Berendam, memang pilihan yang tepat.
Sophia kembali ke dapur dengan perasaan lebih baik. Namun perasaan itu tidak bertahan terlalu lama. Wajah Sophia memberengut saat melihat Albert, yang sedetik kemudian berubah terkejut melihat apa yang ternyata sedang laki-laki itu lakukan. Dia tengah mengangkat sesendok penuh masakan Sophia ke mulutnya.
“Jangan dimakan!” cegah Sophia dengan cepat.
Gerakan Albert langsung terhenti. “Kenapa?”
“Pokoknya jangan!”
“Memang kenapa? Apa kau sekarang sudah tidak sudi berbagi makanan denganku?” tanya Albert dengan tatapan jengah lalu menyuap potongan daging itu masuk ke dalam mulutnya.
Tepat pada kunyahan pertama, Albert langsung berhenti dan matanya membelalak.
Sophia hanya bisa meringis. “Aku sudah memperingatimu,” gumamnya.
Albert melanjutkan kunyahannya dan menelan gumpalan daging alot super pedas itu dengan susah payah, lalu meminum segelas air setelahnya dalam sekali tegukan. “Kau memasak ini?!” tanyanya tidak percaya.
Sophia mengangguk perlahan.
“Lain kali, jangan pernah mencoba untuk memasak apa pun!” tukas Albert dengan kejam.
Sophia berdecak jengkel, lalu meraih masakannya dan membuangnya begitu saja ke tempat sampah. Setelah itu, dia berdiri di hadapan Albert, mendongak menatap lelaki itu penuh berani—yang sebenarnya didorong oleh rasa jengkel.
“Aku akan melakukan apa pun yang mau aku lakukan! Besok, aku akan memasak banyak daging lagi dan menjadikannya makan malammu!”
Albert mundur dan menatap Sophia ngeri.
Tersadar dengan amarahnya yang konyol, Sophia pun juga mundur, dan menunduk. Kenapa dia marah-marah dengan bodoh seperti itu? sesalnya.
“Apa aku menyinggingmu?” tanya Albert setelah mereka cukup lama saling terdiam.
Sophia kembali mengangkat wajahnya menatap Albert. “Tidak sama sekali,” jawabnya cepat.
“Sepertinya iya. Kalau begitu, baiklah, aku yang akan memasak makan malam untuk kita.”
Sophia tidak yakin Albert serius, tapi laki-laki itu benar-benar melakukannya.
Dia mulai memasak, mengabaikan Sophia yang hanya bisa menatap lelaki itu tidak percaya.
Tentu saja, karena ini pertama kalinya Sophia melihat Albert memasak dan tahu bahwa ternyata lelaki itu memang benar-benar bisa melakukannya.
Lengan kemeja Albert digelung sampai siku. Dua kancing teratasnya sengaja dibuka, menampakkan kulit kecokelatan yang mulus. Pipi tirus dan rahang tegasnya mengencang dan tatapan matanya yang tajam menatap penuh konsentrasi.
Albert bergerak di dapur seperti seorang profesional, melakukan segalanya dengan cekatan. Dan melihatnya memasak seperti ini benar-benar membaut Sophia kehilangan fokus pada segala hal selain dirinya.
Dan dengan bodoh, Sophia telah berdiri di sana memperhatikan Albert memasak selama hampir setengah jam.
“Kau pandai memasak,” komentar Sophia kemudian.
Albert menoleh padanya sekilas. “Duduklah.”
“Aku jadi tidak enak. Beri tahu apa yang harus aku lakukan.”
Albert berhenti sejenak, tampak berpikir, lalu menunjuk meja makan. “Kau bisa menata meja.”
Dan tanpa banyak tanya, Sophia pun melakukannya. Dia menghamparkan taplak meja, meletakkan semua perlengkapan makan dengan rapi, lalu menaruh sebuah vas bunga sebagai pemanis di tengah-tengahnya. Tidak lupa juga, Sophia menyalakan lilin.
Sophia tahu bahwa Albert tengah memasak sisa daging yang tadi digunakannya, jadi Sophia pergi mengambil wine dan es batu untuk mereka.
Setelah semuanya selesai, Albert membawa dua piring daging panggang dan saos yang ia buat sendiri, ke meja makan yang telah Sophia tata.
“Apa kau tidak perlu mandi? Tubuhmu berkeringat,” kata Sophia, mengutarakan isi kepalanya tanpa berpikir lebih dulu. Dia segera meralat, “Aku tidak berpikir bahwa kau bau, hanya saja ... kupikir mandi akan membuatmu merasa lebih nyaman. Ya, kan? Yah, aku tidak tahu. Terserah kau saja!”
Albert langsung menatapnya dengan tatapan aneh.
Sophia nyaris tersedak dengan ludahnya sendiri. “Ke-kenapa?”
Albert langsung menggeleng. “Bukan apa-apa,” jawabnya, sembari menarik kursi ke belakang dan duduk di sana.
Sophia pun melakukan hal yang sama. Dia mengambil gelas dan menuangkan anggur merah ke gelas Albert, serta ke gelasnya sendiri.
Setelah cairan merah bening itu lolos ke tenggorokannya, Sophia sedikit mengernyit merasakan sisa panasnya. Lalu dia meletakkan gelasnya dan mendongak menatap Albert yang duduk di hadapannya—juga tengah meluruskan pandang menatap balik Sophia.
Tiba-tiba saja, Sophia merasa setiap jengkal kulitnya meremang, dan detak jantungnya melaju semakin kencang. Dia tersadar, ini adalah makan malam pertama mereka.
Makan malam yang benar-benar terasa seperti makan malam, bukan paksaan untuk menelan gumpalan daging ke tenggorokan di restoran bintang lima di mana semua orang mengawasi mereka dengan penuh minat. Makan malam yang mereka lakukan selama ini selalu dipenuhi dengan kepalsuan dan kepura-puraan semata untuk menegaskan kepada media bahwa mereka masih berstatus suami istri. Ya, beberapa orang terkadang memang lupa, Sophia selalu ingin tertawa setiap mengingat alasannya berada di sana dengan gaun mahal dan makeup tebal untuk mempercantik wajahnya.
Sedangkan sekarang, Sophia tidak mengenakan gaun mahal, hanya kaos kebesaran dan jeans pendek. Dia juga bahkan tidak mengenakan sedikit pun polesan makeup di wajahnya. Namun, ini adalah makan malam terbaik yang ia miliki.
Albert tidak banyak bicara, tapi setiap kali Sophia bertanya, lelaki itu selalu menjawab dengan santai.
Hal ini mengingatkan Sophia lagi pada malam di kapal itu. Dan sejenak, dia pikir dia melihat sosok Albert yang selama ini dicarinya. Namun setiap kali hatinya mencoba untuk luluh, akal sehat memperingatinya dengan memperlihatkan kembali foto-foto kemesraan Albert dengan banyak wanita di luaran sana.
Tapi tetap saja, makan malam berjalan dengan baik.
Maksudnya, mereka tidak sedikit pun berargumen atau mengeluarkan kata-kata penuh sinisme. Hanya obrolan biasa. Sophia merasa santai, begitu pun juga dengan Albert. Mereka melupakan sejenak semua urusan di belakang dan hanya berfokus pada apa yang ada di momen ini.
***
Albert tidak pernah membawa teman wanitanya ke rumah. Atau yang lebih suka Sophia sebut secara gamblang, selingkuhannya.Sophia tahu Albert memiliki unit apartemen mewah di kota, dan Sophia yakin ke sanalah Albert membawa selingkuhan-selingkuhannya singgah. Sophia sama sekali tidak merasa diperlakukan spesial karena hanya dirinya seoranglah yang Albert bawa ke sini. Tentu saja, karena dia istri pria itu.Tapi sekali lagi, label istri itu tidak membuat Sophia merasa lebih.Momen makan malam kemarin telah rusak dari pikiran Sophia ketika paginya dia membaca gosip tentang kembalinya si Pirang alias Cecile, ke pelukan Albert Raymond.Sophia tidak tahu mengapa seseorang benar-benar dibayar untuk menulis sesuatu semacam itu. Tidakkah mereka memiliki topik lain yang lebih bermanfaat untuk disajikan? Apa bagusnya dari mengintili kehidupan hubungan gelap seseorang dan menghardik rumah tangganya?Well, untuk beberapa orang, atau mungkin banyak orang, hal itu memang menarik untuk diikuti.Tapi So
Tidak lama kemudian, Millie Raymond datang. Wanita itu mengenakan jeans panjang, tanktop ketat berkerah sangat rendah yang memberi pemandangan lebih jelas pada payudara besarnya. Wajahnya dipoles makeup berat yang menguatkan kecantikannya. Rambutnya yang lurus dan sangat panjang digerai dan diwarnai pirang terang.Millie tampak mencolok, dan dia berjalan berlenggak-lenggok dengan sepatu berhak tinggi hitam, mengundang beberapa pasang mata tertuju padanya. Atau pada bokongnya yang seksi?Untuk seorang wanita yang telah menyandang status sebagai istri dari seorang pria konglomerat kaya raya, Millie tentu saja tampak sangat muda dan modern. Wajahnya cantik dengan tubuh yang berbentuk sempurna. Sophia tidak ingin tahu apakah itu asli atau hanya hasil rekayasa tangan-tangan ahli para dokter kecantikan.Ketika Millie telah sampai di meja mereka, wanita itu menyapa Albert dengan sangat antusias, lalu merunduk dan memeluk Albert, tidak lupa juga mendaratkan kecupan menggoda di pipinya.Sophia
“Aku sudah katakan padamu, trik ini tidak akan berhasil lagi. Percuma mengajakku ke pertemuan untuk menghindari godaan wanita-wanita itu. Di mata mereka, aku sudah tidak memiliki nilai apa pun sebagai istrimu.”Sophia menoleh pada Albert dan mendapati bahwa ternyata lelaki itu tengah menatapnya. Sophia mengalihkan pandang, menatap lalu lalang kendaraan yang lain dari balik kaca jendela.“Kenapa?” tanya Albert.Kenapa apanya? batin Sophia dengan enggan, kegetiran tersimpan di dalam.“Kenapa mereka akan berpikir seperti itu?”Sophia menatap Albert lagi, tatapannya dingin. “Tentu saja karena kau selingkuh dan tidur dengan wanita berbeda setiap minggunya. Apa kau pikir harga diriku sebagai seorang istri dan perempuan masih tersisa di mata mereka?” Sophia mencemooh.Tatapan Albert menajam dan dengan gerakan sangat cepat, dia mengukung Sophia ke jendela, memojokkannya.Mata Sophia melebar karena terkejut, jantungnya berdetak sangat cepat karena kedekatan wajah mereka.“Kalau kau keberatan, k
Albert membawa Sophia masuk ke dalam mobil dan tidak membiarkannya duduk terlalu jauh dari sisinya.“Lepaskan aku!” pinta Sophia, mencoba menjauh dari kungkungan tangan Albert yang menahannya di tempat. Wajah Sophia merona, ini sama saja seolah Albert tengah memeluknya.“Kau memiliki potensi untuk kabur kapan saja, aku tidak akan membiarkan itu.”“Kenapa?! Kau tidak akan peduli ke mana pun aku pergi! Jadi lepaskan aku!”Albert menggeram dan serta merta mengangkat tubuh Sophia sehingga duduk di atas pangkuannya. Kedua tangan Albert kembali mengungkungnya, lebih intim. Sedangkan untuk menjaga keseimbangannya, dengan refleks tangan Sophia mendarat di bahu pria itu.Sophia terkesiap, merasakan detak jantungnya seolah naik ke tenggorokan, lalu berdetak sangat kencang. “A-apa?!”Albert terkekeh. “Kita akan membahas ini di rumah, Sophie.”“Sudah kubilang, tidak ada yang perlu dibahas lagi!”“Ya, ada.” tatapan Albert menajam, menatap Sophia dengan penuh kuasa. “Ini penting bagiku.”Kepalan tan
Hal yang sedikit membuat Sophia terkejut adalah bahwa ternyata Albert memesankannya satu restoran sekaligus.Sophia tidak mengira lelaki itu benar-benar melakukannya ketika seorang pelayan datang memberikannya salam sebagai Mrs. Raymond. Mendengar nada panggilan pelayan itu membuat Sophia merasa diolok-olok. Jadi dia tidak menyahut ataupun tersenyum seperti dirinya yang biasa.Sophia dipersilakan untuk duduk, di sebuah meja yang telah diatur sedemikian rupa sehingga menampakkan kesan yang mewah dan romantis. Letaknya di samping jendela kaca besar yang langsung menyuguhkan pemandangan kota yang gemerlap.Sekalipun begitu, Sophia merasa sedikit kecewa karena ternyata Albert belum datang.Tipikalnya, pikir Sophia. Pasti sekarang dia tengah tenggelam di tumpukan kerjaannya.Sophia menunggu.Malam ini, dia hanya mengenakan gaun sederhana berwarna merah yang jatuh sampai bawah lututnya, berkerah cukup rendah, dan berlengan panjang yang terbuat dari brukat transparan. Sophia bahkan mengenakan
“Maaf, Sir, apa yang kau lakukan?” tanya Sophia dengan wajah datar.Pria itu tersenyum. “Aku melihatmu duduk di sini sedari tadi. Wanita secantik dirimu, tidak sepantasnya dibiarkan menunggu.”Raut wajah Sophia tidak berubah. Dia tidak ingin melayani omong kosong siapa pun sekarang. Jadi Sophia pun bangkit.“Tunggu dulu!” cegah pria itu pada Sophia.Sophia berhenti dan menghadapnya. “Sekali lagi, maaf, Sir. Tapi, aku benar-benar tidak butuh belas kasihanmu.”Pria itu tersenyum lagi. “Miss Sophia, tidakkah kau mau bermain sedikit dengan seorang pria lain untuk membalas perlakuan suamimu ini?”Sophia langsung terdiam, menatap pria itu lama. Ucapannya ternyata mampu menyentuh diri Sophia yang saat ini tengah goyah. Dia berpikir, ide itu tidak buruk juga.Sophia pun duduk kembali, menatap pria murah senyum itu lagi.Seoarang pelayan datang dan mereka pun memesan makan malam mereka.“Namaku Daniel Mateo,” kata pria itu memperkenalkan diri.“Kau tentunya sudah tahu siapa aku,” sahut Sophia d
“Apa-apaan itu tadi?!”Sophia melengos, melewati Albert dan masuk ke dalam rumah.Albert mengejarnya dan menarik paksa tangan Sophia untuk berbalik menghadapnya. “Jawab aku!” desis Albert tegas.Sophia menatapnya dingin. “Apa yang harus aku jawab, Albert?” tanya Sophia dengan tenang.Albert menggertakkan giginya dengan keras. “Siapa lelaki sialan itu?! Kita sudah janji untuk makan malam bersama, namun kau malah asik berselingkuh dengan pria lain.”Sophia menahan diri untuk tidak meledak oleh amarah yang saat ini tengah bergumul di dalam dirinya karena ucapan Albert itu.“Siapa dia? Namanya Daniel Mateo, Albert.” Sophia menjawab. Tangan wanita itu terangkat untuk menangkup wajah Albert. Mengusap garis keras yang tercetak oleh amarah di dalam dirinya. “Dia pria yang sangat baik dan menawan, bukan?”“Sophia,” Albert mendesis geram.Sophia tersenyum manis. Bayangan cahaya menutupi wajah Albert, sedang Sophia tampak bersinar oleh cahaya rembulan di wajahnya, matanya berkilat-kilat.“Kau ben
Keesokan harinya, Sophia terbangun dengan rasa pening di kepala. Dia menatap pantulan dirinya di cermin dan berdecak tidak suka pada sisa air mata yang menempel di wajahnya.Sophia kemudian melangkah membersihkan diri. Baru saja pelayan setia Albert, Sir Harrith, memberitahunya untuk bersiap-siap dan pergi ke kantor Albert atas panggilan pria itu.Sophia tidak ingin pergi, apalagi dengan perasaan yang masih kacau seperti ini, tapi apakah dia punya pilihan lain?Setelah selesai bersiap-siap, Sophia turun dan menyapa Dana juga memakan sedikit sarapannya. Dana memprotes atas pola makan Sophia yang menurutnya tidak sehat, tapi Sophia mengabaikannya dan pamit pergi.Hari ini, karena sir Harrith tidak mengatakan apa pun tentang tujuan Albert menyuruhnya datang, jadi Sophia hanya mengenakan pakaian kasual saja. Jeans panjang yang membalut tungkai jenjangnya dengan sempurna, dipadukan dengan kemeja warna putih kelonggaran, juga tas selempang hitam, dan sepatu boot yang berwarna senada dengan t