“Naya,” ucap Naya dengan percaya diri saat berjabat tangan dengan klien David ini.
“Oh, Naya. Cantik, ya? Pacar?” Klien tersebut melirik ke arah David sambil mengangkat alisnya.
“Rekan,” jawab David membenarkan dengan senyumannya dan melirik ke arah Naya.
Naya mengernyitkan dahinya saat itu juga. Dia sebenarnya memang sudah tak nyaman dengan David. Jika saja dirinya tak memikirkan tentang sulitnya untuk mengambil posisi direktur, maka dirinya benar-benar tak akan mau melakukan ini.
Duduk bersama dengan David dan klien David yang terdiri atas satu pria dan satu wanita tampaknya membuat Naya benar-benar bisa menunjukkan di mana posisi dirinya seharusnya.
“Biasanya sama sekretaris, Vid. Tumben, hari ini bawa cewek,” ucap Angel.
Mendengar kata informal dari Angel, Naya agak bingung. Bukankah ini klien David?
“Naya, kelihatannya kamu agak bingung. Meski mereka ini klien kita, mereka tem
“Untuk kondisi pasien yang kecelakaan di persimpangan jalan itu—”Ghiyas yang berjalan bersama dengan seorang perawat secara tiba-tiba dicegat oleh seorang gadis yang kini tengah menangis di depannya. Bersimbah air mata, gadis itu memegang tangan Ghiyas.“Dokter ... Tolongin Papa, Dokter!” ucapnya dengan berderai air mata.Ghiyas yang mengenali gadis itu langsung menatap ke arah ruangan pasien yang hendak dia kunjungi untuk mengecek kondisinya. Dan sedetik kemudian, Ghiyas berlari ke ruangan itu. Dan dia menemukan Rendi yang sudah ada di sana sambil menatapi arlojinya.“... pukul 21.27 waktu setempat.”Dan ucapan Rendi itu berhasil membuat Ghiyas menghela nafasnya berat. Rendi menoleh ke arah Ghiyas dan menggeleng pelan di sana. Sementara Ghiyas menunduk dengan rasa sesal.Ini seharusnya pemandangan yang biasa bagi setiap dokter atau perawat, atau staf lain di rumah sakit. Namun, Ghiyas sebagai dokte
Ghiyas masih berada di atas ranjangnya. Masih berselimut dengan bertelanjang dada. Dia benar-benar tak ingin beranjak dari tempat tidurnya. Dan terlihat bagaimana pria itu kehilangan gairah hidupnya dalam sekejap. Bahkan untuk sarapan pun tampak tak berselera.Sementara istrinya baru mengambil makanan delivery dari pintu dan kembali ke kamar dengan membawakan makanannya. Ghiyas menatapinya dengan datar, tanpa ekspresi sama sekali.“Nih, nasi uduknya udah dateng. Bangun, makan! Jangan makan di kasur!” ujar Naya.Naya membawa makanannya keluar untuk menyiapkannya. Namun, suaminya tak beranjak dari kasur dan tak mengikutinya. Biasanya saat Naya mengatakan akan menyiapkan makanan saja, Ghiyas segera bangun dan mengikutinya untuk membantu.“Mas mau makan di sini? Jangan berantakan tapi,” tambah Naya mencoba memahami Ghiyas.“Enggak jadi,” jawab Ghiyas sambil menggeleng dan membalikkan tubuhnya.Naya menghela na
“Temenin Mas, hari ini aja,” pinta Ghiyas sambil menatap Naya.“Naya pergi sebentar, kok. Cuman sejam atau dua jam paling lama. Enggak akan lebih, janji.”Naya berusaha membujuk Ghiyas agar mengizinkannya. Dia sedang tak ingin cari ribut dengannya.“Please, hari ini aja,” bujuk Ghiyas lagi, dia menatapi Naya tanpa rasa curiga sedikit pun.Melihat Ghiyas yang sama sekali tak bertanya untuk apa, atau kejelasan tentang pertemuan yang harus dia hadiri tersebut, Naya sadar jika Ghiyas mempercayainya.“Ya udah, iya.” Naya menurut, walau otaknya mulai berputar mencari jalan pintas.“Temenin Mas istirahat, ya? Kepala Mas agak pusing,” ucap Ghiyas.Naya menganggukkan kepalanya dan mendekati Ghiyas. Memegangi keningnya, barang kali Ghiyas sedang sakit. Dan Ghiyas menurutkan tangan Naya secara halus dari wajahnya.“Mas enggak sakit. Cuman capek, mau istirahat. Kamu temani M
Ghiyas menganggukkan kepalanya dengan cukup tenang. Tatapannya pada Naya perlahan meneduh. Dia tak tahu apa yang membuat Naya menjadi semarah ini. Bahkan Naya meninggikan suaranya.Perlahan tangan Ghiyas melepaskan tangan Naya. Dengan dadanya yang kembang kempis, Naya menatapi tangan suaminya itu yang perlahan mengendur. Sambil mendecak, Naya berlalu ke kamar.Ghiyas menghela nafasnya. Tatapannya menemukan makanan yang Naya beli. Yang kini berada di lantai. Ghiyas mendekat dan segera memungutnya, untungnya makanannya tidak ada yang jatuh keluar dari kotaknya. Semuanya masih tampak rapi.Dengan sabar, pria itu menaruh makanannya di meja makan dan kemudian segera menghampiri Naya untuk mengajaknya makan sekaligus berbaikan ke kamar. Mereka tinggal di tempat yang sama, tidur di ranjang sama, rasanya tentu akan canggung jika terus menerus seperti ini.“Nay?” Ghiyas membuka pintu kamar dan menatapi Naya yang berbaring di atas kasur.Ghiyas m
“Sehubung besok tanggal merah dan gue libur, gue datang ke acara pesta pranikah lo!”Naya tampak cantik dengan setelan pendek. Dia tersenyum menatapi Fely yang kini duduk bersama dengan pasangannya. Ada banyak orang di sana, dan momen itu dimanfaatkan untuk mengadakan reuni bersama dengan teman-teman sekelas mereka dulu.“Nay, lo datang sendiri aja, nih?” Fely mengangkat alisnya sambil menatapi Naya.“Ya, gue sendiri aja,” jawab Naya sambil tersenyum tipis.“Suami lo apa enggak lo ajak ke sini? Bukannya katanya lo udah nikah?” tanya teman SMA.“Mm, enggak. Dia sibuk,” jawab Naya asal, padahal mereka sedang perang dingin saja sekarang.Meski Naya bilang jika tidak ada masalah dan mereka tidak bertengkar, namun Naya menunjukkan sikap yang berbeda dari biasanya. Mulai dari tidur menjaga jarak, jarang bicara dan bahkan tak bertegur sapa sama sekali meski ada bersama Ghiyas.&ldqu
Fely menatapi teman-temannya yang mulai pamit dan pulang. Revan juga tampak mengantarkan teman-temannya itu ke pintu. Fely melirik Naya yang tampak masih di bawah pengaruh alkohol.Hingga Ghiyas datang setelah dikabari jika Naya mabuk. Dia bertemu Revan di depan.“Suaminya Naya?” Revan tentu mengenalinya karena Ghiyas datang saat yang lain sudah pulang.“Iya, di mana Naya?” Ghiyas tentu cemas mengetahui istrinya sekarang dalam keadaan mabuk.Revan menuntun Ghiyas masuk. Fely langsung menunjuk Naya yang sedang terbaring. Dia belum tidur, senyumannya yang tampak lebar hingga membuat wajahnya terlihat manis membuat Ghiyas mengernyitkan dahinya. Dia sungguh manis saat sedang mabuk.Apalagi pipinya yang tampak kemerahan itu. Melihat Naya membuatnya menggelengkan kepalanya.“Dia minum berapa banyak?” tanya Ghiyas sambil mendekati Naya dan mengangkatnya bangun.“Enggak banyak. Cuman segelas. Itu juga
Di atas kasur yang benar-benar berantakan, Naya terbaring dengan posisi yang tak rapi. Biasanya, Naya adalah orang yang tidur dengan posisi yang sangat teratur. Tapi kali ini tidak.Ghiyas membuka matanya lebih dulu dan mendapati Naya yang memeluk dirinya. Permainan semalam cukup membuat Ghiyas kewalahan karena permainan yang dipimpin istrinya itu. Dia tersenyum sambil menatap Naya yang bergerak membelakanginya. Hingga punggungnya yang polos menjadi sarapan Ghiyas pagi itu. Sangat indah, ukiran tangan Tuhan yang ada di depannya ini.“Nay, bangun!” Ghiyas menepuk pelan bokong gadis itu.Naya yang memeluk bantalnya kini menyesap dalam-dalam aroma angin pagi yang masuk lewat ventilasi. Naya kemudian membuka matanya perlahan. Rasanya pusing dan mual pagi itu.Gadis itu kemudian mengernyitkan dahinya kala menyadari dirinya sudah ada di kamarnya. Tangannya perlahan memegangi dadanya yang ditutupi selimut. Hingga dia membuka selimutnya sedikit untuk
“Akhir pekan ini, Fely nikah. Mas mau temenin Naya ke sana, enggak?”“Akhir pekan ini? Enggak bisa, Sayang. Mas ada jadwal akhir pekan ini. Kamu pergi sendiri aja, ya? Jangan sampai malam, jangan minum lagi!” ujar Ghiyas menyinggung yang pernah terjadi.“Enggak akan. Acara malam itu acara kedua keluarga katanya. Naya cuman datang sebentar sebagai tamu,” jawab Naya.“Kamu enggak jadi bridesmaid, Nay?”“Fely tahu Naya paling malas kalau diminta ini itu. Waktu Naya yang nikah aja Naya malas banget ngurusinnya kalau enggak dipaksa. Toh, Naya juga sibuk belakangan ini sama urusan kantor.“Ghiyas terkekeh. Memang benar juga. Untuk mengurus pernikahannya sendiri saja, Naya harus dipaksa dan seperti tidak ada inisiatifnya sendiri. Bahkan Naya sempat memilih untuk menikah dengan sederhana di KUA dan tak perlu mengundang siapa-siapa, hanya keluarga besar.Namun tentu itu bukan tipe Ghiyas. La