereka.
“Kalau kau keberatan, kenapa kau tidak mulai mengemban tugasmu sebagai seorang istri?”
Sophia tidak membiarkan dirinya gemetar atau merasa terintimidasi seperti yang Albert inginkan. “Untuk apa? Menjadi seorang istri dari casanova sepertimu adalah sebuah kutukan. Dan kenapa hanya aku? Kenapa bukan kau saja yang lebih dulu mencoba mengembang tugasmu sebagai seorang suami, hm?”
Kilatan amarah di mata Albert terlihat semakin jelas. Dia mencengkram dagu Sophia dengan cukup kencang, mengundang kesiap wanita itu.
“Rubah licik sialan! Kau benar-benar tidak tahu apa pun, jadi jaga ucapanmu!”
Sophia memberontak dan melepaskan diri dari kungkungan Albert dengan amarah yang memuncak. “Kenapa hanya aku seorang yang harus menjaga ucapan dan perilakuku?! Sedangkan kau bebas melakukan apa pun yang kau mau!”
“Dengar—”
“Tidak! Kau yang dengar! Selama ini, setiap kali kau berulah dengan para selingkuhan sialanmu itu, yang selalu tertimpa ganjarannya adalah aku! Orang-orang menyalahkanku! Menghinaku! Mengataiku perempuan tidak becus menjaga rumah tangga! Aku kehilangan kebebasanku hanya untuk menikah denganmu! Bahkan sekarang, harga diriku pun tengah dipertaruhkan.”
Albert terkejut mendengar luapan amarah Sophia yang baru pertama kali ini ia dengar. Dan sejujurnya, itu adalah kalimat terpanjang yang pernah Sophia ucapkan padanya. Wajah Sophia yang merengut menahan tangis membuat Albert didera oleh perasaan bersalah yang kuat.
“Bahkan sekarang mereka seolah menganggapku tidak ada. Aku … aku benar-benar lelah diabaikan.” Sophia menangis. Air matanya menetes begitu saja dengan tidak terkontrol. Dia menyuruh sopir untuk menghentikan mobil di bahu jalan. Sophia kemudian membuka pintu dan keluar, menutupnya dengan keras.
Sementara itu, Albert yang terhenyak baru tersadar bahwa Sophia sudah tidak ada di dalam mobil.
“Shit!” umpatnya, lalu buru-buru menyusul keluar dan mengejar perempuan itu. “Sophia! Sophia, tunggu! Dengarkan aku!” serunya.
Sophia langsung berhenti melangkah dan berbalik menghadap Albert dengan raut datar dan tatapan dinginnya yang semula.
Albert terkagum oleh kecepatan perempuan itu mengontrol emosinya. Dari luar, Sophia benar-benar tampak seperti wanita tangguh yang kuat, namun baru saja dia mendengarkan kerapuhan perempuan itu yang paling dalam yang pernah didengarnya.
Albert menatap langsung ke dalam mata Sophia yang balas menatapnya dengan datar.
“Apa?”
Ya, apa? batin Albert bertanya. “Kita pulang,” katanya kemudian, “untuk membicarakan hal ini baik-baik.”
“Albert, sudah tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Kalau kau khawatir aku akan berubah menjadi istri pemberontak, bukan istri penurutmu lagi, well … itu tidak akan terjadi. Dan anggaplah apa yang aku katakan di mobil tadi tidak pernah kau dengar. Oke?”
Albert menggertakkan giginya dengan kuat. Bagaimana bisa perempuan ini berkata seperti itu dengan begitu mudah?
“Tidak! Selama ini kau selalu menghindar untuk berbicara denganku. Itu adalah kalimat terpanjang yang pernah kau ucapkan.” Albert melirik kiri kanan dan menyadari bahwa mereka tengah berada di tempat umum di mana orang-orang bisa mendengar mereka dengan mudah.
“Ayo kita masuk mobil, pulang bersamaku,” kata Albert, meraih tangan Sophia dan menyeret perempuan itu untuk masuk ke mobil lagi.
Sophia ingin memberontak, melakukan hal yang ingin dia lakukan, pergi dari hadapan Albert dan hidup dengan dirinya sendiri.
Tapi, apakah dia benar-benar ingin melakukan itu?
Nyatanya, Sophia menyadari dirinya terlalu lemah untuk memberontak. Dia menginginkan kebebasan, dan yang didapatkannya selama ini selalu pengekangan.
Albert membawa Sophia masuk ke dalam mobil dan tidak membiarkannya duduk terlalu jauh dari sisinya.“Lepaskan aku!” pinta Sophia, mencoba menjauh dari kungkungan tangan Albert yang menahannya di tempat. Wajah Sophia merona, ini sama saja seolah Albert tengah memeluknya.“Kau memiliki potensi untuk kabur kapan saja, aku tidak akan membiarkan itu.”“Kenapa?! Kau tidak akan peduli ke mana pun aku pergi! Jadi lepaskan aku!”Albert menggeram dan serta merta mengangkat tubuh Sophia sehingga duduk di atas pangkuannya. Kedua tangan Albert kembali mengungkungnya, lebih intim. Sedangkan untuk menjaga keseimbangannya, dengan refleks tangan Sophia mendarat di bahu pria itu.Sophia terkesiap, merasakan detak jantungnya seolah naik ke tenggorokan, lalu berdetak sangat kencang. “A-apa?!”Albert terkekeh. “Kita akan membahas ini di rumah, Sophie.”“Sudah kubilang, tidak ada yang perlu dibahas lagi!”“Ya, ada.” tatapan Albert menajam, menatap Sophia dengan penuh kuasa. “Ini penting bagiku.”Kepalan tan
Hal yang sedikit membuat Sophia terkejut adalah bahwa ternyata Albert memesankannya satu restoran sekaligus.Sophia tidak mengira lelaki itu benar-benar melakukannya ketika seorang pelayan datang memberikannya salam sebagai Mrs. Raymond. Mendengar nada panggilan pelayan itu membuat Sophia merasa diolok-olok. Jadi dia tidak menyahut ataupun tersenyum seperti dirinya yang biasa.Sophia dipersilakan untuk duduk, di sebuah meja yang telah diatur sedemikian rupa sehingga menampakkan kesan yang mewah dan romantis. Letaknya di samping jendela kaca besar yang langsung menyuguhkan pemandangan kota yang gemerlap.Sekalipun begitu, Sophia merasa sedikit kecewa karena ternyata Albert belum datang.Tipikalnya, pikir Sophia. Pasti sekarang dia tengah tenggelam di tumpukan kerjaannya.Sophia menunggu.Malam ini, dia hanya mengenakan gaun sederhana berwarna merah yang jatuh sampai bawah lututnya, berkerah cukup rendah, dan berlengan panjang yang terbuat dari brukat transparan. Sophia bahkan mengenakan
“Maaf, Sir, apa yang kau lakukan?” tanya Sophia dengan wajah datar.Pria itu tersenyum. “Aku melihatmu duduk di sini sedari tadi. Wanita secantik dirimu, tidak sepantasnya dibiarkan menunggu.”Raut wajah Sophia tidak berubah. Dia tidak ingin melayani omong kosong siapa pun sekarang. Jadi Sophia pun bangkit.“Tunggu dulu!” cegah pria itu pada Sophia.Sophia berhenti dan menghadapnya. “Sekali lagi, maaf, Sir. Tapi, aku benar-benar tidak butuh belas kasihanmu.”Pria itu tersenyum lagi. “Miss Sophia, tidakkah kau mau bermain sedikit dengan seorang pria lain untuk membalas perlakuan suamimu ini?”Sophia langsung terdiam, menatap pria itu lama. Ucapannya ternyata mampu menyentuh diri Sophia yang saat ini tengah goyah. Dia berpikir, ide itu tidak buruk juga.Sophia pun duduk kembali, menatap pria murah senyum itu lagi.Seoarang pelayan datang dan mereka pun memesan makan malam mereka.“Namaku Daniel Mateo,” kata pria itu memperkenalkan diri.“Kau tentunya sudah tahu siapa aku,” sahut Sophia d
“Apa-apaan itu tadi?!”Sophia melengos, melewati Albert dan masuk ke dalam rumah.Albert mengejarnya dan menarik paksa tangan Sophia untuk berbalik menghadapnya. “Jawab aku!” desis Albert tegas.Sophia menatapnya dingin. “Apa yang harus aku jawab, Albert?” tanya Sophia dengan tenang.Albert menggertakkan giginya dengan keras. “Siapa lelaki sialan itu?! Kita sudah janji untuk makan malam bersama, namun kau malah asik berselingkuh dengan pria lain.”Sophia menahan diri untuk tidak meledak oleh amarah yang saat ini tengah bergumul di dalam dirinya karena ucapan Albert itu.“Siapa dia? Namanya Daniel Mateo, Albert.” Sophia menjawab. Tangan wanita itu terangkat untuk menangkup wajah Albert. Mengusap garis keras yang tercetak oleh amarah di dalam dirinya. “Dia pria yang sangat baik dan menawan, bukan?”“Sophia,” Albert mendesis geram.Sophia tersenyum manis. Bayangan cahaya menutupi wajah Albert, sedang Sophia tampak bersinar oleh cahaya rembulan di wajahnya, matanya berkilat-kilat.“Kau ben
Keesokan harinya, Sophia terbangun dengan rasa pening di kepala. Dia menatap pantulan dirinya di cermin dan berdecak tidak suka pada sisa air mata yang menempel di wajahnya.Sophia kemudian melangkah membersihkan diri. Baru saja pelayan setia Albert, Sir Harrith, memberitahunya untuk bersiap-siap dan pergi ke kantor Albert atas panggilan pria itu.Sophia tidak ingin pergi, apalagi dengan perasaan yang masih kacau seperti ini, tapi apakah dia punya pilihan lain?Setelah selesai bersiap-siap, Sophia turun dan menyapa Dana juga memakan sedikit sarapannya. Dana memprotes atas pola makan Sophia yang menurutnya tidak sehat, tapi Sophia mengabaikannya dan pamit pergi.Hari ini, karena sir Harrith tidak mengatakan apa pun tentang tujuan Albert menyuruhnya datang, jadi Sophia hanya mengenakan pakaian kasual saja. Jeans panjang yang membalut tungkai jenjangnya dengan sempurna, dipadukan dengan kemeja warna putih kelonggaran, juga tas selempang hitam, dan sepatu boot yang berwarna senada dengan t
Ketika Sophia menatapnya seperti itu, Albert seolah dapat melihat tatapan terluka di sana, atau itu hanya imajinasinya saja? Sophia bukanlah perempuan yang mudah tersakiti. Perempuan rapuh yang menangis padanya saat itu tidaklah nyata. Yang saat ini berdiri di hadapannya adalah Sophia yang sebenarnya, wanita yang penuh keangkuhan.“Lupakan saja,” dengus Albert pada akhirnya, berbalik dan kembali duduk di kursi kerjanya. “Kita akan mengunjungi salah satu proyek penting siang nanti. Proyek itu adalah hasil kerja sama Raymond dan Abraham. Aku ingin kau datang karena kau adalah—”“Jaminan.”Albert terdiam, tatapannya kian keras pada Sophia yang saat ini berdiri tampak acuh di hadapannya.“Aku ingin kau datang karena kau adalah istriku.”Sophia mendengus. Jelas-jelas, alasan ayahnya menikahkannya dengan Albert adalah demi proyek ini. Mereka menjadikan Sophia sebagai jaminan, atau tali pengikat erat antara hubungan kerja sama mereka.“Jangan mengada-ngada,” sahut Sophia sinis.Albert berdec
Ketika sadar, Sophia telah berada di kamar sebuah rumah sakit. Dengan aroma khas tempat tersebut dan kesunyiannya, Sophia bangun sepenuhnya sembari meringis pelan merasakan kepalanya yang dilanda denyutan menyakitkan secara tiba-tiba. Tangan kanannya hendak memegang pelipis untuk mengecek keadaan kepalanya, namun justru rasa sakit itu berpindah ke sana, dan Sophia pun menyadari sesuatu.Dia diinfus dan tangannya diperban. Pasti patah, atau keseleo, batin Sophia yakin. Dia ingat tentang kejadian sebelum ini dengan sangat jelas. Hal itu membuat Sophia mengedarkan pandang, seolah mencari-cari kehadiran seseorang, namun mendapati dirinya hanya sendirian di sana.Sophia merasa kecewa.Dia lalu menghabiskan lima menit berikutnya hanya menatap langit-langit putih dengan bosan, tidak berani bergerak terlalu banyak karena takut kepalanya akan dilanda sakit lagi.Lima menit berlalu, pintu terbuka, seorang dokter tua dan suster masuk ke dalam untuk mengecek keadaan Sophia.“Kapan aku sudah bisa p
Setelah semua orang pergi dan hanya menyisakan Sophia serta Albert berdua di ruangan itu, Sophia berkata tanpa menatap Albert, “Kau tidak perlu merasa bersalah atau berhutang budi, apa yang aku lakukan padamu itu hanyalah refleks.”Iya, itu memang refleks, yang digerakkan oleh perasaan hatinya pada Albert. Tapi, tentu saja Sophia tidak akan mengakuinya.Dari arah sofa, Albert tersenyum. Dia melempar tisu yang ternoda oleh darah itu ke dalam tempat sampah, lalu duduk dengan kedua siku bertumpu di lutut.“Sebenarnya apa yang salah denganmu?” tanya Sophia, setengah menggerutu. “Kau tahu kau tidak perlu memukul Luke sampai seperti itu hanya karena dia datang menjengukku.”Albert menghindari tatapan Sophia. Dia juga menanyakan pertanyaan yang sama pada dirinya sendiri seperti yang Sophia lontarkan.“Albert?” panggil Sophia, menunggu jawaban.Tidak sekarang, batin Albert. “Aku melihatmu meringkuk ketakutan. Dan kau bahkan menangis.”Sophia tertegun saat mendengar jawabannya. Dia sedari tadi
Matahari pagi menerpa wajahnya, memberikan ilusi seolah sinar suci keluar dari pori-porinya. Dan semua anak rambutnya yang berantakan di kepala dan sekitar wajah nya, berwarna keemasan alih-alih cokelat gelap.Albert tersenyum, menatap Sophia dengan mata teduh. Kebiasaan yang sudah dimilikinya sejak lama; bangun pagi-pagi supaya bisa menyisihkan waktu setidaknya setengah jam untuk berpuas diri menatap wajah istrinya itu.Anak pertama mereka sudah lahir, putra bermahkota yang membawa pesan baik; Istvanzino Raymond.Perhatian keduanya jadi terbagi antara satu sama lain dengan anak mereka yang baru berusia satu tahun. Tidak banyak waktu yang Albert habiskan bersama Sophia, begitu pun sebaliknya. Tapi itu tidak apa, karena dia menyayangi putranya lebih dari apapun, dia akan mengorbankan segalanya. Dan Albert tidak ragu bahwa Sophia juga pasti akan melakukan hal yang sama.Hanya pada waktu pagi hari, beberapa saat sebelum Istvanzino terbangun, Albert memiliki
“Albert.”Albert yang tengah memusatkan tatapannya pada layar laptop menoleh pada Sophia yang berdiri di hadapannya sembari berkacak pinggang. Perutnya yang telah membesar mengintip keluar dari kaus polos yang dia kenakan, dan pemandangan itu benar-benar menggemaskan, sukses mengalihkan fokus Albert seketika.“Ada apa, Sophie?”Kening wanita itu berkerut-kerut dalam. Albert mengernyit, kemudian bertanya dengan nada cemas. “Kenapa? Apa perutmu sakit?”Sophia menggeleng.“Lalu?”“Apa kau ingat dengan kalung yang … dulu aku berikan padamu?”“Kalung yang mana?”Tatapan mata Sophia tampak gelisah. Dia mencoba untuk menjelaskan sesuatu yang tampaknya sulit untuk dia jelaskan.“Kalung … yang dulu sering aku kenakan,” ucapnya.Albert mencoba untuk mengingat-ingat, tidak butuh lama dia pun langsung teringat. Tapi keberadaan benda tersebut memang benar-benar telah Albert lupakan.“Ya, kenapa dengan kalung itu?” tanya
Bulan-bulan berlalu begitu saja.Musim dingin telah berganti menjadi musim semi, kemudian matahari terasa semakin tinggi dan musim panas pun datang. Usia kandungan Sophia sudah menginjak minggu ke dua puluh enam, atau sekitar tujuh bulan.Semuanya masih terasa sama, kecuali tubuhnya yang membesar dan keposesifan suaminya yang semakin menjadi. Selain perut yang membuncit, Sophia tidak mengalami perubahan signifikan pada area tubuhnya yang lain, tapi justru Albert yang mengalami perubahan-perubahan itu.Selama tiga minggu terakhir, Albert merutinkan olahraga untuk menjaga kondisi tubuhnya dalam bentuk yang ideal. Dia telah memakan makanan yang seharusnya Sophia makan, dia melakukan hal-hal yang seharusnya Sophia ingin lakukan. Dia juga masih sangat sensitif pada aroma dan masing sering muntah-muntah.Sophia tidak mengerti kenapa justru Albert yang mengalami semua itu. Bukankah seharusnya dirinya sebagai ibu yang mengandung? Tapi Dokter mengatakan bahwa itu
Siang yang mendung ini Sophia bangun dengan perasaan ringan di dadanya. Dia menggeliat sekaligus menguap untuk melemaskan otot-ototnya yang kaku. Saat melirik pada jendela yang gordennya telah terbuka, salju turun dari langit dan semuanya nyaris tampak berwarna putih.Sophia pun bangkit duduk sembari menahan selimut untuk menutupi dadanya. Dia mengusap leher ketika mengingat aktivitasnya semalam dengan sang suami, Sophia nyaris merasa bahwa sentuhan pria itu masih tertinggal di kulitnya.Saat menoleh ke samping, dia tidak menemukan Albert di sana, dan seprai terasa dingin yang artinya Albert sudah bangun cukup lama. Sophia lantas bangkit, lalu dilepasnya selimut yang tadi menutupi tubuhnya, kemudian berjalan tanpa sehelai benang pun menuju tempat lilin aroma terapi masih menyala, Sophia meniupnya.Dia membutuhkan benda itu, karena ada begitu banyak lukisan di kamarnya ini sekarang. Aroma cat minyak masih tercium dari lukisan-lukisan yang belum sepenuhnya kering,
Suara deburan ombak memecah kesunyian malam. Semilir angin kencang bertiup, membawa aroma laut yang khas, menerbangkan embun air asin ke bibir pantai. Paula yakin kalau dia berdiri lebih lama di sana dia mungkin akan kembali ke kamar hotelnya dengan pakaian basah.Di akhir tahun yang terasa dingin di Inggris, membuat Paula memutuskan untuk berlibur ke Miami. Dia tidak pernah menyukai musim dingin. Baginya fashion di musim dingin itu terlalu membosankan, dia punya segudang pakaian untuk dipadupadankan di lemarinya.Namun jauh di dalam, alasan mengapa Paula pergi adalah bukan karena itu. Melainkan sesuatu yang mengganggu sikap rasionalnya akhir-akhir ini.Alexander Harrison. Pria yang dia pikir akan benar-benar memberinya cincin pertunangan, pergi meninggalkannya, sama seperti pria-pria sebelumnya.Melihat bagaimana Sophia, adik bungsunya yang kaku itu, bahagia dengan curahan cinta dari seorang pria, membuat Paula iri. Terlebih, pria itu adalah Albert Raymo
Rasanya dingin.Sekujur tubuh dan ulu hatinya seolah membeku. Jalanan yang ramai tidak berhasil menepis rasa kesepian dan keputusasaan yang dia rasakan di dalam. Ucapan wanita itu terus terngiang dalam benaknya.Sophia Raymond.Apakah ini karma? pikir Cecilia.Sekarang, setelah dia tahu bahwa anak di dalam perutnya bukanlah anaknya bersama Albert, rasanya sedikit menyakitkan dan sulit dipercaya. Tapi kalau bukan Albert, siapa? Cecilia tahu bahwa dia telah bersikap seperti wanita murahan ketika memutuskan untuk mendekati Albert Raymond, namun pesona pria itu tidak bisa dia bantah, dan ayahnya saat itu begitu bangga ketika tahu Cecilia memiliki hubungan dekat dengan seorang seperti Albert.Cecilia merasa bahwa dia tidak bisa kehilangan lelaki itu, apapun alasannya, karena itu artinya dia akan kehilangan perhatian keluarganya juga. Sebab hanya dengan bersama Albert, dia akan dianggap berguna oleh ayahnya yang serakah.Namun kini, saat Cecilia s
Setelah menceritakannya pada Sophia, Albert bertanya, “Kenapa kau tidak mengangkat teleponku atau membaca pesanku?”Sophia menatap Albert dengan pelototan tajam dan juga balas bertanya, “Kenapa kau mematikan ponselmu?”“Baterainya habis.”Sophia lantas mengangguk paham. “Ponselku tertinggal di mobil Daniel saat tadi aku mencoba menghubungimu berulang kali. Mom jatuh sakit lagi jadi Daniel ingin aku datang menemaninya sementara dia memiliki urusan penting di kantor yang harus diurus. Aku mengobrol dengan Mom dan baru selesai satu jam lalu. Kemudian aku bangun karena pemanas di kamarku tidak berfungsi dengan baik.”Helaan napas lega menyahut penjelasannya.Tersenyum tenang, Albert menidurkan kepalanya lagi dan membawa Sophia bersamanya.Dia melirik setelan pakaian kerjanya yang teronggok di atas karpet. “Seharusnya kau melepas milikmu juga,” ucapnya berbisik.Sophia menggumam.
Sophia menarik selimut semakin rapat menutupi tubuhnya. Kamar ini memiliki penghangat ruangan yang buruk, mungkin karena sudah bertahun-tahun tidak digunakan. Sophia bersumpah bahwa dia akan berbicara pada Daniel mengenai hal ini besok. Dan oleh rasa dingin itulah Sophia terbangun dari tidurnya.Langsung diliriknya jam di atas nakas, ternyata dia baru terlelap selama satu jam. Setelah menemani ibunya di kamar sampai wanita itu terlelap, Sophia langsung ke kamarnya sendiri dan berbaring, tidak berniat untuk tidur, tapi kemudian jatuh tertidur.Sophia pun bangkit berdiri, dia butuh air hangat atau sesuatu yang mampu menepis rasa dingin itu. Sophia bangkit dan mencari ponselnya, lalu kemudian tersadar bahwa benda itu tertinggal di mobil Daniel.Dia belum memberi tahu Albert. Jadi Sophia memakai jubah tidurnya dan pergi ke luar kamar dengan tergesa, untuk pergi ke telepon rumah dan segera menghubungi suaminya itu. Albert pasti khawatir saat pulang ke apartemen dan t
Kemudian, sebuah deringan membuyarkan lamunan Sophia. Wanita itu sejenak mengedarkan pandang dan sadar bahwa dirinya tengah duduk di sofa, di dalam apartemen yang sepi, seorang diri. Kejadian tadi pagi masih begitu lekat dalam ingatannya.Sophia pun menghela napas.Pagi tadi, Albert hanya memberikannya satu pelepasan dengan permainan jarinya, bersikeras bahwa mereka harus menemui dokter terlebih dahulu untuk melakukan lebih dari itu. Kemudian Albert melesat ke kamar mandi, berada di sana cukup lama dan berangkat kerja setelahnya.Sophia menatap langit yang kini sudah gelap, lalu mengambil ponselnya yang sedari tadi berdering dan melihat nama Daniel tertera di sana. Sophia mengangkatnya.“Daniel.”“Sophie, kau di mana?”“Aku masih di apartemen Albert,” jawab Sophia. Dia sudah memberi tahu Daniel dan Luke beberapa hari lalu mengenai akhir dari permasalahan rumah tangganya. Mereka terdengar lega, tapi sekalig