Dua orang lelaki berdarah Austria baru saja berpamitan. Kerja sama antara dua perusahaan tour travel beda negara telah benar-benar disepakati dan ditanda tangani. Seharusnya, Faqih bisa menghembus nafas lega saat ini. Tim pelancong dari Batam yang akan dibawa sudah memiliki jaminan secara sah dan tertulis akan keamanan serta kenyamanan selama sebagai pelancong di negara Austria. Namun, adanya kabar yang diterima barusan membuat fokus kerjanya bercabang.Elma yang berkabar akan datang di apartemen, membuat dirinya tidak tenang. Wanita yang hampir satu bulan menghilangkan diri ke negeri ginseng, tiba-tiba kembali dan sangat ingin berjumpa. Kini wanita yang digadang sebagai calon istri, padahal Faqih belum pernah mengakui sekali pun, sedang meluncur dari Bandara Hang Nadim menuju Kota Nagoya deminya.Sementara di apartemen ....Jeta yang sadar diri akan kondisi drop tubuhnya dan kini berubah sangat kurus, tidak ingin terpuruk dalam keadaan. Pandangan Faqih yang trenyuh padanya, sama se
Tentu saja ucapan Elma yang mengejutkan itu sangat diragukan kebenarannya. Faqih sama sekali tidak menunjukkan gelagat akan menikah apa pun sebelumnya.Lagipula, lelaki itu sudah memiliki jadwal untuk terbang ke Austria minggu depan. Membawa pelancong dari Batam- Indonesia untuk berwisata banyak hari di negara itu. Rasanya tidak mungkin jika tiba-tiba dibatalkan demi akan menikah dengan Elma. Memikirkan hal itu, dada Jeta bergemuruh resah rasanya. Berpikir andai itu benar, seperti tidak rela. Sosok abang yang baru dimiliki dan sangat perhatian, akan berpaling sebab menikah dengan wanita calon istri tiba-tiba. Tapi, serakah sekalikah dirinya? Menginginkan perhatian dua lelaki sekaligus. Kasihan sekali Jovan, kan? Dan meski Elma bersifat pedas seperti itu, dia pun berhak diperhatikan calon suami yang dicinta. Jeta banyak kali beristighfar dalam hati.Elma hampir menghabiskan saladnya saat mereka berdua mendengar bunyi pintu dibuka. Raut terkejut yang sama di wajah keduanya jelas sekal
Meski laknat, tabu dan dosa besar, seharunya bisa dimaklumi bagi Jeta pribadi. Dirinya yang lebih muda saja telah khilaf. Apalagi Faqih dan Elma yang dari segi umur pun jauh lebih dewasa. Mereka juga sudah sekian lama menjalin hubungan mesra berdua. Mungkin saat itu hasrat mereka sedang menggila dan menggebu yang tak lagi bisa ditahan. Harusnya, Jeta mampu memahami berdasar pengalaman pribadi. Nyatanya, dalam hati sangat kecewa dan masih juga tidak ingin terima. Faqih yang di matanya lelaki baik serta mampu menjaga diri dan pandangan, ternyata telah khilaf juga seperti dirinya. Kecewa sekali ….Sore itu, Jeta pastikan jika Faqih tidak pulang. Langsung bertemu dengan Elma, si calon istri sebagaimana mereka berdua sudah bersepakat siang tadi. Jeta yang ingin menunggu untuk berpamitan, kini melenggang meninggalkan apartemen tanpa pamit. Mengunci dua lapis pintu dengan sandi dan sidik jari yang sudah diregisterkan oleh Faqih pagi tadi. Bermakna, lelaki itu sudah percaya dan menganggap J
Sebab Jeta sudah kenyang dan tidak berminat menyentuh kotak-kotak salad yang dibawakan oleh Faqih, mamanya dengan semangat menatakan dalam kulkas. Tidak lupa menyisakan di meja satu kotak untuk Ardi yang bilang teringin. Alhasil, Fani menemani makan salad, mereka berdua pun berlomba menghabiskan. Namun, nyatanya begitu lama dan bahkan seperti tidak sanggup melicinkan. Mereka berdua merasa cepat eneg dan akhirnya pun angkat tangan. Maka disimpan kembali oleh Fani ke dalam kulkas. Kebiasaan baru Jeta adalah mengantuk tak tertahan setelah makan malam. Demikian juga kali ini. Seperti akan jatuh saja rasa kepala dengan kelopak mata yang demikian susah dibuka lebar."Bagaimana kamu akan menghabiskan salad sebanyak itu, Jeta? Seingat Mama, kita ini sama. Nggak doyan banget sama salad buah. Ini Faqih ngebeli enam kotak … aduh, kapan akan habis," keluh Fani sambil membawa gelas kosong ke wastafel."Sudahlah, Mi. Rush berkata jika si Jeta suka tuh, pasti bukan tanpa alasan. Kita lihat saja. A
Hari cerah di Minggu pagi …Meski si abang tidak pernah datang lagi, kabar pesannya sering kali menyapa lewat ponsel. Seperti pagi ini, Faqih baru saja menelepon jika Jovan sudah menyandar kapalnya dan sebentar lagi akan sampai.Meski sempat lupa, ternyata calon suami Jeta bukan orang baru lagi bagi Ardi. Sebagai anak lelaki dari kawan akrab di masa muda, Jovan bukan orang lain lagi baginya. Lelaki yang hanya terpaut dua tahun di atas Faqih itu sudah sering bertemu dengan Ardi di masa dulu."Ayo, Van … sini masuk, duduk sini! Baru menyandar?" tanya Ardi dengan hangat. Jovan telah duduk di depannya setelah bersalam sapa saat di depan pintu. "Iya, Om. Baru menyandar. Lepas isya berangkat lagi. Kira-kira habis dzuhur, saya kena ke Bintan …," ucap Jovan bersemangat."Menjumpai orang tua?" tanya Ardi dengan iba. Jovan sangat rajin dan pastinya sekarang sedang lelah."Betul sekali, Om. Ingin sungkem ortu sekalian membicarakan perihal lamaran," ucap Jovan tersenyum. Fani dan Ardi pun paham d
Sesi rawat pijat dua jam saja itu selesai tepat sebelum adzan dzuhur. Mereka berdua singgah sejenak di masjid sebelahnya gedung gym. Menunai dzuhur berjamaah di sana.Setelahnya, Jeta menolak saat Jovan berniat membawa makan siang di restoran. Dengan alasan jika Mama Fani sudah menyiapkan menu makan siang yang beragam di rumah. Benar ucapan Jeta. Begitu tiba di rumah, Fani langsung menyambut dan membawa mereka berdua ke ruang makan. Sudah ada banyak sajian yang menampang di meja. Seperti pagi tadi, kali ini pun, Jovan terlihat buru-buru. Tidak ingin habis waktu untuk menyeberang sejenak ke Pulau Bintan."Jika ke Bintan, naik kapal milik sendiri, apa gimana?" Fani bertanya dengan pandangan pada Jovan."Ya tidak lah, Mi. Kapalnya menyandar tuh juga waktunya buat isi bahan bakar, pembersihan, cek mekaniknya oke apa enggak. Bukan cuma buat nyandar istirahat saja …." Bukan Jovan yang menjawab. Namun, Ardi lah yang menerangkan dengan setengah tertawa pada istrinya."Namanya juga tidak t
Jantung berdetak lebih laju dengan debar yang lain terasa. Lebih dari sekedar gembira dan kejutan. Jeta coba abai akan yang dirasa dan segera keluar dari kamar. Berjalan cepat memburu daun pintu, arah asal dari bell yang terdengar beruntun berbunyi. Dihirupnya napas dalam sebelum menarik handle pintu.CeklerkBukan salam sapa yang terlempar. Mereka berdua justru terpaku saling pandang. Sama-sama kikuk dan kemudian saling tersenyum. Jeta merasa jika pandangan Faqih padanya berubah jadi lain kali ini."Apa kabar, Jeta?" sapa Faqih kemudian. Mengalihkan tatapan dari kepala Jeta ke wajahnya yang masih ada air menempel di sana."Wa'alaikumsalam. Kabarku sehat," sahut Jeta dengan tersenyum manis yang lebar."Eh, sorry. Assalamu'alaikum …," jawab Faqih yang juga tersenyum canggung. Jeta telah menyindir sapaannya yang tanpa diawali salam. Kini keduanya telah saling melempar senyum kian lebar.Tiba-tiba Faqih melangkah masuk dan berdiri dekat dengan Jeta. Menatap intens dengan raut yang kaku
Malam yang merangkak larut seolah bukan penghalang bagi dua insan yang duduk dan saling bercerita di meja makan. Beraneka coklat, baju cantik, ikat rambut unik, snack yang tidak ada di Indonesia serta bola salju khas Austria, menghampar di meja makan. "Eh, Faqih, kamu sudah makan?" tanya Jeta sambil nyengir kuda. Merasa sebagai tuan rumah, dirinya lalai dan tidak peka."Andai belum, apa yang bisa kamu siapkan untuk makan?" tanya Faqih tersenyum. Tidak bermaksud mencemooh, hanya sangat paham pada kemampuan masak Jeta yang payah sebelum ini."Kamu ingin?" Jeta akan berdiri. Sambil memasukkan sepotong coklat ke dalam mulutnya. Berniat menyiapkan makan malam untuk Faqih."Tidak, tidak sekarang. Aku sudah dinner dengan rekanku," ucap Faqih menahan. Tentu saja merasa iba jika malam-malam begitu menyusahkan seorang gadis hamil. "Oke, lain kali datanglah lagi. Akan kusiapakan banyak makanan hasil buatanku di meja ini. Kamu bertemu dengan orang Thailand itu hingga malam?" Jeta memasang raut