Malam itu, Naya dan Ghiyas tengah berkemas karena besok pagi akan pulang. Ghiyas memegangi bahunya yang terasa masih ngilu. Cederanya memang tidak sampai patah, namun tulang bahunya memang masih sakit. Dia memeganginya sambil memutarkannya perlahan.
“Kenapa? Sakit?” Naya mendekati Ghiyas sambil memegang punggung suaminya itu.
“Kenapa, Gi? Bahumu masih sakit? Kuat nyetir enggak, besok?” tanya Ayah Ghiyas saat melihat ke arah Ghiyas yang tengah memegangi bahunya itu.
“Enggak begitu, sih. Kuat, kok,” jawab Ghiyas.
“Kalau enggak kuat, enggak usah dipaksain, Gi! Mending diistirahatkan dulu bahunya, daripada nanti makin parah,” ujar mamanya Naya.
“Enggak, enggak ada luka serius, kok.” Ghiyas berusaha menenangkan para orang tua yang cemas.
Ghiyas melirik Naya yang kini tangannya memegangi bahunya. Tangan Ghiyas menimpa tangan Naya dan memeganginya. Isyarat jika dirinya tidak apa-apa. Naya
“MAS AGI!”Suara teriakan Naya membuat Ghiyas segera menghampiri Naya di kamar. Mereka telah pulang ke apartemen Ghiyas, dan entah apa yang membuat gadis itu berteriak cukup kencang di apartemen.“Kenapa, Sayang?” Ghiyas menatapi Naya yang menatapi handphonenya itu.“Ini apa-apaan?” Naya menunjukkan layar handphonenya, yang mana Ghiyas memposting foto Naya yang tengah tidur di atas brankar dengan sangat nyenyak, sebenarnya menggemaskan.Di foto tersebut, Ghiyas masuk ke dalam frame dan tersenyum manis. Dia kelihatannya sengaja.“Habisnya kamu tidur lucu banget, mana enggak bangun-bangun waktu dibangunin. Kamu juga sejarang itu buka sosial media sampai enggak sadar apa yang orang posting,” balas Ghiyas.Ghiyas tersenyum tak berdosa di sana. Sementara Naya langsung mengambil bantal dan memukul Ghiyas dengan bantal itu. Ghiyas langsung menyiapkan tangkai tangannya sebagai tamengnya.“
“Posisinya udah sore. Makanya, di postingan suami gue, dia bilang semalaman di hutan. Karena memang, kita berdua bermalam di hutan. Mana hujan gede banget, tapi untungnya pohon di sana rindang-rindang. Jadi, kayak cuman gerimis rasanya.”Naya juga turut menceritakannya pada Fely. Ya, Fely melihat postingan Ghiyas yang membuatnya keheranan dan bertanya tentang apa yang terjadi pada sahabatnya itu. Sampai-sampai harus diinfus.“Lo berdua ngapain aja di sana? Cuman berduaan, kalian enggak main di semak-semak, kan?” Fely lantas tersenyum miring menggoda sahabatnya itu dengan pikirannya yang kotor.“Ngapain main di semak-semak?” Naya menghisap minumannya sambil menatap Fely polos.“Main itu, loh. Kan, dingin banget, tuh? Kalian apa enggak saling dekap di semak-semak?” Fely menghela nafasnya, kelihatannya sahabatnya ini memang sepolos kelihatannya.“Dingin, dingin banget. Waktu habis jatuh, gue sempat
Naya menunggu Ghiyas pulang. Sudah berhari-hari, Ghiyas pulang terlambat. Dan itu membuat Naya agak murung, lantaran benar apa yang dikatakan Ghiyas dulu. Waktu sibuknya kadang sangat tak terduga. Belum lagi, belakangan ini Naya sedang ingin ditemani Ghiyas.Suasana malam yang sunyi, ditambah sedang hujan rasanya mengingatkan Naya akan kejadian itu. Yang membuatnya tak bisa tidur dengan nyenyak dan harus menunggu Ghiyas pulang.Dan begitu suara pintu apartemen di buka, Naya segera bangkit dari tempat tidur dan membuka pintu kamar. Lalu memandangi Ghiyas yang tersenyum ke arahnya.“Belum tidur, Sayang?” Ghiyas melirik Naya dengan teduh di sana.“Kelihatannya? Mas belakangan ini pulangnya telat mulu,” ucap Naya sambil menyilangkan tangannya di depan dadanya dan bersandar ke pintu dengan sedikit sebal.“Ya, Mas lagi sibuk belakangan ini. Pasien-pasien di awal tahun enggak ada yang terduga sama sekali. Kecelakaan juga bela
Naya hendak pulang dari kafe setelah berbincang dengan Fely hingga malam. Dia menghubungi Ghiyas, barang kali Ghiyas sebentar lagi pulang, maka dirinya akan menunggu Ghiyas.Sayangnya, Ghiyas tak menjawab teleponnya, membuat Naya akhirnya memutuskan untuk datang saja. Karena kebetulan dirinya sudah ada di dekat sana. Dia mendapati rumah sakit yang sangat ramai meski hari sudah malam. Benar, rumah sakit ini sedang dalam masa sibuknya.Naya menghampiri resepsionis rumah sakit. Yang langsung mengenali Naya karena kejadian malan itu. Di mana dirinya datang dengan marah dan melabrak suaminya tanpa informasi yang benar.“Ada yang bisa dibantu?” tanyanya dengan sedikit tegang.“Dokter Ghiyas, lagi ada di mana, ya? Apa lagi di ruang operasi? Waktu pulangnya kapan?” tanya Naya dengan sedikit tegang dan gugup juga.“Saya kurang tahu soal waktu pulangnya. Tapi setahu saya, Dokter Ghiyas lagi ada kunjungan. Anda bisa duduk dulu di
“Sel, temenin gue ke mal, yuk! Gue mau dari hadiah buat pernikahan temen gue. Pacar gue lagi sibuk, dia enggak bisa anter gue.” Naya memintanya dengan memelas pada Sella.“Kapan?” tanyanya sambil mengaplikasikan sebuah lipstik ke bibirnya dan melirik Naya.“Besok, gimana?” Naya tentu bersemangat karena kelihatannya Sella punya waktu luang.“Besok gue udah ada jadwal sama pacar gue, Nay. Kecuali kalau lo siap jadi obat nyamuk, gue mah ayo aja! Pacar gue nanti gue minta bawa temen aja. Supaya lo nanti ada temen, barang kali lo butuh cowok lain yang menemani lo di saat pacar lo lagi enggak bisa sama lo?” Sella tersenyum genit.Naya kemudian menghembuskan nafasnya berat saat mendengar apa yang dikatakan Sella.“Enggak, makasih. Orang baru itu bencana buat gue,” tolak Naya dengan sedikit rasa sebal.Naya berjalan menuju ke pintu utama kantor. Dia hendak pulang dan kemudian berdiam diri d
“Naya,” ucap Naya dengan percaya diri saat berjabat tangan dengan klien David ini.“Oh, Naya. Cantik, ya? Pacar?” Klien tersebut melirik ke arah David sambil mengangkat alisnya.“Rekan,” jawab David membenarkan dengan senyumannya dan melirik ke arah Naya.Naya mengernyitkan dahinya saat itu juga. Dia sebenarnya memang sudah tak nyaman dengan David. Jika saja dirinya tak memikirkan tentang sulitnya untuk mengambil posisi direktur, maka dirinya benar-benar tak akan mau melakukan ini.Duduk bersama dengan David dan klien David yang terdiri atas satu pria dan satu wanita tampaknya membuat Naya benar-benar bisa menunjukkan di mana posisi dirinya seharusnya.“Biasanya sama sekretaris, Vid. Tumben, hari ini bawa cewek,” ucap Angel.Mendengar kata informal dari Angel, Naya agak bingung. Bukankah ini klien David?“Naya, kelihatannya kamu agak bingung. Meski mereka ini klien kita, mereka tem
“Untuk kondisi pasien yang kecelakaan di persimpangan jalan itu—”Ghiyas yang berjalan bersama dengan seorang perawat secara tiba-tiba dicegat oleh seorang gadis yang kini tengah menangis di depannya. Bersimbah air mata, gadis itu memegang tangan Ghiyas.“Dokter ... Tolongin Papa, Dokter!” ucapnya dengan berderai air mata.Ghiyas yang mengenali gadis itu langsung menatap ke arah ruangan pasien yang hendak dia kunjungi untuk mengecek kondisinya. Dan sedetik kemudian, Ghiyas berlari ke ruangan itu. Dan dia menemukan Rendi yang sudah ada di sana sambil menatapi arlojinya.“... pukul 21.27 waktu setempat.”Dan ucapan Rendi itu berhasil membuat Ghiyas menghela nafasnya berat. Rendi menoleh ke arah Ghiyas dan menggeleng pelan di sana. Sementara Ghiyas menunduk dengan rasa sesal.Ini seharusnya pemandangan yang biasa bagi setiap dokter atau perawat, atau staf lain di rumah sakit. Namun, Ghiyas sebagai dokte
Ghiyas masih berada di atas ranjangnya. Masih berselimut dengan bertelanjang dada. Dia benar-benar tak ingin beranjak dari tempat tidurnya. Dan terlihat bagaimana pria itu kehilangan gairah hidupnya dalam sekejap. Bahkan untuk sarapan pun tampak tak berselera.Sementara istrinya baru mengambil makanan delivery dari pintu dan kembali ke kamar dengan membawakan makanannya. Ghiyas menatapinya dengan datar, tanpa ekspresi sama sekali.“Nih, nasi uduknya udah dateng. Bangun, makan! Jangan makan di kasur!” ujar Naya.Naya membawa makanannya keluar untuk menyiapkannya. Namun, suaminya tak beranjak dari kasur dan tak mengikutinya. Biasanya saat Naya mengatakan akan menyiapkan makanan saja, Ghiyas segera bangun dan mengikutinya untuk membantu.“Mas mau makan di sini? Jangan berantakan tapi,” tambah Naya mencoba memahami Ghiyas.“Enggak jadi,” jawab Ghiyas sambil menggeleng dan membalikkan tubuhnya.Naya menghela na