“Sel, temenin gue ke mal, yuk! Gue mau dari hadiah buat pernikahan temen gue. Pacar gue lagi sibuk, dia enggak bisa anter gue.” Naya memintanya dengan memelas pada Sella.
“Kapan?” tanyanya sambil mengaplikasikan sebuah lipstik ke bibirnya dan melirik Naya.
“Besok, gimana?” Naya tentu bersemangat karena kelihatannya Sella punya waktu luang.
“Besok gue udah ada jadwal sama pacar gue, Nay. Kecuali kalau lo siap jadi obat nyamuk, gue mah ayo aja! Pacar gue nanti gue minta bawa temen aja. Supaya lo nanti ada temen, barang kali lo butuh cowok lain yang menemani lo di saat pacar lo lagi enggak bisa sama lo?” Sella tersenyum genit.
Naya kemudian menghembuskan nafasnya berat saat mendengar apa yang dikatakan Sella.
“Enggak, makasih. Orang baru itu bencana buat gue,” tolak Naya dengan sedikit rasa sebal.
Naya berjalan menuju ke pintu utama kantor. Dia hendak pulang dan kemudian berdiam diri d
“Naya,” ucap Naya dengan percaya diri saat berjabat tangan dengan klien David ini.“Oh, Naya. Cantik, ya? Pacar?” Klien tersebut melirik ke arah David sambil mengangkat alisnya.“Rekan,” jawab David membenarkan dengan senyumannya dan melirik ke arah Naya.Naya mengernyitkan dahinya saat itu juga. Dia sebenarnya memang sudah tak nyaman dengan David. Jika saja dirinya tak memikirkan tentang sulitnya untuk mengambil posisi direktur, maka dirinya benar-benar tak akan mau melakukan ini.Duduk bersama dengan David dan klien David yang terdiri atas satu pria dan satu wanita tampaknya membuat Naya benar-benar bisa menunjukkan di mana posisi dirinya seharusnya.“Biasanya sama sekretaris, Vid. Tumben, hari ini bawa cewek,” ucap Angel.Mendengar kata informal dari Angel, Naya agak bingung. Bukankah ini klien David?“Naya, kelihatannya kamu agak bingung. Meski mereka ini klien kita, mereka tem
“Untuk kondisi pasien yang kecelakaan di persimpangan jalan itu—”Ghiyas yang berjalan bersama dengan seorang perawat secara tiba-tiba dicegat oleh seorang gadis yang kini tengah menangis di depannya. Bersimbah air mata, gadis itu memegang tangan Ghiyas.“Dokter ... Tolongin Papa, Dokter!” ucapnya dengan berderai air mata.Ghiyas yang mengenali gadis itu langsung menatap ke arah ruangan pasien yang hendak dia kunjungi untuk mengecek kondisinya. Dan sedetik kemudian, Ghiyas berlari ke ruangan itu. Dan dia menemukan Rendi yang sudah ada di sana sambil menatapi arlojinya.“... pukul 21.27 waktu setempat.”Dan ucapan Rendi itu berhasil membuat Ghiyas menghela nafasnya berat. Rendi menoleh ke arah Ghiyas dan menggeleng pelan di sana. Sementara Ghiyas menunduk dengan rasa sesal.Ini seharusnya pemandangan yang biasa bagi setiap dokter atau perawat, atau staf lain di rumah sakit. Namun, Ghiyas sebagai dokte
Ghiyas masih berada di atas ranjangnya. Masih berselimut dengan bertelanjang dada. Dia benar-benar tak ingin beranjak dari tempat tidurnya. Dan terlihat bagaimana pria itu kehilangan gairah hidupnya dalam sekejap. Bahkan untuk sarapan pun tampak tak berselera.Sementara istrinya baru mengambil makanan delivery dari pintu dan kembali ke kamar dengan membawakan makanannya. Ghiyas menatapinya dengan datar, tanpa ekspresi sama sekali.“Nih, nasi uduknya udah dateng. Bangun, makan! Jangan makan di kasur!” ujar Naya.Naya membawa makanannya keluar untuk menyiapkannya. Namun, suaminya tak beranjak dari kasur dan tak mengikutinya. Biasanya saat Naya mengatakan akan menyiapkan makanan saja, Ghiyas segera bangun dan mengikutinya untuk membantu.“Mas mau makan di sini? Jangan berantakan tapi,” tambah Naya mencoba memahami Ghiyas.“Enggak jadi,” jawab Ghiyas sambil menggeleng dan membalikkan tubuhnya.Naya menghela na
“Temenin Mas, hari ini aja,” pinta Ghiyas sambil menatap Naya.“Naya pergi sebentar, kok. Cuman sejam atau dua jam paling lama. Enggak akan lebih, janji.”Naya berusaha membujuk Ghiyas agar mengizinkannya. Dia sedang tak ingin cari ribut dengannya.“Please, hari ini aja,” bujuk Ghiyas lagi, dia menatapi Naya tanpa rasa curiga sedikit pun.Melihat Ghiyas yang sama sekali tak bertanya untuk apa, atau kejelasan tentang pertemuan yang harus dia hadiri tersebut, Naya sadar jika Ghiyas mempercayainya.“Ya udah, iya.” Naya menurut, walau otaknya mulai berputar mencari jalan pintas.“Temenin Mas istirahat, ya? Kepala Mas agak pusing,” ucap Ghiyas.Naya menganggukkan kepalanya dan mendekati Ghiyas. Memegangi keningnya, barang kali Ghiyas sedang sakit. Dan Ghiyas menurutkan tangan Naya secara halus dari wajahnya.“Mas enggak sakit. Cuman capek, mau istirahat. Kamu temani M
Ghiyas menganggukkan kepalanya dengan cukup tenang. Tatapannya pada Naya perlahan meneduh. Dia tak tahu apa yang membuat Naya menjadi semarah ini. Bahkan Naya meninggikan suaranya.Perlahan tangan Ghiyas melepaskan tangan Naya. Dengan dadanya yang kembang kempis, Naya menatapi tangan suaminya itu yang perlahan mengendur. Sambil mendecak, Naya berlalu ke kamar.Ghiyas menghela nafasnya. Tatapannya menemukan makanan yang Naya beli. Yang kini berada di lantai. Ghiyas mendekat dan segera memungutnya, untungnya makanannya tidak ada yang jatuh keluar dari kotaknya. Semuanya masih tampak rapi.Dengan sabar, pria itu menaruh makanannya di meja makan dan kemudian segera menghampiri Naya untuk mengajaknya makan sekaligus berbaikan ke kamar. Mereka tinggal di tempat yang sama, tidur di ranjang sama, rasanya tentu akan canggung jika terus menerus seperti ini.“Nay?” Ghiyas membuka pintu kamar dan menatapi Naya yang berbaring di atas kasur.Ghiyas m
“Sehubung besok tanggal merah dan gue libur, gue datang ke acara pesta pranikah lo!”Naya tampak cantik dengan setelan pendek. Dia tersenyum menatapi Fely yang kini duduk bersama dengan pasangannya. Ada banyak orang di sana, dan momen itu dimanfaatkan untuk mengadakan reuni bersama dengan teman-teman sekelas mereka dulu.“Nay, lo datang sendiri aja, nih?” Fely mengangkat alisnya sambil menatapi Naya.“Ya, gue sendiri aja,” jawab Naya sambil tersenyum tipis.“Suami lo apa enggak lo ajak ke sini? Bukannya katanya lo udah nikah?” tanya teman SMA.“Mm, enggak. Dia sibuk,” jawab Naya asal, padahal mereka sedang perang dingin saja sekarang.Meski Naya bilang jika tidak ada masalah dan mereka tidak bertengkar, namun Naya menunjukkan sikap yang berbeda dari biasanya. Mulai dari tidur menjaga jarak, jarang bicara dan bahkan tak bertegur sapa sama sekali meski ada bersama Ghiyas.&ldqu
Fely menatapi teman-temannya yang mulai pamit dan pulang. Revan juga tampak mengantarkan teman-temannya itu ke pintu. Fely melirik Naya yang tampak masih di bawah pengaruh alkohol.Hingga Ghiyas datang setelah dikabari jika Naya mabuk. Dia bertemu Revan di depan.“Suaminya Naya?” Revan tentu mengenalinya karena Ghiyas datang saat yang lain sudah pulang.“Iya, di mana Naya?” Ghiyas tentu cemas mengetahui istrinya sekarang dalam keadaan mabuk.Revan menuntun Ghiyas masuk. Fely langsung menunjuk Naya yang sedang terbaring. Dia belum tidur, senyumannya yang tampak lebar hingga membuat wajahnya terlihat manis membuat Ghiyas mengernyitkan dahinya. Dia sungguh manis saat sedang mabuk.Apalagi pipinya yang tampak kemerahan itu. Melihat Naya membuatnya menggelengkan kepalanya.“Dia minum berapa banyak?” tanya Ghiyas sambil mendekati Naya dan mengangkatnya bangun.“Enggak banyak. Cuman segelas. Itu juga
Di atas kasur yang benar-benar berantakan, Naya terbaring dengan posisi yang tak rapi. Biasanya, Naya adalah orang yang tidur dengan posisi yang sangat teratur. Tapi kali ini tidak.Ghiyas membuka matanya lebih dulu dan mendapati Naya yang memeluk dirinya. Permainan semalam cukup membuat Ghiyas kewalahan karena permainan yang dipimpin istrinya itu. Dia tersenyum sambil menatap Naya yang bergerak membelakanginya. Hingga punggungnya yang polos menjadi sarapan Ghiyas pagi itu. Sangat indah, ukiran tangan Tuhan yang ada di depannya ini.“Nay, bangun!” Ghiyas menepuk pelan bokong gadis itu.Naya yang memeluk bantalnya kini menyesap dalam-dalam aroma angin pagi yang masuk lewat ventilasi. Naya kemudian membuka matanya perlahan. Rasanya pusing dan mual pagi itu.Gadis itu kemudian mengernyitkan dahinya kala menyadari dirinya sudah ada di kamarnya. Tangannya perlahan memegangi dadanya yang ditutupi selimut. Hingga dia membuka selimutnya sedikit untuk
Teriakan Naya menggema di lorong rumah sakit. Dan di ruang persalinan, Naya memegang kuat brankar. Dengan Ghiyas yang berada di sisinya, mengusap halus kepala Naya. Pandangan Naya menuju ke arah kakinya yang terbuka lebar. Membuka jalan lahir untuk bayinya yang sudah tak sabar ingin keluar. Dengan keringat yang membanjiri kening bahkan hingga menetes ke pipinya.Begitu tangis bayi memecah keadaan yang mencekam itu, Ghiyas menengadahkan kepalanya. Untuk melihat bayi yang sekarang dipegangi dokter yang membantu persalinan saat itu.Senyum pria itu mengembang lebar. Matanya melirik ke arah sang istri yang kini menghela nafasnya dan berusaha menstabilkan nafasnya lagi. Kecupan mendarat berkali-kali di kepala Naya begitu Ghiyas merasakan perasaan lega dan melepaskan rasa bahagia yang dia rasakan.“Fadelico Sangga Donzello Eduardo. Itu, kan?” Ghiyas menatapi Naya yang masih terengah.Sorot mata Naya menatap Ghiyas dan menganggukkan kepalanya sambil
Ghiyas menenangkan Naya sampai Naya akhirnya tenang, setelah setengah jam. Dan dia bisa kembali berbaring untuk memejamkan matanya. Sambil mendekap Naya yang masih sesenggukan, Ghiyas berusaha untuk tidur lagi. Sementara Naya terus menatapi Ghiyas.“Naya tanyain Gabby, loh. Awas aja, kalau ternyata Mas enggak ke rumah sakit,” ancam Naya.“Iya, tanya aja sana! Orang catatan panggilannya Gabby juga masih ada di handphone Mas. Kamu mau tanya pihak rumah sakit juga boleh. Mau lihat catatan kerja Mas juga boleh.”“Naya mimpi Mas ninggalin Naya, buat orang lain. Mas bakal kayak gitu sama Naya?”“Enggak, Nay. Sama siapa, coba? Mas udah tua, siapa lagi yang mau sama Mas kalau bukan kamu?”“Banyak. Mas ganteng, kok. Mas awet muda, makanya Naya demen. Pasti banyak juga yang demen sama Mas di luar sana. Bukan Naya doang.”“Enggak, Sayang. Jangan ngajak ngobrol dulu, dong! Mas ngantuk, ni
Naya tengah menunggu Ghiyas pulang, karena Ghiyas akan membawakan beberapa makanan yang sedang ingin dia makan. Ya, dia tengah mengidam dan baru saja menghubungi suaminya yang sedang dalam perjalanan pulang, untuk menitip beberapa makanan.“Assalamu’alaikum.” Ghiyas datang membawakan pesanan istrinya yang tengah mengidam.“Wa’alaikumsalam,” jawab Naya seraya menghampiri Ghiyas dan salim padanya.Ghiyas langsung menyodorkan apa yang dia bawa, membuat Naya tersenyum lebar. Naya menerimanya dan menyajikannya di meja. Ghiyas duduk di sofa sambil menatapi Naya yang belakangan ini kehilangan nafsu makannya, namun punya keinginan yang kuat untuk mencicipi berbagai makanan.“Makannya sedikit-sedikit, nanti mual lagi kalau kebanyakan,” ujar Ghiyas.“Enggak akan. Soalnya Naya mau banget makan ini semua,” jawab Naya dengan yakin.Naya memakan setiap makanan yang dibawakan Ghiyas. Dan Ghiyas se
Naya berbaring di brankar. Matanya tertuju pada dokter yang sekarang menyingkap bajunya dan agak menurunkan sedikit celananya. Ghiyas menemani Naya di ruangan itu, untuk mengecek bayinya. Naya melihat ke arah monitor, tak sabar untuk melihat bayinya.Dokter menuangkan gel di atas perut Naya dan mengusapnya dengan alat ultrasound. Dan tampak kondisi rahim Naya di monitor. Dengan kantung janinnya yang sudah terlihat.“Usia kandungannya masih sekitar 4 minggu, belum terdeteksi detak jantungnya,” kata dokter.Ghiyas menganggukkan kepalanya membenarkan. Ghiyas tersenyum sambil melirik Naya yang menatap ke arah monitor terus. Ghiyas tahu bagaimana perasaan Naya sekarang, sejak rahimnya bersih lagi, Naya sudah menantikan kehadiran bayinya. Hingga sekarang, dia muncul.Setelah dari ruangan dokter, Naya menunggu vitamin yang telah diresepkan di farmasi sambil membaca jurnal kehamilan. Dia sudah pernah membacanya, namun entah kenapa rasanya senang memba
“Nay?!” Fely menatap Naya dengan tak percaya, dan melirik ke arah perutnya sendiri yang buncit.“Ini apa?” Ghiyas terkekeh bingung sambil menatapi dua potongan kain yang tak dikenalinya.Naya hanya tersenyum geli melihat reaksi Ghiyas. Sementara yang lainnya sekarang juga demikian, dengan perasaan gemas karena Ghiyas masih belum menyadari apa yang ingin Naya katakan dari hadiahnya itu. Bahkan Kevin sekarang mengerti apa yang menjadi hadiah ulang tahun Ghiyas.“Lebih jelasnya, lihat apa lagi yang ada di bagian bawahnya,” ucap Naya sambil tersenyum.Ghiyas mengernyit dan menarik kertas lain yang menghalangi. Dan dia menemukan sesuatu yang membuat ekspresinya langsung hilang seketika. Ghiyas meraih benda yang sudah lama tak ia lihat lagi. Dan alat seukuran stik es krim itu kini berada di genggaman Ghiyas lebih cepat.“Oh?!” Ghiyas kemudian menatap ke arah Naya dengan penuh keterkejutan.Naya terta
Ghiyas yang ingin tahu apa yang sebenarnya dilakukan Naya, kini hendak membuka pintu. Namun, pintunya terkunci. Dan membuat Ghiyas menggedor-gedor pintunya secara tidak ramah.“Naya! Naya, buka pintunya!” ucap Ghiyas dengan suara yang tinggi.Namun, belum ada yang membukakan pintu untuknya. Akhirnya Ghiyas bahkan memukul pintu dengan perasaan marah. Mengeluarkan segala yang dia pendam belakangan ini. Rasa lelahnya yang datang entah dari mana, emosinya yang mendadak tak lagi stabil.“Naya! Naya, dengar Mas?! Naya, buka pintunya, sekarang!” sentak Ghiyas.Gabby di sana termangu, menatapi Ghiyas. Dia jadi agak khawatir sekarang pada Naya. Dan dalam benaknya bertanya, kenapa Ghiyas seperti ini dan apakah Naya selama ini baik-baik saja?Dan begitu seseorang membuka kunci rumahnya, tanpa membukakan pintu, Ghiyas langsung membukanya. Dan secara tak langsung membanting pintu itu. Perasaan seperti waktu itu, saat memergoki Naya bersa
“Kondisi Naya makin hari makin baik. Sampai dia pulih total, bahkan sekarang Naya jauh lebih baik dari sebelumnya. Lo suami yang baik buat dia.” Gabby melirik Ghiyas sambil tersenyum.“Gue cuman mau mendoakan yang terbaik buat lo sama Naya ke depannya. Makanya, gue mau juga didoain balik, tentang hubungan gue sama Gabby,” ucap Kevin seraya memegangi tangan Gabby.Kevin menggenggam tangan Gabby dan kemudian mengangkatnya, memamerkannya pada Ghiyas. Rendi langsung menyentil tangan Kevin hingga Kevin mendesis kesakitan dan buru-buru melepaskan tangannya dari Gabby. Gabby sendiri hanya terkekeh melihat pacarnya yang dinistakan itu.“Jangan terlalu romantis sekarang, habis nikah nanti bosan duluan,” tegur Rendi.“Emang kalau enggak romantis-romantisan sebelum nikah, nanti enggak akan bosan?” tanya Kevin.“Pastilah. Nanti banyak masalah, karena sama-sama merasa bosan dan mencari orang lain yang lebih
Setelah tiga bulan berlalu, Naya sudah mampu untuk berjalan seperti biasa. Dan Naya sudah kembali beraktivitas seperti biasa sebagai istri rumah tangga. Mengurusi Ghiyas jauh lebih baik dari sebelumnya. Ghiyas melihat perubahan drastis dari Naya.Sayangnya, Ghiyas sering kali mendapati Naya yang bengong di jendela. Dia pasti bosan di rumah. Dan melihat Naya yang mencari kesibukan dengan membaca buku, atau mengikuti kegiatan secara daring, Ghiyas jadi tak tega terus membuat Naya mengurung diri di rumah.“Nay, kamu ada keinginan buat kerja lagi?” tanya Ghiyas sambil duduk di kasur.Ghiyas memandang Naya yang tengah asyik dengan buku bacaannya. Dan Naya segera mengalihkan pandangannya pada Ghiyas. Dia tersenyum dan menggeleng pelan.“Sebenarnya, Naya agak takut buat kerja di kantor. Tapi, menurut Mas gimana?” tanya Naya.“Kamu tahu, Mas enggak pernah ngelarang kamu bekerja, selama kamu enggak terpaku sama pekerjaan kamu.
“Kak, Kakak berarti keguguran udah dua kali dong, ya?”Ardan bertanya sambil menuangkan susu ke gelas dan menyodorkannya pada Naya yang duduk di meja makan sambil menatap ke arah televisi. Dia tengah menikmati acara kesukaannya di sana.“Iya,” jawab Naya seadanya.“Kak Ghiyas belum pulang, Kak?” tanya Ardan sambil menoleh ke kanan dan ke kiri.“Belum, makanya Kakak minta kamu di sini dulu. Kamu kayaknya buru-buru banget,” ucap Naya.“Enggak juga. Cuman ... Kakak enggak takut apa sama Kak Ghiyas? Aku dengar dari Mama, katanya Kakak memang cuek banget sama Kak Ghiyas. Kak Ghiyas emang enggak pernah marah sama Kakak ya, kok pada bilang Kak Ghiyas baik banget?” tanya Ardan.Naya mengernyitkan dahinya. “Kamu sekenal apa sama kakak iparmu? Bahkan semua orang juga tahu Mas Ghiyas orangnya baik banget.“ Naya lantas terkekeh karena ucapan adiknya itu.“Mungkin memang