“Sehubung besok tanggal merah dan gue libur, gue datang ke acara pesta pranikah lo!”
Naya tampak cantik dengan setelan pendek. Dia tersenyum menatapi Fely yang kini duduk bersama dengan pasangannya. Ada banyak orang di sana, dan momen itu dimanfaatkan untuk mengadakan reuni bersama dengan teman-teman sekelas mereka dulu.
“Nay, lo datang sendiri aja, nih?” Fely mengangkat alisnya sambil menatapi Naya.
“Ya, gue sendiri aja,” jawab Naya sambil tersenyum tipis.
“Suami lo apa enggak lo ajak ke sini? Bukannya katanya lo udah nikah?” tanya teman SMA.
“Mm, enggak. Dia sibuk,” jawab Naya asal, padahal mereka sedang perang dingin saja sekarang.
Meski Naya bilang jika tidak ada masalah dan mereka tidak bertengkar, namun Naya menunjukkan sikap yang berbeda dari biasanya. Mulai dari tidur menjaga jarak, jarang bicara dan bahkan tak bertegur sapa sama sekali meski ada bersama Ghiyas.
&ldqu
Fely menatapi teman-temannya yang mulai pamit dan pulang. Revan juga tampak mengantarkan teman-temannya itu ke pintu. Fely melirik Naya yang tampak masih di bawah pengaruh alkohol.Hingga Ghiyas datang setelah dikabari jika Naya mabuk. Dia bertemu Revan di depan.“Suaminya Naya?” Revan tentu mengenalinya karena Ghiyas datang saat yang lain sudah pulang.“Iya, di mana Naya?” Ghiyas tentu cemas mengetahui istrinya sekarang dalam keadaan mabuk.Revan menuntun Ghiyas masuk. Fely langsung menunjuk Naya yang sedang terbaring. Dia belum tidur, senyumannya yang tampak lebar hingga membuat wajahnya terlihat manis membuat Ghiyas mengernyitkan dahinya. Dia sungguh manis saat sedang mabuk.Apalagi pipinya yang tampak kemerahan itu. Melihat Naya membuatnya menggelengkan kepalanya.“Dia minum berapa banyak?” tanya Ghiyas sambil mendekati Naya dan mengangkatnya bangun.“Enggak banyak. Cuman segelas. Itu juga
Di atas kasur yang benar-benar berantakan, Naya terbaring dengan posisi yang tak rapi. Biasanya, Naya adalah orang yang tidur dengan posisi yang sangat teratur. Tapi kali ini tidak.Ghiyas membuka matanya lebih dulu dan mendapati Naya yang memeluk dirinya. Permainan semalam cukup membuat Ghiyas kewalahan karena permainan yang dipimpin istrinya itu. Dia tersenyum sambil menatap Naya yang bergerak membelakanginya. Hingga punggungnya yang polos menjadi sarapan Ghiyas pagi itu. Sangat indah, ukiran tangan Tuhan yang ada di depannya ini.“Nay, bangun!” Ghiyas menepuk pelan bokong gadis itu.Naya yang memeluk bantalnya kini menyesap dalam-dalam aroma angin pagi yang masuk lewat ventilasi. Naya kemudian membuka matanya perlahan. Rasanya pusing dan mual pagi itu.Gadis itu kemudian mengernyitkan dahinya kala menyadari dirinya sudah ada di kamarnya. Tangannya perlahan memegangi dadanya yang ditutupi selimut. Hingga dia membuka selimutnya sedikit untuk
“Akhir pekan ini, Fely nikah. Mas mau temenin Naya ke sana, enggak?”“Akhir pekan ini? Enggak bisa, Sayang. Mas ada jadwal akhir pekan ini. Kamu pergi sendiri aja, ya? Jangan sampai malam, jangan minum lagi!” ujar Ghiyas menyinggung yang pernah terjadi.“Enggak akan. Acara malam itu acara kedua keluarga katanya. Naya cuman datang sebentar sebagai tamu,” jawab Naya.“Kamu enggak jadi bridesmaid, Nay?”“Fely tahu Naya paling malas kalau diminta ini itu. Waktu Naya yang nikah aja Naya malas banget ngurusinnya kalau enggak dipaksa. Toh, Naya juga sibuk belakangan ini sama urusan kantor.“Ghiyas terkekeh. Memang benar juga. Untuk mengurus pernikahannya sendiri saja, Naya harus dipaksa dan seperti tidak ada inisiatifnya sendiri. Bahkan Naya sempat memilih untuk menikah dengan sederhana di KUA dan tak perlu mengundang siapa-siapa, hanya keluarga besar.Namun tentu itu bukan tipe Ghiyas. La
Naya memasuki ruangan di mana ruangan tersebut akan menjadi miliknya. Ditemani dengan David yang menunjukkan betapa indahnya ruangan pribadi. Di mana tak bisa diakses oleh sembarang orang dan memberikan privasi bagi penggunanya. Tampak sangat nyaman.“Ada yang ingin kamu ubah dari ruangan ini? Barang kali posisi meja kerja atau sofa untuk tamunya?” David berjalan menyusuri ruangan tersebut.“Tidak perlu, saya sudah suka seperti ini,” jawab Naya sambil tersenyum tipis.“Juga, untuk ke depannya, kamu tidak perlu repot-repot keluar dari pintu ruangan kamu jika menuju ruangan saya. Kamu tidak perlu membuka dua pintu untuk mengakses ruangan saya nantinya. Karena ada pintu yang langsung menuju ke ruangan saya di sini.”David berjalan mendekati dinding yang membuat Naya mengernyitkan dahinya. Tak mengerti dengan ucapan David dan tak mengerti apa yang sebenarnya ingin David tunjukkan.Dari dinding yang dibuat bergerigi i
Ghiyas menatapi Naya yang bersiap pagi itu. Dengan menggunakan gaun tanpa lengan, dan dia juga menata rambutnya dengan sangat rapi seorang diri. Biasanya Naya tak akan melakukannya. Dia terlalu pemalas untuk itu. Namun, demi datang ke pernikahan sahabatnya, dia melakukannya.Ayolah, Ghiyas bahkan tak pernah melihat Naya berdandan sebegitunya untuk acara mereka berdua. Tapi gadis itu melakukannya untuk bertemu dengan banyak orang di pernikahan sahabatnya.“Cantik banget, sih. Mau ketemu siapa sampai dandan segitunya? Apa kamu punya mantan crush selama SMA atau kuliah dulu yang akan datang ke acara pernikahan sahabat kamu itu?”Ghiyas menopang dagunya. Dia sendiri terpukau dengan Naya pagi itu. Membuatnya ingin membatalkan jadwal yang sudah dia buat dengan pasiennya hari itu.“Hm, yang Mas sebutkan tadi memang akan datang. Makanya Naya berias,” ucap Naya santai.“Bahkan kamu enggak pernah sampai menata rambut kamu sedemi
Naya tercengang saat David meminta ditemani. Dia tak ingin suaminya datang secara tiba-tiba dan memergoki dirinya sedang bersama dengan pria lain. Itu akan membuat masalah yang cukup besar.“Bukankah semua itu jika ada sangkut pautnya dengan urusan kantor? Ah, ini sama sekali enggak ada sangkut pautnya sama urusan kantor. Kita bertemu di sini juga benar-benar kebetulan,” balas Naya, secara tak langsung menolak David.“Di kamus saya tidak ada yang namanya kebetulan. Jika sudah dipertemukan, itu namanya takdir.”Naya menghembuskan nafasnya berat dan melirik jam tangannya. Ghiyas akan tiba mungkin masih agak lama, karena jaraknya dengan makan siang cukup jauh. Akhirnya, Naya mengangguk.“Baik, akan saya temani. Saya hanya bisa menemani Anda untuk menyantap hidangan utama lantaran saya ada janji dengan seseorang untuk menyantap makanan itu bersama,” jawab Naya.“Ya, tidak apa-apa. Selama kamu mau menemani saya,
“Mas Agi? Udah sampai? Dari tadi?” tanya Naya dengan tegang begitu Ghiyas menghampirinya.“Baru aja. Dari tadi Mas cari kamu, ternyata kamu di sini. Anter Mas ketemu sama pengantinnya dulu, yuk!” ajak Ghiyas.Dari ekspresi Ghiyas dan Ghiyas yang tak bertanya sama sekali tentang David, maka berarti Ghiyas tak melihatnya. Dia sibuk mencari Naya dan kebetulan Naya ada tak jauh dari tepatnya itu.Naya menganggukkan kepalanya dan berjalan bersama dengan Ghiyas. Ghiyas menyodorkan tangannya untuk digandeng Naya. Dan Naya memegangi tangannya Ghiyas dengan perasaan lega.Ghiyas dan Naya naik ke pelaminan bersama. Mereka bergandengan tangan saat itu. Dan Fely menatap ke arah mereka, dia berusaha menyesuaikan dirinya dan kembali normal seperti biasanya. Walau rasanya memang tak bisa, melihat Naya bersama dengan Ghiyas setelah bersama orang lain.“Selamat, ya!” ucap Ghiyas seraya bersalaman dengan kedua mempelai pengantin i
“Kenapa enggak bilang sama Naya? Apa Mas sembunyiin rumah itu karena di dalamnya Mas sembunyiin selingkuhan Mas? Dan Mas pernah enggak pulang karena bermalam sama—”“Hush, astagfirullah. Enggak, ya! Rumahnya aja belum jadi, Sayang. Masih dalam pembangunan, belum layak pakai.” Ghiyas memelototi Naya yang bicara sembarangan tentang dirinya.Naya kemudian tersenyum mendengarnya. Dia tentu senang jika bisa memiliki rumah pribadi.“Kalau gitu, kapan kita bisa pindah?” tanya Naya sambil tersenyum manis.“Belum tahu. Nanti kalau Mas luang, Mas ajak kamu ke pembangunannya dan lihat-lihat. Cocok enggak menurut kamu. Sebelumnya Mas minta maaf karena enggak bilang apa-apa sama kamu tentang rumah kita yang lagi dibangun. Soalnya ini niatnya mau jadi surprise di anniversary kita yang pertama,” jelas Ghiyas.“Ah, enggak apa-apa. Naya suka dikasih surprise,” jawab Naya, dia tampak tersenyum senang.
Teriakan Naya menggema di lorong rumah sakit. Dan di ruang persalinan, Naya memegang kuat brankar. Dengan Ghiyas yang berada di sisinya, mengusap halus kepala Naya. Pandangan Naya menuju ke arah kakinya yang terbuka lebar. Membuka jalan lahir untuk bayinya yang sudah tak sabar ingin keluar. Dengan keringat yang membanjiri kening bahkan hingga menetes ke pipinya.Begitu tangis bayi memecah keadaan yang mencekam itu, Ghiyas menengadahkan kepalanya. Untuk melihat bayi yang sekarang dipegangi dokter yang membantu persalinan saat itu.Senyum pria itu mengembang lebar. Matanya melirik ke arah sang istri yang kini menghela nafasnya dan berusaha menstabilkan nafasnya lagi. Kecupan mendarat berkali-kali di kepala Naya begitu Ghiyas merasakan perasaan lega dan melepaskan rasa bahagia yang dia rasakan.“Fadelico Sangga Donzello Eduardo. Itu, kan?” Ghiyas menatapi Naya yang masih terengah.Sorot mata Naya menatap Ghiyas dan menganggukkan kepalanya sambil
Ghiyas menenangkan Naya sampai Naya akhirnya tenang, setelah setengah jam. Dan dia bisa kembali berbaring untuk memejamkan matanya. Sambil mendekap Naya yang masih sesenggukan, Ghiyas berusaha untuk tidur lagi. Sementara Naya terus menatapi Ghiyas.“Naya tanyain Gabby, loh. Awas aja, kalau ternyata Mas enggak ke rumah sakit,” ancam Naya.“Iya, tanya aja sana! Orang catatan panggilannya Gabby juga masih ada di handphone Mas. Kamu mau tanya pihak rumah sakit juga boleh. Mau lihat catatan kerja Mas juga boleh.”“Naya mimpi Mas ninggalin Naya, buat orang lain. Mas bakal kayak gitu sama Naya?”“Enggak, Nay. Sama siapa, coba? Mas udah tua, siapa lagi yang mau sama Mas kalau bukan kamu?”“Banyak. Mas ganteng, kok. Mas awet muda, makanya Naya demen. Pasti banyak juga yang demen sama Mas di luar sana. Bukan Naya doang.”“Enggak, Sayang. Jangan ngajak ngobrol dulu, dong! Mas ngantuk, ni
Naya tengah menunggu Ghiyas pulang, karena Ghiyas akan membawakan beberapa makanan yang sedang ingin dia makan. Ya, dia tengah mengidam dan baru saja menghubungi suaminya yang sedang dalam perjalanan pulang, untuk menitip beberapa makanan.“Assalamu’alaikum.” Ghiyas datang membawakan pesanan istrinya yang tengah mengidam.“Wa’alaikumsalam,” jawab Naya seraya menghampiri Ghiyas dan salim padanya.Ghiyas langsung menyodorkan apa yang dia bawa, membuat Naya tersenyum lebar. Naya menerimanya dan menyajikannya di meja. Ghiyas duduk di sofa sambil menatapi Naya yang belakangan ini kehilangan nafsu makannya, namun punya keinginan yang kuat untuk mencicipi berbagai makanan.“Makannya sedikit-sedikit, nanti mual lagi kalau kebanyakan,” ujar Ghiyas.“Enggak akan. Soalnya Naya mau banget makan ini semua,” jawab Naya dengan yakin.Naya memakan setiap makanan yang dibawakan Ghiyas. Dan Ghiyas se
Naya berbaring di brankar. Matanya tertuju pada dokter yang sekarang menyingkap bajunya dan agak menurunkan sedikit celananya. Ghiyas menemani Naya di ruangan itu, untuk mengecek bayinya. Naya melihat ke arah monitor, tak sabar untuk melihat bayinya.Dokter menuangkan gel di atas perut Naya dan mengusapnya dengan alat ultrasound. Dan tampak kondisi rahim Naya di monitor. Dengan kantung janinnya yang sudah terlihat.“Usia kandungannya masih sekitar 4 minggu, belum terdeteksi detak jantungnya,” kata dokter.Ghiyas menganggukkan kepalanya membenarkan. Ghiyas tersenyum sambil melirik Naya yang menatap ke arah monitor terus. Ghiyas tahu bagaimana perasaan Naya sekarang, sejak rahimnya bersih lagi, Naya sudah menantikan kehadiran bayinya. Hingga sekarang, dia muncul.Setelah dari ruangan dokter, Naya menunggu vitamin yang telah diresepkan di farmasi sambil membaca jurnal kehamilan. Dia sudah pernah membacanya, namun entah kenapa rasanya senang memba
“Nay?!” Fely menatap Naya dengan tak percaya, dan melirik ke arah perutnya sendiri yang buncit.“Ini apa?” Ghiyas terkekeh bingung sambil menatapi dua potongan kain yang tak dikenalinya.Naya hanya tersenyum geli melihat reaksi Ghiyas. Sementara yang lainnya sekarang juga demikian, dengan perasaan gemas karena Ghiyas masih belum menyadari apa yang ingin Naya katakan dari hadiahnya itu. Bahkan Kevin sekarang mengerti apa yang menjadi hadiah ulang tahun Ghiyas.“Lebih jelasnya, lihat apa lagi yang ada di bagian bawahnya,” ucap Naya sambil tersenyum.Ghiyas mengernyit dan menarik kertas lain yang menghalangi. Dan dia menemukan sesuatu yang membuat ekspresinya langsung hilang seketika. Ghiyas meraih benda yang sudah lama tak ia lihat lagi. Dan alat seukuran stik es krim itu kini berada di genggaman Ghiyas lebih cepat.“Oh?!” Ghiyas kemudian menatap ke arah Naya dengan penuh keterkejutan.Naya terta
Ghiyas yang ingin tahu apa yang sebenarnya dilakukan Naya, kini hendak membuka pintu. Namun, pintunya terkunci. Dan membuat Ghiyas menggedor-gedor pintunya secara tidak ramah.“Naya! Naya, buka pintunya!” ucap Ghiyas dengan suara yang tinggi.Namun, belum ada yang membukakan pintu untuknya. Akhirnya Ghiyas bahkan memukul pintu dengan perasaan marah. Mengeluarkan segala yang dia pendam belakangan ini. Rasa lelahnya yang datang entah dari mana, emosinya yang mendadak tak lagi stabil.“Naya! Naya, dengar Mas?! Naya, buka pintunya, sekarang!” sentak Ghiyas.Gabby di sana termangu, menatapi Ghiyas. Dia jadi agak khawatir sekarang pada Naya. Dan dalam benaknya bertanya, kenapa Ghiyas seperti ini dan apakah Naya selama ini baik-baik saja?Dan begitu seseorang membuka kunci rumahnya, tanpa membukakan pintu, Ghiyas langsung membukanya. Dan secara tak langsung membanting pintu itu. Perasaan seperti waktu itu, saat memergoki Naya bersa
“Kondisi Naya makin hari makin baik. Sampai dia pulih total, bahkan sekarang Naya jauh lebih baik dari sebelumnya. Lo suami yang baik buat dia.” Gabby melirik Ghiyas sambil tersenyum.“Gue cuman mau mendoakan yang terbaik buat lo sama Naya ke depannya. Makanya, gue mau juga didoain balik, tentang hubungan gue sama Gabby,” ucap Kevin seraya memegangi tangan Gabby.Kevin menggenggam tangan Gabby dan kemudian mengangkatnya, memamerkannya pada Ghiyas. Rendi langsung menyentil tangan Kevin hingga Kevin mendesis kesakitan dan buru-buru melepaskan tangannya dari Gabby. Gabby sendiri hanya terkekeh melihat pacarnya yang dinistakan itu.“Jangan terlalu romantis sekarang, habis nikah nanti bosan duluan,” tegur Rendi.“Emang kalau enggak romantis-romantisan sebelum nikah, nanti enggak akan bosan?” tanya Kevin.“Pastilah. Nanti banyak masalah, karena sama-sama merasa bosan dan mencari orang lain yang lebih
Setelah tiga bulan berlalu, Naya sudah mampu untuk berjalan seperti biasa. Dan Naya sudah kembali beraktivitas seperti biasa sebagai istri rumah tangga. Mengurusi Ghiyas jauh lebih baik dari sebelumnya. Ghiyas melihat perubahan drastis dari Naya.Sayangnya, Ghiyas sering kali mendapati Naya yang bengong di jendela. Dia pasti bosan di rumah. Dan melihat Naya yang mencari kesibukan dengan membaca buku, atau mengikuti kegiatan secara daring, Ghiyas jadi tak tega terus membuat Naya mengurung diri di rumah.“Nay, kamu ada keinginan buat kerja lagi?” tanya Ghiyas sambil duduk di kasur.Ghiyas memandang Naya yang tengah asyik dengan buku bacaannya. Dan Naya segera mengalihkan pandangannya pada Ghiyas. Dia tersenyum dan menggeleng pelan.“Sebenarnya, Naya agak takut buat kerja di kantor. Tapi, menurut Mas gimana?” tanya Naya.“Kamu tahu, Mas enggak pernah ngelarang kamu bekerja, selama kamu enggak terpaku sama pekerjaan kamu.
“Kak, Kakak berarti keguguran udah dua kali dong, ya?”Ardan bertanya sambil menuangkan susu ke gelas dan menyodorkannya pada Naya yang duduk di meja makan sambil menatap ke arah televisi. Dia tengah menikmati acara kesukaannya di sana.“Iya,” jawab Naya seadanya.“Kak Ghiyas belum pulang, Kak?” tanya Ardan sambil menoleh ke kanan dan ke kiri.“Belum, makanya Kakak minta kamu di sini dulu. Kamu kayaknya buru-buru banget,” ucap Naya.“Enggak juga. Cuman ... Kakak enggak takut apa sama Kak Ghiyas? Aku dengar dari Mama, katanya Kakak memang cuek banget sama Kak Ghiyas. Kak Ghiyas emang enggak pernah marah sama Kakak ya, kok pada bilang Kak Ghiyas baik banget?” tanya Ardan.Naya mengernyitkan dahinya. “Kamu sekenal apa sama kakak iparmu? Bahkan semua orang juga tahu Mas Ghiyas orangnya baik banget.“ Naya lantas terkekeh karena ucapan adiknya itu.“Mungkin memang