Share

03. Kalung

Sophia mengernyitkan dahi. “Kau baik-baik saja?”

“Ya. Dan kalau kau tidak ada kepentingan datang kemari, sebaiknya jangan menggangguku!” tukas Albert sebelum tangannya bergerak menutup pintu. Namun dengan cepat dicegah oleh Sophia dengan kakinya.

“Aku membawakanmu sarapan,” kata Sophia.

“Ah ya, bilang pada Dana bahwa hari ini aku sepertinya tidak akan turun untuk makan.”

Sophia tidak mau kalah ketika Albert hendak menutup pintu kamarnya lagi. “Ini sarapanmu!” tegas Sophia.

Albert menghela napas, menatap Sophia jengkel, lalu tangannya terangkat hendak mengambil alih nampan itu dari tangan Sophia, tapi Sophia malah menjauhkannya. Albert berdecak semakin kesal.

“Berikan—”

“Tanganmu,” Sophia memotong, menatap tangan Albert yang gemetaran, dia tidak akan mampu mengangkat nampan itu tanpa membuat isinya tumpah.

Albert sekali lagi menghela napas pasrah dan membuka pintunya lebih lebar. “Bawa ke dalam.”

Tanpa disuruh dua kali, Sophia masuk ke dalam kamar Albert dan sedikit terkesiap oleh aroma lelaki itu yang tercium sangat jelas di udara sekitarnya. Sophia mencoba untuk fokus dan menempatkan nampan itu di atas nakas.

Ketika Sophia berbalik, Albert duduk di pinggiran ranjang, menutup mata dengan napas sedikit memburu.

Sophia dengan refleks mendekat, lalu meletekkan telapak tangannya pada kening Albert. Albert tidak menolak, atau membuka matanya karena sentuhan Sophia itu.

“Kau demam,” kata Sophia.

Albert menyahutnya dengan gumaman, lalu tangannya terangkat menangkup tangan Sophia di wajahnya. “Tanganmu terasa dingin,” gumam Albert tidak jelas.

Sophia terkejut dengan sentuhan itu, secara refleks melepaskan tangannya. “Sebaiknya kau berbaring,” kata Sophia, mendorong dengan pelan bahu Albert agar lelaki itu berbaring kembali di ranjangnya.

Albert pasti sangat kesakitan sampai tidak menyadari apa pun. Bahkan ketika Sophia menyeka wajahnya yang berkeringat dengan tangan, Albert tampak tidak terganggu dan tetap menutup matanya. Padahal kalau dalam keadaan normal, Albert mungkin tidak akan sudi untuk disentuh olehnya.

Sophia kemudian pergi dengan nampan sarapan yang tadi telah dia letakkan di nakas.

Jika ada sesuatu yang bisa Sophia masak, itu adalah bubur. Kenapa? Sebab Sophia selalu gagal menanak nasi dan selalu menjadikannya bubur. Jadi Sophia membuatkan Albert bubur dan segelas susu.

Ketika kembali ke kamar lelaki itu, Albert masih berbaring pada posisinya semula. Sophia mencoba membangunkannya agar pria itu makan, lalu setelah itu minum obat. Namun alih-alih bangun, Albert malah mengernyit dan menggeram keras, lalu tangannya menepis nampan yang dibawa oleh Sophia sehingga semuanya berceceran di atas lantai.

Dengan mulut menganga dan mata melebar, Sophia menatap kekacauan itu lalu mendelik tajam pada Albert yang sepertinya tidak sadar pada apa yang telah ia perbuat.

Sophia menenangkan dirinya dan memilih untuk membersihkan lantai yang telah kotor itu dengan penuh kesabaran. Kecerobohannya membuat jari tangan Sophia luka oleh pecahan mangkuk, tapi Sophia bahkan tidak meringis dan lanjut membersihkan lantai itu sampai bersih.

Setelah selesai, Sophia mengambil baskom berisi air dan handuk kecil untuk mengompres Albert.

“Jika kau tidak sedang dalam keadaan sakit, aku tidak akan sudi melakukan semua ini,” gerutu Sophia, memeras handuk itu semakin keras, lalu meletakkannya pada dahi Albert. Melihat wajah tersiksa lelaki itu membuat Sophia semakin tidak tega. Namun perlahan, setelah beberapa kali kompres di dahinya, wajah Albert berubah tenang dan dia akhirnya tertidur.

Sophia dengan setia duduk di sampingnya, menatap wajah lelaki itu. Dalam keadaan damai seperti ini, Albert tidak terlihat seperti sosok suaminya.

Ingatan Sophia kemudian terlempar pada lima tahun silam.

Sophia ingat pada rasa sakit dan keputusasaan yang ia rasakan pada malam itu, sehingga nyaris menceburkan diri ke dinginnya air laut pada malam hari, jika saja Albert tidak datang menginterupsinya dan mengajaknya mengobrol.

Saat itu, Sophia tahu bahwa Albert tengah bosan dan hanya butuh teman mengobrol. Namun, karena saat itu Sophia juga ada di posisi di mana dia tidak pernah diajak mengobrol oleh siapa pun—atau bahkan dipedulikan, dia bahagia dengan kehadiran Albert.

Sophia datang bersama keluarganya, ayah dan ibu, serta dua saudari perempuan dan seorang saudara laki-laki. Akan tetapi, sekalipun Sophia ada bersama mereka, dirinya seolah tidak terlihat dan tidak dianggap.

Dan Sophia tahu alasannya.

Namun kehadiran Albert pada malam itu memberi arti lain pada diri Sophia. Albert mengajaknya mengobrol, bertanya banyak hal pada Sophia. Dan untuk pertama kali dalam hidupnya, Sophia didengarkan.

Lalu sebelum berpisah, Albert memberikannya sebuah kotak kecil yang ia selipkan di saku jasnya. Ketika Sophia membuka benda itu, dia terhenyak untuk beberapa saat.

Itu adalah sebuah kalung berbandul bunga dandelion yang sangat cantik.

“Aku melihatnya di toko perhiasan dan langsung tertarik padanya,” kata Albert.

“Aku tidak tahu pria sepertimu memiliki selera pada perhiasan perempuan,” sahut Sophia dengan mata yang sudah berkaca-kaca ketika ujung jemarinya menyentuh bandul dandelion itu.

Albert tersenyum, senyumannya amat sangat memesona. “Ya, tadinya aku hendak memberikannya kepada seseorang yang kupikir spesial, tapi dia tidak cukup mencerminkan keberanian yang seharusnya dandelion miliki.”

Sophia menatap Albert. “Lalu kenapa aku?” tanyanya, menangis.

Albert mengusap air matanya dan tersenyum. “Karena kau hendak melompat,” jawabnya singkat.

Mungkin bagi Albert itu hanyalah sebuah bentuk perlakuan kecil pada seorang gadis kurus kerempeng yang jelek, pucat, dan dipenuhi keputusasaan—siap melompat kapan saja dari kapal. Namun bagi Sophia, perlakuan Albert itu memberi pengaruh besar pada hidupnya.

Sophia menyentuh dada, merasakan bandul dandelion itu menyembul di balik kaos longgarnya. Sampai saat ini, dia tidak pernah melepas kalung itu dari lehernya, membiarkannya selalu tersembunyi di balik setiap pakaian yang ia kenakan, karena Sophia tidak pernah ingin Albert melihatnya.

Kalung itu seolah menjadi bentuk kekuatan Sophia. Dandelion, yang berarti keberanian.

Sophia menatap wajah Albert dengan tatapan sendu, lalu mengusap rambutnya perlahan.

Begitu banyak hal yang berubah dari sosok pria ini sampai Sophia nyaris tidak mengenalnya lagi. Bahkan Albert tidak mengingat pertemuan mereka pada malam itu, di saat Sophia sudah tidak bisa lagi melupakannya.

Dan itulah … itulah kenapa, sekalipun sakit, Sophia memilih untuk bertahan dalam pernikahan ini.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status