Denting garpu dan sendok beradu di atas piring porselen, menciptakan irama yang seharusnya menenangkan. Namun bagi Jovan, suasana di meja makan ini lebih menyerupai ruang interogasi daripada jamuan keluarga.
"Sudah lima tahun menikah, gajimu sebulan cuma segini?" Suara Bu Intan tajam, menusuk langsung ke dada.
Wanita paruh baya itu menatap lembaran slip gaji yang diletakkan begitu saja di meja, seolah itu hanya selembar kertas tak berharga.
Jovan mengepalkan tangannya di bawah meja. Ia sudah terbiasa dengan sikap sinis ibu mertuanya, tapi kali ini, ada sesuatu yang lebih menyakitkan—rasa muak yang nyaris tak bisa ia bendung.
"Alhamdulillah, cukup untuk hidup layak, Bu," jawabnya, berusaha tetap tenang.
Bu Intan tertawa kecil, penuh ejekan. "Hidup layak untuk siapa? Untuk anak pejabat seperti putriku? Atau untuk dirimu sendiri?"
Wanita itu menyandarkan punggung, menyilangkan tangan di depan dada, lalu menggeleng pelan.
"Kamu tahu kan, Jovan? Sejak awal aku tidak pernah setuju dengan pernikahan ini. Dan sekarang, kamu justru membuktikan bahwa kekhawatiranku benar."
"Bu—"
"Jangan menyela!"
Bentakan itu membuat ruangan tiba-tiba terasa lebih dingin.
Jovan menahan napas. Dari sudut matanya, ia bisa melihat istrinya, Tania, duduk diam dengan wajah tertunduk. Jemari wanita itu menggenggam ujung serbet di pangkuannya—kebiasaannya saat gelisah. Namun, tetap saja, mulutnya terkunci rapat
“Kamu gak malu sama Kenzi, adiknya Tania?" lanjut Bu Intan. "Dia lelaki bertanggung jawab, baru dua tahun kerja sudah memiliki segalanya. Mobil, rumah, tabungan. Bulan madunya dengan Nayla bahkan ke Raja Ampat.”
Jovan mengeratkan rahangnya. Rasanya ingin tertawa. Perbandingan ini sudah terlalu sering ia dengar, dan tetap saja, setiap kali disebutkan, selalu menampar harga dirinya dengan cara yang berbeda.
"Hidup itu bukan cuma soal cukup," lanjut Bu Intan. "Putriku terbiasa dengan kemewahan, dalam standar hidup yang tinggi. Kamu pikir hanya dengan gaji karyawan BUMN, kamu bisa memenuhi semua itu?"
Hening.
Di luar, hujan mulai turun, mengetuk jendela besar ruang makan. Atmosfer semakin berat.
Jovan menatap slip gaji yang masih tergeletak di meja, lalu mengangkat kepalanya. Tatapan matanya tak lagi setenang tadi. Ada sesuatu yang pecah di dalam dirinya.
Ia menyandarkan tubuh, menatap langsung ke mata Bu Intan, lalu berkata dengan suara pelan, namun dingin.
"Maaf, Bu. Saya menikahi Tania, bukan rekeningnya."
Ruangan itu terasa membeku setelah kata-kata Jovan meluncur dari bibirnya.
Untuk pertama kalinya, Bu Intan terdiam. Sejenak saja, tapi cukup bagi Jovan untuk menikmati keterkejutan di wajah wanita itu.
Sial. Seharusnya dia tidak berkata seperti itu. Seharusnya dia tetap menjaga kepalanya tetap dingin. Tapi setelah bertahun-tahun menerima penghinaan yang sama, entah kenapa malam ini ada sesuatu yang membuatnya tak bisa lagi menelan semuanya bulat-bulat.
Tania akhirnya mengangkat wajahnya, tapi tatapan yang diberikan istrinya itu kosong—seolah ia baru menyadari bahwa suaminya juga memiliki batas kesabaran.
Bu Intan terkekeh pelan. Tapi kali ini, bukan tawa meremehkan seperti tadi. Ada sesuatu yang lebih tajam, lebih beracun.
"Astaga…" Suaranya lirih, berdenyut dengan kemarahan yang tertahan. "Jadi kamu sekarang berani bicara seperti ini, ya?"
Jovan tetap diam.
Bu Intan mencondongkan tubuhnya ke depan. "Kamu tahu, Jovan? Kalau bukan karena cucu yang kamu berikan padaku, aku bahkan tak sudi melihatmu duduk di meja ini."
Tania tersentak, kedua tangannya langsung mengepal di atas pangkuan.
Jovan tidak bergerak, tetapi matanya berubah gelap.
"Kamu pikir, menikahi Tania itu cuma soal cinta? Hah?" Bu Intan semakin mendekat. "Dengar baik-baik, anak muda. Keluarga ini punya standar. Dan kalau kamu masih ingin bertahan di dalamnya, kamu harus tahu tempatmu."
Jovan menelan ludahnya. Darahnya mendidih, tapi ia menahan diri. Ia tahu, kalau ia membalas lebih jauh, ini bukan hanya pertengkaran antara dia dan ibu mertuanya. Ini bisa menghancurkan semuanya.
Ia melirik ke arah Tania, berharap istrinya akan berkata sesuatu. Apa pun.
Tapi yang ia dapatkan hanyalah kesunyian.
Hujan di luar semakin deras, membasahi kaca jendela. Di dalam ruangan ini, kehangatan terasa lebih mustahil daripada sebelumnya.
Dengan napas panjang, Jovan akhirnya berdiri. Kursinya bergeser sedikit ke belakang, menciptakan bunyi gesekan yang mengisi keheningan di meja makan.
"Terima kasih makan malamnya, Bu," katanya singkat. Suaranya datar.
Tanpa menunggu jawaban, ia berbalik menatap Tania. Tapi di dalam dadanya, ada sesuatu yang pecah.
Dan yang paling menyakitkan bukanlah hinaan ibu mertuanya—tapi diamnya Tania.
Dada Jovan bergemuruh. “Tania?” Suaranya terdengar lebih lirih dari yang ia maksudkan.
Wanita itu mengangkat wajahnya perlahan. Matanya sendu, tapi bibirnya tetap terkunci rapat. Seperti ada ribuan kata yang ingin diucapkan, tetapi akhirnya hanya tersangkut di tenggorokan. Balas menatap wajah suaminya dengan sorot yang sulit dijelaskan.
Bu Intan tersenyum miring, penuh kemenangan. “Lihat? Bahkan anakku pun mulai menyadari bahwa dia berhak mendapatkan yang lebih baik.”
Jovan menelan ludah. Ada bagian dari dirinya yang ingin membanting gelas di depannya, ingin berteriak bahwa ia lebih dari cukup, bahwa ia mampu memberi Tania kehidupan yang layak. Tapi ada bagian lain yang tahu bahwa ini bukan soal uang atau status.
Ini soal harga diri.
Dan malam ini, harga dirinya diinjak-injak di hadapan istrinya sendiri.
Dengan gerakan perlahan, Jovan meraih gelasnya, menyesap air putihnya dengan tenang. Ketika ia meletakkannya kembali ke meja, ia tersenyum tipis. Bukan senyum yang ramah, bukan pula senyum yang kalah.
Senyum itu—dingin, penuh arti.
“Terima kasih atas sarannya, Bu,” katanya, suaranya terdengar lebih tenang dari yang seharusnya. “Tapi aku pikir, aku akan tetap di sini. Dan kita lihat saja nanti… siapa yang akan menyesali keputusannya.”
Bu Intan menyipitkan mata, tampak tidak menyukai ketenangan Jovan.
Tapi Jovan tidak peduli. Ia mengambil napas dalam-dalam, lalu kembali menatap Tania dan berbisik, “Kalau kamu ingin aku pergi, katakan, Tania. Bukan ibumu.”
Tania tetap diam.
Jovan tersenyum kecil.
Baiklah, kalau begitu. Aku akan membuat kalian menyesal.
Jovan melangkah keluar. Suara hujan di luar semakin deras. Jantungnya berdentam keras di dada. Ia berdiri di ambang pintu dan sekali lagi berbalik. Menggeser pandangannya ke arah Tania, berharap sekali lagi.
“Tania, kalau kamu masih punya sedikit saja hati… jawab aku. Aku ini suamimu atau bukan?”
Kali ini, Tania menatapnya. Matanya basah, tapi bibirnya bergerak membentuk satu kata yang menghancurkan segalanya.
“Pergilah, Mas.”
Jovan menutup matanya sesaat.
Dunia di sekelilingnya seolah berhenti berputar. Kata-kata Tania—pendek, datar, tapi mematikan—menghantamnya lebih keras dari seribu hinaan Bu Intan.
‘Pergilah, Mas.’
Jadi, begini akhirnya?
Lima tahun berjuang, lima tahun menelan setiap sindiran dan hinaan, lima tahun mengorbankan segalanya demi menjaga keutuhan rumah tangga mereka. Semua itu ternyata tidak lebih dari satu kalimat singkat yang mengusirnya pergi.
Jovan menggigit bibirnya, menahan sesuatu yang ingin pecah di dalam dadanya. Hatinya terasa diremas, seolah ada tangan tak terlihat yang mencengkeramnya kuat-kuat, meremukkan setiap harapan yang tersisa.
Bukan karena hinaan mertuanya. Bukan karena dibanding-bandingkan dengan adik iparnya. Tapi karena perempuan yang selama ini ia cintai, yang seharusnya menjadi tempatnya pulang, memilih untuk tetap diam saat harga dirinya diinjak-injak.
Ia ingin tertawa. Ironis sekali. Ia pikir, di balik semua tekanan yang diberikan keluarga Tania, ada satu hal yang bisa ia pegang—cinta istrinya. Tapi ternyata, ia salah.
Tania tidak membelanya. Tidak menarik tangannya, tidak menentang ibunya, bahkan tidak sekadar berkata, "Jangan pergi."
Tidak ada.
Yang ada hanya satu kalimat singkat yang menamatkan segalanya.
Jovan menarik napas panjang, menatap mata istrinya untuk terakhir kali. Mencari sesuatu di sana—keraguan, penyesalan, keinginan untuk menarik kembali kata-kata yang telah terlanjur keluar.
Tapi tidak ada apa-apa di sana.
Hanya kesedihan yang samar. Dan itu tidak cukup.
Jovan menegakkan punggungnya. Rasa sakit masih mengguncangnya, mengalir seperti racun di dalam darahnya. Tapi ia menelannya bulat-bulat.
Baiklah, Tania. Jika itu maumu. Jika selama ini aku hanya beban. Jika aku tidak cukup baik untukmu. Maka aku akan pergi.
Setelah Jovan pergi, Tania tetap duduk di kursinya. Tangannya masih menggenggam serbet di pangkuan, tetapi kini jari-jarinya bergetar. Ia menatap piring di depannya, tapi makanan di sana terasa seperti benda asing—dingin, hambar, tak lagi menggugah selera.
Di dalam hatinya, ada sesuatu yang mencengkeram kuat, menciptakan perasaan hampa yang menyakitkan. Ia bisa merasakan tatapan ibunya yang penuh kemenangan, tetapi bukannya merasa lega, dadanya justru semakin sesak.
Tania menggigit bibirnya, mencoba menahan perasaan yang meluap-luap. Ia tahu bahwa keputusannya tadi telah memecahkan sesuatu—bukan hanya hati Jovan, tapi juga ikatan di antara mereka. Ia yang membiarkan itu terjadi. Ia yang membiarkan Jovan pergi dengan luka yang lebih dalam daripada yang seharusnya.
"Sudahlah, Tan. Lebih cepat kamu sadar, lebih baik," suara Bu Intan terdengar lembut, nyaris menenangkan.
Tania mengangkat wajahnya, menatap ibunya dengan mata yang berkilat karena air mata yang tertahan. "Apa Ibu bahagia sekarang?"
Bu Intan mendengus pelan. "Ini bukan soal bahagia atau tidak. Ini soal masa depanmu."
Masa depan. Kata itu terasa kosong bagi Tania saat ini. Bagaimana bisa ia memikirkan masa depan, ketika hatinya tertinggal di ambang pintu bersama pria yang baru saja pergi?
Tiba-tiba, dadanya terasa begitu penuh. Ia bangkit dengan cepat, hampir menjatuhkan kursinya, lalu melangkah keluar dari ruang makan. Ia tidak ingin ibunya melihat air mata yang akhirnya jatuh, tidak ingin siapa pun tahu bahwa dirinya sedang gemetar hebat.
Sesampainya di kamar, ia menutup pintu dan bersandar di sana, tangannya menutupi mulutnya untuk meredam isakan yang akhirnya pecah.
Ia ingin memanggil Jovan. Ingin berlari menyusulnya.
Tapi semuanya sudah terlambat, bukan?
Dialah yang menyuruhnya pergi.
^*^
Gemerincing gelas-gelas kristal beradu memenuhi aula megah itu. Cahaya lampu gantung berkilauan di langit-langit tinggi, memantulkan kemewahan yang tak terbantahkan. Para tamu dalam setelan mahal dan gaun elegan saling berbincang, tertawa ringan sambil menyesap anggur mereka.Di antara keramaian itu, seorang pria berdiri tegak dengan senyum tipis di sudut bibirnya. Jas hitam yang membalut tubuhnya bukan sembarang jas—potongan khusus dari perancang terkenal. Jam di pergelangan tangannya berkilauan, bukan sekadar aksesori, tapi simbol status.Jovan.Lima tahun telah berlalu.Dan kini, dia kembali.Matanya menyapu ruangan hingga akhirnya bertemu dengan seorang wanita paruh baya di meja VIP. Bu Intan.Sekilas, wajah wanita itu tampak seperti biasanya—angkuh, penuh percaya diri. Tapi saat matanya bertemu dengan mata Jovan, sorotnya berubah.Kaget.Sedikit terperanjat.Seolah melihat hantu dari masa lalu yang seharusnya sudah terkubur.Jovan tidak langsung bergerak. Ia membiarkan detik-deti
Jovan dan Bu Intan masih berdiri berhadapan ketika seorang pria berseragam panitia acara berjalan mendekat. Langkahnya tegap, ekspresinya penuh hormat. Sekilas, Bu Intan mengira pria itu akan menyapanya—bagaimanapun, ia istri seorang pejabat perkebunan besar.Namun, yang terjadi justru sebaliknya.Panitia itu berhenti tepat di hadapan Jovan, lalu sedikit membungkuk. “Maaf mengganggu, Pak Jovan Mahendra.”Bu Intan sempat mengernyit. Sejak kapan Jovan dipanggil dengan begitu hormat?Jovan mengangkat alis, tetapi tetap tenang. “Ada apa?”“Semua petani pelopor yang mendapatkan penghargaan tingkat nasional diminta hadir di ruanga Bapak Benny Panjaitan.” Panitia itu melirik jam tangannya. “Beliau ingin bertemu langsung dengan Bapak dan dua penerima penghargaan lainnya.”Bu Intan membeku.Penerima penghargaan?Tidak mungkin.Dengan matanya sendiri, ia melihat bagaimana panitia acara ini memperlakukan Jovan dengan penuh rasa hormat, seolah pria itu seseorang yang penting. Bahkan diminta berbi
Bu Intan sudah membayangkan perjalanan ini akan berakhir dengan lebih dari sekadar obrolan basa-basi di dalam mobil. Ia sudah mengatur ritme, menciptakan atmosfer, dan kini Jovan begitu saja menyerahkannya pada seorang sopir?“Jovan…” Bu Intan mengerjap, nada suaranya tetap anggun, meski ada tekanan halus di dalamnya.Jovan tersenyum—terlalu manis, terlalu sopan, tapi juga terlalu tajam.“Ini sudah larut,” ujarnya lembut. “Aku tidak ingin kamu kelelahan.”Sebuah pukulan halus.Bu Intan bisa merasakan pandangan beberapa orang yang masih berdiri di sekeliling mereka. Seolah menunggu bagaimana ia akan merespons.Sekian detik, ia menatap Jovan, mencoba mencari celah. Tapi pria itu sudah terlalu jauh dari genggaman yang ia kira masih bisa ia kendalikan.Lalu, dengan anggun—seperti seorang ratu yang memilih menerima permainan ini—Bu Intan tersenyum kecil dan mengangguk.“Baiklah, kalau begitu,” katanya, sebelum melangkah menuju mobil dengan percaya diri, seolah semua masih berada dalam kend
Suasana siang terasa hangat di bawah rindangnya pepohonan di halaman belakang rumah Jovan. Suasana semakin hidup seiring aroma terong panggang yang menggoda tersebar, menggelitik indra penciuman para tamu.Meja panjang kayu rustic dipenuhi hidangan, sementara di depan panggangan, Jovan tampak sibuk dengan celemek hitam yang melingkar di pinggang, membolak-balik terong yang mulai matang.Di sekitarnya, ibu-ibu peserta pelatihan duduk santai sambil melemparkan godaan dan tawa riang. Melia, yang sejak tadi ikut bergabung, tak bisa menahan senyumnya.“Wah, Mas Jo ini selain jago bercocok tanam, ternyata jago masak juga, ya! Siapa nanti yang beruntung jadi pendampingnya?”Jovan hanya menoleh sambil tersenyum hangat, sembari mengipasi panggangan. "Wah, Bu Melia bisa saja. Yang penting, semua kebagian terong panggang spesial saya dulu, ya."Tawa dan sorakan pun memenuhi suasana, namun di balik keceriaan itu, Melia terdiam sejenak. Ia tak bisa mengelak dari perasaan aneh yang tiba-tiba menyer
Bu Intan duduk di ruang tengah rumahnya yang luas, tetapi terasa begitu sepi. Jemarinya mengetuk-ngetuk gelas jus jeruk di atas meja, sementara pikirannya melayang ke pertemuan dengan Jovan di gala dinner seminggu yang lalu.Pria itu… sudah jauh berbeda. Bukan lagi lelaki sederhana yang dulu ia hina habis-habisan, tetapi seorang miliarder yang tampil begitu berwibawa. Bu Intan sudah banyak mengumpulkan data dari beberapa koleganya. Sebagai istri pejabat di kementrian, tentu saja hal itu bukan perkara susah.Dan selama satu minggu ini, hatinya masih berdebar saat mengingat tatapan tajam Jovan, senyum miringnya, dan caranya menggoda seolah membalas semua perlakuan kejamnya dulu. Bu Intan tidak bisa menyangkal bahwa ada sesuatu dalam dirinya yang bergelora.Rasa bersalah, penyesalan dan yang mendominasinya justru ketertarikan. Hasrat yang sudah lama dia kubur dalam-dalam, mulai kembali bangkit dan mengganggunya. Dan dengan keraguan, ia meraih ponselnya dan menekan nomor Tania, putrinya.B
Jovan masih duduk di dalam mobilnya, tangannya menggenggam kemudi dengan erat, matanya tak lepas dari sosok anggun di dalam restoran, mantan mertuanya.Sudah sejak tadi ia melihat Bu Intan, duduk sendirian, gelisah, sesekali melirik ponselnya, mungkin menunggu pesan darinya. Namun, hatinya masih diselimuti keraguan yang terlalu pekat.Lima tahun lalu, ia bukan siapa-siapa. Seorang pria dengan mimpi besar namun tanpa nama, tanpa harta. Dan Bu Intan—wanita yang kini tampak anggun dalam gaun marunnya—pernah menjadi bagian dari kepedihannya. Ia mengingat bagaimana ibu mertuanya, dengan wajah dingin dan lidah tajam, selalu merendahkannya di depan keluarganya sendiri.Kata-kata itu masih terpatri jelas dalam ingatannya, menghantam harga dirinya seperti badai. Penghinaan itu bukan sekadar luka biasa, tapi luka yang mencabik-cabik harga dirinya sebagai seorang suami sekaligus seorang ayah untuk dua anaknya.Dalam satu malam, ia kehilangan semuanya—istri yang ia cintai, kedua anaknya, bahkan h
Ketika mereka sampai di halaman rumah Bu Intan, wanita itu turun lebih dulu. Jovan mengikuti dengan santai, tangannya dimasukkan ke dalam saku celana, menatap rumah mewah yang pernah menjadi saksi penderitaannya lima tahun lalu."Kamu tidak harus masuk kalau tak ingin," kata Bu Intan lembut.Jovan tertawa kecil. "Aku justru ingin masuk."Bu Intan terdiam sejenak, lalu membalikkan badan, berjalan lebih dulu menuju pintu. Begitu mereka masuk, suasana rumah itu terasa terlalu tenang, terlalu luas untuk ditinggali seorang diri.Jovan menatap sekeliling. "Dulu, rumah ini terasa lebih ramai," katanya, nadanya terdengar lebih seperti sindiran.Bu Intan melangkah ke meja bar kecil di sudut ruangan, menuangkan dua gelas minuman, lalu menyerahkan salah satunya pada Jovan. "Sekarang hanya ada aku di sini," katanya pelan.Jovan menerima gelas itu, tetapi tidak langsung meminumnya. Ia justru melangkah lebih dekat, menatap Bu Intan dengan sorot mata yang sulit ditebak."Lalu, apa yang sebenarnya ka
Jovan masih menyunggingkan senyum penuh kemenangan. Di balik kemudi, ia merogoh saku, mengambil rokok, lalu menyalakannya dengan gerakan santai. Asap tipis mengepul di udara malam yang mulai dingin.Rizal di kursi penumpang ikut terkekeh, menyalakan rokoknya sendiri. "Gila, Bang. Saya nunggu di ujung jalan sambil nahan ketawa. Udah bisa nebak endingnya."Jovan menghembuskan asap, lalu melirik Rizal dengan seringai nakal. "Endingnya bisa beda jauh kalau lu telat dua menit aja nelpon gue."Mereka kembali tertawa. Mobil melaju pelan menembus malam, melewati jalanan kota yang mulai lengang. Lampu-lampu jalan berpendar temaram, menciptakan bayangan panjang di trotoar."Tapi abang puas, kan?" Rizal kembali bertanya, kali ini dengan nada lebih serius.Jovan diam sejenak, pandangannya menerawang ke jalanan yang terbentang di depan. "Gue nggak tahu, Zal."Rizal melirik Jovan, penasaran dengan perubahan ekspresi bosnya.Jovan menghela napas, membuang sisa rokoknya keluar jendela. "Gue kira baka
“Baiklah, jika itu keinginan Bapak-bapak, saya siap memenuhinya,” balas Bu Intan sigap.Dia berpikir dua bandot di depannya tidak akan jauh berbeda dengan suaminya. Lelaki-lelaki tua berperut buncit, berwajah mesum yang ada di depannya hanya besar nafsu dan keinginannya, sementara stamina dan tenaganya sudah pasti sangat kurang. Hanya dalam beberapa menit saja mereka akan langsung menyerah kalah.Pak Hanif dan Pak Gunarsa tersenyum senang mendengar perkataan Bu Intan. Mereka berpikir istri dosen ini telah menyetujui persyaratan itu dan akan segera mengajaknya pergi ke sebuah hotel secara besama-sama.“Nah, ginikan lebih mudah dan lebih baik Bu. Kami pun tidak usah lagi menseleksi perusahaan-perusahaan lain untuk proyek ini. Dokumen ini akan segera kami serahkan setelah kita selesai melengkapi kekurangannya.” Kembali Pak Hanif bicara ambigu yang entah mengapa orang-orang seperti dia senangnya berbelit-belit.Tanpa mempedulikan ucapan Pak Hanif, Bu Intan pun segera menghampiri dua tamu
“Pak Han, kami sangat mengerti dan akan memenuhi persyaratan itu seperti yang biasa suami saya lakukan. Percayalah, semuanya tidak akan berubah, sesuai yang telah dijalankan oleh suami saya selama ini,” ucap Bu Intan dengan tenang dan berwibawa.“Oh bagus. Kami sangat bersyukur kalau Ibu sudah mengerti dan tahu tentang itu, bagus, sangat bagus.”“Ya terima kasih, Pak. Lantas apa yang harus saya lakukan sekarang?”“Hmmm, begini Bu. Kali ini sepertinya kita akan menemukan sedikit masalah, karena adanya kekurangan-kekurangan yang perlu segera ibu ketahui sekaligus dilengkapi, agar tidak menimbulkan permasalahan yang cukup pelik dalam proses selanjutnya,” timpal Pak Hanif.“Kekurangan dan masalah apa, kalau boleh saya tahu, Pak? Mungkin saya bisa membantu memperbaiki atau melengkapinya sekarang juga.” Bu Intan menjawab tegas dan masih dengan senyum manisnya, walau dadanya mulai sedikit bergemuruh karena muak yang ditahan.“Gak banyak sih Bu, kekurangannya hanya satu, dan kebetulan kekuara
Bu Intan mencondongkan tubuhnya ke depan, meletakkan dagunya di telapak tangan dengan tatapan menggoda. "Beneran nih? Jangan PHP-in Tante, loh."Seorang pemuda dengan kaos hitam tertawa sambil mengusap tengkuknya. "Masa iya kita bohong? Justru seru kalau Tante ikut. Bisa ngerasain sensasi tidur di bawah bintang, dengerin suara alam, dan… siapa tahu ada tantangan seru juga."Bu Intan terkikik kecil, membayangkan betapa serunya pengalaman itu. Tapi sebelum sempat berandai-andai lebih jauh, salah satu dari mereka tiba-tiba menyenggol lengannya dan berbisik, "Tapi kita bukan cuma pecinta alam, Tante. Kita juga suka balapan liar!"Mata Bu Intan langsung berbinar lebih terang. Kenangan saat bersama Rizal, merasakan sensasi berboncengan motor keliling kota, angin malam yang menampar wajahnya, tiba-tiba menyeruak di pikirannya."Serius? Kalian anak-anak jalanan juga, nih?" tanyanya dengan nada penuh minat.Mereka tertawa. "Nggak juga, Tante. Cuma sekadar hobi. Nggak setiap hari, tapi kalau lag
Seminggu telah berlalu sejak kepergian Dave, namun jejak kebersamaan empat hari dengannya masih begitu membekas di hati dan pikirannya.Seperti ombak yang terus menghempas pantai tanpa henti, gairah dalam diri Bu Intan kini bergelora tanpa bisa dikendalikan. Ada sesuatu dalam dirinya yang telah terbangun—sesuatu yang tak bisa ia redam, meskipun ia mencoba.Setiap sudut rumah terasa berbeda, bukan karena ada yang berubah secara fisik, melainkan karena dirinya sendiri yang kini tak lagi sama. Dulu, ia bisa dengan mudah mengabaikan kehampaan dalam rumah tangganya. Namun kini, sentuhan suaminya terasa asing, bahkan dingin. Keberadaan Pak Winata di sampingnya tak lagi membawa kehangatan, justru semakin menegaskan betapa kosongnya hubungan mereka.Malam-malamnya kini terasa panjang dan sepi. Tubuhnya mungkin berbaring di sisi suaminya, tetapi pikirannya melayang jauh, kembali ke malam-malam ketika Dave masih ada di sini. Ia terjaga hingga larut, hatinya berdebar, hasratnya menggelora, namun
Pak Winata masih tertidur dengan lelapnya. Bu Intan masih belum merasa lengkap bila tidak merasakan rudal Dave yang mempunyai ukuran luar biasa tersebut, tapi dia juga sedikit khawatir bila ia teruskan permainannya di kamar tidurnya ini akan membuat suaminya bangun karena mendengar rintihan-rintihan dan erangan-erangannya.Bu Intan kemudian mengajak Dave untuk keluar dari kamar tidurnya. Mereka beranjak dari kamar tidur tersebut dengan setengah telanjang, tidak lupa untuk membawa pakaian mereka yang sudah terlepas.Di ruangan keluarga kembali Bu Intan mencumbu Dave dengan penuh nafsu, Bu Intan mulai mendorong Dave untuk duduk di sofa, ia pun kemudian bersujud di hadapan Dave.Dengan penuh nafsu rudal Dave yang setengah bangun mulai dikulum dan dijilatinya, Dave mulai mendesah-desah keenakan merasakan kuluman dan jilatan mulut dan lidah Bu Intan di rudalnya.Perlahan-lahan Bu Intan mulai merasakan rudal Dave bangkit dan mulai mengeras, mulut Bu Intan yang mungil tidak cukup untuk mengu
Percakapan terus mengalir, diselingi gelak tawa ringan dan sesekali kilatan mata Dave yang mencuri pandang ke arahnya. Botol demi botol dibuka, hingga waktu terasa berlalu begitu saja. Bu Intan memperhatikan wajah suaminya yang mulai memerah. Gerakannya semakin lambat, omongannya mulai melantur.Sementara itu, Dave tampak tetap tenang. Mungkin karena ia terbiasa dengan minuman seperti ini.Jam di dinding telah menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Pak Winata semakin kehilangan kendali. Matanya sudah setengah terpejam, tangannya terkadang bergerak tanpa arah, dan bicaranya semakin tidak jelas.Bu Intan tersenyum kecil, teringat betapa lemahnya suaminya jika sudah berada dalam kondisi seperti ini. Sebuah ide melintas di benaknya—ia tahu betul bagaimana malam ini bisa berakhir.Senyumnya makin lebar.Dave, yang sejak tadi memperhatikan, akhirnya bertanya. “Apa yang membuat Anda tersenyum, Bu Intan?”Bu Intan hanya menoleh sekilas, lalu kembali tersenyum tanpa menjawab.Seperti yang s
Bu Intan merasa ada sesuatu yang berbeda dalam hari-harinya sejak pertemuan itu. Kenangan akan Rizal terus membayangi pikirannya, menciptakan getaran aneh di hatinya yang sudah lama tak ia rasakan. Ia sering termenung, mengingat kembali bagaimana Rizal memperlakukannya—santai, nakal, tetapi tetap penuh perhatian.Setiap kali ia mendengar suara motor lewat di depan rumahnya, dadanya berdebar, berharap itu Rizal. Setiap kali notifikasi ponselnya berbunyi, hatinya melompat, hanya untuk kecewa saat mendapati pesan itu bukan darinya.Di sela-sela kesibukannya, ia berkali-kali ingin mengangkat ponselnya, mengetik pesan singkat atau bahkan sekadar menanyakan kabar Rizal. Namun, gengsi menahannya. Bagaimana mungkin ia, seorang istri pejabat yang seharusnya anggun dan berwibawa, justru dirundung rindu pada seorang pemuda kampung sok bergaya kota?Seharusnya dia memang dengan Jovan, bukan Rizal.Bu Intan menatap layar ponselnya dengan kesal. Beberapa kali ia mencoba menghubungi mantan menantuny
Setelah mengantar pulang Bu Intan, Rizal menyalakan motornya dan melaju pelan di jalanan yang mulai lengang. Udara malam masih menyisakan kehangatan pertemuan mereka, namun Rizal tahu, dunia tidak berhenti hanya di satu momen saja.Dia tidak langsung pulang ke rumah kebun. Ada kegelisahan yang masih berputar di kepalanya, sesuatu yang belum tuntas. Setelah menimbang-nimbang, akhirnya dia membelokkan motornya ke sebuah warung kopi langganannya.Begitu sampai, Rizal langsung disambut oleh beberapa temannya. Salah satunya, Herman, menepuk bahunya dengan tawa kecil."Tumben malam-malam nongol. Baru dari mana, Lu?"Rizal hanya nyengir, melempar helmnya ke atas meja dan menarik kursi."Biasa, muter-muter nyari angin," jawabnya santai, padahal pikirannya masih terbayang sosok Bu Intan.Herman menyipitkan mata curiga. "Muter-muter nyari angin atau nyari lobang nganggur?" godanya.Rizal hanya terkekeh, memilih menyesap kopinya tanpa menjawab. Dia menikmati suasana warung itu—lampu remang-reman
Bibir mereka masih bertaut, lembut namun semakin dalam. Tangan Bu Intan mulai nakal menelusuri selangkangan Rizal, awalnya hanya sentuhan ringan, tapi kini seakan ada tarikan tak kasat mata yang membuat tangannya menggenggam benda keras, besar dan panjang di balik chinos. Dia enggan melepaskan.Rizal merasakan bagaimana tubuh Bu Intan perlahan melemas dalam dekapannya, memberi isyarat tanpa kata bahwa wanita itu telah tenggelam dalam gelombang perasaan yang tak lagi bisa ditahan. Kedua semakin kuat meremasi kedua payudara Bu Intan, ciuman mereka semakin liar.Bu Intan sedikit menghela napas di antara kecupan mereka, merasakan debaran dadanya yang berpacu begitu cepat. Ia bukan lagi seorang wanita muda, namun sentuhan Rizal seakan membangkitkan sisi dirinya yang selama ini terkubur oleh kamuplase dan ambisi tuntutan hidup.Rizal menurunkan ciumannya ke sepanjang garis rahang Bu Intan, meninggalkan jejak kehangatan di kulitnya yang halus. Wanita itu memejamkan mata, membiarkan dirinya l