Siang itu Ghiyas dan Naya tiba di sebuah vila yang letaknya agak jauh dari pedesaan. Vila tersebut akan menjadi tempat bermalam mereka berdua. Rumah keluarga Ghiyas letaknya di desa itu.
“Seger banget! Tempatnya masih asri, ya?” Naya merentangkan kedua tangannya, merasa bebas.
“Iya, masih hutan juga.” Ghiyas membungkukkan tubuhnya pada pegangan kayu tersebut.
Keduanya berdiri di balkon, yang menghadap langsung ke jurang. Di mana pemandangannya sangat indah ke bawah sana. Agak membuat Naya ngeri, namun dia menikmati pemandangan alam yang jarang bisa didapatkan di kota. Apa lagi udara sejuk terus menemani hingga siang hari.
“Dingin, enggak?” Ghiyas melirik Naya yang menaruh jaketnya di pinggang, dia sempat bilang gerah.
“Enggak, adem. Udaranya bagus buat kulit,” balas Naya sambil menggeleng kecil.
“Kamu suka?” Ghiyas mendekati Naya dan mendekap istri kesayangannya itu.
Naya men
Naya diterima dengan baik di keluarga Ghiyas. Walau terlihat jelas Naya beberapa kali sempat merasa tak nyaman dan tidak betah. Dia juga menguap beberapa kali. Biasanya jika libur bekerja, sia selalu meluangkan waktunya untuk tidur siang.“Yah, kayaknya Agi sama Naya mau balik ke vila sekarang. Soalnya udah agak sore juga. Niatnya Agi mau bawa Naya ke bagian atas,” ucap Ghiyas sambil menatapi arlojinya.Naya langsung segar. Akhirnya dia bisa keluar. Sebenarnya dia cukup pegal untuk duduk terus dan berada di sana dalam waktu yang lama. Dia juga mengantuk, mendengarkan bagaimana orang di sekitarnya mengobrol. Rasanya seperti dininabobokan.“Mau jalan-jalan ke atas enaknya pagi, Gi,” usul Ayah Ghiyas, dia tak ingin putranya pergi cepat.Sementara Naya yang sudah bersiap dengan bangun dari tempatnya membuat ibu Ghiyas menghela nafasnya. Mungkin Ghiyas melakukan ini karena Naya, Ibu Ghiyas tentu banyak mendengar tentang Naya dari Mama N
Naya dan Ghiyas duduk di bawah pohon yang rindang, setidaknya bisa menghalau air hujan untuk mengguyur mereka. Hujan deras disertai angin membuat Naya dan Ghiyas hanya bisa duduk di sana.“Lurusin kakinya, Sayang!” ujar Ghiyas saat Naya menekuk kakinya lagi dan merintih.“Sakit,” rintih Naya seraya mengusap air matanya dengan ujung lengan jaketnya.Ghiyas lantas mendekat dan mengangkat celana Naya perlahan dan melihat bagaimana kaki Naya terluka, luka gores dan lecet di sana. Ghiyas meringis pelan menatapi luka istrinya tersebut.“Coba kamu periksa, kamu ada luka yang agak parah di mana? Kita cuci dulu aja pakai air hujan. Semoga jadi obat dan bukan jadi infeksi,” ujar Ghiyas dengan halus.Naya lantas melepaskan jaketnya yang basah dan kemudian melihat bagaimana ada luka kecil di mana-mana. Jika Naya sadar, jaket yang digunakannya bahkan koyak. Dan Ghiyas menyadari itu.Ghiyas juga ikut melepaskan jaketnya
Orang tua Naya sampai berangkat pagi-pagi sekali setelah mendengar kabar putrinya bersama dengan menantunya hilang sejak sore. Dikatakan sempat ingin pergi ke bagian atas, untuk menikmati pemandangan sorenya, sebelum hujan deras melanda kawasan itu.Sementara Naya dan Ghiyas kini terbangun dengan tubuh yang terasa kaku. Hujan gerimis masih menerjang mereka. Kabut malah semakin tebal pagi itu. Yang membuat Ghiyas menatap ke arah handphonenya, yang kelihatannya baterainya habis akibat dia menyalakan senter semalaman.“Mas Agi, badan Naya rasanya pegal semua,” keluh Naya sambil menatapi Ghiyas dengan pilu.“Tahan ya, Sayang? Gerakin dikit-dikit, biar badan kamunya enggak kaget.” Ghiyas perlahan bangkit.Keduanya sama-sama bangkit dan bergerak secara perlahan. Ghiyas menuntun Naya untuk melakukan sedikit gerakan yang bisa membuat tubuh mereka menjadi lebih hangat lagi.Ghiyas mendesis merasakan bahunya yang terasa sakit. Dia mel
Ghiyas dan Naya segera dilarikan ke pusat kesehatan terdekat. Ke sebuah puskesmas, karena jarak ke rumah sakit terlalu jauh. Toh, Ghiyas juga menyatakan jika tak ada luka serius pada mereka.Keduanya diberikan pertolongan pada luka-luka yang mereka alami. Lecet dan lebam di mana-mana, serta luka terbuka yang harus segera diobati. Ghiyas menatapi Naya yang terus mendesis dan merintih, bahkan air matanya terus menetes selama dia diobati di sekujur tubuhnya.“Sakitnya sebentar, kok,” ucap Ghiyas pelan sambil mengulum senyum.“Senua dokter juga bakal bilang gitu.” Naya terisak sambil mengusap air matanya.“Karena memang sebentar, kok. Nanti kalau udah sembuh enggak akan sakit lagi,” balas Ghiyas.“Ya karena sembuh, enggak sakit. Gimana, sih?!” Naya tetap mengomel tak peduli sedang menangis.“Tolong dikasih pereda nyeri, biar enggak ngerengek sakit terus,” ujar Ghiyas pada perawatnya Nay
Malam itu, Naya dan Ghiyas tengah berkemas karena besok pagi akan pulang. Ghiyas memegangi bahunya yang terasa masih ngilu. Cederanya memang tidak sampai patah, namun tulang bahunya memang masih sakit. Dia memeganginya sambil memutarkannya perlahan.“Kenapa? Sakit?” Naya mendekati Ghiyas sambil memegang punggung suaminya itu.“Kenapa, Gi? Bahumu masih sakit? Kuat nyetir enggak, besok?” tanya Ayah Ghiyas saat melihat ke arah Ghiyas yang tengah memegangi bahunya itu.“Enggak begitu, sih. Kuat, kok,” jawab Ghiyas.“Kalau enggak kuat, enggak usah dipaksain, Gi! Mending diistirahatkan dulu bahunya, daripada nanti makin parah,” ujar mamanya Naya.“Enggak, enggak ada luka serius, kok.” Ghiyas berusaha menenangkan para orang tua yang cemas.Ghiyas melirik Naya yang kini tangannya memegangi bahunya. Tangan Ghiyas menimpa tangan Naya dan memeganginya. Isyarat jika dirinya tidak apa-apa. Naya
“MAS AGI!”Suara teriakan Naya membuat Ghiyas segera menghampiri Naya di kamar. Mereka telah pulang ke apartemen Ghiyas, dan entah apa yang membuat gadis itu berteriak cukup kencang di apartemen.“Kenapa, Sayang?” Ghiyas menatapi Naya yang menatapi handphonenya itu.“Ini apa-apaan?” Naya menunjukkan layar handphonenya, yang mana Ghiyas memposting foto Naya yang tengah tidur di atas brankar dengan sangat nyenyak, sebenarnya menggemaskan.Di foto tersebut, Ghiyas masuk ke dalam frame dan tersenyum manis. Dia kelihatannya sengaja.“Habisnya kamu tidur lucu banget, mana enggak bangun-bangun waktu dibangunin. Kamu juga sejarang itu buka sosial media sampai enggak sadar apa yang orang posting,” balas Ghiyas.Ghiyas tersenyum tak berdosa di sana. Sementara Naya langsung mengambil bantal dan memukul Ghiyas dengan bantal itu. Ghiyas langsung menyiapkan tangkai tangannya sebagai tamengnya.“
“Posisinya udah sore. Makanya, di postingan suami gue, dia bilang semalaman di hutan. Karena memang, kita berdua bermalam di hutan. Mana hujan gede banget, tapi untungnya pohon di sana rindang-rindang. Jadi, kayak cuman gerimis rasanya.”Naya juga turut menceritakannya pada Fely. Ya, Fely melihat postingan Ghiyas yang membuatnya keheranan dan bertanya tentang apa yang terjadi pada sahabatnya itu. Sampai-sampai harus diinfus.“Lo berdua ngapain aja di sana? Cuman berduaan, kalian enggak main di semak-semak, kan?” Fely lantas tersenyum miring menggoda sahabatnya itu dengan pikirannya yang kotor.“Ngapain main di semak-semak?” Naya menghisap minumannya sambil menatap Fely polos.“Main itu, loh. Kan, dingin banget, tuh? Kalian apa enggak saling dekap di semak-semak?” Fely menghela nafasnya, kelihatannya sahabatnya ini memang sepolos kelihatannya.“Dingin, dingin banget. Waktu habis jatuh, gue sempat
Naya menunggu Ghiyas pulang. Sudah berhari-hari, Ghiyas pulang terlambat. Dan itu membuat Naya agak murung, lantaran benar apa yang dikatakan Ghiyas dulu. Waktu sibuknya kadang sangat tak terduga. Belum lagi, belakangan ini Naya sedang ingin ditemani Ghiyas.Suasana malam yang sunyi, ditambah sedang hujan rasanya mengingatkan Naya akan kejadian itu. Yang membuatnya tak bisa tidur dengan nyenyak dan harus menunggu Ghiyas pulang.Dan begitu suara pintu apartemen di buka, Naya segera bangkit dari tempat tidur dan membuka pintu kamar. Lalu memandangi Ghiyas yang tersenyum ke arahnya.“Belum tidur, Sayang?” Ghiyas melirik Naya dengan teduh di sana.“Kelihatannya? Mas belakangan ini pulangnya telat mulu,” ucap Naya sambil menyilangkan tangannya di depan dadanya dan bersandar ke pintu dengan sedikit sebal.“Ya, Mas lagi sibuk belakangan ini. Pasien-pasien di awal tahun enggak ada yang terduga sama sekali. Kecelakaan juga bela