Ghiyas dan Naya segera dilarikan ke pusat kesehatan terdekat. Ke sebuah puskesmas, karena jarak ke rumah sakit terlalu jauh. Toh, Ghiyas juga menyatakan jika tak ada luka serius pada mereka.
Keduanya diberikan pertolongan pada luka-luka yang mereka alami. Lecet dan lebam di mana-mana, serta luka terbuka yang harus segera diobati. Ghiyas menatapi Naya yang terus mendesis dan merintih, bahkan air matanya terus menetes selama dia diobati di sekujur tubuhnya.
“Sakitnya sebentar, kok,” ucap Ghiyas pelan sambil mengulum senyum.
“Senua dokter juga bakal bilang gitu.” Naya terisak sambil mengusap air matanya.
“Karena memang sebentar, kok. Nanti kalau udah sembuh enggak akan sakit lagi,” balas Ghiyas.
“Ya karena sembuh, enggak sakit. Gimana, sih?!” Naya tetap mengomel tak peduli sedang menangis.
“Tolong dikasih pereda nyeri, biar enggak ngerengek sakit terus,” ujar Ghiyas pada perawatnya Nay
Malam itu, Naya dan Ghiyas tengah berkemas karena besok pagi akan pulang. Ghiyas memegangi bahunya yang terasa masih ngilu. Cederanya memang tidak sampai patah, namun tulang bahunya memang masih sakit. Dia memeganginya sambil memutarkannya perlahan.“Kenapa? Sakit?” Naya mendekati Ghiyas sambil memegang punggung suaminya itu.“Kenapa, Gi? Bahumu masih sakit? Kuat nyetir enggak, besok?” tanya Ayah Ghiyas saat melihat ke arah Ghiyas yang tengah memegangi bahunya itu.“Enggak begitu, sih. Kuat, kok,” jawab Ghiyas.“Kalau enggak kuat, enggak usah dipaksain, Gi! Mending diistirahatkan dulu bahunya, daripada nanti makin parah,” ujar mamanya Naya.“Enggak, enggak ada luka serius, kok.” Ghiyas berusaha menenangkan para orang tua yang cemas.Ghiyas melirik Naya yang kini tangannya memegangi bahunya. Tangan Ghiyas menimpa tangan Naya dan memeganginya. Isyarat jika dirinya tidak apa-apa. Naya
“MAS AGI!”Suara teriakan Naya membuat Ghiyas segera menghampiri Naya di kamar. Mereka telah pulang ke apartemen Ghiyas, dan entah apa yang membuat gadis itu berteriak cukup kencang di apartemen.“Kenapa, Sayang?” Ghiyas menatapi Naya yang menatapi handphonenya itu.“Ini apa-apaan?” Naya menunjukkan layar handphonenya, yang mana Ghiyas memposting foto Naya yang tengah tidur di atas brankar dengan sangat nyenyak, sebenarnya menggemaskan.Di foto tersebut, Ghiyas masuk ke dalam frame dan tersenyum manis. Dia kelihatannya sengaja.“Habisnya kamu tidur lucu banget, mana enggak bangun-bangun waktu dibangunin. Kamu juga sejarang itu buka sosial media sampai enggak sadar apa yang orang posting,” balas Ghiyas.Ghiyas tersenyum tak berdosa di sana. Sementara Naya langsung mengambil bantal dan memukul Ghiyas dengan bantal itu. Ghiyas langsung menyiapkan tangkai tangannya sebagai tamengnya.“
“Posisinya udah sore. Makanya, di postingan suami gue, dia bilang semalaman di hutan. Karena memang, kita berdua bermalam di hutan. Mana hujan gede banget, tapi untungnya pohon di sana rindang-rindang. Jadi, kayak cuman gerimis rasanya.”Naya juga turut menceritakannya pada Fely. Ya, Fely melihat postingan Ghiyas yang membuatnya keheranan dan bertanya tentang apa yang terjadi pada sahabatnya itu. Sampai-sampai harus diinfus.“Lo berdua ngapain aja di sana? Cuman berduaan, kalian enggak main di semak-semak, kan?” Fely lantas tersenyum miring menggoda sahabatnya itu dengan pikirannya yang kotor.“Ngapain main di semak-semak?” Naya menghisap minumannya sambil menatap Fely polos.“Main itu, loh. Kan, dingin banget, tuh? Kalian apa enggak saling dekap di semak-semak?” Fely menghela nafasnya, kelihatannya sahabatnya ini memang sepolos kelihatannya.“Dingin, dingin banget. Waktu habis jatuh, gue sempat
Naya menunggu Ghiyas pulang. Sudah berhari-hari, Ghiyas pulang terlambat. Dan itu membuat Naya agak murung, lantaran benar apa yang dikatakan Ghiyas dulu. Waktu sibuknya kadang sangat tak terduga. Belum lagi, belakangan ini Naya sedang ingin ditemani Ghiyas.Suasana malam yang sunyi, ditambah sedang hujan rasanya mengingatkan Naya akan kejadian itu. Yang membuatnya tak bisa tidur dengan nyenyak dan harus menunggu Ghiyas pulang.Dan begitu suara pintu apartemen di buka, Naya segera bangkit dari tempat tidur dan membuka pintu kamar. Lalu memandangi Ghiyas yang tersenyum ke arahnya.“Belum tidur, Sayang?” Ghiyas melirik Naya dengan teduh di sana.“Kelihatannya? Mas belakangan ini pulangnya telat mulu,” ucap Naya sambil menyilangkan tangannya di depan dadanya dan bersandar ke pintu dengan sedikit sebal.“Ya, Mas lagi sibuk belakangan ini. Pasien-pasien di awal tahun enggak ada yang terduga sama sekali. Kecelakaan juga bela
Naya hendak pulang dari kafe setelah berbincang dengan Fely hingga malam. Dia menghubungi Ghiyas, barang kali Ghiyas sebentar lagi pulang, maka dirinya akan menunggu Ghiyas.Sayangnya, Ghiyas tak menjawab teleponnya, membuat Naya akhirnya memutuskan untuk datang saja. Karena kebetulan dirinya sudah ada di dekat sana. Dia mendapati rumah sakit yang sangat ramai meski hari sudah malam. Benar, rumah sakit ini sedang dalam masa sibuknya.Naya menghampiri resepsionis rumah sakit. Yang langsung mengenali Naya karena kejadian malan itu. Di mana dirinya datang dengan marah dan melabrak suaminya tanpa informasi yang benar.“Ada yang bisa dibantu?” tanyanya dengan sedikit tegang.“Dokter Ghiyas, lagi ada di mana, ya? Apa lagi di ruang operasi? Waktu pulangnya kapan?” tanya Naya dengan sedikit tegang dan gugup juga.“Saya kurang tahu soal waktu pulangnya. Tapi setahu saya, Dokter Ghiyas lagi ada kunjungan. Anda bisa duduk dulu di
“Sel, temenin gue ke mal, yuk! Gue mau dari hadiah buat pernikahan temen gue. Pacar gue lagi sibuk, dia enggak bisa anter gue.” Naya memintanya dengan memelas pada Sella.“Kapan?” tanyanya sambil mengaplikasikan sebuah lipstik ke bibirnya dan melirik Naya.“Besok, gimana?” Naya tentu bersemangat karena kelihatannya Sella punya waktu luang.“Besok gue udah ada jadwal sama pacar gue, Nay. Kecuali kalau lo siap jadi obat nyamuk, gue mah ayo aja! Pacar gue nanti gue minta bawa temen aja. Supaya lo nanti ada temen, barang kali lo butuh cowok lain yang menemani lo di saat pacar lo lagi enggak bisa sama lo?” Sella tersenyum genit.Naya kemudian menghembuskan nafasnya berat saat mendengar apa yang dikatakan Sella.“Enggak, makasih. Orang baru itu bencana buat gue,” tolak Naya dengan sedikit rasa sebal.Naya berjalan menuju ke pintu utama kantor. Dia hendak pulang dan kemudian berdiam diri d
“Naya,” ucap Naya dengan percaya diri saat berjabat tangan dengan klien David ini.“Oh, Naya. Cantik, ya? Pacar?” Klien tersebut melirik ke arah David sambil mengangkat alisnya.“Rekan,” jawab David membenarkan dengan senyumannya dan melirik ke arah Naya.Naya mengernyitkan dahinya saat itu juga. Dia sebenarnya memang sudah tak nyaman dengan David. Jika saja dirinya tak memikirkan tentang sulitnya untuk mengambil posisi direktur, maka dirinya benar-benar tak akan mau melakukan ini.Duduk bersama dengan David dan klien David yang terdiri atas satu pria dan satu wanita tampaknya membuat Naya benar-benar bisa menunjukkan di mana posisi dirinya seharusnya.“Biasanya sama sekretaris, Vid. Tumben, hari ini bawa cewek,” ucap Angel.Mendengar kata informal dari Angel, Naya agak bingung. Bukankah ini klien David?“Naya, kelihatannya kamu agak bingung. Meski mereka ini klien kita, mereka tem
“Untuk kondisi pasien yang kecelakaan di persimpangan jalan itu—”Ghiyas yang berjalan bersama dengan seorang perawat secara tiba-tiba dicegat oleh seorang gadis yang kini tengah menangis di depannya. Bersimbah air mata, gadis itu memegang tangan Ghiyas.“Dokter ... Tolongin Papa, Dokter!” ucapnya dengan berderai air mata.Ghiyas yang mengenali gadis itu langsung menatap ke arah ruangan pasien yang hendak dia kunjungi untuk mengecek kondisinya. Dan sedetik kemudian, Ghiyas berlari ke ruangan itu. Dan dia menemukan Rendi yang sudah ada di sana sambil menatapi arlojinya.“... pukul 21.27 waktu setempat.”Dan ucapan Rendi itu berhasil membuat Ghiyas menghela nafasnya berat. Rendi menoleh ke arah Ghiyas dan menggeleng pelan di sana. Sementara Ghiyas menunduk dengan rasa sesal.Ini seharusnya pemandangan yang biasa bagi setiap dokter atau perawat, atau staf lain di rumah sakit. Namun, Ghiyas sebagai dokte
Teriakan Naya menggema di lorong rumah sakit. Dan di ruang persalinan, Naya memegang kuat brankar. Dengan Ghiyas yang berada di sisinya, mengusap halus kepala Naya. Pandangan Naya menuju ke arah kakinya yang terbuka lebar. Membuka jalan lahir untuk bayinya yang sudah tak sabar ingin keluar. Dengan keringat yang membanjiri kening bahkan hingga menetes ke pipinya.Begitu tangis bayi memecah keadaan yang mencekam itu, Ghiyas menengadahkan kepalanya. Untuk melihat bayi yang sekarang dipegangi dokter yang membantu persalinan saat itu.Senyum pria itu mengembang lebar. Matanya melirik ke arah sang istri yang kini menghela nafasnya dan berusaha menstabilkan nafasnya lagi. Kecupan mendarat berkali-kali di kepala Naya begitu Ghiyas merasakan perasaan lega dan melepaskan rasa bahagia yang dia rasakan.“Fadelico Sangga Donzello Eduardo. Itu, kan?” Ghiyas menatapi Naya yang masih terengah.Sorot mata Naya menatap Ghiyas dan menganggukkan kepalanya sambil
Ghiyas menenangkan Naya sampai Naya akhirnya tenang, setelah setengah jam. Dan dia bisa kembali berbaring untuk memejamkan matanya. Sambil mendekap Naya yang masih sesenggukan, Ghiyas berusaha untuk tidur lagi. Sementara Naya terus menatapi Ghiyas.“Naya tanyain Gabby, loh. Awas aja, kalau ternyata Mas enggak ke rumah sakit,” ancam Naya.“Iya, tanya aja sana! Orang catatan panggilannya Gabby juga masih ada di handphone Mas. Kamu mau tanya pihak rumah sakit juga boleh. Mau lihat catatan kerja Mas juga boleh.”“Naya mimpi Mas ninggalin Naya, buat orang lain. Mas bakal kayak gitu sama Naya?”“Enggak, Nay. Sama siapa, coba? Mas udah tua, siapa lagi yang mau sama Mas kalau bukan kamu?”“Banyak. Mas ganteng, kok. Mas awet muda, makanya Naya demen. Pasti banyak juga yang demen sama Mas di luar sana. Bukan Naya doang.”“Enggak, Sayang. Jangan ngajak ngobrol dulu, dong! Mas ngantuk, ni
Naya tengah menunggu Ghiyas pulang, karena Ghiyas akan membawakan beberapa makanan yang sedang ingin dia makan. Ya, dia tengah mengidam dan baru saja menghubungi suaminya yang sedang dalam perjalanan pulang, untuk menitip beberapa makanan.“Assalamu’alaikum.” Ghiyas datang membawakan pesanan istrinya yang tengah mengidam.“Wa’alaikumsalam,” jawab Naya seraya menghampiri Ghiyas dan salim padanya.Ghiyas langsung menyodorkan apa yang dia bawa, membuat Naya tersenyum lebar. Naya menerimanya dan menyajikannya di meja. Ghiyas duduk di sofa sambil menatapi Naya yang belakangan ini kehilangan nafsu makannya, namun punya keinginan yang kuat untuk mencicipi berbagai makanan.“Makannya sedikit-sedikit, nanti mual lagi kalau kebanyakan,” ujar Ghiyas.“Enggak akan. Soalnya Naya mau banget makan ini semua,” jawab Naya dengan yakin.Naya memakan setiap makanan yang dibawakan Ghiyas. Dan Ghiyas se
Naya berbaring di brankar. Matanya tertuju pada dokter yang sekarang menyingkap bajunya dan agak menurunkan sedikit celananya. Ghiyas menemani Naya di ruangan itu, untuk mengecek bayinya. Naya melihat ke arah monitor, tak sabar untuk melihat bayinya.Dokter menuangkan gel di atas perut Naya dan mengusapnya dengan alat ultrasound. Dan tampak kondisi rahim Naya di monitor. Dengan kantung janinnya yang sudah terlihat.“Usia kandungannya masih sekitar 4 minggu, belum terdeteksi detak jantungnya,” kata dokter.Ghiyas menganggukkan kepalanya membenarkan. Ghiyas tersenyum sambil melirik Naya yang menatap ke arah monitor terus. Ghiyas tahu bagaimana perasaan Naya sekarang, sejak rahimnya bersih lagi, Naya sudah menantikan kehadiran bayinya. Hingga sekarang, dia muncul.Setelah dari ruangan dokter, Naya menunggu vitamin yang telah diresepkan di farmasi sambil membaca jurnal kehamilan. Dia sudah pernah membacanya, namun entah kenapa rasanya senang memba
“Nay?!” Fely menatap Naya dengan tak percaya, dan melirik ke arah perutnya sendiri yang buncit.“Ini apa?” Ghiyas terkekeh bingung sambil menatapi dua potongan kain yang tak dikenalinya.Naya hanya tersenyum geli melihat reaksi Ghiyas. Sementara yang lainnya sekarang juga demikian, dengan perasaan gemas karena Ghiyas masih belum menyadari apa yang ingin Naya katakan dari hadiahnya itu. Bahkan Kevin sekarang mengerti apa yang menjadi hadiah ulang tahun Ghiyas.“Lebih jelasnya, lihat apa lagi yang ada di bagian bawahnya,” ucap Naya sambil tersenyum.Ghiyas mengernyit dan menarik kertas lain yang menghalangi. Dan dia menemukan sesuatu yang membuat ekspresinya langsung hilang seketika. Ghiyas meraih benda yang sudah lama tak ia lihat lagi. Dan alat seukuran stik es krim itu kini berada di genggaman Ghiyas lebih cepat.“Oh?!” Ghiyas kemudian menatap ke arah Naya dengan penuh keterkejutan.Naya terta
Ghiyas yang ingin tahu apa yang sebenarnya dilakukan Naya, kini hendak membuka pintu. Namun, pintunya terkunci. Dan membuat Ghiyas menggedor-gedor pintunya secara tidak ramah.“Naya! Naya, buka pintunya!” ucap Ghiyas dengan suara yang tinggi.Namun, belum ada yang membukakan pintu untuknya. Akhirnya Ghiyas bahkan memukul pintu dengan perasaan marah. Mengeluarkan segala yang dia pendam belakangan ini. Rasa lelahnya yang datang entah dari mana, emosinya yang mendadak tak lagi stabil.“Naya! Naya, dengar Mas?! Naya, buka pintunya, sekarang!” sentak Ghiyas.Gabby di sana termangu, menatapi Ghiyas. Dia jadi agak khawatir sekarang pada Naya. Dan dalam benaknya bertanya, kenapa Ghiyas seperti ini dan apakah Naya selama ini baik-baik saja?Dan begitu seseorang membuka kunci rumahnya, tanpa membukakan pintu, Ghiyas langsung membukanya. Dan secara tak langsung membanting pintu itu. Perasaan seperti waktu itu, saat memergoki Naya bersa
“Kondisi Naya makin hari makin baik. Sampai dia pulih total, bahkan sekarang Naya jauh lebih baik dari sebelumnya. Lo suami yang baik buat dia.” Gabby melirik Ghiyas sambil tersenyum.“Gue cuman mau mendoakan yang terbaik buat lo sama Naya ke depannya. Makanya, gue mau juga didoain balik, tentang hubungan gue sama Gabby,” ucap Kevin seraya memegangi tangan Gabby.Kevin menggenggam tangan Gabby dan kemudian mengangkatnya, memamerkannya pada Ghiyas. Rendi langsung menyentil tangan Kevin hingga Kevin mendesis kesakitan dan buru-buru melepaskan tangannya dari Gabby. Gabby sendiri hanya terkekeh melihat pacarnya yang dinistakan itu.“Jangan terlalu romantis sekarang, habis nikah nanti bosan duluan,” tegur Rendi.“Emang kalau enggak romantis-romantisan sebelum nikah, nanti enggak akan bosan?” tanya Kevin.“Pastilah. Nanti banyak masalah, karena sama-sama merasa bosan dan mencari orang lain yang lebih
Setelah tiga bulan berlalu, Naya sudah mampu untuk berjalan seperti biasa. Dan Naya sudah kembali beraktivitas seperti biasa sebagai istri rumah tangga. Mengurusi Ghiyas jauh lebih baik dari sebelumnya. Ghiyas melihat perubahan drastis dari Naya.Sayangnya, Ghiyas sering kali mendapati Naya yang bengong di jendela. Dia pasti bosan di rumah. Dan melihat Naya yang mencari kesibukan dengan membaca buku, atau mengikuti kegiatan secara daring, Ghiyas jadi tak tega terus membuat Naya mengurung diri di rumah.“Nay, kamu ada keinginan buat kerja lagi?” tanya Ghiyas sambil duduk di kasur.Ghiyas memandang Naya yang tengah asyik dengan buku bacaannya. Dan Naya segera mengalihkan pandangannya pada Ghiyas. Dia tersenyum dan menggeleng pelan.“Sebenarnya, Naya agak takut buat kerja di kantor. Tapi, menurut Mas gimana?” tanya Naya.“Kamu tahu, Mas enggak pernah ngelarang kamu bekerja, selama kamu enggak terpaku sama pekerjaan kamu.
“Kak, Kakak berarti keguguran udah dua kali dong, ya?”Ardan bertanya sambil menuangkan susu ke gelas dan menyodorkannya pada Naya yang duduk di meja makan sambil menatap ke arah televisi. Dia tengah menikmati acara kesukaannya di sana.“Iya,” jawab Naya seadanya.“Kak Ghiyas belum pulang, Kak?” tanya Ardan sambil menoleh ke kanan dan ke kiri.“Belum, makanya Kakak minta kamu di sini dulu. Kamu kayaknya buru-buru banget,” ucap Naya.“Enggak juga. Cuman ... Kakak enggak takut apa sama Kak Ghiyas? Aku dengar dari Mama, katanya Kakak memang cuek banget sama Kak Ghiyas. Kak Ghiyas emang enggak pernah marah sama Kakak ya, kok pada bilang Kak Ghiyas baik banget?” tanya Ardan.Naya mengernyitkan dahinya. “Kamu sekenal apa sama kakak iparmu? Bahkan semua orang juga tahu Mas Ghiyas orangnya baik banget.“ Naya lantas terkekeh karena ucapan adiknya itu.“Mungkin memang