“Lepas!” Naya menatap Ghiyas dan berusaha tetap terlihat galak, tetap terlihat menahan rasa malu.
“Kamu dalam masalah,” bisik Ghiyas sambil mendekatkan wajahnya sesaat untuk menatap matanya.
Naya sendiri tak berani menatap Ghiyas. Rasa malu dalam dirinya mendidih. Mengetahui kalau Ghiyas bukan sembarang menerima makanan dari perempuan lain. Itu makanan deliverynya.
Karena Naya sudah terlanjur datang dan pakaiannya agak senonoh, Ghiyas membawanya menuju ke ruangan tempat dirinya biasanya beristirahat dengan dokter lain. Ruangan yang pernah Naya kunjungi. Namun sekarang hanya ada mereka berdua. Yang lainnya memberikan privasi.
“Siapa yang bilang itu sama kamu? Dari lidah turun ke hati, dari makanan naik ke ranjang? Fely? Sebelumnya kamu enggak pernah datang mendadak. Ini pertama kalinya, sejak ada sahabat kamu di sini.” Ghiyas membuka lokernya sambil mengeluarkan beberapa isinya.
Sementara Naya di belakang Ghiyas m
Ghiyas menunggu Naya di luar kamar mandi. Dia harap-harap cemas untuk kehamilan Naya. Karena pernikahan mereka sudah berjalan hampir setengah tahun, dia tentu ingin mendengar kalau istrinya itu hamil. Sebentar lagi libur akhir tahun, dia berharap membawa kabar baik kepada dua keluarga.Sementara di dalam kamar mandi, Naya memperhatikan cara penggunaan testpack itu. Dia mendesis kecil karena takut untuk menggunakannya. Takut jika dirinya hamil. Apakah dia akan dipecat jika dirinya nanti hamil, apakah dirinya akan disia-siakan perusahaan.“Enggak mungkin, sih. Soalnya, udah pakai obat pencegah kehamilan juga. No morningsickness juga. Tapi, Mas Agi bakal kecewa enggak sih, kalau ternyata gue enggak hamil?” umpatnya pelan.Dari pada terlalu lama di kamar mandi, Naya segera menuntaskan aktivitasnya itu dan melihat hasil dari alat yang akan mendeteksi kehamilannya itu. Naya menunggu beberapa saat dan dia mendesah lega. Karena dirinya ternyata tidak dalam k
“Gue minta maaf soal waktu itu. Gue bener-bener enggak kepikiran sampai situ, Nay.” Fely tampak menyesal, dia bahkan mentraktir Naya hari ini sebagai permintaan maafnya.“Sebenarnya gue pengen celupin kepala lo ke es batu. Atau lempar minuman dingin ini ke kepala lo. Cuman, itu udah berlalu beberapa hari yang lalu. Kayak enggak ada gunanya, ngapain coba?!” Naya misuh-misuh, mengingat kejadian itu membuatnya gila sendiri untuk memikirkannya.“Maaf.” Fely benar-benar menyesal, dia menekuk bibirnya, memelas atas ampunan Naya.“Ya udah sih, udah lewat juga. Suami gue malah seneng banget sejak hari itu. Dia jadi sering spam. Meski ganggu banget, tapi gue seneng balik.” Naya terkekeh kecil sambil menyantap makanannya.Seperti biasa, keduanya bertemu di kafe yang sama untuk makan malam.“Lo ada rencana liburan ke mana, Nay?” tanya Fely.“Gue bakal ikut suami gue ke rumah keluarga bes
Siang itu Ghiyas dan Naya tiba di sebuah vila yang letaknya agak jauh dari pedesaan. Vila tersebut akan menjadi tempat bermalam mereka berdua. Rumah keluarga Ghiyas letaknya di desa itu.“Seger banget! Tempatnya masih asri, ya?” Naya merentangkan kedua tangannya, merasa bebas.“Iya, masih hutan juga.” Ghiyas membungkukkan tubuhnya pada pegangan kayu tersebut.Keduanya berdiri di balkon, yang menghadap langsung ke jurang. Di mana pemandangannya sangat indah ke bawah sana. Agak membuat Naya ngeri, namun dia menikmati pemandangan alam yang jarang bisa didapatkan di kota. Apa lagi udara sejuk terus menemani hingga siang hari.“Dingin, enggak?” Ghiyas melirik Naya yang menaruh jaketnya di pinggang, dia sempat bilang gerah.“Enggak, adem. Udaranya bagus buat kulit,” balas Naya sambil menggeleng kecil.“Kamu suka?” Ghiyas mendekati Naya dan mendekap istri kesayangannya itu.Naya men
Naya diterima dengan baik di keluarga Ghiyas. Walau terlihat jelas Naya beberapa kali sempat merasa tak nyaman dan tidak betah. Dia juga menguap beberapa kali. Biasanya jika libur bekerja, sia selalu meluangkan waktunya untuk tidur siang.“Yah, kayaknya Agi sama Naya mau balik ke vila sekarang. Soalnya udah agak sore juga. Niatnya Agi mau bawa Naya ke bagian atas,” ucap Ghiyas sambil menatapi arlojinya.Naya langsung segar. Akhirnya dia bisa keluar. Sebenarnya dia cukup pegal untuk duduk terus dan berada di sana dalam waktu yang lama. Dia juga mengantuk, mendengarkan bagaimana orang di sekitarnya mengobrol. Rasanya seperti dininabobokan.“Mau jalan-jalan ke atas enaknya pagi, Gi,” usul Ayah Ghiyas, dia tak ingin putranya pergi cepat.Sementara Naya yang sudah bersiap dengan bangun dari tempatnya membuat ibu Ghiyas menghela nafasnya. Mungkin Ghiyas melakukan ini karena Naya, Ibu Ghiyas tentu banyak mendengar tentang Naya dari Mama N
Naya dan Ghiyas duduk di bawah pohon yang rindang, setidaknya bisa menghalau air hujan untuk mengguyur mereka. Hujan deras disertai angin membuat Naya dan Ghiyas hanya bisa duduk di sana.“Lurusin kakinya, Sayang!” ujar Ghiyas saat Naya menekuk kakinya lagi dan merintih.“Sakit,” rintih Naya seraya mengusap air matanya dengan ujung lengan jaketnya.Ghiyas lantas mendekat dan mengangkat celana Naya perlahan dan melihat bagaimana kaki Naya terluka, luka gores dan lecet di sana. Ghiyas meringis pelan menatapi luka istrinya tersebut.“Coba kamu periksa, kamu ada luka yang agak parah di mana? Kita cuci dulu aja pakai air hujan. Semoga jadi obat dan bukan jadi infeksi,” ujar Ghiyas dengan halus.Naya lantas melepaskan jaketnya yang basah dan kemudian melihat bagaimana ada luka kecil di mana-mana. Jika Naya sadar, jaket yang digunakannya bahkan koyak. Dan Ghiyas menyadari itu.Ghiyas juga ikut melepaskan jaketnya
Orang tua Naya sampai berangkat pagi-pagi sekali setelah mendengar kabar putrinya bersama dengan menantunya hilang sejak sore. Dikatakan sempat ingin pergi ke bagian atas, untuk menikmati pemandangan sorenya, sebelum hujan deras melanda kawasan itu.Sementara Naya dan Ghiyas kini terbangun dengan tubuh yang terasa kaku. Hujan gerimis masih menerjang mereka. Kabut malah semakin tebal pagi itu. Yang membuat Ghiyas menatap ke arah handphonenya, yang kelihatannya baterainya habis akibat dia menyalakan senter semalaman.“Mas Agi, badan Naya rasanya pegal semua,” keluh Naya sambil menatapi Ghiyas dengan pilu.“Tahan ya, Sayang? Gerakin dikit-dikit, biar badan kamunya enggak kaget.” Ghiyas perlahan bangkit.Keduanya sama-sama bangkit dan bergerak secara perlahan. Ghiyas menuntun Naya untuk melakukan sedikit gerakan yang bisa membuat tubuh mereka menjadi lebih hangat lagi.Ghiyas mendesis merasakan bahunya yang terasa sakit. Dia mel
Ghiyas dan Naya segera dilarikan ke pusat kesehatan terdekat. Ke sebuah puskesmas, karena jarak ke rumah sakit terlalu jauh. Toh, Ghiyas juga menyatakan jika tak ada luka serius pada mereka.Keduanya diberikan pertolongan pada luka-luka yang mereka alami. Lecet dan lebam di mana-mana, serta luka terbuka yang harus segera diobati. Ghiyas menatapi Naya yang terus mendesis dan merintih, bahkan air matanya terus menetes selama dia diobati di sekujur tubuhnya.“Sakitnya sebentar, kok,” ucap Ghiyas pelan sambil mengulum senyum.“Senua dokter juga bakal bilang gitu.” Naya terisak sambil mengusap air matanya.“Karena memang sebentar, kok. Nanti kalau udah sembuh enggak akan sakit lagi,” balas Ghiyas.“Ya karena sembuh, enggak sakit. Gimana, sih?!” Naya tetap mengomel tak peduli sedang menangis.“Tolong dikasih pereda nyeri, biar enggak ngerengek sakit terus,” ujar Ghiyas pada perawatnya Nay
Malam itu, Naya dan Ghiyas tengah berkemas karena besok pagi akan pulang. Ghiyas memegangi bahunya yang terasa masih ngilu. Cederanya memang tidak sampai patah, namun tulang bahunya memang masih sakit. Dia memeganginya sambil memutarkannya perlahan.“Kenapa? Sakit?” Naya mendekati Ghiyas sambil memegang punggung suaminya itu.“Kenapa, Gi? Bahumu masih sakit? Kuat nyetir enggak, besok?” tanya Ayah Ghiyas saat melihat ke arah Ghiyas yang tengah memegangi bahunya itu.“Enggak begitu, sih. Kuat, kok,” jawab Ghiyas.“Kalau enggak kuat, enggak usah dipaksain, Gi! Mending diistirahatkan dulu bahunya, daripada nanti makin parah,” ujar mamanya Naya.“Enggak, enggak ada luka serius, kok.” Ghiyas berusaha menenangkan para orang tua yang cemas.Ghiyas melirik Naya yang kini tangannya memegangi bahunya. Tangan Ghiyas menimpa tangan Naya dan memeganginya. Isyarat jika dirinya tidak apa-apa. Naya
Teriakan Naya menggema di lorong rumah sakit. Dan di ruang persalinan, Naya memegang kuat brankar. Dengan Ghiyas yang berada di sisinya, mengusap halus kepala Naya. Pandangan Naya menuju ke arah kakinya yang terbuka lebar. Membuka jalan lahir untuk bayinya yang sudah tak sabar ingin keluar. Dengan keringat yang membanjiri kening bahkan hingga menetes ke pipinya.Begitu tangis bayi memecah keadaan yang mencekam itu, Ghiyas menengadahkan kepalanya. Untuk melihat bayi yang sekarang dipegangi dokter yang membantu persalinan saat itu.Senyum pria itu mengembang lebar. Matanya melirik ke arah sang istri yang kini menghela nafasnya dan berusaha menstabilkan nafasnya lagi. Kecupan mendarat berkali-kali di kepala Naya begitu Ghiyas merasakan perasaan lega dan melepaskan rasa bahagia yang dia rasakan.“Fadelico Sangga Donzello Eduardo. Itu, kan?” Ghiyas menatapi Naya yang masih terengah.Sorot mata Naya menatap Ghiyas dan menganggukkan kepalanya sambil
Ghiyas menenangkan Naya sampai Naya akhirnya tenang, setelah setengah jam. Dan dia bisa kembali berbaring untuk memejamkan matanya. Sambil mendekap Naya yang masih sesenggukan, Ghiyas berusaha untuk tidur lagi. Sementara Naya terus menatapi Ghiyas.“Naya tanyain Gabby, loh. Awas aja, kalau ternyata Mas enggak ke rumah sakit,” ancam Naya.“Iya, tanya aja sana! Orang catatan panggilannya Gabby juga masih ada di handphone Mas. Kamu mau tanya pihak rumah sakit juga boleh. Mau lihat catatan kerja Mas juga boleh.”“Naya mimpi Mas ninggalin Naya, buat orang lain. Mas bakal kayak gitu sama Naya?”“Enggak, Nay. Sama siapa, coba? Mas udah tua, siapa lagi yang mau sama Mas kalau bukan kamu?”“Banyak. Mas ganteng, kok. Mas awet muda, makanya Naya demen. Pasti banyak juga yang demen sama Mas di luar sana. Bukan Naya doang.”“Enggak, Sayang. Jangan ngajak ngobrol dulu, dong! Mas ngantuk, ni
Naya tengah menunggu Ghiyas pulang, karena Ghiyas akan membawakan beberapa makanan yang sedang ingin dia makan. Ya, dia tengah mengidam dan baru saja menghubungi suaminya yang sedang dalam perjalanan pulang, untuk menitip beberapa makanan.“Assalamu’alaikum.” Ghiyas datang membawakan pesanan istrinya yang tengah mengidam.“Wa’alaikumsalam,” jawab Naya seraya menghampiri Ghiyas dan salim padanya.Ghiyas langsung menyodorkan apa yang dia bawa, membuat Naya tersenyum lebar. Naya menerimanya dan menyajikannya di meja. Ghiyas duduk di sofa sambil menatapi Naya yang belakangan ini kehilangan nafsu makannya, namun punya keinginan yang kuat untuk mencicipi berbagai makanan.“Makannya sedikit-sedikit, nanti mual lagi kalau kebanyakan,” ujar Ghiyas.“Enggak akan. Soalnya Naya mau banget makan ini semua,” jawab Naya dengan yakin.Naya memakan setiap makanan yang dibawakan Ghiyas. Dan Ghiyas se
Naya berbaring di brankar. Matanya tertuju pada dokter yang sekarang menyingkap bajunya dan agak menurunkan sedikit celananya. Ghiyas menemani Naya di ruangan itu, untuk mengecek bayinya. Naya melihat ke arah monitor, tak sabar untuk melihat bayinya.Dokter menuangkan gel di atas perut Naya dan mengusapnya dengan alat ultrasound. Dan tampak kondisi rahim Naya di monitor. Dengan kantung janinnya yang sudah terlihat.“Usia kandungannya masih sekitar 4 minggu, belum terdeteksi detak jantungnya,” kata dokter.Ghiyas menganggukkan kepalanya membenarkan. Ghiyas tersenyum sambil melirik Naya yang menatap ke arah monitor terus. Ghiyas tahu bagaimana perasaan Naya sekarang, sejak rahimnya bersih lagi, Naya sudah menantikan kehadiran bayinya. Hingga sekarang, dia muncul.Setelah dari ruangan dokter, Naya menunggu vitamin yang telah diresepkan di farmasi sambil membaca jurnal kehamilan. Dia sudah pernah membacanya, namun entah kenapa rasanya senang memba
“Nay?!” Fely menatap Naya dengan tak percaya, dan melirik ke arah perutnya sendiri yang buncit.“Ini apa?” Ghiyas terkekeh bingung sambil menatapi dua potongan kain yang tak dikenalinya.Naya hanya tersenyum geli melihat reaksi Ghiyas. Sementara yang lainnya sekarang juga demikian, dengan perasaan gemas karena Ghiyas masih belum menyadari apa yang ingin Naya katakan dari hadiahnya itu. Bahkan Kevin sekarang mengerti apa yang menjadi hadiah ulang tahun Ghiyas.“Lebih jelasnya, lihat apa lagi yang ada di bagian bawahnya,” ucap Naya sambil tersenyum.Ghiyas mengernyit dan menarik kertas lain yang menghalangi. Dan dia menemukan sesuatu yang membuat ekspresinya langsung hilang seketika. Ghiyas meraih benda yang sudah lama tak ia lihat lagi. Dan alat seukuran stik es krim itu kini berada di genggaman Ghiyas lebih cepat.“Oh?!” Ghiyas kemudian menatap ke arah Naya dengan penuh keterkejutan.Naya terta
Ghiyas yang ingin tahu apa yang sebenarnya dilakukan Naya, kini hendak membuka pintu. Namun, pintunya terkunci. Dan membuat Ghiyas menggedor-gedor pintunya secara tidak ramah.“Naya! Naya, buka pintunya!” ucap Ghiyas dengan suara yang tinggi.Namun, belum ada yang membukakan pintu untuknya. Akhirnya Ghiyas bahkan memukul pintu dengan perasaan marah. Mengeluarkan segala yang dia pendam belakangan ini. Rasa lelahnya yang datang entah dari mana, emosinya yang mendadak tak lagi stabil.“Naya! Naya, dengar Mas?! Naya, buka pintunya, sekarang!” sentak Ghiyas.Gabby di sana termangu, menatapi Ghiyas. Dia jadi agak khawatir sekarang pada Naya. Dan dalam benaknya bertanya, kenapa Ghiyas seperti ini dan apakah Naya selama ini baik-baik saja?Dan begitu seseorang membuka kunci rumahnya, tanpa membukakan pintu, Ghiyas langsung membukanya. Dan secara tak langsung membanting pintu itu. Perasaan seperti waktu itu, saat memergoki Naya bersa
“Kondisi Naya makin hari makin baik. Sampai dia pulih total, bahkan sekarang Naya jauh lebih baik dari sebelumnya. Lo suami yang baik buat dia.” Gabby melirik Ghiyas sambil tersenyum.“Gue cuman mau mendoakan yang terbaik buat lo sama Naya ke depannya. Makanya, gue mau juga didoain balik, tentang hubungan gue sama Gabby,” ucap Kevin seraya memegangi tangan Gabby.Kevin menggenggam tangan Gabby dan kemudian mengangkatnya, memamerkannya pada Ghiyas. Rendi langsung menyentil tangan Kevin hingga Kevin mendesis kesakitan dan buru-buru melepaskan tangannya dari Gabby. Gabby sendiri hanya terkekeh melihat pacarnya yang dinistakan itu.“Jangan terlalu romantis sekarang, habis nikah nanti bosan duluan,” tegur Rendi.“Emang kalau enggak romantis-romantisan sebelum nikah, nanti enggak akan bosan?” tanya Kevin.“Pastilah. Nanti banyak masalah, karena sama-sama merasa bosan dan mencari orang lain yang lebih
Setelah tiga bulan berlalu, Naya sudah mampu untuk berjalan seperti biasa. Dan Naya sudah kembali beraktivitas seperti biasa sebagai istri rumah tangga. Mengurusi Ghiyas jauh lebih baik dari sebelumnya. Ghiyas melihat perubahan drastis dari Naya.Sayangnya, Ghiyas sering kali mendapati Naya yang bengong di jendela. Dia pasti bosan di rumah. Dan melihat Naya yang mencari kesibukan dengan membaca buku, atau mengikuti kegiatan secara daring, Ghiyas jadi tak tega terus membuat Naya mengurung diri di rumah.“Nay, kamu ada keinginan buat kerja lagi?” tanya Ghiyas sambil duduk di kasur.Ghiyas memandang Naya yang tengah asyik dengan buku bacaannya. Dan Naya segera mengalihkan pandangannya pada Ghiyas. Dia tersenyum dan menggeleng pelan.“Sebenarnya, Naya agak takut buat kerja di kantor. Tapi, menurut Mas gimana?” tanya Naya.“Kamu tahu, Mas enggak pernah ngelarang kamu bekerja, selama kamu enggak terpaku sama pekerjaan kamu.
“Kak, Kakak berarti keguguran udah dua kali dong, ya?”Ardan bertanya sambil menuangkan susu ke gelas dan menyodorkannya pada Naya yang duduk di meja makan sambil menatap ke arah televisi. Dia tengah menikmati acara kesukaannya di sana.“Iya,” jawab Naya seadanya.“Kak Ghiyas belum pulang, Kak?” tanya Ardan sambil menoleh ke kanan dan ke kiri.“Belum, makanya Kakak minta kamu di sini dulu. Kamu kayaknya buru-buru banget,” ucap Naya.“Enggak juga. Cuman ... Kakak enggak takut apa sama Kak Ghiyas? Aku dengar dari Mama, katanya Kakak memang cuek banget sama Kak Ghiyas. Kak Ghiyas emang enggak pernah marah sama Kakak ya, kok pada bilang Kak Ghiyas baik banget?” tanya Ardan.Naya mengernyitkan dahinya. “Kamu sekenal apa sama kakak iparmu? Bahkan semua orang juga tahu Mas Ghiyas orangnya baik banget.“ Naya lantas terkekeh karena ucapan adiknya itu.“Mungkin memang