Amarise merutuki nasib sialnya dan sudah lebih dari puluhan kali memaki Nic sepanjang kaki jenjangnya menapaki pinggir pantai. Ia sudah diusir dari pekerjaan, lalu ditambah lagi harus mengubah sedikit alur ‘kebohongan’ pada Yulia.Semua kerumitan di pikiran Amarise dipicu oleh tindakan Nic. “Dasar pria berengsek! Dua minggu ini kebebasanku terenggut hanya dalam hitungan detik! Di sana pasti dia puas menertawaiku!” tukas Amarise menendang sekilas pasir pantai dengan kaki.Perempuan itu hampir saja melempar sepasang heels ke arah air saking kesalnya. Bahkan, hari sudah mulai sore dan siap berganti dengan malam. “Aku malas sekali pulang ke kontrakan,” gerutu Amarise.“Aku bingung harus bekerja apalagi di saat kebutuhan ekonomi mendesakku detik ini juga.” Amarise baru saja menikmati makanan di salah satu warung pinggiran, sebagai salah satu destinasi wisata kuliner.Ia tidak berani pergi ke tempat yang lebih mahal karena uangnya kian menipis. “Argh! Kenapa hidupku semakin sulit untuk jauh
Nic merangkul bahu Amarise. “Ayo kita tidur!” Ia sudah merindukan merengkuh tubuh hangat istrinya.“Malam ini kamu tidur di sofa!” ketus Amarise menurunkan kasar tangan Nic.Pria itu membulatkan matanya teralihkan dari pikiran bahagia melihat ranjang kecil, tapi bisa diisi oleh mereka berdua hanya untuk tidur berpelukan. Dua minggu sudah membuat tidur Nic tidak keruan tanpa Amarise. “Apa maksudmu? Kita sudah berbaikan dan selayaknya suami istri yang terpisah, kita bisa merasakan lagi kehangatan satu sama lain.”“Maaf, Tuan. Apa aku menerima permintaan maafmu?” tanya Amarise menyeringai sinis dengan menyandarkan tubuh di kosen pintu. Ia melipat kedua tangan di dada sambil menatap angkuh Nic.Nic hampir tidak berkedip. “Jadi seluruh penjelasanku belum kamu terima?”“Aku menerimanya. Hanya saja, bukan berarti aku memaafkanmu malam ini juga,” sahutnya tenang, berbanding terbalik dengan embusan napas kasar Nic.“Tidak ada pelukan?” tanya Nic mulai lemas.Amarise ingin sekali menertawai rau
Pagi ini Nic bisa merasakan bangun tidur lebih rileks dan sangat segar. Ia sudah cukup lama menahan keinginan bertemu bersama Amarise, menyelesaikan semuanya agar kehidupan pria itu kembali pada aktivitas seperti biasa. “Bagaimana tidurmu semalam?” “Biasa saja.” Nic mendengkus sekilas setelah bersandar di sisi meja dapur. Ia memerhatikan jemari cekatan Amarise memotong sayuran. “Semalam kamu memeluk dan mengecup bibirku berulang kali. Bahkan, aku masih mengingat ucapanmu tentang merindukanku.” “Mungkin hanya mimpi indahmu saja,” cetus Amarise meninggalkan Nic beralih membawa sayuran menuju wastafel. Merasa kesal dengan tindakan dan jawaban Amarise. Nic justru lebih merasa gemas karena istrinya bisa sangat kekeuh untuk membentengi dirinya. Pria itu terkekeh pelan dan mengikuti langkah Amarise. Kedua tangan Nic menelusup ke dalam kaus kebesaran Amarise. Di dalam sana tidak ada bra ataupun celana, kecuali ditutupi kain tipis menutupi area sensitif. “Aku bisa membantumu agar sarapan
Ribuan kupu-kupu menggelitik perut Amarise. Ia memekik tertahan seraya merapatkan buket mawar merah dari Nic. Pria itu menutup makan malam romantis, permainan biola yang dilakukan sang suami dan juga dansa dengan sorot saling memuja. “Dia sangat pandai mencari trik romantis!”Bibir itu mencebik, meskipun letupan di dalam dada Amarise tidak terelakkan. “Aku memang sangat jarang diberikan buket. Dia selalu tahu apa yang kuinginkan, yaitu transferan dengan nominal banyak. Tapi malam ini siasatnya sangat tepat dan membuatku harus mengakui tantangan ini berhasil.”Amarise tertawa kecil dan mulai mengirup lagi aroma buket mawar berukuran sedang. “Baiklah! Sesuai permintaan suamiku yang memintaku masuk unit terlebih dulu,” lanjut Amarise melanjutkan jalan setelah berhasil keluar dari lift.Malam ini ia dibuat terkejut karena Nic meluruskan segala permasalahan. Pria itu bertanggungjawab atas fitnah yang diberikan pada Amarise, lalu beberapa pelayan yang melayani makan malam romantis di ballro
Besok pagi Nic dan Amarise akan kembali ke Amerika setelah menghabiskan hampir satu minggu di kontrakan Yulia. Setidaknya beberapa hari sebelumnya mereka sudah menikmati momen lebih intim di kamar hotel. Pandora indah pemberian Nic, membuka seluruh kebahagiaan dibalut rangkaian penuh hasrat di antara mereka.Nic menyiapkan air mandi di bathtub, membawa mereka saling memesrai satu sama lain. Lalu, penutup malam itu diselesaikan dengan percintaan panas mereka. Pria nakal itu sengaja mengisi lemari dengan empat lingerie berbeda warna dan model. Sengaja tidak membiarkan Amarise berpakaian lengkap hanya untuk menikmati momen bersama.“Dia belum kembali setelah izin satu jam lalu menemui anak buahnya?” Amarise mencebik kesal setelah menutup koper.Ia baru saja memeriksa barang setelah mandi di sore hari. Pikirannya mulai resah karena Nic belum pulang. “Ponselnya tidak aktif!”Amarise melempar ponsel ke atas ranjang dan bergegas mencari dress pantai di bawah lutut. Ia mencari sebentar kebera
“Kalian bisa melanjutkan makanannya. Aku harus pergi lebih awal,” cetus Nic memundurkan kursi.Mereka bertiga makan dalam satu meja. Amarise dan Olivia saling berhadapan dan hanya sesekali suara di ruang makan ditimpali Olivia karena Amarise masih enggan menerima kehadiran Olivia. Begitupula Nic yang membalas sekadarnya saja demi menghargai tamu di mansion. Ia sadar untuk tetap menghargai perasaan Amarise.Pria itu berdiri seraya menatap arloji. “Satu jam lagi pegawai SPA akan datang untuk memanjakan kalian berdua.”Mata Olivia berbinar mendengar hal tersebut. “Terimakasih, Nic! Kamu tahu saja jika aku membutuhkan perawatan,” cetusnya melirik puas Amarise yang mendekati Nic dengan wajah kesal.Ia merapikan jas suaminya, meskipun pasangan suami istri itu saling bersitatap sejenak. Nic mengulum senyum meraih pinggang sang istri. Di depan Olivia ia mengecup sekilas bibir ranum Amarise. “Rishi-ku sudah lama tidak melakukan perawatan lagi setelah memutuskan meninggalkanku sendirian di sini
Nic gelisah selama menyelesaikan pekerjaan dan beberapa pertemuan. Jika ia bisa meninggalkan pekerjaan hanya untuk kembali ke mansion, ia akan melakukannya. Namun, hari ini benar-benar penting dan terlebih Nic masih bisa merasa lega Amarise tetap berada di mansion.Ia mendapati kabar dari salah satu pelayan dan mengatakan kegiatan Amarise. Bukan tanpa sebab Nic melakukannya, melainkan tidak ada satu pesan dan telepon yang dijawab Amarise. Padahal, pagi tadi terasa hangat dan menggemaskan saat mereka saling menjahili satu sama lain.“Bisakah rapat kali ini diundur?”“Maaf, Tuan. Tapi Anda sudah mengundurnya dengan alasan ingin menjemput istri Anda di Indonesia. Dan Anda meminta diingatkan agar pertemuan ini tidak bisa dialihkan lagi dan harus segera dilaksanakan.”Napas Nic berembus berat. Ia meminta sekretarisnya untuk keluar dan mempersiapkan pertemuan terakhir di restoran yang sudah di reservasi.Ia tentu tidak bisa melanggar kesepakatan yang sudah diundur, apalagi mengingat klien k
Amarise mengubah posisi tidur menjadi telungkup di sisi Nic. Ia menatap nakal dengan menjalankan jemari lentik di dada bidang Nic. Tubuh polos mereka hanya ditutupi selimut setelah menghabiskan dua sesi percintaan napas. “Bagaimana pelayananku?”“Selalu puas juga ingin lagi dan lagi,” bisik Nic tersenyum menggoda seraya menyematkan kecupan di pipi sang istri.“Terimakasih untuk pelayananmu, Istriku. Aku selalu merasa terpuaskan dan selalu menikmati tiap permulaan juga penutupnya,” lanjut Nic mengedip jahil.Amarise tersipu. Ia menyembunyikan wajah di ceruk leher Nic, membiarkan pria itu mendekapnya dengan posisi terlentang. “Lalu bagaimana denganku? Kamu terpuaskan, hm?”“Nic ... jangan nakal,” bisik Amarise dengan menahan gairah saat Nic memantiknya lewat remasan di bagian bokong.Pria itu tertawa kecil, membawa Amarise berada di atas tubuhnya dengan posisi telungkup. Sejenak Nic mendesah pelan merasakan himpitan yang terasa bisa memantik hasratnya lagi. “Dadamu sangat padat dan besa
“Yeay! Kakakku paling hebat!” kedua tangan Alona bertepuk semangat. Ia begitu berseri, bangga dan takjub dengan sosok pria tinggi bertubuh atletis dalam balutan jas formal baru saja menyampaikan pidato perdananya sebagai CEO baru, resmi menggantikan seorang Nicholas Isaac yang sudah pensiun. Lelaki itu berhasil membimbing putranya sedari masa remaja dan kuliah. Nic menempatkan putra semata wayangnya di posisi menengah, salah satu anak cabang perusahaan agar putra kandungnya bisa mulai mengemban pekerjaan. Dan hasilnya, sungguh luar biasa. River Isaac, mampu melakukan semuanya di usia matangnya, tiga puluh tahun. “Kakakmu semakin tampan saja. Bagaimana cara mendaftar menjadi kekasihnya? Atau jika perlu, beri aku tips ampuh agar bisa menjadi kakak iparmu, Lona.” Alona memutar bola mata dengan pandangan kesal. “Tidak! Sampai kapan pun kamu tetap menjadi sahabatku, bukan kakak ipar perempuanku!” ketusnya membuat Amarise yang mendengar percakapan tertawa kecil. Alona adalah perpaduan
“Kamu pikir aku tidak tahu apa yang terjadi selama ini di antara kamu bersama River?”“Bibi-mu ini tahu segalanya, Ivory,” desis wanita itu menyeringai layaknya iblis.“Sikap binalmu, hasrat yang menggebu-gebu kamu salurkan pada pria muda yang dulu lebih memilih mengisi pikirannya dengan banyak pelajaran. Dan sekarang? Kamu mengubah pria itu lebih berani bertindak.”Ruangan sempit itu bergema saat suara tawa mengejek sangat memekakan dan risih di telinga Ivory. Gadis cantik bertubuh semampai itu mengepalkan kedua tangan. Embusan napasnya terkesan memburu seraya mengetatkan rahang.Sekalipun ruangan cukup temaram. Ivory sudah lebih dari cukup untuk tidak menelisik wajah menjengkelkan Bibi kandungnya. Wanita jalang ini tidak lebih baik dari kelakuan nakal Ivory sejak kecil.“Dua bulan lalu adalah perayaan pesta ulang tahunmu ketujuh belas. Keluarga Isaac memberikan perayaan sederhana, kekeluargaan yang hangat. Tapi saat malam hari, mereka semua tidak tahu jika kamu sedang berbagi peluh
Alona Isaac. Siswi paling cantik menjadi incaran banyak siswa di sekolah menengah pertamanya. Hanya saja, gadis itu terlalu angkuh dan memiliki selera sendiri dalam memilih pria mana yang ingin ia balas perasaannya.Lebih tepatnya, sejauh mana mereka bisa membahagiakan masa muda Alona.“Lona. Apa kamu mendengar berita terbaru?”“Berita apa?” tanya Alona melepas headset dan melirik malas teman dekatnya.Gadis berambut sebahu itu mendekat dan berbisik dengan raut sedih, “Kita akan mulai kehilangan pria paling tampan dan populer di tahun terakhir sekolah ini.”Alona mendelik bingung. “Siapa?”“Astaga! Siapa lagi jika bukan pria yang selalu menjadi pusat perhatian di sekolah kita.”“Satu angkatan dan satu kelas,” desisnya hampir melotot karena respons Alona terkesan acuh tak acuh.Teman dekat Alona menggerakkan dagu, memberikan atensi pada satu pria yang duduk tenang dan berekspresi dingin di sudut depan kelas. Pria itu tidak sedang berniat mengisi jam istirahat ke kantin atau seperti bia
“Sudah tidak ada lagi sekretaris dan anak buahmu! Jadi tidak perlu bersikap manis padaku di depan mereka!” ketus Amarise menurunkan kasar lengan Nic di pinggang Amarise.Wanita itu sangat kesal mendapati sikap posesif Nic yang terlihat dibuat-buat. Hati Amarise merasa diremas, sakit dan sesak. Air mata Ibu dari tiga anak itu hampir saja tumpah, membuat Nic terpaku di depan lift.Baru saja lelaki itu ingin menuntun istrinya masuk terlebih dulu. “Rishi? Kenapa menangis?”“Dasar lelaki berengsek!” umpat Amarise sedikit menjauh.Tiba-tiba saja suasana hatinya memburuk. Nic sudah hampir satu minggu tidak bisa menjemput Amarise di lobi perusahaan. Awalnya ia merasa bingung dan takut. Karena Nic tidak pernah menolak permintaan manja Amarise.Bahkan, terkadang lelaki itu berinisiatif sendiri menjemputnya, memperlihatkan kemesraan lewat gandengan tangan atau pelukan di pinggang Amarise. Lelaki itu ingin sekali memperkenalkan Amarise berulang kali di depan para pegawai perusahaan.Tapi hari ini
“Menurutmu, bagaimana dengan Margareth? Dia cantik, cerdas dan terlihat dewasa dari segi pemikiran dan tata krama. Di masa depan dia sangat pantas bersanding dengan River.”Kalimat antusias dan tatapan penuh harap lewat binar-binar di mata Amarise, membuat tenggorokan Ivory serat. Ia menelan makanan susah payah, secara alamiah penasaran dan menoleh ke arah River.Pria yang duduk di sampingnya ikut menoleh. Alhasil, Ivory lebih dulu membuang pandangan.Ada perasaan tidak suka saat Amarise membanggakan gadis lain untuk River. Apalagi mempersiapkan pasangan hidup untuk pria tampan itu.“Margareth? Dia yang minggu lalu datang kan, Ma?” tanya Alona.“Iya, Sayang. Kamu bersama Margareth juga terlihat akrab,” lanjutnya merasa ada di situasi melihat sosok Elena di diri Margareth.Gadis satu angkatan dan satu kesal dengan River. Tidak sedikit teman di kelasnya berharap pasangan cerdas, sama-sama rupawan itu segera menjalin kasih.“Rishi. Jika kamu meminta sebuah perjodohan untuk anak-anak kita
“Papa ... Mama ....” “River tidak mau main bersama adik perempuannya!” “Oh, sial!” umpat Nic baru saja mengerang sebagai pembuka. Ia hampir saja menghentakkan tubuh setelah melesak masuk diimpit kenikmatan yang ditawarkan Amarise. “Hei, jangan mengumpati anak perempuanmu,” tegur Amarise tajam, meskipun berakhir dengan tawa bahagia. Ia bahagia melihat rasa frustrasi di wajah Nic dan milik pria itu yang membutuhkan tempat ternyamannya. Dengan gesit Amarise meraih kaus dan celana pendek Nic, berbanding terbalik dengan kemalasan Nic duduk menatap dirinya datar. “Kenapa? Kamu ingin melampiaskan kekesalanmu padaku?” “Tidak,” balasnya bergerak malas memakai kaus dan celana pendek. Amarise terkekeh melihat Nic jalah tertatih, merasa dunia panasnya hilang digantikan pusing yang mulai mendera. Pintu terbuka dan menampilkan wajah cantik nan mungil Amarise versi kecil. Darah Asia lebih kuat karena gen keluarga Amarise dari pihak Ayahnya memiliki duplikat indah. “Papa,” suara Alona dibuat s
Nic merasakan kehangatan di dadanya melihat Amarise membantu menyandarkan punggung Nic di kepala ranjang. Dengan perlahan kedua tungkai Nic di angkat, disejajarkan di atas ranjang, lalu menyelimuti sebatas pinggang. “Maaf atas kesalahanku.” “Kamu salah karena tidak percaya cintaku yang hadir untukmu,” sahut Amarise hampir ketus. Tapi melihat keadaan Nic tidak bisa diajak bercanda atau sekadar memukul gemas suaminya. Hanya embusan napas berat yang terdengar berat bagi Amarise. “Aku harus memberi pelajaran pada jalang itu,” tandas Amarise menggebu. Kilatan kebencian sangat terlihat jelas di manik coklat Amarise. “Nyawa dibalas nyawa, Nic.” “Aku dan River hampir kehilangan dirimu. Lalu, air mata Mama dan Papa sangat membuatku semakin terpuruk.” “Mungkin mereka bisa membuatku tegar dengan perkataan meyakinkan. Tapi di sisi lain, mereka hanya ingin membuatku tenang dan tidak berakhir semakin menyedihkan.” Jason memberitahu kecelakaan yang membuat mobil Nic hampir ringsek. Tubuh suamin
“Kita kencan naik motor?!” “Hmm ... ya, naik motor. Apa kamu tidak suka?” Nic mengusap tengkuknya salah tingkah. Pria itu merasa pandangan Amarise terlalu membuat Nic berpikiran buruk. Seharusnya pria itu bisa memberikan kesan kencan manis untuk kali pertama setelah jatuh cinta dengan menaiki mobil. “Jika memilih antara sepeda dan motor, aku lebih suka sepeda. Kesan manis dan penuh cumbuan hari itu di tepi danau lebih membekas. Masih mendebarkan hingga sekarang.” pipi putih dan mulus Amarise bersemu merah. Keraguan Nic perlahan memudar dengan menarik senyum, ikut tertawa geli saat Amarise mendekat. Perempuan itu memeluk manja Nic yang sudah berpenampilan tampan—lebih muda—saat memakai pakaian kasual. “Ini bukan kencan pertamamu bersama seorang perempuan,” cibir Amarise tanpa mengurai pelukan. Nic tertawa seraya mengecup ujung hidung mancung istrinya. “Tapi ini kali pertama aku merasakan cinta yang lebih besar pada perempuan. Dan ini kali pertama setelah lebih dari sepuluh tahun
“Amarise. Hari ini River belum diberikan ASI.” “Stok ASI masih ada, kan, Ma? Biar pengasuh River yang menyiapkannya. Aku masih harus mencari keberadaan Nic,” balas Amarise tanpa menoleh ke arah Nyonya Isaac datang ke kamar sambil menggendong River yang masih tidur.Sebentar lagi jadwal anak lelaki itu untuk bangun dan menerima ASI dari Amarise. Tapi hampir tiga hari Amarise mengabaikan perannya, beralih mengonfirmasi pesawat yang diterbangi Nic dengan awak pesawat juga penumpang lain.Mata wanita itu berkaca-kaca melihat menantunya baru saja menelepon seseorang, kesekian kali hanya untuk memastikan mimpi buruk Amarise tidak nyata.“Amarise … Anak laki-lakiku sudah ….”“Tolong jangan katakan kalimat mengerikan itu lagi, Ma!” pekik Amarise tanpa sadar.Ia sendiri tersentak kaget. Tubuh Amarise gemetar, mengatupkan rapat bibir menahan desakan untuk menangis. “Maaf,” lirihnya tidak berani menatap Nyonya Isaac.“Aku tidak peduli tentang berita apa pun, Ma. Aku masih percaya Nic hanya memb