Share

4) Rumah Kebun

Author: NDRA IRAWAN
last update Last Updated: 2025-03-14 19:25:29

Bu Intan sudah membayangkan perjalanan ini akan berakhir dengan lebih dari sekadar obrolan basa-basi di dalam mobil. Ia sudah mengatur ritme, menciptakan atmosfer, dan kini Jovan begitu saja menyerahkannya pada seorang sopir?

“Jovan…” Bu Intan mengerjap, nada suaranya tetap anggun, meski ada tekanan halus di dalamnya.

Jovan tersenyum—terlalu manis, terlalu sopan, tapi juga terlalu tajam.

“Ini sudah larut,” ujarnya lembut. “Aku tidak ingin kamu kelelahan.”

Sebuah pukulan halus.

Bu Intan bisa merasakan pandangan beberapa orang yang masih berdiri di sekeliling mereka. Seolah menunggu bagaimana ia akan merespons.

Sekian detik, ia menatap Jovan, mencoba mencari celah. Tapi pria itu sudah terlalu jauh dari genggaman yang ia kira masih bisa ia kendalikan.

Lalu, dengan anggun—seperti seorang ratu yang memilih menerima permainan ini—Bu Intan tersenyum kecil dan mengangguk.

“Baiklah, kalau begitu,” katanya, sebelum melangkah menuju mobil dengan percaya diri, seolah semua masih berada dalam kendalinya.

Tapi di dalam hatinya, ia tahu satu hal.

Jovan bukan lagi pria yang bisa ia perlakukan sesuka hatinya.

Begitu mobil berhenti di depan rumah megahnya, Bu Intan turun dengan gerakan anggun seperti biasanya.

Sebelum Rizal sempat berpamitan, Bu Intan menoleh dan dengan suara lembut namun tegas, berkata, “Rizal, boleh saya minta nomormu?”

Rizal agak terkejut, tapi tetap menjaga sikap. “Oh, tentu, Bu.” Dia segera menyebutkan nomornya, dan Bu Intan mencatatnya dengan tenang di ponselnya.

“Siapa tahu saya butuh bantuan,” katanya sambil tersenyum tipis.

Rizal hanya mengangguk sopan. “Siap, Bu. Kalau ada yang bisa saya bantu, tinggal hubungi aja.”

Bu Intan melangkah masuk ke rumahnya dengan langkah yang tetap anggun, tapi pikirannya berantakan. Begitu tiba di kamarnya yang luas dan mewah, dia melepas perhiasannya satu per satu di depan cermin.

Pantulan dirinya menatap balik—seorang wanita paruh baya yang masih memancarkan pesona, tapi hatinya entah kenapa terasa kosong.

Dia duduk di tepi ranjang, menatap layar ponselnya yang masih terbuka di kontak Rizal. Napasnya berat. Apa yang sebenarnya dia lakukan? Untuk apa meminta nomor sopir travel itu? Untuk apa? Mau pesan mobil?

Bu Intan menyandarkan kepalanya ke bantal, menutup mata. Tapi bukan kantuk yang datang, melainkan perasaan getir yang menggigit. Malam ini dia merasa seperti bukan dirinya sendiri—atau justru, dia mulai menemukan sisi lain yang selama ini dia tekan dalam-dalam.

Begitu Rizal kembali dan duduk di kursi kemudi, Jovan langsung masuk ke dalam mobil. Begitu pintu tertutup, suasana di dalam langsung berubah.

“Gimana, Bro? Lancar?” tanya Jovan sambil melonggarkan dasinya dan melepas jas mahalnya.

Rizal melirik lewat kaca spion tengah, terkekeh kecil. “Lancar, Bang. Tapi kayaknya Bu Intan masih nggak puas.”

Jovan mengangkat alis, lalu tertawa. “Udah gue tebak, orang kayak dia mana mau kehilangan momen.”

Mobil pun mulai melaju, meninggalkan gemerlap pesta di belakang mereka.

Jovan menyandarkan kepala ke sandaran kursi, tangannya dengan santai menepuk dashboard. “Serius gila juga Bu Intan itu.”

“Emang dia siapa sih, Bang?” tanya Rizal dengan nada bercanda.

Jovan mendengus sambil menggeleng. “Hanya tamu undangan yang cari tumpangan.”

Rizal tertawa pendek. “Saya aja sampe nahan ngakak, waktu dia gandeng abang, matanya kelihatan kayak menang lotre.”

Jovan ikut tertawa, kali ini lebih lepas. Di luar, ia bisa tampil anggun, penuh wibawa. Tapi di dalam mobil ini, dengan Rizal yang sudah dia anggap seperti adiknya sendiri, dia bisa menjadi dirinya yang sebenarnya.

“Ya udah, Gas! Laper gue. Cari makan dulu, dah,” ujar Jovan sambil membuka kancing kerahnya.

“Siap, Bang!” Rizal langsung membelokkan mobil, meninggalkan jalan utama menuju tempat makan langganan mereka.

Di bawah cahaya lampu jalan yang temaram, warung pecel lele pinggir jalan itu tetap ramai. Aroma ikan goreng dan sambal terasi bercampur dengan suara kendaraan yang melintas. Jovan dan Rizal duduk di bangku kayu panjang, masing-masing dengan sepiring nasi hangat dan lele goreng berlumur sambal.

“Gokil sih, Bang.” Rizal membuka obrolan sambil meniup nasi panasnya.

“Abang bukan cuma dapat penghargaan, tapi langsung ditarik jadi duta segala. Itu mah bukan naik kelas lagi, tapi nge-cheat!”

Jovan tertawa ringan. “Dibilang cheat juga kagak, ini hasil kerja keras, bro! Tapi iya sih, gue juga kaget waktu Pak Benny ngomong gitu.”

“Terus gimana tuh? Abang harus sering ke luar kota?” tanya Rizal sebelum menyuap sepotong lele ke mulutnya.

Jovan mengangguk. “Iya, gue sama dua orang lain bakal sering diajak buat motivasi petani di berbagai daerah. Kayak duta lah, tapi nggak resmi banget. Cuma ya, waktunya fleksibel, harus siap kapan aja dipanggil.”

Rizal mendengus. “Abang sih makin sibuk. Entar saya yang sering ditinggal kelabakan ngadepin emak-emak di kebon.”

Jovan terkekeh. “Udah resiko lu, bro. Saatnya emak-emak beralih perhatiannya sama lu!”

Mereka kembali makan dalam suasana santai. Sesekali Rizal mengomentari sambal yang pedasnya "nggak kira-kira," sementara Jovan hanya nyengir dan lanjut menyantap makanannya dengan lahap.

“Eh, tadi Pak Benny juga bilang satu hal lagi,” ujar Jovan setelah meneguk teh manisnya.

“Apa tuh?” Rizal melirik penasaran.

“Gue bakal jadi contoh buat petani tingkat kabupaten, terutama bertani terong ungu.”

Rizal menelan makanannya dengan cepat. “Mampus! Jadi abang bakal jadi ‘bapak terong’ di daerah ini?”

Jovan ngakak. “Bego lu! Tapi iya sih, proyek percontohan bakal dimulai dari tempat kita, dengan permodalan dari Deptan.”

Rizal menggeleng-geleng, lalu menepuk pundak Jovan. “Bangga saya punya abang sehebat ini.”

Jovan tersenyum. Malam itu, di warung pecel lele sederhana, mereka makan sambil tertawa—dua sahabat yang saling mendukung, meski dunia di luar sana semakin berubah.

Malam makin larut saat Jovan dan Rizal meninggalkan warung pecel lele, perut kenyang dan hati senang. Mobil melaju santai di jalanan menuju rumah kebun, angin malam masuk lewat jendela yang sedikit dibuka. Lagu lawas dari radio menemani perjalanan, menambah suasana yang adem.

Jovan menyalakan sebatang rokok, lalu menoleh ke Rizal yang fokus menyetir. “Eh, tadi Bu Intan nanya apa aja sama lu?” tanyanya dengan nada santai.

Rizal nyengir sambil tetap memegang kemudi. “Biasalah, Bang. Nanyain abang. Saya sih jawabnya simple aja, ‘Kurang tahu, Bu. Saya kan sopir travel.’ Hahahaha.”

Jovan tertawa lepas. “Good! Lu masih tetap dengan prosedur yang bener.”

Rizal melirik sebentar ke Jovan, masih nyengir. “Iyalah, Bang. Saya mah profesional. Jangan sampe ketahuan kalau lebih tahu banyak dari yang seharusnya. Lagian, kalo saya banyak ngomong, bisa-bisa malah saya yang ditaksir sama Bu Intan. Ngeri, Bang!”

Jovan ngakak. “Hahaha! Mampus lu kalau sampai kejadian!”

Mereka berdua tertawa puas.

Mobil melaju melewati area persawahan yang mulai gelap, hanya diterangi lampu mobil. Rizal mengganti saluran radio, mencari musik yang lebih asik. “Bang, serius nih sama proyek terong ungu?” tanyanya sambil menguap kecil.

Jovan mengangguk. “Serius, lah. Ini kesempatan bagus. Lagian, petani kita butuh contoh nyata kalau usaha keras bisa bikin hidup lebih baik.”

Rizal mengangguk setuju. “Yah, semoga aja sukses, Bang. Saya siap backup kalau butuh bantuan.”

Jovan menepuk bahu Rizal. “Mantap! Makanya, jangan cuma jadi sopir travel doang, lu harus naik level juga, hahahahaha.”

Rizal ikut ngakak, ingat Bu Intan yang dibohongi.

Malam semakin larut, tapi obrolan mereka masih asik. Perjalanan pulang ini bukan sekadar perjalanan biasa—ini perjalanan menuju kehidupan baru bagi Jovan, dan mungkin, bagi orang-orang di sekitarnya juga.

Mobil terus melaju, angin malam berhembus masuk lewat jendela yang sedikit terbuka. Jovan menghembuskan asap rokoknya ke luar, matanya menerawang ke jalanan sepi di depan.

“Oh iya, Zal. Besok lu cari pegawai lagi, buat ngegarap lahan yang lain,” katanya tiba-tiba. “Buat percontohan terong. Yang udah ada kita biarin aja, hanya butuh lebih diperhatikan. Tapi kita juga mesti buat yang mulai dari penyemaian, pembibitan, dan sebagainya.”

Rizal mengangguk mantap. “Siap, Bos! Saya besok langsung gerak. Mau cari yang model gimana, Bang? Anak-anak muda kampung kita atau yang udah pengalaman?”

Jovan berpikir sejenak, lalu menjawab, “Ambil yang campur. Yang muda biar belajar, yang senior buat ngebimbing.”

Rizal menyeringai. “Wih, cakep! Sekalian ngajarin anak muda buat cinta pertanian, ya?”

Jovan menepuk bahu Rizal dengan tawa kecil. “Ya, hitung-hitung kita bikin regenerasi. Nggak selamanya kita yang megang cangkul, Zal.”

Rizal tertawa. “Iya, Bang. Tapi jujur, saya masih nggak nyangka aja. Abang yang dulu sempat terpuruk entah karena apa, sekarang jadi orang penting di dunia pertanian. Keren, Bang.”

Jovan tersenyum samar, menatap jalanan dengan tatapan tajam. “Dunia itu berputar, Zal. Yang dulu di bawah bisa naik ke atas. Yang penting kita nggak lupa daratan.”

Rizal mengangguk, lalu memutar volume radio sedikit lebih keras. “Kalau gitu, besok kita mulai kerja lebih gila lagi, Bang!”

Jovan tertawa. “Mantap! Gaspol!”

Malam semakin larut, tapi semangat mereka justru semakin membara.

Rumah kebun Jovan berdiri anggun di perbukitan terpencil, menawarkan ketenangan dan kenyamanan. Udara sejuk berpadu dengan aroma tanah basah dan dedaunan hijau, menciptakan suasana asri yang menenangkan.

Bergaya tradisional dua lantai, rumah ini memadukan nuansa klasik dan modern. Dinding kayu jati kokoh dengan ukiran sederhana berpadu dengan atap genteng tanah liat yang hangat. Beranda luas mengelilingi lantai satu, tempat sempurna menikmati hamparan hijau sejauh mata memandang.

Di sekelilingnya, kebun sayur tumbuh subur, didominasi terong ungu, cabai merah, tomat, dan sawi hijau. Jalur batu alam menghubungkan rumah dengan petak kebun herbal, seperti kemangi dan daun bawang. Tak jauh dari sana, beberapa kolam ikan berisi lele, nila, dan ikan emas menjadi daya tarik tersendiri, dengan gemericik air pancuran kecil yang menambah ketenangan.

Meski alami, rumah ini tetap modern dengan WiFi cepat, CCTV, dan perabotan ergonomis. Balkon lantai dua menghadap ke bukit, menjadi tempat favorit Jovan untuk menulis dan merenung.

Saat malam tiba, cahaya lampu temaram berpadu dengan suara jangkrik dan kodok dari tepi kolam, menciptakan suasana damai yang jauh dari hiruk-pikuk kota. Di sini, Jovan menemukan kebebasan untuk bermimpi dan membangun kembali hidupnya.

^*^

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Hasrat Bukan Menantu Idaman   5) Terong Panggang

    Suasana siang terasa hangat di bawah rindangnya pepohonan di halaman belakang rumah Jovan. Suasana semakin hidup seiring aroma terong panggang yang menggoda tersebar, menggelitik indra penciuman para tamu.Meja panjang kayu rustic dipenuhi hidangan, sementara di depan panggangan, Jovan tampak sibuk dengan celemek hitam yang melingkar di pinggang, membolak-balik terong yang mulai matang.Di sekitarnya, ibu-ibu peserta pelatihan duduk santai sambil melemparkan godaan dan tawa riang. Melia, yang sejak tadi ikut bergabung, tak bisa menahan senyumnya.“Wah, Mas Jo ini selain jago bercocok tanam, ternyata jago masak juga, ya! Siapa nanti yang beruntung jadi pendampingnya?”Jovan hanya menoleh sambil tersenyum hangat, sembari mengipasi panggangan. "Wah, Bu Melia bisa saja. Yang penting, semua kebagian terong panggang spesial saya dulu, ya."Tawa dan sorakan pun memenuhi suasana, namun di balik keceriaan itu, Melia terdiam sejenak. Ia tak bisa mengelak dari perasaan aneh yang tiba-tiba menyer

    Last Updated : 2025-03-14
  • Hasrat Bukan Menantu Idaman   6) Penolakan Tania

    Bu Intan duduk di ruang tengah rumahnya yang luas, tetapi terasa begitu sepi. Jemarinya mengetuk-ngetuk gelas jus jeruk di atas meja, sementara pikirannya melayang ke pertemuan dengan Jovan di gala dinner seminggu yang lalu.Pria itu… sudah jauh berbeda. Bukan lagi lelaki sederhana yang dulu ia hina habis-habisan, tetapi seorang miliarder yang tampil begitu berwibawa. Bu Intan sudah banyak mengumpulkan data dari beberapa koleganya. Sebagai istri pejabat di kementrian, tentu saja hal itu bukan perkara susah.Dan selama satu minggu ini, hatinya masih berdebar saat mengingat tatapan tajam Jovan, senyum miringnya, dan caranya menggoda seolah membalas semua perlakuan kejamnya dulu. Bu Intan tidak bisa menyangkal bahwa ada sesuatu dalam dirinya yang bergelora.Rasa bersalah, penyesalan dan yang mendominasinya justru ketertarikan. Hasrat yang sudah lama dia kubur dalam-dalam, mulai kembali bangkit dan mengganggunya. Dan dengan keraguan, ia meraih ponselnya dan menekan nomor Tania, putrinya.B

    Last Updated : 2025-03-24
  • Hasrat Bukan Menantu Idaman   7) Pertemuan Kedua

    Jovan masih duduk di dalam mobilnya, tangannya menggenggam kemudi dengan erat, matanya tak lepas dari sosok anggun di dalam restoran, mantan mertuanya.Sudah sejak tadi ia melihat Bu Intan, duduk sendirian, gelisah, sesekali melirik ponselnya, mungkin menunggu pesan darinya. Namun, hatinya masih diselimuti keraguan yang terlalu pekat.Lima tahun lalu, ia bukan siapa-siapa. Seorang pria dengan mimpi besar namun tanpa nama, tanpa harta. Dan Bu Intan—wanita yang kini tampak anggun dalam gaun marunnya—pernah menjadi bagian dari kepedihannya. Ia mengingat bagaimana ibu mertuanya, dengan wajah dingin dan lidah tajam, selalu merendahkannya di depan keluarganya sendiri.Kata-kata itu masih terpatri jelas dalam ingatannya, menghantam harga dirinya seperti badai. Penghinaan itu bukan sekadar luka biasa, tapi luka yang mencabik-cabik harga dirinya sebagai seorang suami sekaligus seorang ayah untuk dua anaknya.Dalam satu malam, ia kehilangan semuanya—istri yang ia cintai, kedua anaknya, bahkan h

    Last Updated : 2025-03-24
  • Hasrat Bukan Menantu Idaman   8) Rasa Membara

    Ketika mereka sampai di halaman rumah Bu Intan, wanita itu turun lebih dulu. Jovan mengikuti dengan santai, tangannya dimasukkan ke dalam saku celana, menatap rumah mewah yang pernah menjadi saksi penderitaannya lima tahun lalu."Kamu tidak harus masuk kalau tak ingin," kata Bu Intan lembut.Jovan tertawa kecil. "Aku justru ingin masuk."Bu Intan terdiam sejenak, lalu membalikkan badan, berjalan lebih dulu menuju pintu. Begitu mereka masuk, suasana rumah itu terasa terlalu tenang, terlalu luas untuk ditinggali seorang diri.Jovan menatap sekeliling. "Dulu, rumah ini terasa lebih ramai," katanya, nadanya terdengar lebih seperti sindiran.Bu Intan melangkah ke meja bar kecil di sudut ruangan, menuangkan dua gelas minuman, lalu menyerahkan salah satunya pada Jovan. "Sekarang hanya ada aku di sini," katanya pelan.Jovan menerima gelas itu, tetapi tidak langsung meminumnya. Ia justru melangkah lebih dekat, menatap Bu Intan dengan sorot mata yang sulit ditebak."Lalu, apa yang sebenarnya ka

    Last Updated : 2025-03-24
  • Hasrat Bukan Menantu Idaman   9) Sang Jagoan

    Jovan masih menyunggingkan senyum penuh kemenangan. Di balik kemudi, ia merogoh saku, mengambil rokok, lalu menyalakannya dengan gerakan santai. Asap tipis mengepul di udara malam yang mulai dingin.Rizal di kursi penumpang ikut terkekeh, menyalakan rokoknya sendiri. "Gila, Bang. Saya nunggu di ujung jalan sambil nahan ketawa. Udah bisa nebak endingnya."Jovan menghembuskan asap, lalu melirik Rizal dengan seringai nakal. "Endingnya bisa beda jauh kalau lu telat dua menit aja nelpon gue."Mereka kembali tertawa. Mobil melaju pelan menembus malam, melewati jalanan kota yang mulai lengang. Lampu-lampu jalan berpendar temaram, menciptakan bayangan panjang di trotoar."Tapi abang puas, kan?" Rizal kembali bertanya, kali ini dengan nada lebih serius.Jovan diam sejenak, pandangannya menerawang ke jalanan yang terbentang di depan. "Gue nggak tahu, Zal."Rizal melirik Jovan, penasaran dengan perubahan ekspresi bosnya.Jovan menghela napas, membuang sisa rokoknya keluar jendela. "Gue kira baka

    Last Updated : 2025-03-24
  • Hasrat Bukan Menantu Idaman   10) Istri Pejabat (1)

    Malam itu, sesuai petunjuk dari salah seorang ajudan Pak Sony, seorang pejabatn di Kementrian Pertanian Jovan tiba di sebuah vila yang berdiri megah di tengah alam. Kesepakatan rahasia yang sudah mereka putuskan saat gala diner seminggu yang lalu.Namanya ‘Vila Sony’, berupa rumah panggung yang elegan, memancarkan kesan mewah sekaligus alami. Dinding kayu jati tua yang mengilap oleh waktu berdiri kokoh di atas tiang-tiang setinggi satu meter, membawa kesan kekuatan dan keanggunan yang berpadu sempurna dengan suasana malam.Vila yang terletak di tengah alam terbuka itu seakan menjadi sebuah oase keindahan dan kedamaian. Meski tidak besar, bangunan ini memberikan kesan lapang dan terbuka. Dinding-dindingnya tidak penuh, hanya berupa pagar kayu setinggi lutut, yang memberi pandangan langsung ke luar, menyatu dengan alam di sekitarnya.Dari dalam, pandangan Jovan tertuju pada kolam ikan di depan vila, airnya berkilauan di bawah sinar bulan, menambah keindahan malam yang tenang. Ikan-ikan n

    Last Updated : 2025-03-27
  • Hasrat Bukan Menantu Idaman   11) Istri Pejabat (2)

    Suasana alami dan terbuka ini membuat semuanya terasa lebih bebas, lebih menggoda, seakan alam pun turut berkonspirasi menghadirkan suasana yang sempurna bagi mereka berdua.Saat Tante Sony kembali dengan teh hangat di tangannya, senyumnya semakin hangat.“Tehnya sudah siap, Jovan,” suara lembut Tante Sony menyusup tenang ke telinga Jovan, memecah lamunannya. Jovan tersenyum tipis, menyembunyikan rasa waspadanya di balik senyum ramah saat menerima cangkir teh hangat dari tangan sang nyonya.Dalam keheningan malam itu, hatinya tetap siaga—ia tahu, malam ini belum berakhir, dan percakapan hangat ini hanyalah pembuka dari sesuatu yang lebih dalam. Mereka terus ngobrol hangat dalam nuansa keakraban yang perlahan-lahan sudah mulai terjalin, tanpa harus membuka identitas masing-masing lebih jauh."Tante nggak kedinginan?" bisik Jovan perlahan, suaranya tenang, seperti menyatu dengan alunan malam di sekitarnya."Enggak," jawab Tante Sony, suaranya lebih lirih, nyaris berbisik. "Ada kamu yang

    Last Updated : 2025-03-27
  • Hasrat Bukan Menantu Idaman   12) Istri Pejabat (3)

    Jovan, masih berdiri di bawah sinar rembulan, mulai menggerakkan tubuhnya dengan gerakan kecil namun penuh makna. Otot-ototnya menegang dan mengendur secara bergantian, menonjolkan bentuk tubuh atletisnya. Ia sedikit memutar bahu, lalu mengangkat lengannya perlahan, memamerkan otot bicep yang besar dan kuat seolah sedang mempersiapkan pose seperti seorang binaragawan yang penuh percaya diri.Tante Sony menahan napas ketika Jovan melenturkan otot-otot dadanya. Gerakan itu tampak begitu alami, namun begitu terkontrol, seolah setiap bagian tubuhnya memahami bagaimana menampilkan kekuatan dan keindahan dalam harmoni yang sempurna. Cahaya rembulan yang redup menyorot dengan lembut pada kulitnya yang basah oleh keringat tipis, menambah kilau sensual pada setiap otot yang bergerak.Jovan menoleh, lalu tersenyum tipis, dan perlahan melenturkan otot perutnya, membiarkan lekukan-lekukan tajam itu terlihat jelas di bawah cahaya malam. Tante Sony tidak bisa menahan rasa kagum yang mengalir sepert

    Last Updated : 2025-03-27

Latest chapter

  • Hasrat Bukan Menantu Idaman   28) Pelarian Absurd (14)

    Begitu terasa bahwa liang relung kenikmatan Vena mau menerima kehadiaran rudal Hendi, tiba-tiba Hendi menghentakkan lagi rudalnya dengan sekali hentakah dan bleess, masuklah semua batang rudal Hendi keliang relung kenikmatan Vena; kemudian didiamkan sekali lagi rudal Hendi tersebut didalam liang itu, menunggu sebentar, sambil tangan Hendi mengelus elus pantat keras Vena."Vena sayang, masih sakitkah, aku tunggu sampai kamu siap menerimanya sayang.""Ya Mas Hendi, masih agak sakit, tapi kuusahakan sereleks mungkin," kata Vena sambil menggigil menahan antara gejolak asmaranya dan rasa sakit yang diterimanya.Setelah selang beberapa saat, dicoba digoyangkannya pantat Hendi maju mundur, kiri kanan dan memutar, dengan pelan, sambil terus Hendi mengelus pantat Vena, dengan sabar.Terdengar lenguhan dan rintihan Vena."Eechh, eesshhtt, eecchh""Vena, gimana, terasa enakan?""Bisa aku teruskan ya sayang, coba kamu konsentrasikan dulu.""Bayangkan kenikmatan dalam relung nikmatmu dengan geseka

  • Hasrat Bukan Menantu Idaman   27) Pelarian Absurd (13)

    Tak sabar Vena melihat pemandangan yang erotic itu, segera ia mendekat dan diterkamnya dengan dua tangannya rudal segar berkepala seperti jamur itu, tanpa menunggu perintah dari pemiliknya.Segera Vena mendaratkan bibir sensualnya pada kepala rudal Hendi yang sangat mengkilat dan membasah. Dicobanya dia mengecup lubang air seni dikepala rudal yang membasah itu dengan perasaan gemas, penuh birahi dan nafsunya yang sangat besar; magnit dan 'chemistry' dari badan Hendi pun menariknya, menaburkan cinta birahi menutup semua 'sense' yang ada di pribadinya.Mendengar sambutan desahan yang terjadi, dikuatkannya dirinya dan dijilatinya seluruh permukan rudal yang berurat kencang; erangan Hendi bertambah dengan getaran badannya, otomatis tangan Hendi membelai dan mengacak rambut Vena. Terasa olehnya semua simpul batang rudalnya dijamah, digelitiknya oleh lidah halus nakal kepunyaan Vena.Kembali Vena ke kepala rudal, dicobanya mengulum kepala yang besar, basah dan mengikat itu lalu dihisap-hisa

  • Hasrat Bukan Menantu Idaman   26) Pelarian Absurd (12)

    Dalam pelukan Hendi, Vena bagaikan dihadapkan oleh magnit bumi yang sangat besar sekali, ia menempelkan dirinya di dada Hendi pelahan-lahan direbahkannya tubuh Vena pada kasur.Emosinya telah terselubungi bara asmara, Vena pun pasrah, deburan darah dan detup jantungnya mengguncang tubuhnya yang sangat molek dan bergairah. Ditunggunya moment indah yang akan dirasakan bersama Hendi, seperti dalam gambaran benaknya.Gumaman dan desahan selama pagutan. Jelas getaran cinta yang dibawa Vena membuat Hendi semakin tergairah lagi ingin lebih melakukan langkahnya, menjelajahi badan mulus Vena. Dibukanya kancing depan blusenya yang menepel di badannya, dielusnya sembulan kenyal gunung kembar indah yang mencuat sebagian dari sarangnya warna pastel.Diangkatnya kepala Vena dan diletakkannya di pangkuannya, dirabanya halus buah dadanya; dengan mata sayu penuh nafsu, diangkatnya lagi lebih tinggi bahu dan kepala Vena dan disandarkanya pada lengan kirinya, jemari tangan kiri mengusap-usap lengan tang

  • Hasrat Bukan Menantu Idaman   25) Pelarian Absurd (11)

    Hendi berdiri di ambang pintu, mengenakan setelan kasual yang tetap memancarkan kelasnya. Pria itu memang memiliki aura yang tak jauh berbeda dengannya—tinggi, tampan, dengan garis wajah tegas khas keturunan Timur Tengah. Bedanya, Hendi memiliki sifat yang lebih stabil, lebih bisa diandalkan dalam jangka panjang. Dan itulah yang Jovan inginkan untuk Vena.“Lu datang tepat waktu,” ucap Jovan dengan nada ringan, menepuk bahu Hendi sebelum mempersilakannya masuk.Vena, yang sejak tadi duduk di sofa dengan perasaan tak menentu, mendongak begitu melihat pria asing masuk. Mata indahnya membulat, penuh tanda tanya.“Ini Hendi,” kata Jovan, mengisyaratkan pada pria itu untuk mendekat. “Dia lebih bisa diandalkan dibanding aku.”Vena masih terpaku, belum sepenuhnya menangkap maksud Jovan. “Maksudnya?”Jovan menatapnya dengan sorot yang sulit diartikan—ada ketulusan di sana, tapi juga sesuatu yang lain, sesuatu yang terasa seperti perpisahan.“Aku nggak bisa ada buatmu terus, Vena.” Suaranya ter

  • Hasrat Bukan Menantu Idaman   24) Pelarian Absurd (10)

    Jovan memarkirkan mobilnya di depan lobi hotel bintang lima dengan gerakan yang begitu mulus. Seorang bellboy segera menghampiri, membukakan pintu dengan penuh sopan santun. Vena turun dengan langkah ragu, matanya menelusuri kemegahan yang terpampang di hadapannya—lampu kristal raksasa bergelayut di langit-langit, lantai marmer yang berkilau seperti cermin, serta para tamu berpakaian glamor yang hilir mudik dengan penuh percaya diri.Jovan meliriknya, menangkap jelas ekspresi takjub sekaligus kikuk di wajah perempuan itu. Senyumnya terbit samar. "Jangan tegang, santai aja. Ini cuma hotel," katanya ringan, seolah tempat ini sama biasa baginya seperti warung kopi pinggir jalan.Vena menelan ludah. Baginya, ini lebih dari sekadar hotel—ini dunia lain. Dunia yang tidak pernah ia bayangkan akan dimasuki olehnya, apalagi dengan seorang lelaki seperti Jovan.Pak Arif benar, lelaki ini bukan orang sembarangan. Tapi siapa sebenarnya dia?Mereka berjalan melewati lobi, dan setiap langkah terasa

  • Hasrat Bukan Menantu Idaman   23) Pelarian Absurd (9)

    Jovan berdiri di depan rumah Pak Arif, jantungnya berdetak kencang. Lampu teras menyala redup, menyisakan bayangan samar di balik jendela. Sial. Gue beneran di sini.Pintu depan setengah terbuka, seperti sudah menunggunya.Dia melangkah masuk dengan ragu, melewati ruang tamu yang berbau kayu dan aroma teh hangat. Pak Arif duduk di kursinya, tersenyum tipis seakan sudah tahu Jovan bakal datang lagi.Jovan menghela napas panjang, menenangkan debaran di dadanya. Malam itu terasa begitu aneh, bukan hanya karena dia berdiri di depan rumah Pak Arif dengan perasaan yang bercampur aduk, tapi karena seluruh situasi ini seperti mimpi buruk yang sulit dipahami. Suara motor yang tadi membelah jalan kini senyap, meninggalkan hanya detak jantungnya yang menggema di telinga.Pak Arif masih duduk di kursinya, tersenyum tipis seolah sudah tahu apa yang akan terjadi. Ruangan itu terasa sempit, meski sebenarnya luas dan nyaman. Aroma teh hangat yang biasanya memberi rasa tenang kini terasa membebaninya.

  • Hasrat Bukan Menantu Idaman   22) Pelarian Absurd (8)

    Seminggu telah berlalu dalam kegaulan tingkat dewa.Jovan sedang nongkrong di atas motornya, tepat di depan sebuah mall yang masih ramai meski malam semakin larut. Jaket kulit hitamnya terbuka, memperlihatkan kaus putih polos yang membalut tubuh atletisnya. Sepasang mata tajamnya mengamati lalu lalang orang-orang, sebagian besar adalah pasangan atau geng anak muda yang asik bercanda.Sejumput asap rokok melayang dari bibirnya sebelum ia membuang puntungnya ke aspal dan menginjaknya dengan sepatu boots hitam. Motor sport yang ditungganginya berkilat di bawah lampu jalanan, menarik beberapa lirikan dari cewek-cewek yang lewat. Beberapa bahkan sengaja berjalan lebih lambat saat melewatinya, berharap ditoleh atau sekadar mendapat senyum dari pria yang wajahnya sekeras batu tapi pesonanya susah ditolak.Tapi malam ini, Jovan tidak sedang tertarik main mata. Kepalanya masih penuh dengan kejadian absurd beberapa jam lalu. Tawaran gila dari Pak Arif masih menggantung di pikirannya."Kenapa hi

  • Hasrat Bukan Menantu Idaman   21) Pelarian Absurd (7)

    Malam di Diskotik.Musik berdentum keras, menggetarkan lantai dengan irama bass yang menggila. Lampu-lampu strobo berkedip dalam warna merah, biru, dan ungu, menciptakan ilusi gerakan yang lebih liar dari kenyataan. Aroma parfum mahal bercampur alkohol memenuhi udara, melebur dengan tawa-tawa hingar-bingar dan obrolan setengah berteriak dari meja-meja VIP.Jovan duduk di salah satu sofa kulit berwarna hitam, minuman di tangannya hanya sekadar properti. Ia tidak benar-benar berniat menikmatinya. Di sekelilingnya, wanita-wanita kelas atas dengan gaun ketat yang memperlihatkan bahu atau belahan dada sibuk menari, tertawa, dan sesekali mencuri kesempatan untuk menyentuhnya."Jovan, sejak kapan lu jadi alim?" tanya seorang pria di sebelahnya, Reno, teman lamanya yang sudah terlalu akrab dengan dunia malam. "Dulu lu raja tempat ini, sekarang malah lebih banyak bengong."Jovan hanya menanggapi dengan senyum tipis.Seorang wanita dengan gaun merah darah mendekat, duduk tanpa diundang di pangk

  • Hasrat Bukan Menantu Idaman   20) Pelarian Absurd (6)

    Begitu ia melangkah ke dalam, suara batuk kecil menyambutnya. Pak Arif duduk di sofa dengan ekspresi yang sulit ditebak. Pria itu menatapnya dengan senyum tipis—sebuah senyum yang terasa… misterius."Ah, Mas Jovan," sapanya santai. "Saya tahu kamu pasti datang lagi."Jovan berusaha tetap tenang, meskipun perutnya terasa sedikit mual mengingat percakapan absurd mereka kemarin."Pak, saya cuma mampir sebentar," katanya, sengaja memperjelas bahwa ia tidak berencana berlama-lama.Tapi Pak Arif justru tersenyum lebih lebar. "Nggak usah buru-buru, Mas. Duduk dulu. Saya lagi pengin ngobrol."Jovan menekan dorongan untuk menghela napas keras. Vena, yang tampaknya tidak menyadari ketegangan aneh di antara mereka, langsung pergi ke dapur, meninggalkan dua pria itu dalam ruang tamu yang terasa semakin sesak.Pak Arif mendekat sedikit. Suaranya merendah, tapi penuh tekanan. "Jadi, Mas Jovan… sudah dipikirkan?"Jovan menutup mata sebentar. "Pak… saya nggak mau ngomongin itu lagi."Pak Arif hanya t

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status