Follow IG @deltaxia untuk informasi cerita Asia yang lain~
Keesokan harinya, Sophia terbangun dengan rasa pening di kepala. Dia menatap pantulan dirinya di cermin dan berdecak tidak suka pada sisa air mata yang menempel di wajahnya.Sophia kemudian melangkah membersihkan diri. Baru saja pelayan setia Albert, Sir Harrith, memberitahunya untuk bersiap-siap dan pergi ke kantor Albert atas panggilan pria itu.Sophia tidak ingin pergi, apalagi dengan perasaan yang masih kacau seperti ini, tapi apakah dia punya pilihan lain?Setelah selesai bersiap-siap, Sophia turun dan menyapa Dana juga memakan sedikit sarapannya. Dana memprotes atas pola makan Sophia yang menurutnya tidak sehat, tapi Sophia mengabaikannya dan pamit pergi.Hari ini, karena sir Harrith tidak mengatakan apa pun tentang tujuan Albert menyuruhnya datang, jadi Sophia hanya mengenakan pakaian kasual saja. Jeans panjang yang membalut tungkai jenjangnya dengan sempurna, dipadukan dengan kemeja warna putih kelonggaran, juga tas selempang hitam, dan sepatu boot yang berwarna senada dengan t
Ketika Sophia menatapnya seperti itu, Albert seolah dapat melihat tatapan terluka di sana, atau itu hanya imajinasinya saja? Sophia bukanlah perempuan yang mudah tersakiti. Perempuan rapuh yang menangis padanya saat itu tidaklah nyata. Yang saat ini berdiri di hadapannya adalah Sophia yang sebenarnya, wanita yang penuh keangkuhan.“Lupakan saja,” dengus Albert pada akhirnya, berbalik dan kembali duduk di kursi kerjanya. “Kita akan mengunjungi salah satu proyek penting siang nanti. Proyek itu adalah hasil kerja sama Raymond dan Abraham. Aku ingin kau datang karena kau adalah—”“Jaminan.”Albert terdiam, tatapannya kian keras pada Sophia yang saat ini berdiri tampak acuh di hadapannya.“Aku ingin kau datang karena kau adalah istriku.”Sophia mendengus. Jelas-jelas, alasan ayahnya menikahkannya dengan Albert adalah demi proyek ini. Mereka menjadikan Sophia sebagai jaminan, atau tali pengikat erat antara hubungan kerja sama mereka.“Jangan mengada-ngada,” sahut Sophia sinis.Albert berdec
Ketika sadar, Sophia telah berada di kamar sebuah rumah sakit. Dengan aroma khas tempat tersebut dan kesunyiannya, Sophia bangun sepenuhnya sembari meringis pelan merasakan kepalanya yang dilanda denyutan menyakitkan secara tiba-tiba. Tangan kanannya hendak memegang pelipis untuk mengecek keadaan kepalanya, namun justru rasa sakit itu berpindah ke sana, dan Sophia pun menyadari sesuatu.Dia diinfus dan tangannya diperban. Pasti patah, atau keseleo, batin Sophia yakin. Dia ingat tentang kejadian sebelum ini dengan sangat jelas. Hal itu membuat Sophia mengedarkan pandang, seolah mencari-cari kehadiran seseorang, namun mendapati dirinya hanya sendirian di sana.Sophia merasa kecewa.Dia lalu menghabiskan lima menit berikutnya hanya menatap langit-langit putih dengan bosan, tidak berani bergerak terlalu banyak karena takut kepalanya akan dilanda sakit lagi.Lima menit berlalu, pintu terbuka, seorang dokter tua dan suster masuk ke dalam untuk mengecek keadaan Sophia.“Kapan aku sudah bisa p
Setelah semua orang pergi dan hanya menyisakan Sophia serta Albert berdua di ruangan itu, Sophia berkata tanpa menatap Albert, “Kau tidak perlu merasa bersalah atau berhutang budi, apa yang aku lakukan padamu itu hanyalah refleks.”Iya, itu memang refleks, yang digerakkan oleh perasaan hatinya pada Albert. Tapi, tentu saja Sophia tidak akan mengakuinya.Dari arah sofa, Albert tersenyum. Dia melempar tisu yang ternoda oleh darah itu ke dalam tempat sampah, lalu duduk dengan kedua siku bertumpu di lutut.“Sebenarnya apa yang salah denganmu?” tanya Sophia, setengah menggerutu. “Kau tahu kau tidak perlu memukul Luke sampai seperti itu hanya karena dia datang menjengukku.”Albert menghindari tatapan Sophia. Dia juga menanyakan pertanyaan yang sama pada dirinya sendiri seperti yang Sophia lontarkan.“Albert?” panggil Sophia, menunggu jawaban.Tidak sekarang, batin Albert. “Aku melihatmu meringkuk ketakutan. Dan kau bahkan menangis.”Sophia tertegun saat mendengar jawabannya. Dia sedari tadi
Jantung Sophia tidak henti-hentinya berdetak kencang karena Albert terus saja menatapnya sambil menyuapinya dengan bubur yang terasa hambar itu. Namun, setelah beberapa sendok, rasanya mulai terasa lebih baik. Apa ini ada hubungannya dengan resep rahasia yang terdapat di dalam bubur itu, atau semata-mata karena tatapan Albert yang terasa semakin intens ketika menyuapinya?Yang mana pun jawabannya, Sophia akhirnya dapat menghabiskan makanan itu sampai sendok terakhir. Dan bahkan untuk meminum obat, Sophia juga harus disuapi. Walau sempat sedikit berdebat, akhirnya Sophia pasrah lagi dan menenggak habis obat-obat itu dengan segelas air yang Albert juga suapi.“Ugh! Ini terasa tidak benar,” keluh Sophia.“Ya, maka dari itu jangan banyak membantah agar kau cepat sembuh dan keluar dari sini,” sahut Albert yang telah berpindah lagi ke sofa setelah merapikan peralatan makan Sophia.Sophia menoleh pada Albert, melihatnya membuka laptop dan memasang kaca mata bening di atas pangkal hidungnya ya
Ketika pagi tiba, Sophia bangun tanpa Albert di ruangan itu. Matahari telah menyingsing tinggi di langit, cahayanya masuk melalui jendela yang terbuka. Sophia bangkit dengan rasa pusing di kepala, tapi lebih baik dari kemarin. Ini mungkin dipengaruhi oleh lingkungannya, Sophia tidak pernah menyukai rumah sakit, dan dia tidak terbiasa berada terlalu lama di luar rumah.Seorang dokter datang untuk memeriksa keadaannya, lelaki itu bilang besok mungkin Sophia sudah boleh pulang. Seperginya dokter itu, seorang perempuan berseragam putih datang mengantarkannya sarapan dan obat, setelah itu pergi dan meninggalkan Sophia seorang diri lagi.Sophia menatap bubur putih di atas mangkuk itu. Nafsu makannya langsung hilang hanya dengan menghirup aroma makanan itu, tapi Sophia ingin segera sembuh, dia tidak ingin Albert berpikir dirinya kekanak-kanakan atau manja. Maka dengan tangan kirinya yang terasa kebas dan bergetar, Sophia menyendok cairan kental itu dengan susah payah, lalu menyuapinya ke mulu
Albert tidak benar-benar melakukan niatnya. Walaupun mereka sempat berdebat, tapi pada akhirnya Albert mengalah setelah Sophia mengancam akan melaporkannya atas tindakan pelecehan seksual. Albert telah bersikap aneh, seperti yang dikatakan Sophia. Dan sekarang, Albert duduk di sofa menunggu Sophia selesai mandi sambil memikirkan sikapnya akhir-akhir ini.Memangnya kenapa? Aku suaminya. Albert membatin dan memutuskan untuk tidak memikirkannya lagi.Setelah Sophia selesai, termasuk juga mengganti pakaian, dia keluar dengan rambut basah dan handuk putih yang ia gosok-gosokkan ke kepala. Sophia duduk di ranjang, menatap lurus ke arah Albert di sofa. Tangan kiri Sophia sebenarnya terasa sangat lemas dan pegal, sedangkan tangan kanannya masih diperban dan digips, entah kapan dia akan sembuh dan bisa menggunakan kedua tangannya seperti semula lagi. Sophia melepas handuk putih yang tadi ia gosok-gosokkan ke rambutnya yang basah. Walau begitu, rambutnya masih tetap basah dan air menetes-netes d
Keesokan harinya datang begitu saja. Sophia sudah diperbolehkan untuk pulang, sedang Albert tidak datang untuk menjemputnya. Sophia tidak berharap banyak setelah cekcok yang mereka lakukan malam sebelumnya, dia juga tidak siap untuk bertemu dengan lelaki itu, yang saat ini mungkin tengah ditumpuk oleh pekerjaan kantornya. Dia adalah seorang workaholic sekali dan Sophia memaksa diri untuk memaklumi hal itu, walaupun dia sebenarnya tidak tahu apakah Albert tengah sibuk bekerja, atau melakukan hal lain.Sophia menyusuri koridor dengan langkah penuh percaya diri, kacamata bertengger di hidungnya, dan sebuah masker rumah sakit menutupi sebagian wajahnya. Sophia sampai di luar rumah sakit dan menghirup udara sebanyak-banyaknya, lalu tersenyum senang. Akhirnya, setelah berhari-hari, dia pun diperbolehkan untuk kembali menghirup udara tanpa aroma antiseptik.Sophia sudah memesan taksi yang akan membawanya pulang, tapi alih-alih taksi, kendaraan yang berhenti di hadapannya saat ini adalah mobil
Rasanya dingin.Sekujur tubuh dan ulu hatinya seolah membeku. Jalanan yang ramai tidak berhasil menepis rasa kesepian dan keputusasaan yang dia rasakan di dalam. Ucapan wanita itu terus terngiang dalam benaknya.Sophia Raymond.Apakah ini karma? pikir Cecilia.Sekarang, setelah dia tahu bahwa anak di dalam perutnya bukanlah anaknya bersama Albert, rasanya sedikit menyakitkan dan sulit dipercaya. Tapi kalau bukan Albert, siapa? Cecilia tahu bahwa dia telah bersikap seperti wanita murahan ketika memutuskan untuk mendekati Albert Raymond, namun pesona pria itu tidak bisa dia bantah, dan ayahnya saat itu begitu bangga ketika tahu Cecilia memiliki hubungan dekat dengan seorang seperti Albert.Cecilia merasa bahwa dia tidak bisa kehilangan lelaki itu, apapun alasannya, karena itu artinya dia akan kehilangan perhatian keluarganya juga. Sebab hanya dengan bersama Albert, dia akan dianggap berguna oleh ayahnya yang serakah.Namun kini, saat Cecilia s
Setelah menceritakannya pada Sophia, Albert bertanya, “Kenapa kau tidak mengangkat teleponku atau membaca pesanku?”Sophia menatap Albert dengan pelototan tajam dan juga balas bertanya, “Kenapa kau mematikan ponselmu?”“Baterainya habis.”Sophia lantas mengangguk paham. “Ponselku tertinggal di mobil Daniel saat tadi aku mencoba menghubungimu berulang kali. Mom jatuh sakit lagi jadi Daniel ingin aku datang menemaninya sementara dia memiliki urusan penting di kantor yang harus diurus. Aku mengobrol dengan Mom dan baru selesai satu jam lalu. Kemudian aku bangun karena pemanas di kamarku tidak berfungsi dengan baik.”Helaan napas lega menyahut penjelasannya.Tersenyum tenang, Albert menidurkan kepalanya lagi dan membawa Sophia bersamanya.Dia melirik setelan pakaian kerjanya yang teronggok di atas karpet. “Seharusnya kau melepas milikmu juga,” ucapnya berbisik.Sophia menggumam.
Sophia menarik selimut semakin rapat menutupi tubuhnya. Kamar ini memiliki penghangat ruangan yang buruk, mungkin karena sudah bertahun-tahun tidak digunakan. Sophia bersumpah bahwa dia akan berbicara pada Daniel mengenai hal ini besok. Dan oleh rasa dingin itulah Sophia terbangun dari tidurnya.Langsung diliriknya jam di atas nakas, ternyata dia baru terlelap selama satu jam. Setelah menemani ibunya di kamar sampai wanita itu terlelap, Sophia langsung ke kamarnya sendiri dan berbaring, tidak berniat untuk tidur, tapi kemudian jatuh tertidur.Sophia pun bangkit berdiri, dia butuh air hangat atau sesuatu yang mampu menepis rasa dingin itu. Sophia bangkit dan mencari ponselnya, lalu kemudian tersadar bahwa benda itu tertinggal di mobil Daniel.Dia belum memberi tahu Albert. Jadi Sophia memakai jubah tidurnya dan pergi ke luar kamar dengan tergesa, untuk pergi ke telepon rumah dan segera menghubungi suaminya itu. Albert pasti khawatir saat pulang ke apartemen dan t
Kemudian, sebuah deringan membuyarkan lamunan Sophia. Wanita itu sejenak mengedarkan pandang dan sadar bahwa dirinya tengah duduk di sofa, di dalam apartemen yang sepi, seorang diri. Kejadian tadi pagi masih begitu lekat dalam ingatannya.Sophia pun menghela napas.Pagi tadi, Albert hanya memberikannya satu pelepasan dengan permainan jarinya, bersikeras bahwa mereka harus menemui dokter terlebih dahulu untuk melakukan lebih dari itu. Kemudian Albert melesat ke kamar mandi, berada di sana cukup lama dan berangkat kerja setelahnya.Sophia menatap langit yang kini sudah gelap, lalu mengambil ponselnya yang sedari tadi berdering dan melihat nama Daniel tertera di sana. Sophia mengangkatnya.“Daniel.”“Sophie, kau di mana?”“Aku masih di apartemen Albert,” jawab Sophia. Dia sudah memberi tahu Daniel dan Luke beberapa hari lalu mengenai akhir dari permasalahan rumah tangganya. Mereka terdengar lega, tapi sekalig
Sophia mengernyit, kemudian membelalak dan refleks menepis tangan Albert dari wajahnya. Dia memelototi pria itu dengan tatapan tajam.“Jangan berkata seolah kau juga tidak!” seru Sophia. Wajahnya memerah karena malu, seolah dia diingatkan tentang sebuah ketidaksenonohan dari semua undangan-undangan terbuka yang dia lakukan beberapa malam ini secara berturut-turut pada Albert, dan secara berturut-turut juga Albert menolaknya.Dituduh seperti itu, Sophia merasa langsung kehilangan wajahnya sendiri. Dia lantas berbalik dan memunggungi Albert ke jendela.Apakah aku sudah bertindak keterlaluan? pikirnya. Padahal dia hanya senang menggoda Albert, melihat wajah lelaki itu tersiksa oleh kekeraskepalaannya sendiri adalah sebuah hiburan baru bagi Sophia. Tapi dia juga tidak bisa menampik hasrat yang timbul bersamaan dengan kesenangan itu.Namun Sophia tidak suka akan bagaimana Albert mengatakannya sekarang seolah hanya Sophia yang menginginkannya.
Langit gelap perlahan turun dari jendela, yang selama setengah jam lalu Sophia tatap dengan mata menerawang. Tangannya terlipat di atas sandaran sofa dan dagunya terpaku di sana dengan mata yang setengah terutup.Bosan, itulah yang Sophia rasakan. Hampir satu minggu sudah dia tinggal di apartemen Albert ini dan tidak pernah keluar kemana pun. Sementara Albert bekerja, Sophia ditinggalkan sendiri tanpa aktivitas apapun.Albert melarangnya melakukan banyak hal; memasak, bersih-bersih, mengangkat barang-barang berat, atau berdiri terlalu lama, berjalan terlalu jauh. Lelaki itu menjadi begitu konyol pada beberapa hal. Walau Sophia tahu itu hanya bentuk kekhawatirannya yang berlebihan saja.Setiap malam saat waktunya tidur, Albert akan terjaga sampai dia memastikan Sophia sudah tertidur lelap. Lalu paginya, Sophia harus bangun dalam pelukan pria itu, atau setidaknya Sophia harus di sana saat Albert membuka mata. Kalau tidak, Albert akan tampak panik dengan mata liar
Sophia akan kembali pada Albert.Itulah yang dia inginkan, yang selalu dia inginkan, tapi lebih sering dia tutup-tutupi dengan berbagai macam alasan di kepalanya karena rasa takut untuk tersakiti kembali. Namun kini, entah perasaan ini datang dari mana, Sophia merasa yakin. Terlebih ketika dia teringat pada ucapan menohok yang Daniel katakan siang tadi.“Pastikan bahwa kau tidak akan menyesal di kemudian hari karena keegoisanmu ini, Sophia. Bayi di dalam kandunganmu … membutuhkan ayahnya. Kau tidak akan mau dia berakhir sepertimu, ‘kan?”Kalimat itu bergema dalam telinga Sophia, menguasai benaknya. Dia terlahir tanpa figur ayah, dia tahu bagaimana rasanya. Dan ketika dia memiliki sosok ayah itu, ekspektasinya dijatuhkan oleh kehadiran ibu dan saudara-saudara yang tidak dia kenal. Sophia tidak ingin hal itu terjadi pada anaknya.Mungkin tidak apa-apa kalau memang suatu hari nanti hubungannya dengan Albert tidak berjal
Sophia terkikik-kikik geli oleh respon yang diberikan suaminya. Dia lantas berjinjit, lalu mengecup belakang telinga Albert yang tengah memerah.Sesaat setelah melakukan itu, tubuh Sophia tiba-tiba saja didorong ke belakang dan berhenti saat punggungnya menyentuh meja pantri. Dia pikir akan merasakan sakit akibat benturan tersebut, namun ternyata Albert menahan punggungnya dengan tangan pria itu sendiri, seolah bersikap melindungi Sophia.Perlakuan kecil itu saja sudah membuat jantung Sophia berdetak kencang, terlebih ketika dia mendongak ke atas dan melihat mata pria di hadapannya yang menatapnya dengan tatapan liar. Sejenak, Sophia merasa menyesal telah menggoda Albert. Tadinya dia hendak lari ke kamar sesaat setelah mengecup pria itu, namun ternyata Albert memiliki pikiran lain. Dan pikiran lelaki itu sungguh berbahaya bagi kinerja jantung Sophia saat ini.Albert mendekatkan wajahnya pada sang istri, menghirup aroma manis buah anggur yang tadi disantapnya seb
“Apa kau pernah mendengar sebelumnya seorang ayah yang mengidam ketika istrinya hamil?” kata Sophia.Albert mengernyit, menaikkan sebelah alisnya skeptis, lalu menunduk ke arah perut Sophia. Seketika, ekspresinya berubah datar.Sophia lantas terkekeh geli. “Kau pasti terkejut. Ya tuhan, pantas saja aku sudah tidak lagi mengalami mual-mual, rupanya masalah itu sudah dilimpahkan padamu.” Sophia benar-benar tertawa dengan senang.Albert yang tadinya hendak menggoda istrinya itu mendadak tercenung oleh suara tawa Sophia yang rasanya sudah lama tidak dia dengar. Albert memandang wajah cantik istrinya itu yang tampak berseri-seri, cerah, dan begitu terhibur. Albert merasa dia tidak akan bisa lagi mengalihkan pandangnya dari apa yang kini ada di hadapannya.Namun, karena keterdiaman Albert itu, Sophia langsung sadar dan menghentikan tawanya. Dia berdeham pelan. “Maaf, tidak seharusnya aku bersikap seperti tadi,” kata Sophia de