Suasana siang terasa hangat di bawah rindangnya pepohonan di halaman belakang rumah Jovan. Suasana semakin hidup seiring aroma terong panggang yang menggoda tersebar, menggelitik indra penciuman para tamu.
Meja panjang kayu rustic dipenuhi hidangan, sementara di depan panggangan, Jovan tampak sibuk dengan celemek hitam yang melingkar di pinggang, membolak-balik terong yang mulai matang.
Di sekitarnya, ibu-ibu peserta pelatihan duduk santai sambil melemparkan godaan dan tawa riang. Melia, yang sejak tadi ikut bergabung, tak bisa menahan senyumnya.
“Wah, Mas Jo ini selain jago bercocok tanam, ternyata jago masak juga, ya! Siapa nanti yang beruntung jadi pendampingnya?”
Jovan hanya menoleh sambil tersenyum hangat, sembari mengipasi panggangan. "Wah, Bu Melia bisa saja. Yang penting, semua kebagian terong panggang spesial saya dulu, ya."
Tawa dan sorakan pun memenuhi suasana, namun di balik keceriaan itu, Melia terdiam sejenak. Ia tak bisa mengelak dari perasaan aneh yang tiba-tiba menyergapnya. Entah kenapa, dalam sosok Jovan—cara ia tersenyum, gerak-geriknya yang tenang namun penuh percaya diri—terlihat sekilas bayangan Jordi.
Meski secara fisik mereka berbeda, ada aura yang mengingatkannya pada pria yang pernah ia cintai. Hobi bersepeda, joging, ketrampilan tangan yang cekatan, dan sikap lembut namun tegas Jovan menciptakan kesamaan yang tak bisa diabaikan. Perasaan itu berdesir, seolah membangkitkan kenangan lama yang selama ini ia coba pendam.
Namun, Melia hanya bisa tersenyum tipis, menyembunyikan debaran di dadanya yang tiba-tiba bergejolak. Hari itu, di tengah keramaian, ia merasakan sepotong kenangan hadir kembali.
"Ih, spesial buat siapa, Mas? Jangan PHP, lho!" celetuk Bu Elin yang sejak tadi sibuk mengambil foto untuk diunggah ke grup WA kompleks.
Bu Elin, yang dikenal paling usil, mendekat sambil menyenggol Bu Wati. "Duh, lihat tuh terong Mas Jo. Besar, panjang, warnanya ungu kecoklatan mulus. Kayaknya enak banget..."
Bu Wati pura-pura kaget lalu menutupi mulutnya dengan kipas. "Bu Elin! Astaghfirullah... Saya kira ngomongin yang lain tadi!"
Bu Elin langsung tertawa. "Yaelah, emang ngomongin apa? Terong panggang, kan?"
Tawa meledak, membuat suasana makin hidup. Jovan hanya bisa geleng-geleng sambil menahan senyum, melanjutkan memasak tanpa ambil pusing dengan obrolan nyerempet emak-emak.
Di sudut taman, Mang Asep dan Bi Titin—pasangan suami-istri yang sudah bertahun-tahun bekerja di rumah Jovan—ikut menikmati suasana. Bi Titin sibuk menyusun piring dan memastikan semua ibu-ibu kebagian makanan, sementara Mang Asep yang berperawakan sedikit bungkuk hanya tersenyum melihat majikannya jadi pusat perhatian.
"Nah, Tin, kita mah mending diem aja di sini. Daripada ntar kena semprot sama bapak-bapak kompleks," celetuk Mang Asep setengah bercanda.
Bi Titin terkikik, lalu menepuk lengan suaminya. "Ah, bapak mah. Udah biasa juga, si Mas Jo kan emang kesayangan emak-emak."
Di sisi lain, Rizal, pemuda tampan berusia 23 tahun yang bekerja sebagai seksi sibuk di acara ini, justru punya kesibukan lain. Dengan jeans ketat dan kaos oblongnya yang pas di badan, dia lebih sibuk menggoda emak-emak dibanding membantu juragannya.
"Bu RT, Pak RT ke mana nih? Kok tenang banget ngobrol sama saya?" godanya sambil menyengir jahil.
Bu RT langsung menepuk lengan Rizal sambil pura-pura kesal. "Ah, kamu ini! Ada aja ya omongannya. Udah, mending bantuin Mas Jo sana. Jangan kebanyakan modusin emak-emak!"
"Hadeuh, saya mah lebih suka nemenin ibu-ibu yang cantik-cantik begini. Nemenin Mas Jo? Nanti saya kebanting dong!" Rizal mengedipkan mata jahil, membuat Melia dan Bu Elin tertawa terbahak-bahak.
Hari semakin sore, tapi suasana justru makin seru. Jovan yang awalnya hanya memasak, akhirnya ikut terseret dalam sesi kuis receh yang disiapkan Bu Elin.
"Pertanyaan pertama, Mas Jo. Kalau ada ibu-ibu yang sering banget nanya 'Mas Jo kapan nikah?', kira-kira harus dijawab apa?"
Seisi kebun langsung ribut.
Jovan mengusap tengkuknya, tersenyum miring. "Jawabnya gampang, Bu. Saya masih cari yang jago masak terong lebih enak dari saya!"
"Oooohhh, gitu!" sahut Bu RT dengan nada menggoda. "Tapi kalau saya nggak bisa masak, boleh nggak langsung makan lalap yang mentah atau yang sudah jadi masakan?"
"Aduh, Bu RT! Berani banget ngomongin dimakan mentah, depan suami lagi!" ujar Bu Wati pura-pura kaget.
"Lah, suami saya kan di rumah, nggak di sini. Aman!"
Seisi kebun tertawa sambil bertepuk tangan.
Jovan melepas celemeknya setelah memastikan semua hidangan panggangan tersaji dengan sempurna. Aroma terong bakar yang bercampur bumbu khas memenuhi udara, membuat para tamu yang kebanyakan ibu-ibu kompleks semakin lahap menyantap hidangan.
Namun, saat celemeknya terlepas, suasana mendadak terasa berbeda. Celana jeans yang dikenakan Jovan sedikit lebih ketat dari biasanya, menonjolkan posturnya yang tegap dan atletis. Beberapa ibu menelan ludah tanpa sadar, berpura-pura sibuk mengunyah makanan atau menyeruput minuman untuk mengalihkan perhatian.
Bu RT tiba-tiba meletakkan gelasnya dan berdeham kecil. “Ehm... Mas Jo, boleh saya numpang ke kamar mandi sebentar?” tanyanya dengan suara datar, tapi ada sedikit nada yang sulit ditebak di sana.
Jovan tersenyum santai. “Oh, tentu, Bu RT. Lewat pintu dapur aja.” Jawabnya ramah. “Rizal, tolong anter Bu RT ke kamar mandi,” lanjutnya agak berteriak.
“Siap, Boss!” jawab Rizal sigap, lantas menyusul Bu RT yang sudah mendekati pintu dapur.
Rizal tertawa kecil sambil melirik Mang Asep. "Mang, kayaknya saya perlu belajar sama Mas Jo, nih. Auranya beda, emak-emak sampai keringetan."
Mang Asep hanya terkekeh sambil mengunyah bakwan. "Ah, kamu mah, Zal. Kurang pengalaman!"
Para ibu saling melirik, sebagian menahan senyum, sebagian lagi sibuk berusaha tetap fokus pada hidangan.
Jovanya Mahendra, 38 tahun, pria lajang dengan wajah tampan dan karisma yang memancar. Ia menjalani dua kehidupan: sebagai petani sederhana di satu sisi dan sosok penuh misteri di sisi lainnya. Jovan bukan hanya sekadar pria tampan yang disukai banyak wanita. Ia adalah teka-teki yang jawabannya hanya bisa ditemukan oleh mereka yang cukup berani untuk mencari.
Saat suasana mulai mereda dan sebagian ibu-ibu sudah pulang, Umi Zainab tetap duduk dengan anggun di sudut taman, menyesap teh hangatnya. Jovan yang sedang merapikan sisa-sisa hidangan mendekatinya, tersenyum ramah.
“Umi, masih betah ya?” tanyanya santai.
Umi Zainab mengangguk kecil, meletakkan cangkirnya. “Masih betah di sini, suasananya nyaman,” jawabnya dengan suara lembut.
Jovan mengangguk, mengambil tempat di sampingnya. Namun, sebelum ia sempat membuka pembicaraan, Umi Zainab sudah mencondongkan tubuhnya sedikit.
“Mas Jo,” ujarnya pelan. “Saya penasaran… kok terong-terong di sini bisa lebih besar dan panjang dibanding di kebun saya?”
Jovan nyaris tersedak oleh pertanyaan itu. Sekilas, Umi Zainab tetap terlihat tenang dengan wajah teduhnya, tapi tatapannya sesekali melirik ke dada bidang Jovan yang hanya berbalut kaos ketat usai melepas celemek.
“Ehm…” Jovan berdeham, berusaha tetap tenang. “Mungkin karena jenis bibitnya, Umi. Atau bisa juga karena perawatannya. Umi sering siram terongnya pagi dan sore?”
Umi Zainab menatapnya sejenak sebelum tersenyum samar. “Sering sih… tapi mungkin saya kurang telaten merawatnya seperti Mas Jo. Malah cepat layu kalau sudah dipetik.”
Jovan menggaruk tengkuknya, merasa ada sesuatu dalam percakapan ini yang membuatnya sedikit waspada.
“Mungkin Umi bisa coba pupuk cair yang saya pakai,” ujarnya menawarkan solusi.
Umi Zainab mengangguk pelan, lalu kembali menyesap tehnya. “Kalau Mas Jo ada waktu… mungkin bisa main ke rumah, lihat langsung kebun saya, kasih saran biar terong saya buahnya bisa lebih panjang dan besar, juga tidak mudah layu?”
Jovan hampir saja menjatuhkan sendok yang dipegangnya. Ia tahu ini hanya tentang berkebun… atau mungkin tidak? Senyum Umi Zainab tetap lembut, tapi sorot matanya sulit ditebak.
Setelah semua ibu-ibu pulang, meninggalkan meja panjang yang kini hanya tersisa piring-piring kosong dan sisa tumpahan keju panggang, Jovan dan Rizal akhirnya bisa menarik napas lega. Mereka duduk di bangku kayu di sudut halaman belakang, ditemani segelas es teh yang tinggal separuh.
Rizal, yang tak kalah kekar dari Jovan, menyandarkan punggungnya dengan santai. Ia mengenakan kaus ketat dan jeans yang selalu sukses mencuri perhatian emak-emak sekompleks, terutama yang doyan cuci mata.
"Bang," Rizal membuka percakapan dengan nada geli, "saya nggak nyangka acara bakar-bakar ini bakal sepanas itu."
Jovan terkekeh, mengambil handuk kecil untuk mengusap keringat di lehernya. "Maksud lu panas apanya? Panggangannya atau obrolan emak-emak?"
"Ya dua-duanya!" Rizal mendesah dramatis. "Tapi jujur, obrolan mereka tentang terong tuh... bikin saya agak keringetan sih. Udah kayak kode keras yang terselubung."
Jovan tertawa, mengingat bagaimana sepanjang acara tadi, ibu-ibu selalu nyerempet ke arah yang ambigu setiap kali membahas terong. Apalagi Bu Elin yang terus mengomentari ukuran dan kelembutan terong panggang yang mereka buat.
“Parah sih, saya sampai bingung mau nanggepin gimana,” lanjut Rizal. "Apalagi pas Umi Zainab mulai nanya soal terong kebunnya yang kalah gede dan mudah layu, apa coba maksudnya?"
Jovan menghela napas sambil mengusap wajahnya.
"Kita sih tahu dia guru ngaji, tapi tadi... matanya jelas-jelas main ke mana-mana, Bang," Rizal menambahkan dengan cengiran jahil.
Jovan hanya bisa menggeleng, mencengkeram gelasnya seakan butuh pegangan. "Astaghfirullah, Zal. Jangan su’uzon."
Rizal mengangkat kedua tangannya, pura-pura membela diri. "Lah, saya kan cuma observasi, Bang. Lagian, abang sendiri yang ngerasain langsung kan?"
Jovan menghela napas panjang, lalu meneguk sisa es tehnya. “Pelatihan budidaya terong ini niatnya buat bantu perekonomian warga, tapi kenapa kayaknya malah jadi ajang emak-emak ngetes mental kita ya?”
Rizal tergelak. "Abang kira saya kenapa semangat ikut? Ya hiburan, Bang!"
Jovan meliriknya curiga. “Zal, perasaan tadi lu nganter Bu RT ke kamar mandi lama banget. Emang ke kamar mandi mana sih? Di dalam kan cuma ada dua, deket-deket lagi.”
“Hufff!” Rizal hanya terbelalak menatap Jovan, tanpa menjawab pasti.
“Dasar, pencuri kesempatan!” sergah Jovan sambil menggelengkan kepala, sementara Rizal kembali tertawa sumir.
Di tengah kesunyian senja yang mulai turun, keduanya sadar bahwa acara bakar terong ini bukan sekadar kegiatan syukuran atas keberhasilan tim pelatihan biasa. Di balik kebun, dapur, dan kamar mandi, ada perang batin dan kode-kode terselubung yang harus mereka hadapi dengan hati-hati.
*^*
Bu Intan duduk di ruang tengah rumahnya yang luas, tetapi terasa begitu sepi. Jemarinya mengetuk-ngetuk gelas jus jeruk di atas meja, sementara pikirannya melayang ke pertemuan dengan Jovan di gala dinner seminggu yang lalu.Pria itu… sudah jauh berbeda. Bukan lagi lelaki sederhana yang dulu ia hina habis-habisan, tetapi seorang miliarder yang tampil begitu berwibawa. Bu Intan sudah banyak mengumpulkan data dari beberapa koleganya. Sebagai istri pejabat di kementrian, tentu saja hal itu bukan perkara susah.Dan selama satu minggu ini, hatinya masih berdebar saat mengingat tatapan tajam Jovan, senyum miringnya, dan caranya menggoda seolah membalas semua perlakuan kejamnya dulu. Bu Intan tidak bisa menyangkal bahwa ada sesuatu dalam dirinya yang bergelora.Rasa bersalah, penyesalan dan yang mendominasinya justru ketertarikan. Hasrat yang sudah lama dia kubur dalam-dalam, mulai kembali bangkit dan mengganggunya. Dan dengan keraguan, ia meraih ponselnya dan menekan nomor Tania, putrinya.B
Jovan masih duduk di dalam mobilnya, tangannya menggenggam kemudi dengan erat, matanya tak lepas dari sosok anggun di dalam restoran, mantan mertuanya.Sudah sejak tadi ia melihat Bu Intan, duduk sendirian, gelisah, sesekali melirik ponselnya, mungkin menunggu pesan darinya. Namun, hatinya masih diselimuti keraguan yang terlalu pekat.Lima tahun lalu, ia bukan siapa-siapa. Seorang pria dengan mimpi besar namun tanpa nama, tanpa harta. Dan Bu Intan—wanita yang kini tampak anggun dalam gaun marunnya—pernah menjadi bagian dari kepedihannya. Ia mengingat bagaimana ibu mertuanya, dengan wajah dingin dan lidah tajam, selalu merendahkannya di depan keluarganya sendiri.Kata-kata itu masih terpatri jelas dalam ingatannya, menghantam harga dirinya seperti badai. Penghinaan itu bukan sekadar luka biasa, tapi luka yang mencabik-cabik harga dirinya sebagai seorang suami sekaligus seorang ayah untuk dua anaknya.Dalam satu malam, ia kehilangan semuanya—istri yang ia cintai, kedua anaknya, bahkan h
Ketika mereka sampai di halaman rumah Bu Intan, wanita itu turun lebih dulu. Jovan mengikuti dengan santai, tangannya dimasukkan ke dalam saku celana, menatap rumah mewah yang pernah menjadi saksi penderitaannya lima tahun lalu."Kamu tidak harus masuk kalau tak ingin," kata Bu Intan lembut.Jovan tertawa kecil. "Aku justru ingin masuk."Bu Intan terdiam sejenak, lalu membalikkan badan, berjalan lebih dulu menuju pintu. Begitu mereka masuk, suasana rumah itu terasa terlalu tenang, terlalu luas untuk ditinggali seorang diri.Jovan menatap sekeliling. "Dulu, rumah ini terasa lebih ramai," katanya, nadanya terdengar lebih seperti sindiran.Bu Intan melangkah ke meja bar kecil di sudut ruangan, menuangkan dua gelas minuman, lalu menyerahkan salah satunya pada Jovan. "Sekarang hanya ada aku di sini," katanya pelan.Jovan menerima gelas itu, tetapi tidak langsung meminumnya. Ia justru melangkah lebih dekat, menatap Bu Intan dengan sorot mata yang sulit ditebak."Lalu, apa yang sebenarnya ka
Jovan masih menyunggingkan senyum penuh kemenangan. Di balik kemudi, ia merogoh saku, mengambil rokok, lalu menyalakannya dengan gerakan santai. Asap tipis mengepul di udara malam yang mulai dingin.Rizal di kursi penumpang ikut terkekeh, menyalakan rokoknya sendiri. "Gila, Bang. Saya nunggu di ujung jalan sambil nahan ketawa. Udah bisa nebak endingnya."Jovan menghembuskan asap, lalu melirik Rizal dengan seringai nakal. "Endingnya bisa beda jauh kalau lu telat dua menit aja nelpon gue."Mereka kembali tertawa. Mobil melaju pelan menembus malam, melewati jalanan kota yang mulai lengang. Lampu-lampu jalan berpendar temaram, menciptakan bayangan panjang di trotoar."Tapi abang puas, kan?" Rizal kembali bertanya, kali ini dengan nada lebih serius.Jovan diam sejenak, pandangannya menerawang ke jalanan yang terbentang di depan. "Gue nggak tahu, Zal."Rizal melirik Jovan, penasaran dengan perubahan ekspresi bosnya.Jovan menghela napas, membuang sisa rokoknya keluar jendela. "Gue kira baka
Malam itu, sesuai petunjuk dari salah seorang ajudan Pak Sony, seorang pejabatn di Kementrian Pertanian Jovan tiba di sebuah vila yang berdiri megah di tengah alam. Kesepakatan rahasia yang sudah mereka putuskan saat gala diner seminggu yang lalu.Namanya ‘Vila Sony’, berupa rumah panggung yang elegan, memancarkan kesan mewah sekaligus alami. Dinding kayu jati tua yang mengilap oleh waktu berdiri kokoh di atas tiang-tiang setinggi satu meter, membawa kesan kekuatan dan keanggunan yang berpadu sempurna dengan suasana malam.Vila yang terletak di tengah alam terbuka itu seakan menjadi sebuah oase keindahan dan kedamaian. Meski tidak besar, bangunan ini memberikan kesan lapang dan terbuka. Dinding-dindingnya tidak penuh, hanya berupa pagar kayu setinggi lutut, yang memberi pandangan langsung ke luar, menyatu dengan alam di sekitarnya.Dari dalam, pandangan Jovan tertuju pada kolam ikan di depan vila, airnya berkilauan di bawah sinar bulan, menambah keindahan malam yang tenang. Ikan-ikan n
Suasana alami dan terbuka ini membuat semuanya terasa lebih bebas, lebih menggoda, seakan alam pun turut berkonspirasi menghadirkan suasana yang sempurna bagi mereka berdua.Saat Tante Sony kembali dengan teh hangat di tangannya, senyumnya semakin hangat.“Tehnya sudah siap, Jovan,” suara lembut Tante Sony menyusup tenang ke telinga Jovan, memecah lamunannya. Jovan tersenyum tipis, menyembunyikan rasa waspadanya di balik senyum ramah saat menerima cangkir teh hangat dari tangan sang nyonya.Dalam keheningan malam itu, hatinya tetap siaga—ia tahu, malam ini belum berakhir, dan percakapan hangat ini hanyalah pembuka dari sesuatu yang lebih dalam. Mereka terus ngobrol hangat dalam nuansa keakraban yang perlahan-lahan sudah mulai terjalin, tanpa harus membuka identitas masing-masing lebih jauh."Tante nggak kedinginan?" bisik Jovan perlahan, suaranya tenang, seperti menyatu dengan alunan malam di sekitarnya."Enggak," jawab Tante Sony, suaranya lebih lirih, nyaris berbisik. "Ada kamu yang
Jovan, masih berdiri di bawah sinar rembulan, mulai menggerakkan tubuhnya dengan gerakan kecil namun penuh makna. Otot-ototnya menegang dan mengendur secara bergantian, menonjolkan bentuk tubuh atletisnya. Ia sedikit memutar bahu, lalu mengangkat lengannya perlahan, memamerkan otot bicep yang besar dan kuat seolah sedang mempersiapkan pose seperti seorang binaragawan yang penuh percaya diri.Tante Sony menahan napas ketika Jovan melenturkan otot-otot dadanya. Gerakan itu tampak begitu alami, namun begitu terkontrol, seolah setiap bagian tubuhnya memahami bagaimana menampilkan kekuatan dan keindahan dalam harmoni yang sempurna. Cahaya rembulan yang redup menyorot dengan lembut pada kulitnya yang basah oleh keringat tipis, menambah kilau sensual pada setiap otot yang bergerak.Jovan menoleh, lalu tersenyum tipis, dan perlahan melenturkan otot perutnya, membiarkan lekukan-lekukan tajam itu terlihat jelas di bawah cahaya malam. Tante Sony tidak bisa menahan rasa kagum yang mengalir sepert
Jovan bangkit dari tidurannya, lalu mengambil dua gelas air dari dispenser, satu untuknya dan satu lagi untuk Tange Pak Sony.“Udah segeran lagi?” tanya Jovan penuh perhatian setelah kembali dari menyimpan gelas kosong bekas mereka minum.Sementara itu Pak Sony terduduk lemas di atas tanah karena rudal kecilnya pun sudah menumpahkan amunisinya, hanya dalam beberapa kali kocokan saja.Jovan berdiri gagah di depan Tante Sony dengan tubuh atletisnya, benda di selangkangannya nampak mencolok luar biasa. Tante Sony membandingkannya dengan pisang ambon terbesar yang pernah dia lihat, atau terong ungu yang sering dia elus-elus, sambil membayangkan kalau punya suaminya sebesar itu.Jantung Tante Sony makin berdebar kencang menyaksikan rudal yang seolah sengaja dibiarkan menunjukan kehebatannya depan wajahnya. Tante Sony bahkan seperti terhipnotis, merasakan lelaki yang berdiri di depannya adalah seseorang yang tidak bisa dia sangkal, sangat menarik, lembut, sopan dan profesional.Jovan membun
Begitu terasa bahwa liang relung kenikmatan Vena mau menerima kehadiaran rudal Hendi, tiba-tiba Hendi menghentakkan lagi rudalnya dengan sekali hentakah dan bleess, masuklah semua batang rudal Hendi keliang relung kenikmatan Vena; kemudian didiamkan sekali lagi rudal Hendi tersebut didalam liang itu, menunggu sebentar, sambil tangan Hendi mengelus elus pantat keras Vena."Vena sayang, masih sakitkah, aku tunggu sampai kamu siap menerimanya sayang.""Ya Mas Hendi, masih agak sakit, tapi kuusahakan sereleks mungkin," kata Vena sambil menggigil menahan antara gejolak asmaranya dan rasa sakit yang diterimanya.Setelah selang beberapa saat, dicoba digoyangkannya pantat Hendi maju mundur, kiri kanan dan memutar, dengan pelan, sambil terus Hendi mengelus pantat Vena, dengan sabar.Terdengar lenguhan dan rintihan Vena."Eechh, eesshhtt, eecchh""Vena, gimana, terasa enakan?""Bisa aku teruskan ya sayang, coba kamu konsentrasikan dulu.""Bayangkan kenikmatan dalam relung nikmatmu dengan geseka
Tak sabar Vena melihat pemandangan yang erotic itu, segera ia mendekat dan diterkamnya dengan dua tangannya rudal segar berkepala seperti jamur itu, tanpa menunggu perintah dari pemiliknya.Segera Vena mendaratkan bibir sensualnya pada kepala rudal Hendi yang sangat mengkilat dan membasah. Dicobanya dia mengecup lubang air seni dikepala rudal yang membasah itu dengan perasaan gemas, penuh birahi dan nafsunya yang sangat besar; magnit dan 'chemistry' dari badan Hendi pun menariknya, menaburkan cinta birahi menutup semua 'sense' yang ada di pribadinya.Mendengar sambutan desahan yang terjadi, dikuatkannya dirinya dan dijilatinya seluruh permukan rudal yang berurat kencang; erangan Hendi bertambah dengan getaran badannya, otomatis tangan Hendi membelai dan mengacak rambut Vena. Terasa olehnya semua simpul batang rudalnya dijamah, digelitiknya oleh lidah halus nakal kepunyaan Vena.Kembali Vena ke kepala rudal, dicobanya mengulum kepala yang besar, basah dan mengikat itu lalu dihisap-hisa
Dalam pelukan Hendi, Vena bagaikan dihadapkan oleh magnit bumi yang sangat besar sekali, ia menempelkan dirinya di dada Hendi pelahan-lahan direbahkannya tubuh Vena pada kasur.Emosinya telah terselubungi bara asmara, Vena pun pasrah, deburan darah dan detup jantungnya mengguncang tubuhnya yang sangat molek dan bergairah. Ditunggunya moment indah yang akan dirasakan bersama Hendi, seperti dalam gambaran benaknya.Gumaman dan desahan selama pagutan. Jelas getaran cinta yang dibawa Vena membuat Hendi semakin tergairah lagi ingin lebih melakukan langkahnya, menjelajahi badan mulus Vena. Dibukanya kancing depan blusenya yang menepel di badannya, dielusnya sembulan kenyal gunung kembar indah yang mencuat sebagian dari sarangnya warna pastel.Diangkatnya kepala Vena dan diletakkannya di pangkuannya, dirabanya halus buah dadanya; dengan mata sayu penuh nafsu, diangkatnya lagi lebih tinggi bahu dan kepala Vena dan disandarkanya pada lengan kirinya, jemari tangan kiri mengusap-usap lengan tang
Hendi berdiri di ambang pintu, mengenakan setelan kasual yang tetap memancarkan kelasnya. Pria itu memang memiliki aura yang tak jauh berbeda dengannya—tinggi, tampan, dengan garis wajah tegas khas keturunan Timur Tengah. Bedanya, Hendi memiliki sifat yang lebih stabil, lebih bisa diandalkan dalam jangka panjang. Dan itulah yang Jovan inginkan untuk Vena.“Lu datang tepat waktu,” ucap Jovan dengan nada ringan, menepuk bahu Hendi sebelum mempersilakannya masuk.Vena, yang sejak tadi duduk di sofa dengan perasaan tak menentu, mendongak begitu melihat pria asing masuk. Mata indahnya membulat, penuh tanda tanya.“Ini Hendi,” kata Jovan, mengisyaratkan pada pria itu untuk mendekat. “Dia lebih bisa diandalkan dibanding aku.”Vena masih terpaku, belum sepenuhnya menangkap maksud Jovan. “Maksudnya?”Jovan menatapnya dengan sorot yang sulit diartikan—ada ketulusan di sana, tapi juga sesuatu yang lain, sesuatu yang terasa seperti perpisahan.“Aku nggak bisa ada buatmu terus, Vena.” Suaranya ter
Jovan memarkirkan mobilnya di depan lobi hotel bintang lima dengan gerakan yang begitu mulus. Seorang bellboy segera menghampiri, membukakan pintu dengan penuh sopan santun. Vena turun dengan langkah ragu, matanya menelusuri kemegahan yang terpampang di hadapannya—lampu kristal raksasa bergelayut di langit-langit, lantai marmer yang berkilau seperti cermin, serta para tamu berpakaian glamor yang hilir mudik dengan penuh percaya diri.Jovan meliriknya, menangkap jelas ekspresi takjub sekaligus kikuk di wajah perempuan itu. Senyumnya terbit samar. "Jangan tegang, santai aja. Ini cuma hotel," katanya ringan, seolah tempat ini sama biasa baginya seperti warung kopi pinggir jalan.Vena menelan ludah. Baginya, ini lebih dari sekadar hotel—ini dunia lain. Dunia yang tidak pernah ia bayangkan akan dimasuki olehnya, apalagi dengan seorang lelaki seperti Jovan.Pak Arif benar, lelaki ini bukan orang sembarangan. Tapi siapa sebenarnya dia?Mereka berjalan melewati lobi, dan setiap langkah terasa
Jovan berdiri di depan rumah Pak Arif, jantungnya berdetak kencang. Lampu teras menyala redup, menyisakan bayangan samar di balik jendela. Sial. Gue beneran di sini.Pintu depan setengah terbuka, seperti sudah menunggunya.Dia melangkah masuk dengan ragu, melewati ruang tamu yang berbau kayu dan aroma teh hangat. Pak Arif duduk di kursinya, tersenyum tipis seakan sudah tahu Jovan bakal datang lagi.Jovan menghela napas panjang, menenangkan debaran di dadanya. Malam itu terasa begitu aneh, bukan hanya karena dia berdiri di depan rumah Pak Arif dengan perasaan yang bercampur aduk, tapi karena seluruh situasi ini seperti mimpi buruk yang sulit dipahami. Suara motor yang tadi membelah jalan kini senyap, meninggalkan hanya detak jantungnya yang menggema di telinga.Pak Arif masih duduk di kursinya, tersenyum tipis seolah sudah tahu apa yang akan terjadi. Ruangan itu terasa sempit, meski sebenarnya luas dan nyaman. Aroma teh hangat yang biasanya memberi rasa tenang kini terasa membebaninya.
Seminggu telah berlalu dalam kegaulan tingkat dewa.Jovan sedang nongkrong di atas motornya, tepat di depan sebuah mall yang masih ramai meski malam semakin larut. Jaket kulit hitamnya terbuka, memperlihatkan kaus putih polos yang membalut tubuh atletisnya. Sepasang mata tajamnya mengamati lalu lalang orang-orang, sebagian besar adalah pasangan atau geng anak muda yang asik bercanda.Sejumput asap rokok melayang dari bibirnya sebelum ia membuang puntungnya ke aspal dan menginjaknya dengan sepatu boots hitam. Motor sport yang ditungganginya berkilat di bawah lampu jalanan, menarik beberapa lirikan dari cewek-cewek yang lewat. Beberapa bahkan sengaja berjalan lebih lambat saat melewatinya, berharap ditoleh atau sekadar mendapat senyum dari pria yang wajahnya sekeras batu tapi pesonanya susah ditolak.Tapi malam ini, Jovan tidak sedang tertarik main mata. Kepalanya masih penuh dengan kejadian absurd beberapa jam lalu. Tawaran gila dari Pak Arif masih menggantung di pikirannya."Kenapa hi
Malam di Diskotik.Musik berdentum keras, menggetarkan lantai dengan irama bass yang menggila. Lampu-lampu strobo berkedip dalam warna merah, biru, dan ungu, menciptakan ilusi gerakan yang lebih liar dari kenyataan. Aroma parfum mahal bercampur alkohol memenuhi udara, melebur dengan tawa-tawa hingar-bingar dan obrolan setengah berteriak dari meja-meja VIP.Jovan duduk di salah satu sofa kulit berwarna hitam, minuman di tangannya hanya sekadar properti. Ia tidak benar-benar berniat menikmatinya. Di sekelilingnya, wanita-wanita kelas atas dengan gaun ketat yang memperlihatkan bahu atau belahan dada sibuk menari, tertawa, dan sesekali mencuri kesempatan untuk menyentuhnya."Jovan, sejak kapan lu jadi alim?" tanya seorang pria di sebelahnya, Reno, teman lamanya yang sudah terlalu akrab dengan dunia malam. "Dulu lu raja tempat ini, sekarang malah lebih banyak bengong."Jovan hanya menanggapi dengan senyum tipis.Seorang wanita dengan gaun merah darah mendekat, duduk tanpa diundang di pangk
Begitu ia melangkah ke dalam, suara batuk kecil menyambutnya. Pak Arif duduk di sofa dengan ekspresi yang sulit ditebak. Pria itu menatapnya dengan senyum tipis—sebuah senyum yang terasa… misterius."Ah, Mas Jovan," sapanya santai. "Saya tahu kamu pasti datang lagi."Jovan berusaha tetap tenang, meskipun perutnya terasa sedikit mual mengingat percakapan absurd mereka kemarin."Pak, saya cuma mampir sebentar," katanya, sengaja memperjelas bahwa ia tidak berencana berlama-lama.Tapi Pak Arif justru tersenyum lebih lebar. "Nggak usah buru-buru, Mas. Duduk dulu. Saya lagi pengin ngobrol."Jovan menekan dorongan untuk menghela napas keras. Vena, yang tampaknya tidak menyadari ketegangan aneh di antara mereka, langsung pergi ke dapur, meninggalkan dua pria itu dalam ruang tamu yang terasa semakin sesak.Pak Arif mendekat sedikit. Suaranya merendah, tapi penuh tekanan. "Jadi, Mas Jovan… sudah dipikirkan?"Jovan menutup mata sebentar. "Pak… saya nggak mau ngomongin itu lagi."Pak Arif hanya t