Nic gelisah selama menyelesaikan pekerjaan dan beberapa pertemuan. Jika ia bisa meninggalkan pekerjaan hanya untuk kembali ke mansion, ia akan melakukannya. Namun, hari ini benar-benar penting dan terlebih Nic masih bisa merasa lega Amarise tetap berada di mansion.Ia mendapati kabar dari salah satu pelayan dan mengatakan kegiatan Amarise. Bukan tanpa sebab Nic melakukannya, melainkan tidak ada satu pesan dan telepon yang dijawab Amarise. Padahal, pagi tadi terasa hangat dan menggemaskan saat mereka saling menjahili satu sama lain.“Bisakah rapat kali ini diundur?”“Maaf, Tuan. Tapi Anda sudah mengundurnya dengan alasan ingin menjemput istri Anda di Indonesia. Dan Anda meminta diingatkan agar pertemuan ini tidak bisa dialihkan lagi dan harus segera dilaksanakan.”Napas Nic berembus berat. Ia meminta sekretarisnya untuk keluar dan mempersiapkan pertemuan terakhir di restoran yang sudah di reservasi.Ia tentu tidak bisa melanggar kesepakatan yang sudah diundur, apalagi mengingat klien k
Amarise mengubah posisi tidur menjadi telungkup di sisi Nic. Ia menatap nakal dengan menjalankan jemari lentik di dada bidang Nic. Tubuh polos mereka hanya ditutupi selimut setelah menghabiskan dua sesi percintaan napas. “Bagaimana pelayananku?”“Selalu puas juga ingin lagi dan lagi,” bisik Nic tersenyum menggoda seraya menyematkan kecupan di pipi sang istri.“Terimakasih untuk pelayananmu, Istriku. Aku selalu merasa terpuaskan dan selalu menikmati tiap permulaan juga penutupnya,” lanjut Nic mengedip jahil.Amarise tersipu. Ia menyembunyikan wajah di ceruk leher Nic, membiarkan pria itu mendekapnya dengan posisi terlentang. “Lalu bagaimana denganku? Kamu terpuaskan, hm?”“Nic ... jangan nakal,” bisik Amarise dengan menahan gairah saat Nic memantiknya lewat remasan di bagian bokong.Pria itu tertawa kecil, membawa Amarise berada di atas tubuhnya dengan posisi telungkup. Sejenak Nic mendesah pelan merasakan himpitan yang terasa bisa memantik hasratnya lagi. “Dadamu sangat padat dan besa
“Apa aku keterlaluan pada Nic? Dia sudah mengatakan semuanya secara jujur, tapi aku justru bertingkah seperti anak kecil yang tidak ingin memahami keterbukaan Nic dengan masa lalunya.”Napas Amarise berembus berat. Ia terduduk gelisah di atas ranjang, sulit tidur karena tidak mendapati Nic mencoba membujuk Amarise sekali lagi. “Ini semua salahmu, Amarise!”“Beberapa jam lalu kamu sendiri yang memaki dan meminta Nic tidak tidur di kamar. Tapi kamu sendiri yang menginginkan dia berusaha sekali lagi membujukmu. Ah, sial!” maki Amarise pada dirinya sendiri.“Perasaanku tidak terlalu kesal dan cemburu lagi akibat masa lalu mereka. Seharusnya aku juga bisa menganggap santai semuanya agar perempuan menjijikan itu tidak bisa lagi mengusik. Dia memang tidak boleh lebih unggul di bandingkan aku yang sudah memiliki Nic,” tandas Amarise merasa sudah salah bersikap.Ia menyingkap selimut seraya mengambil sweater untuk menutupi gaun tidur tipisnya. Amarise harus meminta maaf dan membawa Nic tidur d
“Nicholas ... kenapa kamu tidur di sini?”Nic mengernyit dan mulai sadar dari tidur nyenyak mendapati tusukan lembut jari telunjuk seseorang menekan bagian pipinya. Rengekan manja serta aroma parfum yang ia kenali masuk di indera penciuman, membuatnya segera membuka mata.“Rishi?”Amarise menjauhkan tubuh saat pria itu terduduk dan menyugar kasar wajah serta rambut. Suara serak dan berat Nic, juga melihat penampilan pria itu membuat pikiran mesum Amarise dalam mode siap.Ia menggigit bibir bawah menahan untuk tidak menyerang suami kesayangannya. “Kenapa pagi ini kamu tidak memelukku?!” kesalnya cemberut.“Kemarin kamu mengusirku, memintaku untuk tidak tidur di kamar. Aku tidak ingin membuatmu bertambah marah jika memaksa masuk, Rishi,” jelas Nic mulai sadar akan permasalahan kemarin.Amarise mendengkus. Ia melipat kedua tangan di dada menatap Nic di atas ranjang kamar tamu. “Biasanya kamu sering memaksaku dengan rayuanmu,” gerutunya melirik sinis Nic.Pria itu terkekeh kecil melihat r
“Bersiaplah, Rishi. Lima menit lagi kita akan pergi ke rumah sakit. Aku sudah membuat janji temu dengan dokter kandungan.”Amarise menoleh sendu ke arah Nic yang berdiri di ambang pintu. Pria itu tersenyum kecil dan selalu mengingat jika Amarise tidak ingin berdekatan dengannya. “Kamu akan di antar sopir, sedangkan aku akan mengikuti mobilmu dari belakang.”“Maaf, aku masih mual,” ringis Amarise yang duduk di pinggir ranjang.“Tidak masalah, Sayang. Ayo, bersiaplah.”“Bagaimana jika aku tidak hamil dan hanya mual biasa?” tanya Amarise tidak menggubris ajakan Nic.Pria itu terdiam, menilik sorot sendu Amarise dengan saling menautkan jari jemari tangannya. Ada raut gelisah dan sedih yang Nic tangkap dari paras cantik Amarise. Wajah itu sedikit lebih pucat. “Tidak masalah. Aku hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja.”“Jadi kamu tidak senang jika aku hamil?”Nic mengerjap. Ia seperti salah bicara dan membuat perasaan Amarise mulai sangat sensitif. Bulir air mata itu turun tanpa bisa A
“Nicholas. Aku belum tua dan renta. Tubuh dan kakiku masih sangat sehat. Aku bisa jalan sendiri,” gerutu Amarise mencebikkan bibir saat Nic tidak menggubris dan tetap merangkul pinggang Amarise dari samping.Bukan hanya itu saja. Nic juga menuntun tangan satu lagi memegang pergelangan tangan Amarise untuk menaiki anak tangga. Pria itu memenuhi istrinya yang sedang hamil lima bulan mengunjungi area wisata di China.Ya. Setelah dulu ke Disneyland. Sekarang Nic dan Amarise balik lagi ke negara yang sama dengan daerah dan tempat berbeda. “Jangan membantah atau aku akan menciummu di sini, Rishi.”Amarise mendengkus kesal tanpa menolak lagi. Kalimat itu bukan sekadar ucapan biasa, melainkan sudah kali kedua Amarise terjebak dengan ancaman Nic.Pria itu tidak sungkan mencium Amarise di area manapun hanya untuk mendapatkan hukuman seperti ini. Tapi Amarise yang tidak terbiasa dicium area publik dan masih sekitar Asia, merasa benar-benar malu dan tidak ingin mengulanginya lagi.Mereka berdua m
Amarise berusaha mengendap tanpa menimbulkan suara. Ia meletakkan secarik kertas di atas nakas samping tempat tidur Nic, lalu menatap suaminya yang masih tidur pulas. Senyum Amarise mengembang melihat paras tampan yang hingga detik ini tidak pernah mengulangi kesalahannya lagi. “Aku mencintaimu, Nicholas,” bisik Amarise.Perempuan itu mengecup lembut kening Nic dan berlalu meninggalkan kamar hotel. Ia harus membeli bahan makanan di supermarket lantai bawah.Dirinya tidak menggubris tawaran Nic untuk selalu makan dari menu restoran atau menyuruh anak buah Nic yang berada di hotel berbeda.Amarise bisa melakukannya dan ia harus ganti memanjakan sang suami lewat masakan. Karena Nic sudah lebih banyak mencurahkan rasa sayangnya pada Amarise selama hamil.“Kenapa aku ingin buang air kecil lagi?” Amarise meringis pelan dan berganti arah menuju toilet di lantai bawah, berlawanan arah dari supermarket.Tiba-tiba ia merasakan kantung kemihnya terisi lagi. Ia tergesa memasuki salah satu bilik s
“Kuatkan dirimu. Ingatlah ada anak kita di dalam sini. Dia semakin tumbuh dan jangan sampai tubuh dan pikiran lemahmu memengaruhi anak kita, Rishi.” Amarise menumpukan telapak tangan kanan di atas punggung tangan Nic yang mengusap perut Amarise. Ia mengangguk. “Aku sudah menyiapkan diriku dari tiga minggu lalu.” Nic tidak ingin gegabah menuruti permintaan Amarise ini. Ia berkonsultasi dengan dokter, menyelesaikan semua urusan penting dan mencoba mengalihkan pikiran Amarise memenuhi permintaan ke Singapura dan Malaysia. Itu lebih penting dibandingkan Nic harus mengabulkan lebih cepat rasa penasaran Amarise. Sekarang ia cukup lega karena istrinya sudah berusaha menunjukkan kesiapannya. “Kemarilah. Ikut bersamaku.” Amarise mengerjap mengikuti Nic memasuki sisi lain dari mansion. Mereka tiba dari mengunjungi negara Asia Tenggara kemarin, menginap semalam di apartemen dan baru saja di mansion. “Aku bersumpah tidak akan memaafkan diriku sendiri jika terjadi sesuatu padamu dan anak kit
“Yeay! Kakakku paling hebat!” kedua tangan Alona bertepuk semangat. Ia begitu berseri, bangga dan takjub dengan sosok pria tinggi bertubuh atletis dalam balutan jas formal baru saja menyampaikan pidato perdananya sebagai CEO baru, resmi menggantikan seorang Nicholas Isaac yang sudah pensiun. Lelaki itu berhasil membimbing putranya sedari masa remaja dan kuliah. Nic menempatkan putra semata wayangnya di posisi menengah, salah satu anak cabang perusahaan agar putra kandungnya bisa mulai mengemban pekerjaan. Dan hasilnya, sungguh luar biasa. River Isaac, mampu melakukan semuanya di usia matangnya, tiga puluh tahun. “Kakakmu semakin tampan saja. Bagaimana cara mendaftar menjadi kekasihnya? Atau jika perlu, beri aku tips ampuh agar bisa menjadi kakak iparmu, Lona.” Alona memutar bola mata dengan pandangan kesal. “Tidak! Sampai kapan pun kamu tetap menjadi sahabatku, bukan kakak ipar perempuanku!” ketusnya membuat Amarise yang mendengar percakapan tertawa kecil. Alona adalah perpaduan
“Kamu pikir aku tidak tahu apa yang terjadi selama ini di antara kamu bersama River?”“Bibi-mu ini tahu segalanya, Ivory,” desis wanita itu menyeringai layaknya iblis.“Sikap binalmu, hasrat yang menggebu-gebu kamu salurkan pada pria muda yang dulu lebih memilih mengisi pikirannya dengan banyak pelajaran. Dan sekarang? Kamu mengubah pria itu lebih berani bertindak.”Ruangan sempit itu bergema saat suara tawa mengejek sangat memekakan dan risih di telinga Ivory. Gadis cantik bertubuh semampai itu mengepalkan kedua tangan. Embusan napasnya terkesan memburu seraya mengetatkan rahang.Sekalipun ruangan cukup temaram. Ivory sudah lebih dari cukup untuk tidak menelisik wajah menjengkelkan Bibi kandungnya. Wanita jalang ini tidak lebih baik dari kelakuan nakal Ivory sejak kecil.“Dua bulan lalu adalah perayaan pesta ulang tahunmu ketujuh belas. Keluarga Isaac memberikan perayaan sederhana, kekeluargaan yang hangat. Tapi saat malam hari, mereka semua tidak tahu jika kamu sedang berbagi peluh
Alona Isaac. Siswi paling cantik menjadi incaran banyak siswa di sekolah menengah pertamanya. Hanya saja, gadis itu terlalu angkuh dan memiliki selera sendiri dalam memilih pria mana yang ingin ia balas perasaannya.Lebih tepatnya, sejauh mana mereka bisa membahagiakan masa muda Alona.“Lona. Apa kamu mendengar berita terbaru?”“Berita apa?” tanya Alona melepas headset dan melirik malas teman dekatnya.Gadis berambut sebahu itu mendekat dan berbisik dengan raut sedih, “Kita akan mulai kehilangan pria paling tampan dan populer di tahun terakhir sekolah ini.”Alona mendelik bingung. “Siapa?”“Astaga! Siapa lagi jika bukan pria yang selalu menjadi pusat perhatian di sekolah kita.”“Satu angkatan dan satu kelas,” desisnya hampir melotot karena respons Alona terkesan acuh tak acuh.Teman dekat Alona menggerakkan dagu, memberikan atensi pada satu pria yang duduk tenang dan berekspresi dingin di sudut depan kelas. Pria itu tidak sedang berniat mengisi jam istirahat ke kantin atau seperti bia
“Sudah tidak ada lagi sekretaris dan anak buahmu! Jadi tidak perlu bersikap manis padaku di depan mereka!” ketus Amarise menurunkan kasar lengan Nic di pinggang Amarise.Wanita itu sangat kesal mendapati sikap posesif Nic yang terlihat dibuat-buat. Hati Amarise merasa diremas, sakit dan sesak. Air mata Ibu dari tiga anak itu hampir saja tumpah, membuat Nic terpaku di depan lift.Baru saja lelaki itu ingin menuntun istrinya masuk terlebih dulu. “Rishi? Kenapa menangis?”“Dasar lelaki berengsek!” umpat Amarise sedikit menjauh.Tiba-tiba saja suasana hatinya memburuk. Nic sudah hampir satu minggu tidak bisa menjemput Amarise di lobi perusahaan. Awalnya ia merasa bingung dan takut. Karena Nic tidak pernah menolak permintaan manja Amarise.Bahkan, terkadang lelaki itu berinisiatif sendiri menjemputnya, memperlihatkan kemesraan lewat gandengan tangan atau pelukan di pinggang Amarise. Lelaki itu ingin sekali memperkenalkan Amarise berulang kali di depan para pegawai perusahaan.Tapi hari ini
“Menurutmu, bagaimana dengan Margareth? Dia cantik, cerdas dan terlihat dewasa dari segi pemikiran dan tata krama. Di masa depan dia sangat pantas bersanding dengan River.”Kalimat antusias dan tatapan penuh harap lewat binar-binar di mata Amarise, membuat tenggorokan Ivory serat. Ia menelan makanan susah payah, secara alamiah penasaran dan menoleh ke arah River.Pria yang duduk di sampingnya ikut menoleh. Alhasil, Ivory lebih dulu membuang pandangan.Ada perasaan tidak suka saat Amarise membanggakan gadis lain untuk River. Apalagi mempersiapkan pasangan hidup untuk pria tampan itu.“Margareth? Dia yang minggu lalu datang kan, Ma?” tanya Alona.“Iya, Sayang. Kamu bersama Margareth juga terlihat akrab,” lanjutnya merasa ada di situasi melihat sosok Elena di diri Margareth.Gadis satu angkatan dan satu kesal dengan River. Tidak sedikit teman di kelasnya berharap pasangan cerdas, sama-sama rupawan itu segera menjalin kasih.“Rishi. Jika kamu meminta sebuah perjodohan untuk anak-anak kita
“Papa ... Mama ....” “River tidak mau main bersama adik perempuannya!” “Oh, sial!” umpat Nic baru saja mengerang sebagai pembuka. Ia hampir saja menghentakkan tubuh setelah melesak masuk diimpit kenikmatan yang ditawarkan Amarise. “Hei, jangan mengumpati anak perempuanmu,” tegur Amarise tajam, meskipun berakhir dengan tawa bahagia. Ia bahagia melihat rasa frustrasi di wajah Nic dan milik pria itu yang membutuhkan tempat ternyamannya. Dengan gesit Amarise meraih kaus dan celana pendek Nic, berbanding terbalik dengan kemalasan Nic duduk menatap dirinya datar. “Kenapa? Kamu ingin melampiaskan kekesalanmu padaku?” “Tidak,” balasnya bergerak malas memakai kaus dan celana pendek. Amarise terkekeh melihat Nic jalah tertatih, merasa dunia panasnya hilang digantikan pusing yang mulai mendera. Pintu terbuka dan menampilkan wajah cantik nan mungil Amarise versi kecil. Darah Asia lebih kuat karena gen keluarga Amarise dari pihak Ayahnya memiliki duplikat indah. “Papa,” suara Alona dibuat s
Nic merasakan kehangatan di dadanya melihat Amarise membantu menyandarkan punggung Nic di kepala ranjang. Dengan perlahan kedua tungkai Nic di angkat, disejajarkan di atas ranjang, lalu menyelimuti sebatas pinggang. “Maaf atas kesalahanku.” “Kamu salah karena tidak percaya cintaku yang hadir untukmu,” sahut Amarise hampir ketus. Tapi melihat keadaan Nic tidak bisa diajak bercanda atau sekadar memukul gemas suaminya. Hanya embusan napas berat yang terdengar berat bagi Amarise. “Aku harus memberi pelajaran pada jalang itu,” tandas Amarise menggebu. Kilatan kebencian sangat terlihat jelas di manik coklat Amarise. “Nyawa dibalas nyawa, Nic.” “Aku dan River hampir kehilangan dirimu. Lalu, air mata Mama dan Papa sangat membuatku semakin terpuruk.” “Mungkin mereka bisa membuatku tegar dengan perkataan meyakinkan. Tapi di sisi lain, mereka hanya ingin membuatku tenang dan tidak berakhir semakin menyedihkan.” Jason memberitahu kecelakaan yang membuat mobil Nic hampir ringsek. Tubuh suamin
“Kita kencan naik motor?!” “Hmm ... ya, naik motor. Apa kamu tidak suka?” Nic mengusap tengkuknya salah tingkah. Pria itu merasa pandangan Amarise terlalu membuat Nic berpikiran buruk. Seharusnya pria itu bisa memberikan kesan kencan manis untuk kali pertama setelah jatuh cinta dengan menaiki mobil. “Jika memilih antara sepeda dan motor, aku lebih suka sepeda. Kesan manis dan penuh cumbuan hari itu di tepi danau lebih membekas. Masih mendebarkan hingga sekarang.” pipi putih dan mulus Amarise bersemu merah. Keraguan Nic perlahan memudar dengan menarik senyum, ikut tertawa geli saat Amarise mendekat. Perempuan itu memeluk manja Nic yang sudah berpenampilan tampan—lebih muda—saat memakai pakaian kasual. “Ini bukan kencan pertamamu bersama seorang perempuan,” cibir Amarise tanpa mengurai pelukan. Nic tertawa seraya mengecup ujung hidung mancung istrinya. “Tapi ini kali pertama aku merasakan cinta yang lebih besar pada perempuan. Dan ini kali pertama setelah lebih dari sepuluh tahun
“Amarise. Hari ini River belum diberikan ASI.” “Stok ASI masih ada, kan, Ma? Biar pengasuh River yang menyiapkannya. Aku masih harus mencari keberadaan Nic,” balas Amarise tanpa menoleh ke arah Nyonya Isaac datang ke kamar sambil menggendong River yang masih tidur.Sebentar lagi jadwal anak lelaki itu untuk bangun dan menerima ASI dari Amarise. Tapi hampir tiga hari Amarise mengabaikan perannya, beralih mengonfirmasi pesawat yang diterbangi Nic dengan awak pesawat juga penumpang lain.Mata wanita itu berkaca-kaca melihat menantunya baru saja menelepon seseorang, kesekian kali hanya untuk memastikan mimpi buruk Amarise tidak nyata.“Amarise … Anak laki-lakiku sudah ….”“Tolong jangan katakan kalimat mengerikan itu lagi, Ma!” pekik Amarise tanpa sadar.Ia sendiri tersentak kaget. Tubuh Amarise gemetar, mengatupkan rapat bibir menahan desakan untuk menangis. “Maaf,” lirihnya tidak berani menatap Nyonya Isaac.“Aku tidak peduli tentang berita apa pun, Ma. Aku masih percaya Nic hanya memb