Sophia mengernyitkan dahi. “Kau baik-baik saja?”
“Ya. Dan kalau kau tidak ada kepentingan datang kemari, sebaiknya jangan menggangguku!” tukas Albert sebelum tangannya bergerak menutup pintu. Namun dengan cepat dicegah oleh Sophia dengan kakinya.
“Aku membawakanmu sarapan,” kata Sophia.
“Ah ya, bilang pada Dana bahwa hari ini aku sepertinya tidak akan turun untuk makan.”
Sophia tidak mau kalah ketika Albert hendak menutup pintu kamarnya lagi. “Ini sarapanmu!” tegas Sophia.
Albert menghela napas, menatap Sophia jengkel, lalu tangannya terangkat hendak mengambil alih nampan itu dari tangan Sophia, tapi Sophia malah menjauhkannya. Albert berdecak semakin kesal.
“Berikan—”
“Tanganmu,” Sophia memotong, menatap tangan Albert yang gemetaran, dia tidak akan mampu mengangkat nampan itu tanpa membuat isinya tumpah.
Albert sekali lagi menghela napas pasrah dan membuka pintunya lebih lebar. “Bawa ke dalam.”
Tanpa disuruh dua kali, Sophia masuk ke dalam kamar Albert dan sedikit terkesiap oleh aroma lelaki itu yang tercium sangat jelas di udara sekitarnya. Sophia mencoba untuk fokus dan menempatkan nampan itu di atas nakas.
Ketika Sophia berbalik, Albert duduk di pinggiran ranjang, menutup mata dengan napas sedikit memburu.
Sophia dengan refleks mendekat, lalu meletekkan telapak tangannya pada kening Albert. Albert tidak menolak, atau membuka matanya karena sentuhan Sophia itu.
“Kau demam,” kata Sophia.
Albert menyahutnya dengan gumaman, lalu tangannya terangkat menangkup tangan Sophia di wajahnya. “Tanganmu terasa dingin,” gumam Albert tidak jelas.
Sophia terkejut dengan sentuhan itu, secara refleks melepaskan tangannya. “Sebaiknya kau berbaring,” kata Sophia, mendorong dengan pelan bahu Albert agar lelaki itu berbaring kembali di ranjangnya.
Albert pasti sangat kesakitan sampai tidak menyadari apa pun. Bahkan ketika Sophia menyeka wajahnya yang berkeringat dengan tangan, Albert tampak tidak terganggu dan tetap menutup matanya. Padahal kalau dalam keadaan normal, Albert mungkin tidak akan sudi untuk disentuh olehnya.
Sophia kemudian pergi dengan nampan sarapan yang tadi telah dia letakkan di nakas.
Jika ada sesuatu yang bisa Sophia masak, itu adalah bubur. Kenapa? Sebab Sophia selalu gagal menanak nasi dan selalu menjadikannya bubur. Jadi Sophia membuatkan Albert bubur dan segelas susu.
Ketika kembali ke kamar lelaki itu, Albert masih berbaring pada posisinya semula. Sophia mencoba membangunkannya agar pria itu makan, lalu setelah itu minum obat. Namun alih-alih bangun, Albert malah mengernyit dan menggeram keras, lalu tangannya menepis nampan yang dibawa oleh Sophia sehingga semuanya berceceran di atas lantai.
Dengan mulut menganga dan mata melebar, Sophia menatap kekacauan itu lalu mendelik tajam pada Albert yang sepertinya tidak sadar pada apa yang telah ia perbuat.
Sophia menenangkan dirinya dan memilih untuk membersihkan lantai yang telah kotor itu dengan penuh kesabaran. Kecerobohannya membuat jari tangan Sophia luka oleh pecahan mangkuk, tapi Sophia bahkan tidak meringis dan lanjut membersihkan lantai itu sampai bersih.
Setelah selesai, Sophia mengambil baskom berisi air dan handuk kecil untuk mengompres Albert.
“Jika kau tidak sedang dalam keadaan sakit, aku tidak akan sudi melakukan semua ini,” gerutu Sophia, memeras handuk itu semakin keras, lalu meletakkannya pada dahi Albert. Melihat wajah tersiksa lelaki itu membuat Sophia semakin tidak tega. Namun perlahan, setelah beberapa kali kompres di dahinya, wajah Albert berubah tenang dan dia akhirnya tertidur.
Sophia dengan setia duduk di sampingnya, menatap wajah lelaki itu. Dalam keadaan damai seperti ini, Albert tidak terlihat seperti sosok suaminya.
Ingatan Sophia kemudian terlempar pada lima tahun silam.
Sophia ingat pada rasa sakit dan keputusasaan yang ia rasakan pada malam itu, sehingga nyaris menceburkan diri ke dinginnya air laut pada malam hari, jika saja Albert tidak datang menginterupsinya dan mengajaknya mengobrol.
Saat itu, Sophia tahu bahwa Albert tengah bosan dan hanya butuh teman mengobrol. Namun, karena saat itu Sophia juga ada di posisi di mana dia tidak pernah diajak mengobrol oleh siapa pun—atau bahkan dipedulikan, dia bahagia dengan kehadiran Albert.
Sophia datang bersama keluarganya, ayah dan ibu, serta dua saudari perempuan dan seorang saudara laki-laki. Akan tetapi, sekalipun Sophia ada bersama mereka, dirinya seolah tidak terlihat dan tidak dianggap.
Dan Sophia tahu alasannya.
Namun kehadiran Albert pada malam itu memberi arti lain pada diri Sophia. Albert mengajaknya mengobrol, bertanya banyak hal pada Sophia. Dan untuk pertama kali dalam hidupnya, Sophia didengarkan.
Lalu sebelum berpisah, Albert memberikannya sebuah kotak kecil yang ia selipkan di saku jasnya. Ketika Sophia membuka benda itu, dia terhenyak untuk beberapa saat.
Itu adalah sebuah kalung berbandul bunga dandelion yang sangat cantik.
“Aku melihatnya di toko perhiasan dan langsung tertarik padanya,” kata Albert.
“Aku tidak tahu pria sepertimu memiliki selera pada perhiasan perempuan,” sahut Sophia dengan mata yang sudah berkaca-kaca ketika ujung jemarinya menyentuh bandul dandelion itu.
Albert tersenyum, senyumannya amat sangat memesona. “Ya, tadinya aku hendak memberikannya kepada seseorang yang kupikir spesial, tapi dia tidak cukup mencerminkan keberanian yang seharusnya dandelion miliki.”
Sophia menatap Albert. “Lalu kenapa aku?” tanyanya, menangis.
Albert mengusap air matanya dan tersenyum. “Karena kau hendak melompat,” jawabnya singkat.
Mungkin bagi Albert itu hanyalah sebuah bentuk perlakuan kecil pada seorang gadis kurus kerempeng yang jelek, pucat, dan dipenuhi keputusasaan—siap melompat kapan saja dari kapal. Namun bagi Sophia, perlakuan Albert itu memberi pengaruh besar pada hidupnya.
Sophia menyentuh dada, merasakan bandul dandelion itu menyembul di balik kaos longgarnya. Sampai saat ini, dia tidak pernah melepas kalung itu dari lehernya, membiarkannya selalu tersembunyi di balik setiap pakaian yang ia kenakan, karena Sophia tidak pernah ingin Albert melihatnya.
Kalung itu seolah menjadi bentuk kekuatan Sophia. Dandelion, yang berarti keberanian.
Sophia menatap wajah Albert dengan tatapan sendu, lalu mengusap rambutnya perlahan.
Begitu banyak hal yang berubah dari sosok pria ini sampai Sophia nyaris tidak mengenalnya lagi. Bahkan Albert tidak mengingat pertemuan mereka pada malam itu, di saat Sophia sudah tidak bisa lagi melupakannya.
Dan itulah … itulah kenapa, sekalipun sakit, Sophia memilih untuk bertahan dalam pernikahan ini.
***
Sophia terbangun dari tidurnya dengan kesiap, seolah seseorang telah menyadarkannya dari alam mimpi, dia langsung bangkit dari posisinya dan mengedarkan pandang.Albert tengah bersandar di kepala ranjang, menatapnya datar. Dia tampak lebih baik dari sebelumnya. Sementara itu, Sophia berbaring di sampingnya. Padahal seingat Sophia dia tadi duduk di lantai dan bersandar pada pinggiran ranjang. Kapan dia tertidur dan pindah ke sini?Sophia berdeham, tidak ingin menerka-nerka kenapa dia bisa ada di atas ranjang ini, tidur di samping Albert.“Sudah merasa lebih baik?” tanya Sophia pada Albert sambil menurunkan kakinya ke lantai.Albert mengangguk singkat, menatap setiap pergerakan Sophia dengan raut datar.“Baguslah,” sahut Sophia, lalu melirik nampan di atas nakas yang entah sejak kapan isinya telah tandas. Dan tidak mungkin orang lain yang memakannya selain Albert, kan? Ketika Sophia menoleh ke belakang, Albert masih menatapnya, lalu dia tidak sengaja melihat buku di pangkuan Albert dan p
Berendam, memang pilihan yang tepat.Sophia kembali ke dapur dengan perasaan lebih baik. Namun perasaan itu tidak bertahan terlalu lama. Wajah Sophia memberengut saat melihat Albert, yang sedetik kemudian berubah terkejut melihat apa yang ternyata sedang laki-laki itu lakukan. Dia tengah mengangkat sesendok penuh masakan Sophia ke mulutnya.“Jangan dimakan!” cegah Sophia dengan cepat.Gerakan Albert langsung terhenti. “Kenapa?”“Pokoknya jangan!”“Memang kenapa? Apa kau sekarang sudah tidak sudi berbagi makanan denganku?” tanya Albert dengan tatapan jengah lalu menyuap potongan daging itu masuk ke dalam mulutnya.Tepat pada kunyahan pertama, Albert langsung berhenti dan matanya membelalak.Sophia hanya bisa meringis. “Aku sudah memperingatimu,” gumamnya.Albert melanjutkan kunyahannya dan menelan gumpalan daging alot super pedas itu dengan susah payah, lalu meminum segelas air setelahnya dalam sekali tegukan. “Kau memasak ini?!” tanyanya tidak percaya.Sophia mengangguk perlahan.“Lain
Albert tidak pernah membawa teman wanitanya ke rumah. Atau yang lebih suka Sophia sebut secara gamblang, selingkuhannya.Sophia tahu Albert memiliki unit apartemen mewah di kota, dan Sophia yakin ke sanalah Albert membawa selingkuhan-selingkuhannya singgah. Sophia sama sekali tidak merasa diperlakukan spesial karena hanya dirinya seoranglah yang Albert bawa ke sini. Tentu saja, karena dia istri pria itu.Tapi sekali lagi, label istri itu tidak membuat Sophia merasa lebih.Momen makan malam kemarin telah rusak dari pikiran Sophia ketika paginya dia membaca gosip tentang kembalinya si Pirang alias Cecile, ke pelukan Albert Raymond.Sophia tidak tahu mengapa seseorang benar-benar dibayar untuk menulis sesuatu semacam itu. Tidakkah mereka memiliki topik lain yang lebih bermanfaat untuk disajikan? Apa bagusnya dari mengintili kehidupan hubungan gelap seseorang dan menghardik rumah tangganya?Well, untuk beberapa orang, atau mungkin banyak orang, hal itu memang menarik untuk diikuti.Tapi So
Tidak lama kemudian, Millie Raymond datang. Wanita itu mengenakan jeans panjang, tanktop ketat berkerah sangat rendah yang memberi pemandangan lebih jelas pada payudara besarnya. Wajahnya dipoles makeup berat yang menguatkan kecantikannya. Rambutnya yang lurus dan sangat panjang digerai dan diwarnai pirang terang.Millie tampak mencolok, dan dia berjalan berlenggak-lenggok dengan sepatu berhak tinggi hitam, mengundang beberapa pasang mata tertuju padanya. Atau pada bokongnya yang seksi?Untuk seorang wanita yang telah menyandang status sebagai istri dari seorang pria konglomerat kaya raya, Millie tentu saja tampak sangat muda dan modern. Wajahnya cantik dengan tubuh yang berbentuk sempurna. Sophia tidak ingin tahu apakah itu asli atau hanya hasil rekayasa tangan-tangan ahli para dokter kecantikan.Ketika Millie telah sampai di meja mereka, wanita itu menyapa Albert dengan sangat antusias, lalu merunduk dan memeluk Albert, tidak lupa juga mendaratkan kecupan menggoda di pipinya.Sophia
“Aku sudah katakan padamu, trik ini tidak akan berhasil lagi. Percuma mengajakku ke pertemuan untuk menghindari godaan wanita-wanita itu. Di mata mereka, aku sudah tidak memiliki nilai apa pun sebagai istrimu.”Sophia menoleh pada Albert dan mendapati bahwa ternyata lelaki itu tengah menatapnya. Sophia mengalihkan pandang, menatap lalu lalang kendaraan yang lain dari balik kaca jendela.“Kenapa?” tanya Albert.Kenapa apanya? batin Sophia dengan enggan, kegetiran tersimpan di dalam.“Kenapa mereka akan berpikir seperti itu?”Sophia menatap Albert lagi, tatapannya dingin. “Tentu saja karena kau selingkuh dan tidur dengan wanita berbeda setiap minggunya. Apa kau pikir harga diriku sebagai seorang istri dan perempuan masih tersisa di mata mereka?” Sophia mencemooh.Tatapan Albert menajam dan dengan gerakan sangat cepat, dia mengukung Sophia ke jendela, memojokkannya.Mata Sophia melebar karena terkejut, jantungnya berdetak sangat cepat karena kedekatan wajah mereka.“Kalau kau keberatan, k
Albert membawa Sophia masuk ke dalam mobil dan tidak membiarkannya duduk terlalu jauh dari sisinya.“Lepaskan aku!” pinta Sophia, mencoba menjauh dari kungkungan tangan Albert yang menahannya di tempat. Wajah Sophia merona, ini sama saja seolah Albert tengah memeluknya.“Kau memiliki potensi untuk kabur kapan saja, aku tidak akan membiarkan itu.”“Kenapa?! Kau tidak akan peduli ke mana pun aku pergi! Jadi lepaskan aku!”Albert menggeram dan serta merta mengangkat tubuh Sophia sehingga duduk di atas pangkuannya. Kedua tangan Albert kembali mengungkungnya, lebih intim. Sedangkan untuk menjaga keseimbangannya, dengan refleks tangan Sophia mendarat di bahu pria itu.Sophia terkesiap, merasakan detak jantungnya seolah naik ke tenggorokan, lalu berdetak sangat kencang. “A-apa?!”Albert terkekeh. “Kita akan membahas ini di rumah, Sophie.”“Sudah kubilang, tidak ada yang perlu dibahas lagi!”“Ya, ada.” tatapan Albert menajam, menatap Sophia dengan penuh kuasa. “Ini penting bagiku.”Kepalan tan
Hal yang sedikit membuat Sophia terkejut adalah bahwa ternyata Albert memesankannya satu restoran sekaligus.Sophia tidak mengira lelaki itu benar-benar melakukannya ketika seorang pelayan datang memberikannya salam sebagai Mrs. Raymond. Mendengar nada panggilan pelayan itu membuat Sophia merasa diolok-olok. Jadi dia tidak menyahut ataupun tersenyum seperti dirinya yang biasa.Sophia dipersilakan untuk duduk, di sebuah meja yang telah diatur sedemikian rupa sehingga menampakkan kesan yang mewah dan romantis. Letaknya di samping jendela kaca besar yang langsung menyuguhkan pemandangan kota yang gemerlap.Sekalipun begitu, Sophia merasa sedikit kecewa karena ternyata Albert belum datang.Tipikalnya, pikir Sophia. Pasti sekarang dia tengah tenggelam di tumpukan kerjaannya.Sophia menunggu.Malam ini, dia hanya mengenakan gaun sederhana berwarna merah yang jatuh sampai bawah lututnya, berkerah cukup rendah, dan berlengan panjang yang terbuat dari brukat transparan. Sophia bahkan mengenakan
“Maaf, Sir, apa yang kau lakukan?” tanya Sophia dengan wajah datar.Pria itu tersenyum. “Aku melihatmu duduk di sini sedari tadi. Wanita secantik dirimu, tidak sepantasnya dibiarkan menunggu.”Raut wajah Sophia tidak berubah. Dia tidak ingin melayani omong kosong siapa pun sekarang. Jadi Sophia pun bangkit.“Tunggu dulu!” cegah pria itu pada Sophia.Sophia berhenti dan menghadapnya. “Sekali lagi, maaf, Sir. Tapi, aku benar-benar tidak butuh belas kasihanmu.”Pria itu tersenyum lagi. “Miss Sophia, tidakkah kau mau bermain sedikit dengan seorang pria lain untuk membalas perlakuan suamimu ini?”Sophia langsung terdiam, menatap pria itu lama. Ucapannya ternyata mampu menyentuh diri Sophia yang saat ini tengah goyah. Dia berpikir, ide itu tidak buruk juga.Sophia pun duduk kembali, menatap pria murah senyum itu lagi.Seoarang pelayan datang dan mereka pun memesan makan malam mereka.“Namaku Daniel Mateo,” kata pria itu memperkenalkan diri.“Kau tentunya sudah tahu siapa aku,” sahut Sophia d