“Rishi?” panggil Nic meraih tangan lain Amarise yang tidak mengobati luka di wajahnya.“Ya?”Nic menatap lekat manik coklat Amarise. Perempuan itu memilih fokus mengobati luka lebam dan bekas darah segar mengalir di sudut bibir Nic. Tidak sedikitpun Amarise menatap ke arah dirinya.“Kamu tidak ingin bertanya lagi?” tanya Nic memperjelas sahutannya tadi.Kedua sudut bibir Amarise tertarik tipis. Sangat tipis hingga menimbulkan sensasi perih di hati Nic. Ia merasa keterdiaman Amarise setelah Nic memberi pengakuan di depan unit apartemen tadi, mengubah sikap Amarise.“Biasanya kamu akan bertanya lebih jauh, memastikan banyak hal dan terus mendesakku agar kamu mendapatkan jawaban yang runut tanpa ingin aku menutupi semuanya,” jelas pria itu meraih dagu Amarise.Ia memaksa lembut Amarise untuk meninggalkan pekerjaan yang sudah selesai tersebut. Sorot teduh Amarise berbanding gusar dengan tatapan menelisik Nic. “Katakan sesuatu agar aku bisa memastikan kamu tidak marah padaku,” pinta Nic me
Selama lima jam Nic berkutat di dalam ruang kerja. Ia merasa kesepian dan memilih bekerja karena satu rencana tiba-tiba saja masuk dalam pikirannya. Nic akan melakukan jadwal penerbangan bersama Amarise mengunjungi Disneyland di negara lain.Ia ingin mengabulkan impian lain Amarise dan menjadikannya sebagai kejutan. Perempuan itu tidak mengetahui rencana ini.Beberapa kali ia juga menghubungi Amarise dan meminta perempuan itu mengirim foto area yang didatangi.Rishi: Apa aku harus memberikan foto saat di toilet perempuan juga?Nic menyeringai kecil melihat satu pesan masuk dengan jarak setengah jam mereka melanjutkan kesibukan masing-masing.Nic: Itu pengecualian.Baru saja Nic akan meletakkan ponsel. Satu pesan masuk itu membuatnya kembali membuka fitur komunikasi tersebut. Sepersekian detik Nic terpaku, merasakan dadanya berdesir dan miliknya bereaksi di bawah sana.Ia menahan napas ketika jemari tangannya menggulir pose lain yang baru dikirim Amarise.Rishi: Bagaimana lingerie hita
“Mengkhianati Rishi?”“Jangan berpura-pura tidak menyadari kesalahan kamu, Nic! Aku tidak pernah menyangka kamu sudah membuat kontrak pernikahan dengan Amarise!”“Pernikahan adalah hal sakral dan suci! Apa yang ada dipikiranmu hingga menodainya, ha?! Dalam hal ini, tetaplah pihak perempuan yang paling dirugikan!” bentak Nyonya Isaac semakin menangis kuat.Dada wanita itu bergemuruh saat pesan terakhir Amarise ditinggalkan dengan sangat cepat—mengubah atmosfer manis antara Ibu mertua dan menantu hancur. Semua hancur karena tindakan berengsek putra semata wayangnya.Nic terkesiap, merasakan tubuhnya menegang dan merasa mati rasa pada setiap bagian tubuh saat pukulan bertubi-tubi menghujam bahu juga dada bidangnya. “Perempuan mana yang membuat kamu lebih memilih dia dibandingkan istri sahmu?! Amarise tetaplah jauh lebih sempurna dibandingkan perempuan itu! Aku yakin! Dan aku memastikan kamu akan menyesal dengan pilihan bodohmu!”Dunia Nic berputar terlalu cepat. Runut manis sedari pagi h
Dua Minggu Kemudian ....“Amarise, bagian kamu pagi ini di suite room nomor 267,” titah Manager Housekeeping menunjuk Amarise.“Baik, Bu,” balasnya segera melakukan tugas.Amarise sudah bekerja di salah satu hotel bintang lima yang berada di kawasan Bali hampir satu minggu. Alasan utama ia mengambil pekerjaan ini adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup.Kali terakhir Amarise mengambil uang pemberian Nic sebelum menuju bandara. Ia mengambil uang secukupnya dan tidak akan mengambil lagi dengan pemikiran jika hal tersebut bisa dilacak Nic dalam mode transaksi terakhir.Selama itupula, Amarise berusaha menepis segala hal tentang Nic. Amarise masih mencari cara untuk memberitahu masalah perceraiannya bersama pengacara keluarga Amarise. Terlebih, ia tidak pernah mengatakan tentang pernikahan. Ia malu untuk mengungkapkan status dari seorang keponakan menjadi istri.Di sisi lain, Amarise bersyukur tidak dicari oleh keluarga Nic. Biarlah semua berjalan seperti ini, meskipun Amarise merasa sudut
“Kamu masih bisa berjalan santai, meninggalkanku setelah mempermalukanku, ha? Bagaimana kamu bisa semakin licik, Nic?! Aku sudah keluar dari mansion dan segera menghilang dari kehidupanmu itu!” pekik Amarise di lantai koridor lobi yang sepi.Ia baru saja menghentikan langkah Nic yang akan memasuki lift, beristirahat di unit setelah memfitnah Amarise.Hidung mancung Amarise kembang kempis seiring kedua tangan mengepal kuat. Rahang itu mengetat dan semakin tajam menatap Nic yang berbalik dengan sorot tenang. “Berengsek,” umpatnya menggeram tertahan.“Aku sudah mengatakan alasan utamaku, yaitu tidak mengizinkanmu bekerja, terlebih menjadi bagian kebersihan,” balasnya memasukkan kedua tangan dalam saku celana.Tubuh atletis itu terbalut kemeja dipadukan celana bahan. Bagian lengan itu dilipat hingga sebatas siku dan membiarkan tiga kancing teratas terbuka. “Pulanglah bersamaku, Rishi,” tambah Nic tanpa ekspresi yang membuat Amarise tergelak sinis.“Pulang bersamamu hanya untuk melihat bet
Amarise merutuki nasib sialnya dan sudah lebih dari puluhan kali memaki Nic sepanjang kaki jenjangnya menapaki pinggir pantai. Ia sudah diusir dari pekerjaan, lalu ditambah lagi harus mengubah sedikit alur ‘kebohongan’ pada Yulia.Semua kerumitan di pikiran Amarise dipicu oleh tindakan Nic. “Dasar pria berengsek! Dua minggu ini kebebasanku terenggut hanya dalam hitungan detik! Di sana pasti dia puas menertawaiku!” tukas Amarise menendang sekilas pasir pantai dengan kaki.Perempuan itu hampir saja melempar sepasang heels ke arah air saking kesalnya. Bahkan, hari sudah mulai sore dan siap berganti dengan malam. “Aku malas sekali pulang ke kontrakan,” gerutu Amarise.“Aku bingung harus bekerja apalagi di saat kebutuhan ekonomi mendesakku detik ini juga.” Amarise baru saja menikmati makanan di salah satu warung pinggiran, sebagai salah satu destinasi wisata kuliner.Ia tidak berani pergi ke tempat yang lebih mahal karena uangnya kian menipis. “Argh! Kenapa hidupku semakin sulit untuk jauh
Nic merangkul bahu Amarise. “Ayo kita tidur!” Ia sudah merindukan merengkuh tubuh hangat istrinya.“Malam ini kamu tidur di sofa!” ketus Amarise menurunkan kasar tangan Nic.Pria itu membulatkan matanya teralihkan dari pikiran bahagia melihat ranjang kecil, tapi bisa diisi oleh mereka berdua hanya untuk tidur berpelukan. Dua minggu sudah membuat tidur Nic tidak keruan tanpa Amarise. “Apa maksudmu? Kita sudah berbaikan dan selayaknya suami istri yang terpisah, kita bisa merasakan lagi kehangatan satu sama lain.”“Maaf, Tuan. Apa aku menerima permintaan maafmu?” tanya Amarise menyeringai sinis dengan menyandarkan tubuh di kosen pintu. Ia melipat kedua tangan di dada sambil menatap angkuh Nic.Nic hampir tidak berkedip. “Jadi seluruh penjelasanku belum kamu terima?”“Aku menerimanya. Hanya saja, bukan berarti aku memaafkanmu malam ini juga,” sahutnya tenang, berbanding terbalik dengan embusan napas kasar Nic.“Tidak ada pelukan?” tanya Nic mulai lemas.Amarise ingin sekali menertawai rau
Pagi ini Nic bisa merasakan bangun tidur lebih rileks dan sangat segar. Ia sudah cukup lama menahan keinginan bertemu bersama Amarise, menyelesaikan semuanya agar kehidupan pria itu kembali pada aktivitas seperti biasa. “Bagaimana tidurmu semalam?” “Biasa saja.” Nic mendengkus sekilas setelah bersandar di sisi meja dapur. Ia memerhatikan jemari cekatan Amarise memotong sayuran. “Semalam kamu memeluk dan mengecup bibirku berulang kali. Bahkan, aku masih mengingat ucapanmu tentang merindukanku.” “Mungkin hanya mimpi indahmu saja,” cetus Amarise meninggalkan Nic beralih membawa sayuran menuju wastafel. Merasa kesal dengan tindakan dan jawaban Amarise. Nic justru lebih merasa gemas karena istrinya bisa sangat kekeuh untuk membentengi dirinya. Pria itu terkekeh pelan dan mengikuti langkah Amarise. Kedua tangan Nic menelusup ke dalam kaus kebesaran Amarise. Di dalam sana tidak ada bra ataupun celana, kecuali ditutupi kain tipis menutupi area sensitif. “Aku bisa membantumu agar sarapan
“Yeay! Kakakku paling hebat!” kedua tangan Alona bertepuk semangat. Ia begitu berseri, bangga dan takjub dengan sosok pria tinggi bertubuh atletis dalam balutan jas formal baru saja menyampaikan pidato perdananya sebagai CEO baru, resmi menggantikan seorang Nicholas Isaac yang sudah pensiun. Lelaki itu berhasil membimbing putranya sedari masa remaja dan kuliah. Nic menempatkan putra semata wayangnya di posisi menengah, salah satu anak cabang perusahaan agar putra kandungnya bisa mulai mengemban pekerjaan. Dan hasilnya, sungguh luar biasa. River Isaac, mampu melakukan semuanya di usia matangnya, tiga puluh tahun. “Kakakmu semakin tampan saja. Bagaimana cara mendaftar menjadi kekasihnya? Atau jika perlu, beri aku tips ampuh agar bisa menjadi kakak iparmu, Lona.” Alona memutar bola mata dengan pandangan kesal. “Tidak! Sampai kapan pun kamu tetap menjadi sahabatku, bukan kakak ipar perempuanku!” ketusnya membuat Amarise yang mendengar percakapan tertawa kecil. Alona adalah perpaduan
“Kamu pikir aku tidak tahu apa yang terjadi selama ini di antara kamu bersama River?”“Bibi-mu ini tahu segalanya, Ivory,” desis wanita itu menyeringai layaknya iblis.“Sikap binalmu, hasrat yang menggebu-gebu kamu salurkan pada pria muda yang dulu lebih memilih mengisi pikirannya dengan banyak pelajaran. Dan sekarang? Kamu mengubah pria itu lebih berani bertindak.”Ruangan sempit itu bergema saat suara tawa mengejek sangat memekakan dan risih di telinga Ivory. Gadis cantik bertubuh semampai itu mengepalkan kedua tangan. Embusan napasnya terkesan memburu seraya mengetatkan rahang.Sekalipun ruangan cukup temaram. Ivory sudah lebih dari cukup untuk tidak menelisik wajah menjengkelkan Bibi kandungnya. Wanita jalang ini tidak lebih baik dari kelakuan nakal Ivory sejak kecil.“Dua bulan lalu adalah perayaan pesta ulang tahunmu ketujuh belas. Keluarga Isaac memberikan perayaan sederhana, kekeluargaan yang hangat. Tapi saat malam hari, mereka semua tidak tahu jika kamu sedang berbagi peluh
Alona Isaac. Siswi paling cantik menjadi incaran banyak siswa di sekolah menengah pertamanya. Hanya saja, gadis itu terlalu angkuh dan memiliki selera sendiri dalam memilih pria mana yang ingin ia balas perasaannya.Lebih tepatnya, sejauh mana mereka bisa membahagiakan masa muda Alona.“Lona. Apa kamu mendengar berita terbaru?”“Berita apa?” tanya Alona melepas headset dan melirik malas teman dekatnya.Gadis berambut sebahu itu mendekat dan berbisik dengan raut sedih, “Kita akan mulai kehilangan pria paling tampan dan populer di tahun terakhir sekolah ini.”Alona mendelik bingung. “Siapa?”“Astaga! Siapa lagi jika bukan pria yang selalu menjadi pusat perhatian di sekolah kita.”“Satu angkatan dan satu kelas,” desisnya hampir melotot karena respons Alona terkesan acuh tak acuh.Teman dekat Alona menggerakkan dagu, memberikan atensi pada satu pria yang duduk tenang dan berekspresi dingin di sudut depan kelas. Pria itu tidak sedang berniat mengisi jam istirahat ke kantin atau seperti bia
“Sudah tidak ada lagi sekretaris dan anak buahmu! Jadi tidak perlu bersikap manis padaku di depan mereka!” ketus Amarise menurunkan kasar lengan Nic di pinggang Amarise.Wanita itu sangat kesal mendapati sikap posesif Nic yang terlihat dibuat-buat. Hati Amarise merasa diremas, sakit dan sesak. Air mata Ibu dari tiga anak itu hampir saja tumpah, membuat Nic terpaku di depan lift.Baru saja lelaki itu ingin menuntun istrinya masuk terlebih dulu. “Rishi? Kenapa menangis?”“Dasar lelaki berengsek!” umpat Amarise sedikit menjauh.Tiba-tiba saja suasana hatinya memburuk. Nic sudah hampir satu minggu tidak bisa menjemput Amarise di lobi perusahaan. Awalnya ia merasa bingung dan takut. Karena Nic tidak pernah menolak permintaan manja Amarise.Bahkan, terkadang lelaki itu berinisiatif sendiri menjemputnya, memperlihatkan kemesraan lewat gandengan tangan atau pelukan di pinggang Amarise. Lelaki itu ingin sekali memperkenalkan Amarise berulang kali di depan para pegawai perusahaan.Tapi hari ini
“Menurutmu, bagaimana dengan Margareth? Dia cantik, cerdas dan terlihat dewasa dari segi pemikiran dan tata krama. Di masa depan dia sangat pantas bersanding dengan River.”Kalimat antusias dan tatapan penuh harap lewat binar-binar di mata Amarise, membuat tenggorokan Ivory serat. Ia menelan makanan susah payah, secara alamiah penasaran dan menoleh ke arah River.Pria yang duduk di sampingnya ikut menoleh. Alhasil, Ivory lebih dulu membuang pandangan.Ada perasaan tidak suka saat Amarise membanggakan gadis lain untuk River. Apalagi mempersiapkan pasangan hidup untuk pria tampan itu.“Margareth? Dia yang minggu lalu datang kan, Ma?” tanya Alona.“Iya, Sayang. Kamu bersama Margareth juga terlihat akrab,” lanjutnya merasa ada di situasi melihat sosok Elena di diri Margareth.Gadis satu angkatan dan satu kesal dengan River. Tidak sedikit teman di kelasnya berharap pasangan cerdas, sama-sama rupawan itu segera menjalin kasih.“Rishi. Jika kamu meminta sebuah perjodohan untuk anak-anak kita
“Papa ... Mama ....” “River tidak mau main bersama adik perempuannya!” “Oh, sial!” umpat Nic baru saja mengerang sebagai pembuka. Ia hampir saja menghentakkan tubuh setelah melesak masuk diimpit kenikmatan yang ditawarkan Amarise. “Hei, jangan mengumpati anak perempuanmu,” tegur Amarise tajam, meskipun berakhir dengan tawa bahagia. Ia bahagia melihat rasa frustrasi di wajah Nic dan milik pria itu yang membutuhkan tempat ternyamannya. Dengan gesit Amarise meraih kaus dan celana pendek Nic, berbanding terbalik dengan kemalasan Nic duduk menatap dirinya datar. “Kenapa? Kamu ingin melampiaskan kekesalanmu padaku?” “Tidak,” balasnya bergerak malas memakai kaus dan celana pendek. Amarise terkekeh melihat Nic jalah tertatih, merasa dunia panasnya hilang digantikan pusing yang mulai mendera. Pintu terbuka dan menampilkan wajah cantik nan mungil Amarise versi kecil. Darah Asia lebih kuat karena gen keluarga Amarise dari pihak Ayahnya memiliki duplikat indah. “Papa,” suara Alona dibuat s
Nic merasakan kehangatan di dadanya melihat Amarise membantu menyandarkan punggung Nic di kepala ranjang. Dengan perlahan kedua tungkai Nic di angkat, disejajarkan di atas ranjang, lalu menyelimuti sebatas pinggang. “Maaf atas kesalahanku.” “Kamu salah karena tidak percaya cintaku yang hadir untukmu,” sahut Amarise hampir ketus. Tapi melihat keadaan Nic tidak bisa diajak bercanda atau sekadar memukul gemas suaminya. Hanya embusan napas berat yang terdengar berat bagi Amarise. “Aku harus memberi pelajaran pada jalang itu,” tandas Amarise menggebu. Kilatan kebencian sangat terlihat jelas di manik coklat Amarise. “Nyawa dibalas nyawa, Nic.” “Aku dan River hampir kehilangan dirimu. Lalu, air mata Mama dan Papa sangat membuatku semakin terpuruk.” “Mungkin mereka bisa membuatku tegar dengan perkataan meyakinkan. Tapi di sisi lain, mereka hanya ingin membuatku tenang dan tidak berakhir semakin menyedihkan.” Jason memberitahu kecelakaan yang membuat mobil Nic hampir ringsek. Tubuh suamin
“Kita kencan naik motor?!” “Hmm ... ya, naik motor. Apa kamu tidak suka?” Nic mengusap tengkuknya salah tingkah. Pria itu merasa pandangan Amarise terlalu membuat Nic berpikiran buruk. Seharusnya pria itu bisa memberikan kesan kencan manis untuk kali pertama setelah jatuh cinta dengan menaiki mobil. “Jika memilih antara sepeda dan motor, aku lebih suka sepeda. Kesan manis dan penuh cumbuan hari itu di tepi danau lebih membekas. Masih mendebarkan hingga sekarang.” pipi putih dan mulus Amarise bersemu merah. Keraguan Nic perlahan memudar dengan menarik senyum, ikut tertawa geli saat Amarise mendekat. Perempuan itu memeluk manja Nic yang sudah berpenampilan tampan—lebih muda—saat memakai pakaian kasual. “Ini bukan kencan pertamamu bersama seorang perempuan,” cibir Amarise tanpa mengurai pelukan. Nic tertawa seraya mengecup ujung hidung mancung istrinya. “Tapi ini kali pertama aku merasakan cinta yang lebih besar pada perempuan. Dan ini kali pertama setelah lebih dari sepuluh tahun
“Amarise. Hari ini River belum diberikan ASI.” “Stok ASI masih ada, kan, Ma? Biar pengasuh River yang menyiapkannya. Aku masih harus mencari keberadaan Nic,” balas Amarise tanpa menoleh ke arah Nyonya Isaac datang ke kamar sambil menggendong River yang masih tidur.Sebentar lagi jadwal anak lelaki itu untuk bangun dan menerima ASI dari Amarise. Tapi hampir tiga hari Amarise mengabaikan perannya, beralih mengonfirmasi pesawat yang diterbangi Nic dengan awak pesawat juga penumpang lain.Mata wanita itu berkaca-kaca melihat menantunya baru saja menelepon seseorang, kesekian kali hanya untuk memastikan mimpi buruk Amarise tidak nyata.“Amarise … Anak laki-lakiku sudah ….”“Tolong jangan katakan kalimat mengerikan itu lagi, Ma!” pekik Amarise tanpa sadar.Ia sendiri tersentak kaget. Tubuh Amarise gemetar, mengatupkan rapat bibir menahan desakan untuk menangis. “Maaf,” lirihnya tidak berani menatap Nyonya Isaac.“Aku tidak peduli tentang berita apa pun, Ma. Aku masih percaya Nic hanya memb