Share

5) Terong Panggang

Author: NDRA IRAWAN
last update Huling Na-update: 2025-03-14 21:51:07

Suasana siang terasa hangat di bawah rindangnya pepohonan di halaman belakang rumah Jovan. Suasana semakin hidup seiring aroma terong panggang yang menggoda tersebar, menggelitik indra penciuman para tamu.

Meja panjang kayu rustic dipenuhi hidangan, sementara di depan panggangan, Jovan tampak sibuk dengan celemek hitam yang melingkar di pinggang, membolak-balik terong yang mulai matang.

Di sekitarnya, ibu-ibu peserta pelatihan duduk santai sambil melemparkan godaan dan tawa riang. Melia, yang sejak tadi ikut bergabung, tak bisa menahan senyumnya.

“Wah, Mas Jo ini selain jago bercocok tanam, ternyata jago masak juga, ya! Siapa nanti yang beruntung jadi pendampingnya?”

Jovan hanya menoleh sambil tersenyum hangat, sembari mengipasi panggangan. "Wah, Bu Melia bisa saja. Yang penting, semua kebagian terong panggang spesial saya dulu, ya."

Tawa dan sorakan pun memenuhi suasana, namun di balik keceriaan itu, Melia terdiam sejenak. Ia tak bisa mengelak dari perasaan aneh yang tiba-tiba menyergapnya. Entah kenapa, dalam sosok Jovan—cara ia tersenyum, gerak-geriknya yang tenang namun penuh percaya diri—terlihat sekilas bayangan Jordi.

Meski secara fisik mereka berbeda, ada aura yang mengingatkannya pada pria yang pernah ia cintai. Hobi bersepeda, joging, ketrampilan tangan yang cekatan, dan sikap lembut namun tegas Jovan menciptakan kesamaan yang tak bisa diabaikan. Perasaan itu berdesir, seolah membangkitkan kenangan lama yang selama ini ia coba pendam.

Namun, Melia hanya bisa tersenyum tipis, menyembunyikan debaran di dadanya yang tiba-tiba bergejolak. Hari itu, di tengah keramaian, ia merasakan sepotong kenangan hadir kembali.

"Ih, spesial buat siapa, Mas? Jangan PHP, lho!" celetuk Bu Elin yang sejak tadi sibuk mengambil foto untuk diunggah ke grup WA kompleks.

Bu Elin, yang dikenal paling usil, mendekat sambil menyenggol Bu Wati. "Duh, lihat tuh terong Mas Jo. Besar, panjang, warnanya ungu kecoklatan mulus. Kayaknya enak banget..."

Bu Wati pura-pura kaget lalu menutupi mulutnya dengan kipas. "Bu Elin! Astaghfirullah... Saya kira ngomongin yang lain tadi!"

Bu Elin langsung tertawa. "Yaelah, emang ngomongin apa? Terong panggang, kan?"

Tawa meledak, membuat suasana makin hidup. Jovan hanya bisa geleng-geleng sambil menahan senyum, melanjutkan memasak tanpa ambil pusing dengan obrolan nyerempet emak-emak.

Di sudut taman, Mang Asep dan Bi Titin—pasangan suami-istri yang sudah bertahun-tahun bekerja di rumah Jovan—ikut menikmati suasana. Bi Titin sibuk menyusun piring dan memastikan semua ibu-ibu kebagian makanan, sementara Mang Asep yang berperawakan sedikit bungkuk hanya tersenyum melihat majikannya jadi pusat perhatian.

"Nah, Tin, kita mah mending diem aja di sini. Daripada ntar kena semprot sama bapak-bapak kompleks," celetuk Mang Asep setengah bercanda.

Bi Titin terkikik, lalu menepuk lengan suaminya. "Ah, bapak mah. Udah biasa juga, si Mas Jo kan emang kesayangan emak-emak."

Di sisi lain, Rizal, pemuda tampan berusia 23 tahun yang bekerja sebagai seksi sibuk di acara ini, justru punya kesibukan lain. Dengan jeans ketat dan kaos oblongnya yang pas di badan, dia lebih sibuk menggoda emak-emak dibanding membantu juragannya.

"Bu RT, Pak RT ke mana nih? Kok tenang banget ngobrol sama saya?" godanya sambil menyengir jahil.

Bu RT langsung menepuk lengan Rizal sambil pura-pura kesal. "Ah, kamu ini! Ada aja ya omongannya. Udah, mending bantuin Mas Jo sana. Jangan kebanyakan modusin emak-emak!"

"Hadeuh, saya mah lebih suka nemenin ibu-ibu yang cantik-cantik begini. Nemenin Mas Jo? Nanti saya kebanting dong!" Rizal mengedipkan mata jahil, membuat Melia dan Bu Elin tertawa terbahak-bahak.

Hari semakin sore, tapi suasana justru makin seru. Jovan yang awalnya hanya memasak, akhirnya ikut terseret dalam sesi kuis receh yang disiapkan Bu Elin.

"Pertanyaan pertama, Mas Jo. Kalau ada ibu-ibu yang sering banget nanya 'Mas Jo kapan nikah?', kira-kira harus dijawab apa?"

Seisi kebun langsung ribut.

Jovan mengusap tengkuknya, tersenyum miring. "Jawabnya gampang, Bu. Saya masih cari yang jago masak terong lebih enak dari saya!"

"Oooohhh, gitu!" sahut Bu RT dengan nada menggoda. "Tapi kalau saya nggak bisa masak, boleh nggak langsung makan lalap yang mentah atau yang sudah jadi masakan?"

"Aduh, Bu RT! Berani banget ngomongin dimakan mentah, depan suami lagi!" ujar Bu Wati pura-pura kaget.

"Lah, suami saya kan di rumah, nggak di sini. Aman!"

Seisi kebun tertawa sambil bertepuk tangan.

Jovan melepas celemeknya setelah memastikan semua hidangan panggangan tersaji dengan sempurna. Aroma terong bakar yang bercampur bumbu khas memenuhi udara, membuat para tamu yang kebanyakan ibu-ibu kompleks semakin lahap menyantap hidangan.

Namun, saat celemeknya terlepas, suasana mendadak terasa berbeda. Celana jeans yang dikenakan Jovan sedikit lebih ketat dari biasanya, menonjolkan posturnya yang tegap dan atletis. Beberapa ibu menelan ludah tanpa sadar, berpura-pura sibuk mengunyah makanan atau menyeruput minuman untuk mengalihkan perhatian.

Bu RT tiba-tiba meletakkan gelasnya dan berdeham kecil. “Ehm... Mas Jo, boleh saya numpang ke kamar mandi sebentar?” tanyanya dengan suara datar, tapi ada sedikit nada yang sulit ditebak di sana.

Jovan tersenyum santai. “Oh, tentu, Bu RT. Lewat pintu dapur aja.” Jawabnya ramah. “Rizal, tolong anter Bu RT ke kamar mandi,” lanjutnya agak berteriak.

“Siap, Boss!” jawab Rizal sigap, lantas menyusul Bu RT yang sudah mendekati pintu dapur.

Rizal tertawa kecil sambil melirik Mang Asep. "Mang, kayaknya saya perlu belajar sama Mas Jo, nih. Auranya beda, emak-emak sampai keringetan."

Mang Asep hanya terkekeh sambil mengunyah bakwan. "Ah, kamu mah, Zal. Kurang pengalaman!"

Para ibu saling melirik, sebagian menahan senyum, sebagian lagi sibuk berusaha tetap fokus pada hidangan.

Jovanya Mahendra, 38 tahun, pria lajang dengan wajah tampan dan karisma yang memancar. Ia menjalani dua kehidupan: sebagai petani sederhana di satu sisi dan sosok penuh misteri di sisi lainnya. Jovan bukan hanya sekadar pria tampan yang disukai banyak wanita. Ia adalah teka-teki yang jawabannya hanya bisa ditemukan oleh mereka yang cukup berani untuk mencari.

Saat suasana mulai mereda dan sebagian ibu-ibu sudah pulang, Umi Zainab tetap duduk dengan anggun di sudut taman, menyesap teh hangatnya. Jovan yang sedang merapikan sisa-sisa hidangan mendekatinya, tersenyum ramah.

“Umi, masih betah ya?” tanyanya santai.

Umi Zainab mengangguk kecil, meletakkan cangkirnya. “Masih betah di sini, suasananya nyaman,” jawabnya dengan suara lembut.

Jovan mengangguk, mengambil tempat di sampingnya. Namun, sebelum ia sempat membuka pembicaraan, Umi Zainab sudah mencondongkan tubuhnya sedikit.

“Mas Jo,” ujarnya pelan. “Saya penasaran… kok terong-terong di sini bisa lebih besar dan panjang dibanding di kebun saya?”

Jovan nyaris tersedak oleh pertanyaan itu. Sekilas, Umi Zainab tetap terlihat tenang dengan wajah teduhnya, tapi tatapannya sesekali melirik ke dada bidang Jovan yang hanya berbalut kaos ketat usai melepas celemek.

“Ehm…” Jovan berdeham, berusaha tetap tenang. “Mungkin karena jenis bibitnya, Umi. Atau bisa juga karena perawatannya. Umi sering siram terongnya pagi dan sore?”

Umi Zainab menatapnya sejenak sebelum tersenyum samar. “Sering sih… tapi mungkin saya kurang telaten merawatnya seperti Mas Jo. Malah cepat layu kalau sudah dipetik.”

Jovan menggaruk tengkuknya, merasa ada sesuatu dalam percakapan ini yang membuatnya sedikit waspada.

“Mungkin Umi bisa coba pupuk cair yang saya pakai,” ujarnya menawarkan solusi.

Umi Zainab mengangguk pelan, lalu kembali menyesap tehnya. “Kalau Mas Jo ada waktu… mungkin bisa main ke rumah, lihat langsung kebun saya, kasih saran biar terong saya buahnya bisa lebih panjang dan besar, juga tidak mudah layu?”

Jovan hampir saja menjatuhkan sendok yang dipegangnya. Ia tahu ini hanya tentang berkebun… atau mungkin tidak? Senyum Umi Zainab tetap lembut, tapi sorot matanya sulit ditebak.

Setelah semua ibu-ibu pulang, meninggalkan meja panjang yang kini hanya tersisa piring-piring kosong dan sisa tumpahan keju panggang, Jovan dan Rizal akhirnya bisa menarik napas lega. Mereka duduk di bangku kayu di sudut halaman belakang, ditemani segelas es teh yang tinggal separuh.

Rizal, yang tak kalah kekar dari Jovan, menyandarkan punggungnya dengan santai. Ia mengenakan kaus ketat dan jeans yang selalu sukses mencuri perhatian emak-emak sekompleks, terutama yang doyan cuci mata.

"Bang," Rizal membuka percakapan dengan nada geli, "saya nggak nyangka acara bakar-bakar ini bakal sepanas itu."

Jovan terkekeh, mengambil handuk kecil untuk mengusap keringat di lehernya. "Maksud lu panas apanya? Panggangannya atau obrolan emak-emak?"

"Ya dua-duanya!" Rizal mendesah dramatis. "Tapi jujur, obrolan mereka tentang terong tuh... bikin saya agak keringetan sih. Udah kayak kode keras yang terselubung."

Jovan tertawa, mengingat bagaimana sepanjang acara tadi, ibu-ibu selalu nyerempet ke arah yang ambigu setiap kali membahas terong. Apalagi Bu Elin yang terus mengomentari ukuran dan kelembutan terong panggang yang mereka buat.

“Parah sih, saya sampai bingung mau nanggepin gimana,” lanjut Rizal. "Apalagi pas Umi Zainab mulai nanya soal terong kebunnya yang kalah gede dan mudah layu, apa coba maksudnya?"

Jovan menghela napas sambil mengusap wajahnya.

"Kita sih tahu dia guru ngaji, tapi tadi... matanya jelas-jelas main ke mana-mana, Bang," Rizal menambahkan dengan cengiran jahil.

Jovan hanya bisa menggeleng, mencengkeram gelasnya seakan butuh pegangan. "Astaghfirullah, Zal. Jangan su’uzon."

Rizal mengangkat kedua tangannya, pura-pura membela diri. "Lah, saya kan cuma observasi, Bang. Lagian, abang sendiri yang ngerasain langsung kan?"

Jovan menghela napas panjang, lalu meneguk sisa es tehnya. “Pelatihan budidaya terong ini niatnya buat bantu perekonomian warga, tapi kenapa kayaknya malah jadi ajang emak-emak ngetes mental kita ya?”

Rizal tergelak. "Abang kira saya kenapa semangat ikut? Ya hiburan, Bang!"

Jovan meliriknya curiga. “Zal, perasaan tadi lu nganter Bu RT ke kamar mandi lama banget. Emang ke kamar mandi mana sih? Di dalam kan cuma ada dua, deket-deket lagi.”

“Hufff!” Rizal hanya terbelalak menatap Jovan, tanpa menjawab pasti.

“Dasar, pencuri kesempatan!” sergah Jovan sambil menggelengkan kepala, sementara Rizal kembali tertawa sumir.

Di tengah kesunyian senja yang mulai turun, keduanya sadar bahwa acara bakar terong ini bukan sekadar kegiatan syukuran atas keberhasilan tim pelatihan biasa. Di balik kebun, dapur, dan kamar mandi, ada perang batin dan kode-kode terselubung yang harus mereka hadapi dengan hati-hati.

*^*

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Kaugnay na kabanata

  • Hasrat Bukan Menantu Idaman   6) Penolakan Tania

    Bu Intan duduk di ruang tengah rumahnya yang luas, tetapi terasa begitu sepi. Jemarinya mengetuk-ngetuk gelas jus jeruk di atas meja, sementara pikirannya melayang ke pertemuan dengan Jovan di gala dinner seminggu yang lalu.Pria itu… sudah jauh berbeda. Bukan lagi lelaki sederhana yang dulu ia hina habis-habisan, tetapi seorang miliarder yang tampil begitu berwibawa. Bu Intan sudah banyak mengumpulkan data dari beberapa koleganya. Sebagai istri pejabat di kementrian, tentu saja hal itu bukan perkara susah.Dan selama satu minggu ini, hatinya masih berdebar saat mengingat tatapan tajam Jovan, senyum miringnya, dan caranya menggoda seolah membalas semua perlakuan kejamnya dulu. Bu Intan tidak bisa menyangkal bahwa ada sesuatu dalam dirinya yang bergelora.Rasa bersalah, penyesalan dan yang mendominasinya justru ketertarikan. Hasrat yang sudah lama dia kubur dalam-dalam, mulai kembali bangkit dan mengganggunya. Dan dengan keraguan, ia meraih ponselnya dan menekan nomor Tania, putrinya.B

    Huling Na-update : 2025-03-24
  • Hasrat Bukan Menantu Idaman   7) Pertemuan Kedua

    Jovan masih duduk di dalam mobilnya, tangannya menggenggam kemudi dengan erat, matanya tak lepas dari sosok anggun di dalam restoran, mantan mertuanya.Sudah sejak tadi ia melihat Bu Intan, duduk sendirian, gelisah, sesekali melirik ponselnya, mungkin menunggu pesan darinya. Namun, hatinya masih diselimuti keraguan yang terlalu pekat.Lima tahun lalu, ia bukan siapa-siapa. Seorang pria dengan mimpi besar namun tanpa nama, tanpa harta. Dan Bu Intan—wanita yang kini tampak anggun dalam gaun marunnya—pernah menjadi bagian dari kepedihannya. Ia mengingat bagaimana ibu mertuanya, dengan wajah dingin dan lidah tajam, selalu merendahkannya di depan keluarganya sendiri.Kata-kata itu masih terpatri jelas dalam ingatannya, menghantam harga dirinya seperti badai. Penghinaan itu bukan sekadar luka biasa, tapi luka yang mencabik-cabik harga dirinya sebagai seorang suami sekaligus seorang ayah untuk dua anaknya.Dalam satu malam, ia kehilangan semuanya—istri yang ia cintai, kedua anaknya, bahkan h

    Huling Na-update : 2025-03-24
  • Hasrat Bukan Menantu Idaman   8) Rasa Membara

    Ketika mereka sampai di halaman rumah Bu Intan, wanita itu turun lebih dulu. Jovan mengikuti dengan santai, tangannya dimasukkan ke dalam saku celana, menatap rumah mewah yang pernah menjadi saksi penderitaannya lima tahun lalu."Kamu tidak harus masuk kalau tak ingin," kata Bu Intan lembut.Jovan tertawa kecil. "Aku justru ingin masuk."Bu Intan terdiam sejenak, lalu membalikkan badan, berjalan lebih dulu menuju pintu. Begitu mereka masuk, suasana rumah itu terasa terlalu tenang, terlalu luas untuk ditinggali seorang diri.Jovan menatap sekeliling. "Dulu, rumah ini terasa lebih ramai," katanya, nadanya terdengar lebih seperti sindiran.Bu Intan melangkah ke meja bar kecil di sudut ruangan, menuangkan dua gelas minuman, lalu menyerahkan salah satunya pada Jovan. "Sekarang hanya ada aku di sini," katanya pelan.Jovan menerima gelas itu, tetapi tidak langsung meminumnya. Ia justru melangkah lebih dekat, menatap Bu Intan dengan sorot mata yang sulit ditebak."Lalu, apa yang sebenarnya ka

    Huling Na-update : 2025-03-24
  • Hasrat Bukan Menantu Idaman   9) Sang Jagoan

    Jovan masih menyunggingkan senyum penuh kemenangan. Di balik kemudi, ia merogoh saku, mengambil rokok, lalu menyalakannya dengan gerakan santai. Asap tipis mengepul di udara malam yang mulai dingin.Rizal di kursi penumpang ikut terkekeh, menyalakan rokoknya sendiri. "Gila, Bang. Saya nunggu di ujung jalan sambil nahan ketawa. Udah bisa nebak endingnya."Jovan menghembuskan asap, lalu melirik Rizal dengan seringai nakal. "Endingnya bisa beda jauh kalau lu telat dua menit aja nelpon gue."Mereka kembali tertawa. Mobil melaju pelan menembus malam, melewati jalanan kota yang mulai lengang. Lampu-lampu jalan berpendar temaram, menciptakan bayangan panjang di trotoar."Tapi abang puas, kan?" Rizal kembali bertanya, kali ini dengan nada lebih serius.Jovan diam sejenak, pandangannya menerawang ke jalanan yang terbentang di depan. "Gue nggak tahu, Zal."Rizal melirik Jovan, penasaran dengan perubahan ekspresi bosnya.Jovan menghela napas, membuang sisa rokoknya keluar jendela. "Gue kira baka

    Huling Na-update : 2025-03-24
  • Hasrat Bukan Menantu Idaman   10) Istri Pejabat (1)

    Malam itu, sesuai petunjuk dari salah seorang ajudan Pak Sony, seorang pejabatn di Kementrian Pertanian Jovan tiba di sebuah vila yang berdiri megah di tengah alam. Kesepakatan rahasia yang sudah mereka putuskan saat gala diner seminggu yang lalu.Namanya ‘Vila Sony’, berupa rumah panggung yang elegan, memancarkan kesan mewah sekaligus alami. Dinding kayu jati tua yang mengilap oleh waktu berdiri kokoh di atas tiang-tiang setinggi satu meter, membawa kesan kekuatan dan keanggunan yang berpadu sempurna dengan suasana malam.Vila yang terletak di tengah alam terbuka itu seakan menjadi sebuah oase keindahan dan kedamaian. Meski tidak besar, bangunan ini memberikan kesan lapang dan terbuka. Dinding-dindingnya tidak penuh, hanya berupa pagar kayu setinggi lutut, yang memberi pandangan langsung ke luar, menyatu dengan alam di sekitarnya.Dari dalam, pandangan Jovan tertuju pada kolam ikan di depan vila, airnya berkilauan di bawah sinar bulan, menambah keindahan malam yang tenang. Ikan-ikan n

    Huling Na-update : 2025-03-27
  • Hasrat Bukan Menantu Idaman   11) Istri Pejabat (2)

    Suasana alami dan terbuka ini membuat semuanya terasa lebih bebas, lebih menggoda, seakan alam pun turut berkonspirasi menghadirkan suasana yang sempurna bagi mereka berdua.Saat Tante Sony kembali dengan teh hangat di tangannya, senyumnya semakin hangat.“Tehnya sudah siap, Jovan,” suara lembut Tante Sony menyusup tenang ke telinga Jovan, memecah lamunannya. Jovan tersenyum tipis, menyembunyikan rasa waspadanya di balik senyum ramah saat menerima cangkir teh hangat dari tangan sang nyonya.Dalam keheningan malam itu, hatinya tetap siaga—ia tahu, malam ini belum berakhir, dan percakapan hangat ini hanyalah pembuka dari sesuatu yang lebih dalam. Mereka terus ngobrol hangat dalam nuansa keakraban yang perlahan-lahan sudah mulai terjalin, tanpa harus membuka identitas masing-masing lebih jauh."Tante nggak kedinginan?" bisik Jovan perlahan, suaranya tenang, seperti menyatu dengan alunan malam di sekitarnya."Enggak," jawab Tante Sony, suaranya lebih lirih, nyaris berbisik. "Ada kamu yang

    Huling Na-update : 2025-03-27
  • Hasrat Bukan Menantu Idaman   12) Istri Pejabat (3)

    Jovan, masih berdiri di bawah sinar rembulan, mulai menggerakkan tubuhnya dengan gerakan kecil namun penuh makna. Otot-ototnya menegang dan mengendur secara bergantian, menonjolkan bentuk tubuh atletisnya. Ia sedikit memutar bahu, lalu mengangkat lengannya perlahan, memamerkan otot bicep yang besar dan kuat seolah sedang mempersiapkan pose seperti seorang binaragawan yang penuh percaya diri.Tante Sony menahan napas ketika Jovan melenturkan otot-otot dadanya. Gerakan itu tampak begitu alami, namun begitu terkontrol, seolah setiap bagian tubuhnya memahami bagaimana menampilkan kekuatan dan keindahan dalam harmoni yang sempurna. Cahaya rembulan yang redup menyorot dengan lembut pada kulitnya yang basah oleh keringat tipis, menambah kilau sensual pada setiap otot yang bergerak.Jovan menoleh, lalu tersenyum tipis, dan perlahan melenturkan otot perutnya, membiarkan lekukan-lekukan tajam itu terlihat jelas di bawah cahaya malam. Tante Sony tidak bisa menahan rasa kagum yang mengalir sepert

    Huling Na-update : 2025-03-27
  • Hasrat Bukan Menantu Idaman   13) Istri Pejabat (4)

    Jovan bangkit dari tidurannya, lalu mengambil dua gelas air dari dispenser, satu untuknya dan satu lagi untuk Tange Pak Sony.“Udah segeran lagi?” tanya Jovan penuh perhatian setelah kembali dari menyimpan gelas kosong bekas mereka minum.Sementara itu Pak Sony terduduk lemas di atas tanah karena rudal kecilnya pun sudah menumpahkan amunisinya, hanya dalam beberapa kali kocokan saja.Jovan berdiri gagah di depan Tante Sony dengan tubuh atletisnya, benda di selangkangannya nampak mencolok luar biasa. Tante Sony membandingkannya dengan pisang ambon terbesar yang pernah dia lihat, atau terong ungu yang sering dia elus-elus, sambil membayangkan kalau punya suaminya sebesar itu.Jantung Tante Sony makin berdebar kencang menyaksikan rudal yang seolah sengaja dibiarkan menunjukan kehebatannya depan wajahnya. Tante Sony bahkan seperti terhipnotis, merasakan lelaki yang berdiri di depannya adalah seseorang yang tidak bisa dia sangkal, sangat menarik, lembut, sopan dan profesional.Jovan membun

    Huling Na-update : 2025-03-27

Pinakabagong kabanata

  • Hasrat Bukan Menantu Idaman   50) Perubahan Besar (7)

    “Baiklah, jika itu keinginan Bapak-bapak, saya siap memenuhinya,” balas Bu Intan sigap.Dia berpikir dua bandot di depannya tidak akan jauh berbeda dengan suaminya. Lelaki-lelaki tua berperut buncit, berwajah mesum yang ada di depannya hanya besar nafsu dan keinginannya, sementara stamina dan tenaganya sudah pasti sangat kurang. Hanya dalam beberapa menit saja mereka akan langsung menyerah kalah.Pak Hanif dan Pak Gunarsa tersenyum senang mendengar perkataan Bu Intan. Mereka berpikir istri dosen ini telah menyetujui persyaratan itu dan akan segera mengajaknya pergi ke sebuah hotel secara besama-sama.“Nah, ginikan lebih mudah dan lebih baik Bu. Kami pun tidak usah lagi menseleksi perusahaan-perusahaan lain untuk proyek ini. Dokumen ini akan segera kami serahkan setelah kita selesai melengkapi kekurangannya.” Kembali Pak Hanif bicara ambigu yang entah mengapa orang-orang seperti dia senangnya berbelit-belit.Tanpa mempedulikan ucapan Pak Hanif, Bu Intan pun segera menghampiri dua tamu

  • Hasrat Bukan Menantu Idaman   49) Perubahan Besar (6)

    “Pak Han, kami sangat mengerti dan akan memenuhi persyaratan itu seperti yang biasa suami saya lakukan. Percayalah, semuanya tidak akan berubah, sesuai yang telah dijalankan oleh suami saya selama ini,” ucap Bu Intan dengan tenang dan berwibawa.“Oh bagus. Kami sangat bersyukur kalau Ibu sudah mengerti dan tahu tentang itu, bagus, sangat bagus.”“Ya terima kasih, Pak. Lantas apa yang harus saya lakukan sekarang?”“Hmmm, begini Bu. Kali ini sepertinya kita akan menemukan sedikit masalah, karena adanya kekurangan-kekurangan yang perlu segera ibu ketahui sekaligus dilengkapi, agar tidak menimbulkan permasalahan yang cukup pelik dalam proses selanjutnya,” timpal Pak Hanif.“Kekurangan dan masalah apa, kalau boleh saya tahu, Pak? Mungkin saya bisa membantu memperbaiki atau melengkapinya sekarang juga.” Bu Intan menjawab tegas dan masih dengan senyum manisnya, walau dadanya mulai sedikit bergemuruh karena muak yang ditahan.“Gak banyak sih Bu, kekurangannya hanya satu, dan kebetulan kekuara

  • Hasrat Bukan Menantu Idaman   48) Perubahan Besar (5)

    Bu Intan mencondongkan tubuhnya ke depan, meletakkan dagunya di telapak tangan dengan tatapan menggoda. "Beneran nih? Jangan PHP-in Tante, loh."Seorang pemuda dengan kaos hitam tertawa sambil mengusap tengkuknya. "Masa iya kita bohong? Justru seru kalau Tante ikut. Bisa ngerasain sensasi tidur di bawah bintang, dengerin suara alam, dan… siapa tahu ada tantangan seru juga."Bu Intan terkikik kecil, membayangkan betapa serunya pengalaman itu. Tapi sebelum sempat berandai-andai lebih jauh, salah satu dari mereka tiba-tiba menyenggol lengannya dan berbisik, "Tapi kita bukan cuma pecinta alam, Tante. Kita juga suka balapan liar!"Mata Bu Intan langsung berbinar lebih terang. Kenangan saat bersama Rizal, merasakan sensasi berboncengan motor keliling kota, angin malam yang menampar wajahnya, tiba-tiba menyeruak di pikirannya."Serius? Kalian anak-anak jalanan juga, nih?" tanyanya dengan nada penuh minat.Mereka tertawa. "Nggak juga, Tante. Cuma sekadar hobi. Nggak setiap hari, tapi kalau lag

  • Hasrat Bukan Menantu Idaman   47) Perubahan Besar (4)

    Seminggu telah berlalu sejak kepergian Dave, namun jejak kebersamaan empat hari dengannya masih begitu membekas di hati dan pikirannya.Seperti ombak yang terus menghempas pantai tanpa henti, gairah dalam diri Bu Intan kini bergelora tanpa bisa dikendalikan. Ada sesuatu dalam dirinya yang telah terbangun—sesuatu yang tak bisa ia redam, meskipun ia mencoba.Setiap sudut rumah terasa berbeda, bukan karena ada yang berubah secara fisik, melainkan karena dirinya sendiri yang kini tak lagi sama. Dulu, ia bisa dengan mudah mengabaikan kehampaan dalam rumah tangganya. Namun kini, sentuhan suaminya terasa asing, bahkan dingin. Keberadaan Pak Winata di sampingnya tak lagi membawa kehangatan, justru semakin menegaskan betapa kosongnya hubungan mereka.Malam-malamnya kini terasa panjang dan sepi. Tubuhnya mungkin berbaring di sisi suaminya, tetapi pikirannya melayang jauh, kembali ke malam-malam ketika Dave masih ada di sini. Ia terjaga hingga larut, hatinya berdebar, hasratnya menggelora, namun

  • Hasrat Bukan Menantu Idaman   46) Perubahan Besar (3)

    Pak Winata masih tertidur dengan lelapnya. Bu Intan masih belum merasa lengkap bila tidak merasakan rudal Dave yang mempunyai ukuran luar biasa tersebut, tapi dia juga sedikit khawatir bila ia teruskan permainannya di kamar tidurnya ini akan membuat suaminya bangun karena mendengar rintihan-rintihan dan erangan-erangannya.Bu Intan kemudian mengajak Dave untuk keluar dari kamar tidurnya. Mereka beranjak dari kamar tidur tersebut dengan setengah telanjang, tidak lupa untuk membawa pakaian mereka yang sudah terlepas.Di ruangan keluarga kembali Bu Intan mencumbu Dave dengan penuh nafsu, Bu Intan mulai mendorong Dave untuk duduk di sofa, ia pun kemudian bersujud di hadapan Dave.Dengan penuh nafsu rudal Dave yang setengah bangun mulai dikulum dan dijilatinya, Dave mulai mendesah-desah keenakan merasakan kuluman dan jilatan mulut dan lidah Bu Intan di rudalnya.Perlahan-lahan Bu Intan mulai merasakan rudal Dave bangkit dan mulai mengeras, mulut Bu Intan yang mungil tidak cukup untuk mengu

  • Hasrat Bukan Menantu Idaman   45) Perubahan Besar (2)

    Percakapan terus mengalir, diselingi gelak tawa ringan dan sesekali kilatan mata Dave yang mencuri pandang ke arahnya. Botol demi botol dibuka, hingga waktu terasa berlalu begitu saja. Bu Intan memperhatikan wajah suaminya yang mulai memerah. Gerakannya semakin lambat, omongannya mulai melantur.Sementara itu, Dave tampak tetap tenang. Mungkin karena ia terbiasa dengan minuman seperti ini.Jam di dinding telah menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Pak Winata semakin kehilangan kendali. Matanya sudah setengah terpejam, tangannya terkadang bergerak tanpa arah, dan bicaranya semakin tidak jelas.Bu Intan tersenyum kecil, teringat betapa lemahnya suaminya jika sudah berada dalam kondisi seperti ini. Sebuah ide melintas di benaknya—ia tahu betul bagaimana malam ini bisa berakhir.Senyumnya makin lebar.Dave, yang sejak tadi memperhatikan, akhirnya bertanya. “Apa yang membuat Anda tersenyum, Bu Intan?”Bu Intan hanya menoleh sekilas, lalu kembali tersenyum tanpa menjawab.Seperti yang s

  • Hasrat Bukan Menantu Idaman   44) Perubahan Besar (1)

    Bu Intan merasa ada sesuatu yang berbeda dalam hari-harinya sejak pertemuan itu. Kenangan akan Rizal terus membayangi pikirannya, menciptakan getaran aneh di hatinya yang sudah lama tak ia rasakan. Ia sering termenung, mengingat kembali bagaimana Rizal memperlakukannya—santai, nakal, tetapi tetap penuh perhatian.Setiap kali ia mendengar suara motor lewat di depan rumahnya, dadanya berdebar, berharap itu Rizal. Setiap kali notifikasi ponselnya berbunyi, hatinya melompat, hanya untuk kecewa saat mendapati pesan itu bukan darinya.Di sela-sela kesibukannya, ia berkali-kali ingin mengangkat ponselnya, mengetik pesan singkat atau bahkan sekadar menanyakan kabar Rizal. Namun, gengsi menahannya. Bagaimana mungkin ia, seorang istri pejabat yang seharusnya anggun dan berwibawa, justru dirundung rindu pada seorang pemuda kampung sok bergaya kota?Seharusnya dia memang dengan Jovan, bukan Rizal.Bu Intan menatap layar ponselnya dengan kesal. Beberapa kali ia mencoba menghubungi mantan menantuny

  • Hasrat Bukan Menantu Idaman   43) Mantan Mertua Bos (5)

    Setelah mengantar pulang Bu Intan, Rizal menyalakan motornya dan melaju pelan di jalanan yang mulai lengang. Udara malam masih menyisakan kehangatan pertemuan mereka, namun Rizal tahu, dunia tidak berhenti hanya di satu momen saja.Dia tidak langsung pulang ke rumah kebun. Ada kegelisahan yang masih berputar di kepalanya, sesuatu yang belum tuntas. Setelah menimbang-nimbang, akhirnya dia membelokkan motornya ke sebuah warung kopi langganannya.Begitu sampai, Rizal langsung disambut oleh beberapa temannya. Salah satunya, Herman, menepuk bahunya dengan tawa kecil."Tumben malam-malam nongol. Baru dari mana, Lu?"Rizal hanya nyengir, melempar helmnya ke atas meja dan menarik kursi."Biasa, muter-muter nyari angin," jawabnya santai, padahal pikirannya masih terbayang sosok Bu Intan.Herman menyipitkan mata curiga. "Muter-muter nyari angin atau nyari lobang nganggur?" godanya.Rizal hanya terkekeh, memilih menyesap kopinya tanpa menjawab. Dia menikmati suasana warung itu—lampu remang-reman

  • Hasrat Bukan Menantu Idaman   42) Mantan Mertua Bos (4)

    Bibir mereka masih bertaut, lembut namun semakin dalam. Tangan Bu Intan mulai nakal menelusuri selangkangan Rizal, awalnya hanya sentuhan ringan, tapi kini seakan ada tarikan tak kasat mata yang membuat tangannya menggenggam benda keras, besar dan panjang di balik chinos. Dia enggan melepaskan.Rizal merasakan bagaimana tubuh Bu Intan perlahan melemas dalam dekapannya, memberi isyarat tanpa kata bahwa wanita itu telah tenggelam dalam gelombang perasaan yang tak lagi bisa ditahan. Kedua semakin kuat meremasi kedua payudara Bu Intan, ciuman mereka semakin liar.Bu Intan sedikit menghela napas di antara kecupan mereka, merasakan debaran dadanya yang berpacu begitu cepat. Ia bukan lagi seorang wanita muda, namun sentuhan Rizal seakan membangkitkan sisi dirinya yang selama ini terkubur oleh kamuplase dan ambisi tuntutan hidup.Rizal menurunkan ciumannya ke sepanjang garis rahang Bu Intan, meninggalkan jejak kehangatan di kulitnya yang halus. Wanita itu memejamkan mata, membiarkan dirinya l

Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status