‘Datanglah ke gedung teater yang dihadiri sekolah anakku dan lainnya. Ambil duduk di kursi antara 40 – 50 agar kamu bisa melihat jelas apa saja yang aku lakukan bersama Nic. Interaksi kami berdua tidak sama lagi. Karena kami berdua sudah menemukan titik selesai.’Amarise mengambil duduk di kursi 43 dari sisi kiri menghadap panggung, sedangkan matanya sesekali melihat ke arah satu tingkat di bawah sebelah kanan; sesuai apa yang dijelaskan Nolia. Dirinya bisa melihat interaksi antara Nic dan Nolia duduk bersebelahan.Tentu posisi Amarise tidak akan dilihat Nic yang sudah sedari awal mengisi kursi para tamu dari pihak orangtua murid dan wali pengganti mereka.“Bagaimana tidurmu semalam di apartemen?” tanya Nolia menoleh ke samping. Sekilas ia menoleh ke atas dari sisi Nic dan mendapati Amarise juga menatapnya.Ruangan teater cukup redup karena acara sudah akan dimulai. Lagipula Nic tidak mengetahui keberadaan Amarise sama sekali.“Cukup baik,” balas Nic tersenyum tipis dan memilih menata
“Rishi?” panggil Nic meraih tangan lain Amarise yang tidak mengobati luka di wajahnya.“Ya?”Nic menatap lekat manik coklat Amarise. Perempuan itu memilih fokus mengobati luka lebam dan bekas darah segar mengalir di sudut bibir Nic. Tidak sedikitpun Amarise menatap ke arah dirinya.“Kamu tidak ingin bertanya lagi?” tanya Nic memperjelas sahutannya tadi.Kedua sudut bibir Amarise tertarik tipis. Sangat tipis hingga menimbulkan sensasi perih di hati Nic. Ia merasa keterdiaman Amarise setelah Nic memberi pengakuan di depan unit apartemen tadi, mengubah sikap Amarise.“Biasanya kamu akan bertanya lebih jauh, memastikan banyak hal dan terus mendesakku agar kamu mendapatkan jawaban yang runut tanpa ingin aku menutupi semuanya,” jelas pria itu meraih dagu Amarise.Ia memaksa lembut Amarise untuk meninggalkan pekerjaan yang sudah selesai tersebut. Sorot teduh Amarise berbanding gusar dengan tatapan menelisik Nic. “Katakan sesuatu agar aku bisa memastikan kamu tidak marah padaku,” pinta Nic me
Selama lima jam Nic berkutat di dalam ruang kerja. Ia merasa kesepian dan memilih bekerja karena satu rencana tiba-tiba saja masuk dalam pikirannya. Nic akan melakukan jadwal penerbangan bersama Amarise mengunjungi Disneyland di negara lain.Ia ingin mengabulkan impian lain Amarise dan menjadikannya sebagai kejutan. Perempuan itu tidak mengetahui rencana ini.Beberapa kali ia juga menghubungi Amarise dan meminta perempuan itu mengirim foto area yang didatangi.Rishi: Apa aku harus memberikan foto saat di toilet perempuan juga?Nic menyeringai kecil melihat satu pesan masuk dengan jarak setengah jam mereka melanjutkan kesibukan masing-masing.Nic: Itu pengecualian.Baru saja Nic akan meletakkan ponsel. Satu pesan masuk itu membuatnya kembali membuka fitur komunikasi tersebut. Sepersekian detik Nic terpaku, merasakan dadanya berdesir dan miliknya bereaksi di bawah sana.Ia menahan napas ketika jemari tangannya menggulir pose lain yang baru dikirim Amarise.Rishi: Bagaimana lingerie hita
“Mengkhianati Rishi?”“Jangan berpura-pura tidak menyadari kesalahan kamu, Nic! Aku tidak pernah menyangka kamu sudah membuat kontrak pernikahan dengan Amarise!”“Pernikahan adalah hal sakral dan suci! Apa yang ada dipikiranmu hingga menodainya, ha?! Dalam hal ini, tetaplah pihak perempuan yang paling dirugikan!” bentak Nyonya Isaac semakin menangis kuat.Dada wanita itu bergemuruh saat pesan terakhir Amarise ditinggalkan dengan sangat cepat—mengubah atmosfer manis antara Ibu mertua dan menantu hancur. Semua hancur karena tindakan berengsek putra semata wayangnya.Nic terkesiap, merasakan tubuhnya menegang dan merasa mati rasa pada setiap bagian tubuh saat pukulan bertubi-tubi menghujam bahu juga dada bidangnya. “Perempuan mana yang membuat kamu lebih memilih dia dibandingkan istri sahmu?! Amarise tetaplah jauh lebih sempurna dibandingkan perempuan itu! Aku yakin! Dan aku memastikan kamu akan menyesal dengan pilihan bodohmu!”Dunia Nic berputar terlalu cepat. Runut manis sedari pagi h
Dua Minggu Kemudian ....“Amarise, bagian kamu pagi ini di suite room nomor 267,” titah Manager Housekeeping menunjuk Amarise.“Baik, Bu,” balasnya segera melakukan tugas.Amarise sudah bekerja di salah satu hotel bintang lima yang berada di kawasan Bali hampir satu minggu. Alasan utama ia mengambil pekerjaan ini adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup.Kali terakhir Amarise mengambil uang pemberian Nic sebelum menuju bandara. Ia mengambil uang secukupnya dan tidak akan mengambil lagi dengan pemikiran jika hal tersebut bisa dilacak Nic dalam mode transaksi terakhir.Selama itupula, Amarise berusaha menepis segala hal tentang Nic. Amarise masih mencari cara untuk memberitahu masalah perceraiannya bersama pengacara keluarga Amarise. Terlebih, ia tidak pernah mengatakan tentang pernikahan. Ia malu untuk mengungkapkan status dari seorang keponakan menjadi istri.Di sisi lain, Amarise bersyukur tidak dicari oleh keluarga Nic. Biarlah semua berjalan seperti ini, meskipun Amarise merasa sudut
“Kamu masih bisa berjalan santai, meninggalkanku setelah mempermalukanku, ha? Bagaimana kamu bisa semakin licik, Nic?! Aku sudah keluar dari mansion dan segera menghilang dari kehidupanmu itu!” pekik Amarise di lantai koridor lobi yang sepi.Ia baru saja menghentikan langkah Nic yang akan memasuki lift, beristirahat di unit setelah memfitnah Amarise.Hidung mancung Amarise kembang kempis seiring kedua tangan mengepal kuat. Rahang itu mengetat dan semakin tajam menatap Nic yang berbalik dengan sorot tenang. “Berengsek,” umpatnya menggeram tertahan.“Aku sudah mengatakan alasan utamaku, yaitu tidak mengizinkanmu bekerja, terlebih menjadi bagian kebersihan,” balasnya memasukkan kedua tangan dalam saku celana.Tubuh atletis itu terbalut kemeja dipadukan celana bahan. Bagian lengan itu dilipat hingga sebatas siku dan membiarkan tiga kancing teratas terbuka. “Pulanglah bersamaku, Rishi,” tambah Nic tanpa ekspresi yang membuat Amarise tergelak sinis.“Pulang bersamamu hanya untuk melihat bet
Amarise merutuki nasib sialnya dan sudah lebih dari puluhan kali memaki Nic sepanjang kaki jenjangnya menapaki pinggir pantai. Ia sudah diusir dari pekerjaan, lalu ditambah lagi harus mengubah sedikit alur ‘kebohongan’ pada Yulia.Semua kerumitan di pikiran Amarise dipicu oleh tindakan Nic. “Dasar pria berengsek! Dua minggu ini kebebasanku terenggut hanya dalam hitungan detik! Di sana pasti dia puas menertawaiku!” tukas Amarise menendang sekilas pasir pantai dengan kaki.Perempuan itu hampir saja melempar sepasang heels ke arah air saking kesalnya. Bahkan, hari sudah mulai sore dan siap berganti dengan malam. “Aku malas sekali pulang ke kontrakan,” gerutu Amarise.“Aku bingung harus bekerja apalagi di saat kebutuhan ekonomi mendesakku detik ini juga.” Amarise baru saja menikmati makanan di salah satu warung pinggiran, sebagai salah satu destinasi wisata kuliner.Ia tidak berani pergi ke tempat yang lebih mahal karena uangnya kian menipis. “Argh! Kenapa hidupku semakin sulit untuk jauh
Nic merangkul bahu Amarise. “Ayo kita tidur!” Ia sudah merindukan merengkuh tubuh hangat istrinya.“Malam ini kamu tidur di sofa!” ketus Amarise menurunkan kasar tangan Nic.Pria itu membulatkan matanya teralihkan dari pikiran bahagia melihat ranjang kecil, tapi bisa diisi oleh mereka berdua hanya untuk tidur berpelukan. Dua minggu sudah membuat tidur Nic tidak keruan tanpa Amarise. “Apa maksudmu? Kita sudah berbaikan dan selayaknya suami istri yang terpisah, kita bisa merasakan lagi kehangatan satu sama lain.”“Maaf, Tuan. Apa aku menerima permintaan maafmu?” tanya Amarise menyeringai sinis dengan menyandarkan tubuh di kosen pintu. Ia melipat kedua tangan di dada sambil menatap angkuh Nic.Nic hampir tidak berkedip. “Jadi seluruh penjelasanku belum kamu terima?”“Aku menerimanya. Hanya saja, bukan berarti aku memaafkanmu malam ini juga,” sahutnya tenang, berbanding terbalik dengan embusan napas kasar Nic.“Tidak ada pelukan?” tanya Nic mulai lemas.Amarise ingin sekali menertawai rau