Hal yang sedikit membuat Sophia terkejut adalah bahwa ternyata Albert memesankannya satu restoran sekaligus.Sophia tidak mengira lelaki itu benar-benar melakukannya ketika seorang pelayan datang memberikannya salam sebagai Mrs. Raymond. Mendengar nada panggilan pelayan itu membuat Sophia merasa diolok-olok. Jadi dia tidak menyahut ataupun tersenyum seperti dirinya yang biasa.Sophia dipersilakan untuk duduk, di sebuah meja yang telah diatur sedemikian rupa sehingga menampakkan kesan yang mewah dan romantis. Letaknya di samping jendela kaca besar yang langsung menyuguhkan pemandangan kota yang gemerlap.Sekalipun begitu, Sophia merasa sedikit kecewa karena ternyata Albert belum datang.Tipikalnya, pikir Sophia. Pasti sekarang dia tengah tenggelam di tumpukan kerjaannya.Sophia menunggu.Malam ini, dia hanya mengenakan gaun sederhana berwarna merah yang jatuh sampai bawah lututnya, berkerah cukup rendah, dan berlengan panjang yang terbuat dari brukat transparan. Sophia bahkan mengenakan
“Maaf, Sir, apa yang kau lakukan?” tanya Sophia dengan wajah datar.Pria itu tersenyum. “Aku melihatmu duduk di sini sedari tadi. Wanita secantik dirimu, tidak sepantasnya dibiarkan menunggu.”Raut wajah Sophia tidak berubah. Dia tidak ingin melayani omong kosong siapa pun sekarang. Jadi Sophia pun bangkit.“Tunggu dulu!” cegah pria itu pada Sophia.Sophia berhenti dan menghadapnya. “Sekali lagi, maaf, Sir. Tapi, aku benar-benar tidak butuh belas kasihanmu.”Pria itu tersenyum lagi. “Miss Sophia, tidakkah kau mau bermain sedikit dengan seorang pria lain untuk membalas perlakuan suamimu ini?”Sophia langsung terdiam, menatap pria itu lama. Ucapannya ternyata mampu menyentuh diri Sophia yang saat ini tengah goyah. Dia berpikir, ide itu tidak buruk juga.Sophia pun duduk kembali, menatap pria murah senyum itu lagi.Seoarang pelayan datang dan mereka pun memesan makan malam mereka.“Namaku Daniel Mateo,” kata pria itu memperkenalkan diri.“Kau tentunya sudah tahu siapa aku,” sahut Sophia d
“Apa-apaan itu tadi?!”Sophia melengos, melewati Albert dan masuk ke dalam rumah.Albert mengejarnya dan menarik paksa tangan Sophia untuk berbalik menghadapnya. “Jawab aku!” desis Albert tegas.Sophia menatapnya dingin. “Apa yang harus aku jawab, Albert?” tanya Sophia dengan tenang.Albert menggertakkan giginya dengan keras. “Siapa lelaki sialan itu?! Kita sudah janji untuk makan malam bersama, namun kau malah asik berselingkuh dengan pria lain.”Sophia menahan diri untuk tidak meledak oleh amarah yang saat ini tengah bergumul di dalam dirinya karena ucapan Albert itu.“Siapa dia? Namanya Daniel Mateo, Albert.” Sophia menjawab. Tangan wanita itu terangkat untuk menangkup wajah Albert. Mengusap garis keras yang tercetak oleh amarah di dalam dirinya. “Dia pria yang sangat baik dan menawan, bukan?”“Sophia,” Albert mendesis geram.Sophia tersenyum manis. Bayangan cahaya menutupi wajah Albert, sedang Sophia tampak bersinar oleh cahaya rembulan di wajahnya, matanya berkilat-kilat.“Kau ben
Keesokan harinya, Sophia terbangun dengan rasa pening di kepala. Dia menatap pantulan dirinya di cermin dan berdecak tidak suka pada sisa air mata yang menempel di wajahnya.Sophia kemudian melangkah membersihkan diri. Baru saja pelayan setia Albert, Sir Harrith, memberitahunya untuk bersiap-siap dan pergi ke kantor Albert atas panggilan pria itu.Sophia tidak ingin pergi, apalagi dengan perasaan yang masih kacau seperti ini, tapi apakah dia punya pilihan lain?Setelah selesai bersiap-siap, Sophia turun dan menyapa Dana juga memakan sedikit sarapannya. Dana memprotes atas pola makan Sophia yang menurutnya tidak sehat, tapi Sophia mengabaikannya dan pamit pergi.Hari ini, karena sir Harrith tidak mengatakan apa pun tentang tujuan Albert menyuruhnya datang, jadi Sophia hanya mengenakan pakaian kasual saja. Jeans panjang yang membalut tungkai jenjangnya dengan sempurna, dipadukan dengan kemeja warna putih kelonggaran, juga tas selempang hitam, dan sepatu boot yang berwarna senada dengan t
Ketika Sophia menatapnya seperti itu, Albert seolah dapat melihat tatapan terluka di sana, atau itu hanya imajinasinya saja? Sophia bukanlah perempuan yang mudah tersakiti. Perempuan rapuh yang menangis padanya saat itu tidaklah nyata. Yang saat ini berdiri di hadapannya adalah Sophia yang sebenarnya, wanita yang penuh keangkuhan.“Lupakan saja,” dengus Albert pada akhirnya, berbalik dan kembali duduk di kursi kerjanya. “Kita akan mengunjungi salah satu proyek penting siang nanti. Proyek itu adalah hasil kerja sama Raymond dan Abraham. Aku ingin kau datang karena kau adalah—”“Jaminan.”Albert terdiam, tatapannya kian keras pada Sophia yang saat ini berdiri tampak acuh di hadapannya.“Aku ingin kau datang karena kau adalah istriku.”Sophia mendengus. Jelas-jelas, alasan ayahnya menikahkannya dengan Albert adalah demi proyek ini. Mereka menjadikan Sophia sebagai jaminan, atau tali pengikat erat antara hubungan kerja sama mereka.“Jangan mengada-ngada,” sahut Sophia sinis.Albert berdec
Ketika sadar, Sophia telah berada di kamar sebuah rumah sakit. Dengan aroma khas tempat tersebut dan kesunyiannya, Sophia bangun sepenuhnya sembari meringis pelan merasakan kepalanya yang dilanda denyutan menyakitkan secara tiba-tiba. Tangan kanannya hendak memegang pelipis untuk mengecek keadaan kepalanya, namun justru rasa sakit itu berpindah ke sana, dan Sophia pun menyadari sesuatu.Dia diinfus dan tangannya diperban. Pasti patah, atau keseleo, batin Sophia yakin. Dia ingat tentang kejadian sebelum ini dengan sangat jelas. Hal itu membuat Sophia mengedarkan pandang, seolah mencari-cari kehadiran seseorang, namun mendapati dirinya hanya sendirian di sana.Sophia merasa kecewa.Dia lalu menghabiskan lima menit berikutnya hanya menatap langit-langit putih dengan bosan, tidak berani bergerak terlalu banyak karena takut kepalanya akan dilanda sakit lagi.Lima menit berlalu, pintu terbuka, seorang dokter tua dan suster masuk ke dalam untuk mengecek keadaan Sophia.“Kapan aku sudah bisa p
Setelah semua orang pergi dan hanya menyisakan Sophia serta Albert berdua di ruangan itu, Sophia berkata tanpa menatap Albert, “Kau tidak perlu merasa bersalah atau berhutang budi, apa yang aku lakukan padamu itu hanyalah refleks.”Iya, itu memang refleks, yang digerakkan oleh perasaan hatinya pada Albert. Tapi, tentu saja Sophia tidak akan mengakuinya.Dari arah sofa, Albert tersenyum. Dia melempar tisu yang ternoda oleh darah itu ke dalam tempat sampah, lalu duduk dengan kedua siku bertumpu di lutut.“Sebenarnya apa yang salah denganmu?” tanya Sophia, setengah menggerutu. “Kau tahu kau tidak perlu memukul Luke sampai seperti itu hanya karena dia datang menjengukku.”Albert menghindari tatapan Sophia. Dia juga menanyakan pertanyaan yang sama pada dirinya sendiri seperti yang Sophia lontarkan.“Albert?” panggil Sophia, menunggu jawaban.Tidak sekarang, batin Albert. “Aku melihatmu meringkuk ketakutan. Dan kau bahkan menangis.”Sophia tertegun saat mendengar jawabannya. Dia sedari tadi
Jantung Sophia tidak henti-hentinya berdetak kencang karena Albert terus saja menatapnya sambil menyuapinya dengan bubur yang terasa hambar itu. Namun, setelah beberapa sendok, rasanya mulai terasa lebih baik. Apa ini ada hubungannya dengan resep rahasia yang terdapat di dalam bubur itu, atau semata-mata karena tatapan Albert yang terasa semakin intens ketika menyuapinya?Yang mana pun jawabannya, Sophia akhirnya dapat menghabiskan makanan itu sampai sendok terakhir. Dan bahkan untuk meminum obat, Sophia juga harus disuapi. Walau sempat sedikit berdebat, akhirnya Sophia pasrah lagi dan menenggak habis obat-obat itu dengan segelas air yang Albert juga suapi.“Ugh! Ini terasa tidak benar,” keluh Sophia.“Ya, maka dari itu jangan banyak membantah agar kau cepat sembuh dan keluar dari sini,” sahut Albert yang telah berpindah lagi ke sofa setelah merapikan peralatan makan Sophia.Sophia menoleh pada Albert, melihatnya membuka laptop dan memasang kaca mata bening di atas pangkal hidungnya ya