Share

05. Makanan Enak (2)

Berendam, memang pilihan yang tepat.

Sophia kembali ke dapur dengan perasaan lebih baik. Namun perasaan itu tidak bertahan terlalu lama. Wajah Sophia memberengut saat melihat Albert, yang sedetik kemudian berubah terkejut melihat apa yang ternyata sedang laki-laki itu lakukan. Dia tengah mengangkat sesendok penuh masakan Sophia ke mulutnya.

“Jangan dimakan!” cegah Sophia dengan cepat.

Gerakan Albert langsung terhenti. “Kenapa?”

“Pokoknya jangan!”

“Memang kenapa? Apa kau sekarang sudah tidak sudi berbagi makanan denganku?” tanya Albert dengan tatapan jengah lalu menyuap potongan daging itu masuk ke dalam mulutnya.

Tepat pada kunyahan pertama, Albert langsung berhenti dan matanya membelalak.

Sophia hanya bisa meringis. “Aku sudah memperingatimu,” gumamnya.

Albert melanjutkan kunyahannya dan menelan gumpalan daging alot super pedas itu dengan susah payah, lalu meminum segelas air setelahnya dalam sekali tegukan. “Kau memasak ini?!” tanyanya tidak percaya.

Sophia mengangguk perlahan.

“Lain kali, jangan pernah mencoba untuk memasak apa pun!” tukas Albert dengan kejam.

Sophia berdecak jengkel, lalu meraih masakannya dan membuangnya begitu saja ke tempat sampah. Setelah itu, dia berdiri di hadapan Albert, mendongak menatap lelaki itu penuh berani—yang sebenarnya didorong oleh rasa jengkel.

“Aku akan melakukan apa pun yang mau aku lakukan! Besok, aku akan memasak banyak daging lagi dan menjadikannya makan malammu!”

Albert mundur dan menatap Sophia ngeri.

Tersadar dengan amarahnya yang konyol, Sophia pun juga mundur, dan menunduk. Kenapa dia marah-marah dengan bodoh seperti itu? sesalnya.

“Apa aku menyinggingmu?” tanya Albert setelah mereka cukup lama saling terdiam.

Sophia kembali mengangkat wajahnya menatap Albert. “Tidak sama sekali,” jawabnya cepat.

“Sepertinya iya. Kalau begitu, baiklah, aku yang akan memasak makan malam untuk kita.”

Sophia tidak yakin Albert serius, tapi laki-laki itu benar-benar melakukannya.

Dia mulai memasak, mengabaikan Sophia yang hanya bisa menatap lelaki itu tidak percaya.

Tentu saja, karena ini pertama kalinya Sophia melihat Albert memasak dan tahu bahwa ternyata lelaki itu memang benar-benar bisa melakukannya.

Lengan kemeja Albert digelung sampai siku. Dua kancing teratasnya sengaja dibuka, menampakkan kulit kecokelatan yang mulus. Pipi tirus dan rahang tegasnya mengencang dan tatapan matanya yang tajam menatap penuh konsentrasi.

 Albert bergerak di dapur seperti seorang profesional, melakukan segalanya dengan cekatan. Dan melihatnya memasak seperti ini benar-benar membaut Sophia kehilangan fokus pada segala hal selain dirinya.

Dan dengan bodoh, Sophia telah berdiri di sana memperhatikan Albert memasak selama hampir setengah jam.

“Kau pandai memasak,” komentar Sophia kemudian.

Albert menoleh padanya sekilas. “Duduklah.”

“Aku jadi tidak enak. Beri tahu apa yang harus aku lakukan.”

Albert berhenti sejenak, tampak berpikir, lalu menunjuk meja makan. “Kau bisa menata meja.”

Dan tanpa banyak tanya, Sophia pun melakukannya. Dia menghamparkan taplak meja, meletakkan semua perlengkapan makan dengan rapi, lalu menaruh sebuah vas bunga sebagai pemanis di tengah-tengahnya. Tidak lupa juga, Sophia menyalakan lilin.

Sophia tahu bahwa Albert tengah memasak sisa daging yang tadi digunakannya, jadi Sophia pergi mengambil wine dan es batu untuk mereka.

Setelah semuanya selesai, Albert membawa dua piring daging panggang dan saos yang ia buat sendiri, ke meja makan yang telah Sophia tata.

“Apa kau tidak perlu mandi? Tubuhmu berkeringat,” kata Sophia, mengutarakan isi kepalanya tanpa berpikir lebih dulu. Dia segera meralat, “Aku tidak berpikir bahwa kau bau, hanya saja ... kupikir mandi akan membuatmu merasa lebih nyaman. Ya, kan? Yah, aku tidak tahu. Terserah kau saja!”

Albert langsung menatapnya dengan tatapan aneh.

Sophia nyaris tersedak dengan ludahnya sendiri. “Ke-kenapa?”

Albert langsung menggeleng. “Bukan apa-apa,” jawabnya, sembari menarik kursi ke belakang dan duduk di sana.

Sophia pun melakukan hal yang sama. Dia mengambil gelas dan menuangkan anggur merah ke gelas Albert, serta ke gelasnya sendiri.

Setelah cairan merah bening itu lolos ke tenggorokannya, Sophia sedikit mengernyit merasakan sisa panasnya. Lalu dia meletakkan gelasnya dan mendongak menatap Albert yang duduk di hadapannya—juga tengah meluruskan pandang menatap balik Sophia.

Tiba-tiba saja, Sophia merasa setiap jengkal kulitnya meremang, dan detak jantungnya melaju semakin kencang. Dia tersadar, ini adalah makan malam pertama mereka.

Makan malam yang benar-benar terasa seperti makan malam, bukan paksaan untuk menelan gumpalan daging ke tenggorokan di restoran bintang lima di mana semua orang mengawasi mereka dengan penuh minat. Makan malam yang mereka lakukan selama ini selalu dipenuhi dengan kepalsuan dan kepura-puraan semata untuk menegaskan kepada media bahwa mereka masih berstatus suami istri. Ya, beberapa orang terkadang memang lupa, Sophia selalu ingin tertawa setiap mengingat alasannya berada di sana dengan gaun mahal dan makeup tebal untuk mempercantik wajahnya.

Sedangkan sekarang, Sophia tidak mengenakan gaun mahal, hanya kaos kebesaran dan jeans pendek. Dia juga bahkan tidak mengenakan sedikit pun polesan makeup di wajahnya. Namun, ini adalah makan malam terbaik yang ia miliki.

Albert tidak banyak bicara, tapi setiap kali Sophia bertanya, lelaki itu selalu menjawab dengan santai.

Hal ini mengingatkan Sophia lagi pada malam di kapal itu. Dan sejenak, dia pikir dia melihat sosok Albert yang selama ini dicarinya. Namun setiap kali hatinya mencoba untuk luluh, akal sehat memperingatinya dengan memperlihatkan kembali foto-foto kemesraan Albert dengan banyak wanita di luaran sana.

Tapi tetap saja, makan malam berjalan dengan baik.

Maksudnya, mereka tidak sedikit pun berargumen atau mengeluarkan kata-kata penuh sinisme. Hanya obrolan biasa. Sophia merasa santai, begitu pun juga dengan Albert. Mereka melupakan sejenak semua urusan di belakang dan hanya berfokus pada apa yang ada di momen ini.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status