Share

7) Pertemuan Kedua

Author: NDRA IRAWAN
last update Huling Na-update: 2025-03-24 20:16:23

Jovan masih duduk di dalam mobilnya, tangannya menggenggam kemudi dengan erat, matanya tak lepas dari sosok anggun di dalam restoran, mantan mertuanya.

Sudah sejak tadi ia melihat Bu Intan, duduk sendirian, gelisah, sesekali melirik ponselnya, mungkin menunggu pesan darinya. Namun, hatinya masih diselimuti keraguan yang terlalu pekat.

Lima tahun lalu, ia bukan siapa-siapa. Seorang pria dengan mimpi besar namun tanpa nama, tanpa harta. Dan Bu Intan—wanita yang kini tampak anggun dalam gaun marunnya—pernah menjadi bagian dari kepedihannya. Ia mengingat bagaimana ibu mertuanya, dengan wajah dingin dan lidah tajam, selalu merendahkannya di depan keluarganya sendiri.

Kata-kata itu masih terpatri jelas dalam ingatannya, menghantam harga dirinya seperti badai. Penghinaan itu bukan sekadar luka biasa, tapi luka yang mencabik-cabik harga dirinya sebagai seorang suami sekaligus seorang ayah untuk dua anaknya.

Dalam satu malam, ia kehilangan semuanya—istri yang ia cintai, kedua anaknya, bahkan harapan untuk tetap menjadi bagian dari hidup mereka. Ia diusir dari kehidupan yang pernah ia bangun dengan susah payah.

Namun, waktu berubah.

Hari ini, ia bukan lagi pria yang sama. Jovan kini adalah seorang miliarder. Namanya dikenal, bisnisnya merajai banyak sektor, dan ia bisa saja membalas dendam dengan mudah. Tapi, benarkah ia menginginkannya? Benarkah semua ini sudah ia lupakan?

Ia menutup mata, menghela napas panjang. Apakah Bu Intan kini mencarinya karena tahu siapa dirinya sekarang? Atau ada sesuatu yang lebih dari sekadar masa lalu yang ingin diperbaiki?

Jovan menatap sosok di dalam restoran. Bu Intan masih di sana, wajahnya mulai suram, seperti seseorang yang akhirnya menerima kenyataan pahit bahwa harapannya mungkin hanya ilusi.

Tangan Bu Intan meraih tas, tanda ia hendak pergi. Dan saat itulah Jovan mengambil keputusan. Hampir bersamaan dengan saat Bu Intan berdiri, Jovan keluar dari mobilnya, lalu melangkah masuk ke restoran dengan tenang.

Bu Intan masih terpaku, jantungnya berdegup kencang saat sosok yang begitu dikenalnya akhirnya berjalan ke arahnya. Jovan tampak luar biasa malam ini. Setelan mahalnya membingkai tubuh tegapnya dengan sempurna. Rambutnya tertata rapi, wajahnya tenang, tapi ada sesuatu di matanya—sebuah sorot yang membuat Bu Intan merasa seperti sedang berdiri di tepi jurang.

Perasaan aneh itu kembali datang. Seperti malam di gala dinner seminggu yang lalu, ketika mereka bertemu setelah bertahun-tahun. Malam yang hampir membuat mereka kehilangan kendali.

Jovan tersenyum kecil. Senyum itu bukan sekadar keramahan biasa—itu senyum yang sarat dengan kesadaran. Kesadaran bahwa wanita di hadapannya menginginkannya.

"Kamu sudah lama menunggu?" tanya Jovan, suaranya rendah dan sedikit serak, seolah sengaja menambah ketegangan. Namun terselip keakraban yang hangat.

Bu Intan menelan ludah, mencoba menguasai dirinya. "Tidak terlalu," jawabnya, meski kekecewaannya karena hampir ditinggalkan tadi masih terasa.

Jovan menarik kursi di hadapannya, duduk dengan sikap santai tapi tetap penuh kendali. Tangannya dengan ringan meraih gelas air putih yang tersisa setengah di meja, lalu menyesapnya tanpa izin—membuat Bu Intan menegang. Tindakan kecil itu terasa intim, seolah Jovan sedang menandai teritorinya.

"Kamu tidak berubah, Intan," gumamnya pelan, mengamatinya dengan tatapan tajam. "Masih begitu... menawan."

Darah di wajah Bu Intan menghangat. Ia tahu Jovan hanya menggoda. Ia tahu pria ini mungkin masih menyimpan dendam. Tapi tetap saja, sesuatu dalam dirinya mendesir.

"Kamu juga tak banyak berubah, Jovan," jawabnya, berusaha terdengar tenang. "Masih suka mempermainkan keadaan."

Jovan tertawa kecil, lalu mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan. "Dan kamu masih suka menantang bahaya, kan?" bisiknya.

Bu Intan menegang. Napasnya tercekat ketika tatapan mereka bertaut lebih dalam. Aroma maskulin Jovan yang khas menguar, mengingatkannya pada betapa dekatnya mereka di pesta gala dinner itu—betapa nyaris mereka melewati batas.

Jovan tahu ini. Ia sengaja mempermainkan suasana. Ia sengaja membiarkan mantan mertuanya itu merasakan ketegangan yang sama seperti yang ia rasakan bertahun-tahun lalu, ketika dirinya hanya seorang pria biasa yang diremehkan dan dihancurkan.

Tapi malam ini? Malam ini ia yang memegang kendali.

Pelayan datang membawa daftar menu, memecah ketegangan sesaat. Bu Intan menarik napas panjang, mencoba mengembalikan kendali atas dirinya.

"Apa yang kamu ingin pesan?" tanya Jovan ringan.

Bu Intan mengangkat dagunya sedikit, matanya berbinar penuh arti. "Aku ikut saja dengan pilihanmu."

Jovan tersenyum. "Berani sekali mempercayakan pilihan padaku."

Ia lalu mengambil menu, matanya sekilas melirik Bu Intan sebelum akhirnya memesan hidangan terbaik malam itu.

Saat pelayan pergi, suasana kembali hening di antara mereka. Tapi kali ini bukan hening yang canggung. Ini hening yang dipenuhi oleh listrik, oleh ketegangan yang tidak bisa disangkal.

"Jadi..." Jovan memainkan jari di tepi gelasnya. "Apa alasan sebenarnya kamu ingin kembali bertemu denganku, Intan?"

Matanya menatap lurus ke arah wanita itu, menuntut jawaban.

Bu Intan tersenyum tipis, jemarinya menyentuh batang gelas anggurnya yang kini telah diisi.

"Kamu tahu jawabannya, Jovan."

Jovan terkekeh pelan. Ia mengangkat gelasnya, menyesap anggurnya perlahan sebelum meletakkannya kembali dengan bunyi dentingan halus.

"Oh, aku tahu," kata Jovan lembut. "Aku hanya ingin mendengarnya langsung darimu."

Senyum Bu Intan tak luntur, tapi ia tahu dirinya sudah masuk ke dalam permainan Jovan.

Dan sejauh ini, ia tidak keberatan.

Bu Intan menyandarkan punggungnya ke kursi, mencoba terlihat santai, tapi matanya tak bisa berbohong. Ada bara di sana—api yang dulu tak pernah ia bayangkan akan menyala untuk pria yang pernah menjadi menantunya yang dihinakan.

Jovan, dengan ketenangan yang luar biasa, menyaksikan itu semua. Ia tahu betul bahwa mantan mertuanya ini bukan sekadar ingin berbincang basa-basi. Bukan sekadar ingin menebus dosa masa lalu. Ada sesuatu yang lebih dari itu. Keintiman seperti yang dulu pernah ia bisikan dengan alasan, ‘Papaknya Tania sudah kurang peduli.’

"Kamu sudah tahu jawabannya," ujar Bu Intan akhirnya, suaranya terdengar rendah, hampir seperti bisikan.

Jovan mengangkat alisnya, menunggu.

"Aku ingin... memperbaiki hubungan kita," lanjut Bu Intan, menekankan kata "hubungan" dengan nada yang ambigu.

Jovan tersenyum miring. "Hubungan?" ulangnya, seolah mengecap setiap suku kata.

Bu Intan meraih gelas anggurnya, menyesapnya perlahan, lalu meletakkannya kembali dengan gerakan yang disengaja. Tatapannya tidak pernah lepas dari mata Jovan.

"Ya. Hubungan yang sempat rusak karena egoku. Karena kesalahanku," katanya.

Jovan tertawa kecil. "Kesalahan?" ulangnya lagi, kali ini dengan nada geli. "Kamu menyebutnya kesalahan? Kamu merenggut istri dan anak-anakku, lalu menginjak-injak harga diriku di depan semua orang. Kamu mengusirku seperti sampah, Intan."

Bu Intan menelan ludah. Ia tidak bisa menyangkal itu.

"Tapi lihatlah kamu sekarang," katanya, mencoba membalik keadaan. "Kamu berhasil. Kamu lebih dari yang pernah aku perkirakan, Jovan."

Jovan menyipitkan matanya. "Jadi menurutmu semua ini berkat perlakuanmu dulu?"

Bu Intan tidak langsung menjawab. Sebagai wanita berpengalaman, ia tahu kapan harus mengakui kesalahan dan kapan harus menggoda. Ia memilih jalan tengah.

"Aku hanya ingin mengatakan... mungkin kita bisa menebus masa lalu dengan cara yang lebih baik," katanya pelan, suaranya sengaja dibuat lembut dan penuh makna.

Jovan mengamati wanita di hadapannya. Dulu, ia pernah melihat Bu Intan sebagai sosok yang menakutkan—seorang wanita berkuasa yang tidak segan-segan menghancurkan hidup orang lain demi gengsinya. Tapi malam ini, ia melihat sesuatu yang lain.

Bu Intan adalah wanita yang tahu apa yang ia inginkan. Dan malam ini, yang ia inginkan adalah dirinya.

Jovan menyandarkan punggungnya, menyesap anggurnya tanpa terburu-buru. Ia membiarkan suasana tegang itu menggantung di udara.

"Kamu ingin menebus masa lalu?" tanyanya akhirnya.

Bu Intan mengangguk pelan. "Ya."

Jovan tersenyum miring. "Dengan cara apa?"

Mata Bu Intan menyala, bibirnya membentuk lengkungan menggoda.

"Kamu tahu jawabannya, Jovan," bisiknya.

Jovan tertawa kecil, lalu bangkit dari kursinya. Ia menatap Bu Intan dengan ekspresi yang sulit ditebak, kemudian mengulurkan tangan.

"Mari kita lihat sejauh mana kamu bersedia menebusnya," katanya pelan.

Bu Intan tidak butuh berpikir lama. Ia meraih tangan itu.

Permainan baru saja dimulai.

Setelah menghabiskan makan malam mereka dengan percakapan yang semakin lama semakin sarat dengan ketegangan, Jovan akhirnya bangkit dari kursinya. Bu Intan mengikuti dengan gerakan anggun, matanya terus mengunci Jovan, seolah takut kehilangan kesempatan kedua yang telah terbuka.

Di luar restoran, udara malam terasa hangat, tetapi tidak lebih panas dari atmosfer di antara mereka. Jovan membuka pintu mobil untuk Bu Intan dengan santai, seolah ini hanyalah pertemuan biasa, bukan sesuatu yang sarat dengan sejarah kelam.

Sepanjang perjalanan, suasana di dalam mobil begitu hening, tetapi tidak ada ketegangan canggung di sana—hanya keheningan yang penuh arti. Sesekali, Jovan melirik ke samping, melihat Bu Intan yang tampak gelisah, jemarinya saling bertaut di atas pangkuan.

"Kenapa diam?" tanya Jovan akhirnya, memecah keheningan.

Bu Intan menoleh ke arahnya, tersenyum tipis. "Aku hanya sedang berpikir…."

Jovan menahan senyumnya. "Memikirkan apa? Masa lalu, atau malam ini?"

Bu Intan tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap Jovan lebih lama dari seharusnya sebelum akhirnya mengalihkan pandangan ke luar jendela.

^*^

Jika ada pembaca Fzzo, silahkan baca cerita yang sangat menegangkan namun penuh tawa, ‘HASRAT SUCI SANG MAFIA’ by Dibikin Romantis, Gratis sampai end.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Kaugnay na kabanata

  • Hasrat Bukan Menantu Idaman   8) Rasa Membara

    Ketika mereka sampai di halaman rumah Bu Intan, wanita itu turun lebih dulu. Jovan mengikuti dengan santai, tangannya dimasukkan ke dalam saku celana, menatap rumah mewah yang pernah menjadi saksi penderitaannya lima tahun lalu."Kamu tidak harus masuk kalau tak ingin," kata Bu Intan lembut.Jovan tertawa kecil. "Aku justru ingin masuk."Bu Intan terdiam sejenak, lalu membalikkan badan, berjalan lebih dulu menuju pintu. Begitu mereka masuk, suasana rumah itu terasa terlalu tenang, terlalu luas untuk ditinggali seorang diri.Jovan menatap sekeliling. "Dulu, rumah ini terasa lebih ramai," katanya, nadanya terdengar lebih seperti sindiran.Bu Intan melangkah ke meja bar kecil di sudut ruangan, menuangkan dua gelas minuman, lalu menyerahkan salah satunya pada Jovan. "Sekarang hanya ada aku di sini," katanya pelan.Jovan menerima gelas itu, tetapi tidak langsung meminumnya. Ia justru melangkah lebih dekat, menatap Bu Intan dengan sorot mata yang sulit ditebak."Lalu, apa yang sebenarnya ka

    Huling Na-update : 2025-03-24
  • Hasrat Bukan Menantu Idaman   9) Sang Jagoan

    Jovan masih menyunggingkan senyum penuh kemenangan. Di balik kemudi, ia merogoh saku, mengambil rokok, lalu menyalakannya dengan gerakan santai. Asap tipis mengepul di udara malam yang mulai dingin.Rizal di kursi penumpang ikut terkekeh, menyalakan rokoknya sendiri. "Gila, Bang. Saya nunggu di ujung jalan sambil nahan ketawa. Udah bisa nebak endingnya."Jovan menghembuskan asap, lalu melirik Rizal dengan seringai nakal. "Endingnya bisa beda jauh kalau lu telat dua menit aja nelpon gue."Mereka kembali tertawa. Mobil melaju pelan menembus malam, melewati jalanan kota yang mulai lengang. Lampu-lampu jalan berpendar temaram, menciptakan bayangan panjang di trotoar."Tapi abang puas, kan?" Rizal kembali bertanya, kali ini dengan nada lebih serius.Jovan diam sejenak, pandangannya menerawang ke jalanan yang terbentang di depan. "Gue nggak tahu, Zal."Rizal melirik Jovan, penasaran dengan perubahan ekspresi bosnya.Jovan menghela napas, membuang sisa rokoknya keluar jendela. "Gue kira baka

    Huling Na-update : 2025-03-24
  • Hasrat Bukan Menantu Idaman   10) Istri Pejabat (1)

    Malam itu, sesuai petunjuk dari salah seorang ajudan Pak Sony, seorang pejabatn di Kementrian Pertanian Jovan tiba di sebuah vila yang berdiri megah di tengah alam. Kesepakatan rahasia yang sudah mereka putuskan saat gala diner seminggu yang lalu.Namanya ‘Vila Sony’, berupa rumah panggung yang elegan, memancarkan kesan mewah sekaligus alami. Dinding kayu jati tua yang mengilap oleh waktu berdiri kokoh di atas tiang-tiang setinggi satu meter, membawa kesan kekuatan dan keanggunan yang berpadu sempurna dengan suasana malam.Vila yang terletak di tengah alam terbuka itu seakan menjadi sebuah oase keindahan dan kedamaian. Meski tidak besar, bangunan ini memberikan kesan lapang dan terbuka. Dinding-dindingnya tidak penuh, hanya berupa pagar kayu setinggi lutut, yang memberi pandangan langsung ke luar, menyatu dengan alam di sekitarnya.Dari dalam, pandangan Jovan tertuju pada kolam ikan di depan vila, airnya berkilauan di bawah sinar bulan, menambah keindahan malam yang tenang. Ikan-ikan n

    Huling Na-update : 2025-03-27
  • Hasrat Bukan Menantu Idaman   11) Istri Pejabat (2)

    Suasana alami dan terbuka ini membuat semuanya terasa lebih bebas, lebih menggoda, seakan alam pun turut berkonspirasi menghadirkan suasana yang sempurna bagi mereka berdua.Saat Tante Sony kembali dengan teh hangat di tangannya, senyumnya semakin hangat.“Tehnya sudah siap, Jovan,” suara lembut Tante Sony menyusup tenang ke telinga Jovan, memecah lamunannya. Jovan tersenyum tipis, menyembunyikan rasa waspadanya di balik senyum ramah saat menerima cangkir teh hangat dari tangan sang nyonya.Dalam keheningan malam itu, hatinya tetap siaga—ia tahu, malam ini belum berakhir, dan percakapan hangat ini hanyalah pembuka dari sesuatu yang lebih dalam. Mereka terus ngobrol hangat dalam nuansa keakraban yang perlahan-lahan sudah mulai terjalin, tanpa harus membuka identitas masing-masing lebih jauh."Tante nggak kedinginan?" bisik Jovan perlahan, suaranya tenang, seperti menyatu dengan alunan malam di sekitarnya."Enggak," jawab Tante Sony, suaranya lebih lirih, nyaris berbisik. "Ada kamu yang

    Huling Na-update : 2025-03-27
  • Hasrat Bukan Menantu Idaman   12) Istri Pejabat (3)

    Jovan, masih berdiri di bawah sinar rembulan, mulai menggerakkan tubuhnya dengan gerakan kecil namun penuh makna. Otot-ototnya menegang dan mengendur secara bergantian, menonjolkan bentuk tubuh atletisnya. Ia sedikit memutar bahu, lalu mengangkat lengannya perlahan, memamerkan otot bicep yang besar dan kuat seolah sedang mempersiapkan pose seperti seorang binaragawan yang penuh percaya diri.Tante Sony menahan napas ketika Jovan melenturkan otot-otot dadanya. Gerakan itu tampak begitu alami, namun begitu terkontrol, seolah setiap bagian tubuhnya memahami bagaimana menampilkan kekuatan dan keindahan dalam harmoni yang sempurna. Cahaya rembulan yang redup menyorot dengan lembut pada kulitnya yang basah oleh keringat tipis, menambah kilau sensual pada setiap otot yang bergerak.Jovan menoleh, lalu tersenyum tipis, dan perlahan melenturkan otot perutnya, membiarkan lekukan-lekukan tajam itu terlihat jelas di bawah cahaya malam. Tante Sony tidak bisa menahan rasa kagum yang mengalir sepert

    Huling Na-update : 2025-03-27
  • Hasrat Bukan Menantu Idaman   13) Istri Pejabat (4)

    Jovan bangkit dari tidurannya, lalu mengambil dua gelas air dari dispenser, satu untuknya dan satu lagi untuk Tange Pak Sony.“Udah segeran lagi?” tanya Jovan penuh perhatian setelah kembali dari menyimpan gelas kosong bekas mereka minum.Sementara itu Pak Sony terduduk lemas di atas tanah karena rudal kecilnya pun sudah menumpahkan amunisinya, hanya dalam beberapa kali kocokan saja.Jovan berdiri gagah di depan Tante Sony dengan tubuh atletisnya, benda di selangkangannya nampak mencolok luar biasa. Tante Sony membandingkannya dengan pisang ambon terbesar yang pernah dia lihat, atau terong ungu yang sering dia elus-elus, sambil membayangkan kalau punya suaminya sebesar itu.Jantung Tante Sony makin berdebar kencang menyaksikan rudal yang seolah sengaja dibiarkan menunjukan kehebatannya depan wajahnya. Tante Sony bahkan seperti terhipnotis, merasakan lelaki yang berdiri di depannya adalah seseorang yang tidak bisa dia sangkal, sangat menarik, lembut, sopan dan profesional.Jovan membun

    Huling Na-update : 2025-03-27
  • Hasrat Bukan Menantu Idaman   14) Tawaran Dukun Sakti

    Jovan baru saja duduk di teras, menikmati udara malam dengan secangkir kopi, ketika suara motor tua meraung memasuki area rumah kebunnya. Suaranya lebih mirip knalpot gerobak butut ketimbang kendaraan roda dua. Dari kejauhan, sudah bisa ditebak siapa yang datang.Tak lama, seseorang turun dengan gerakan dramatis. Mbah Wadul."Mas Jo! Assalamu’alaikuuuummm!"Jovan menarik napas, menyesal tidak buru-buru masuk rumah dan berpura-pura tiada."Wa’alaikumsalam, Mbah. Ada apa malam-malam?" tanyanya, setengah hati.Mbah Wadul langsung duduk tanpa dipersilakan, mengeluarkan rokok dari jaket kulitnya yang sudah pudar. Setelah menghembuskan asap, dia berkata dengan nada penuh kebijakan."Gini, Mas Jo… Mbah ini prihatin sama sampean. Sudah lama menduda, tapi kok nggak laku-laku? Ini nggak masuk akal!"Sebelum Jovan sempat membantah, suara lain menyela dari haalaman samping."Nah, ini nih! Akhirnya ada yang sadar!"Jovan dan Mbah Wadul menoleh bersamaan. Rizal, berdiri dengan senyum penuh arti."W

    Huling Na-update : 2025-03-27
  • Hasrat Bukan Menantu Idaman   15) Pelarian Absurd (1)

    Jovan duduk santai di bangku taman dekat alun-alun kota, menikmati semilir angin malam yang membawa aroma campuran hujan dan jalanan basah. Di tangannya, segelas kopi hangat dalam gelas plastik menambah kehangatan di sela-sela jemarinya. Ia sengaja beralasan kepada Rizal bahwa ia memiliki dinas luar selama seminggu.Sebenarnya, ia hanya ingin melihat sejauh mana kemampuan Rizal—anak buahnya yang paling dapat dipercaya—dalam mengambil keputusan tanpa kehadirannya. Dalam hati, Jovan telah menyiapkan Rizal untuk menjadi pengelola perkebunan kelak.Kegiatan Jovan sudah semakin padat, sehingga dia merasa perlu melatih Rizal untuk menghandle usahanya. Jadi sekarang dia sedang ‘dinas pelarian’ alias dina pura-pura.Selama seminggu "dinas pelarian" ini, Jovan memutuskan tinggal di apartemen yang jarang diketahui orang. Tempat itu menjadi pelarian terbaiknya untuk benar-benar beristirahat, jauh dari tuntutan dan keramaian yang sering kali membebani hidupnya. Di sana, Jovan bisa merasakan kedam

    Huling Na-update : 2025-03-28

Pinakabagong kabanata

  • Hasrat Bukan Menantu Idaman   50) Perubahan Besar (7)

    “Baiklah, jika itu keinginan Bapak-bapak, saya siap memenuhinya,” balas Bu Intan sigap.Dia berpikir dua bandot di depannya tidak akan jauh berbeda dengan suaminya. Lelaki-lelaki tua berperut buncit, berwajah mesum yang ada di depannya hanya besar nafsu dan keinginannya, sementara stamina dan tenaganya sudah pasti sangat kurang. Hanya dalam beberapa menit saja mereka akan langsung menyerah kalah.Pak Hanif dan Pak Gunarsa tersenyum senang mendengar perkataan Bu Intan. Mereka berpikir istri dosen ini telah menyetujui persyaratan itu dan akan segera mengajaknya pergi ke sebuah hotel secara besama-sama.“Nah, ginikan lebih mudah dan lebih baik Bu. Kami pun tidak usah lagi menseleksi perusahaan-perusahaan lain untuk proyek ini. Dokumen ini akan segera kami serahkan setelah kita selesai melengkapi kekurangannya.” Kembali Pak Hanif bicara ambigu yang entah mengapa orang-orang seperti dia senangnya berbelit-belit.Tanpa mempedulikan ucapan Pak Hanif, Bu Intan pun segera menghampiri dua tamu

  • Hasrat Bukan Menantu Idaman   49) Perubahan Besar (6)

    “Pak Han, kami sangat mengerti dan akan memenuhi persyaratan itu seperti yang biasa suami saya lakukan. Percayalah, semuanya tidak akan berubah, sesuai yang telah dijalankan oleh suami saya selama ini,” ucap Bu Intan dengan tenang dan berwibawa.“Oh bagus. Kami sangat bersyukur kalau Ibu sudah mengerti dan tahu tentang itu, bagus, sangat bagus.”“Ya terima kasih, Pak. Lantas apa yang harus saya lakukan sekarang?”“Hmmm, begini Bu. Kali ini sepertinya kita akan menemukan sedikit masalah, karena adanya kekurangan-kekurangan yang perlu segera ibu ketahui sekaligus dilengkapi, agar tidak menimbulkan permasalahan yang cukup pelik dalam proses selanjutnya,” timpal Pak Hanif.“Kekurangan dan masalah apa, kalau boleh saya tahu, Pak? Mungkin saya bisa membantu memperbaiki atau melengkapinya sekarang juga.” Bu Intan menjawab tegas dan masih dengan senyum manisnya, walau dadanya mulai sedikit bergemuruh karena muak yang ditahan.“Gak banyak sih Bu, kekurangannya hanya satu, dan kebetulan kekuara

  • Hasrat Bukan Menantu Idaman   48) Perubahan Besar (5)

    Bu Intan mencondongkan tubuhnya ke depan, meletakkan dagunya di telapak tangan dengan tatapan menggoda. "Beneran nih? Jangan PHP-in Tante, loh."Seorang pemuda dengan kaos hitam tertawa sambil mengusap tengkuknya. "Masa iya kita bohong? Justru seru kalau Tante ikut. Bisa ngerasain sensasi tidur di bawah bintang, dengerin suara alam, dan… siapa tahu ada tantangan seru juga."Bu Intan terkikik kecil, membayangkan betapa serunya pengalaman itu. Tapi sebelum sempat berandai-andai lebih jauh, salah satu dari mereka tiba-tiba menyenggol lengannya dan berbisik, "Tapi kita bukan cuma pecinta alam, Tante. Kita juga suka balapan liar!"Mata Bu Intan langsung berbinar lebih terang. Kenangan saat bersama Rizal, merasakan sensasi berboncengan motor keliling kota, angin malam yang menampar wajahnya, tiba-tiba menyeruak di pikirannya."Serius? Kalian anak-anak jalanan juga, nih?" tanyanya dengan nada penuh minat.Mereka tertawa. "Nggak juga, Tante. Cuma sekadar hobi. Nggak setiap hari, tapi kalau lag

  • Hasrat Bukan Menantu Idaman   47) Perubahan Besar (4)

    Seminggu telah berlalu sejak kepergian Dave, namun jejak kebersamaan empat hari dengannya masih begitu membekas di hati dan pikirannya.Seperti ombak yang terus menghempas pantai tanpa henti, gairah dalam diri Bu Intan kini bergelora tanpa bisa dikendalikan. Ada sesuatu dalam dirinya yang telah terbangun—sesuatu yang tak bisa ia redam, meskipun ia mencoba.Setiap sudut rumah terasa berbeda, bukan karena ada yang berubah secara fisik, melainkan karena dirinya sendiri yang kini tak lagi sama. Dulu, ia bisa dengan mudah mengabaikan kehampaan dalam rumah tangganya. Namun kini, sentuhan suaminya terasa asing, bahkan dingin. Keberadaan Pak Winata di sampingnya tak lagi membawa kehangatan, justru semakin menegaskan betapa kosongnya hubungan mereka.Malam-malamnya kini terasa panjang dan sepi. Tubuhnya mungkin berbaring di sisi suaminya, tetapi pikirannya melayang jauh, kembali ke malam-malam ketika Dave masih ada di sini. Ia terjaga hingga larut, hatinya berdebar, hasratnya menggelora, namun

  • Hasrat Bukan Menantu Idaman   46) Perubahan Besar (3)

    Pak Winata masih tertidur dengan lelapnya. Bu Intan masih belum merasa lengkap bila tidak merasakan rudal Dave yang mempunyai ukuran luar biasa tersebut, tapi dia juga sedikit khawatir bila ia teruskan permainannya di kamar tidurnya ini akan membuat suaminya bangun karena mendengar rintihan-rintihan dan erangan-erangannya.Bu Intan kemudian mengajak Dave untuk keluar dari kamar tidurnya. Mereka beranjak dari kamar tidur tersebut dengan setengah telanjang, tidak lupa untuk membawa pakaian mereka yang sudah terlepas.Di ruangan keluarga kembali Bu Intan mencumbu Dave dengan penuh nafsu, Bu Intan mulai mendorong Dave untuk duduk di sofa, ia pun kemudian bersujud di hadapan Dave.Dengan penuh nafsu rudal Dave yang setengah bangun mulai dikulum dan dijilatinya, Dave mulai mendesah-desah keenakan merasakan kuluman dan jilatan mulut dan lidah Bu Intan di rudalnya.Perlahan-lahan Bu Intan mulai merasakan rudal Dave bangkit dan mulai mengeras, mulut Bu Intan yang mungil tidak cukup untuk mengu

  • Hasrat Bukan Menantu Idaman   45) Perubahan Besar (2)

    Percakapan terus mengalir, diselingi gelak tawa ringan dan sesekali kilatan mata Dave yang mencuri pandang ke arahnya. Botol demi botol dibuka, hingga waktu terasa berlalu begitu saja. Bu Intan memperhatikan wajah suaminya yang mulai memerah. Gerakannya semakin lambat, omongannya mulai melantur.Sementara itu, Dave tampak tetap tenang. Mungkin karena ia terbiasa dengan minuman seperti ini.Jam di dinding telah menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Pak Winata semakin kehilangan kendali. Matanya sudah setengah terpejam, tangannya terkadang bergerak tanpa arah, dan bicaranya semakin tidak jelas.Bu Intan tersenyum kecil, teringat betapa lemahnya suaminya jika sudah berada dalam kondisi seperti ini. Sebuah ide melintas di benaknya—ia tahu betul bagaimana malam ini bisa berakhir.Senyumnya makin lebar.Dave, yang sejak tadi memperhatikan, akhirnya bertanya. “Apa yang membuat Anda tersenyum, Bu Intan?”Bu Intan hanya menoleh sekilas, lalu kembali tersenyum tanpa menjawab.Seperti yang s

  • Hasrat Bukan Menantu Idaman   44) Perubahan Besar (1)

    Bu Intan merasa ada sesuatu yang berbeda dalam hari-harinya sejak pertemuan itu. Kenangan akan Rizal terus membayangi pikirannya, menciptakan getaran aneh di hatinya yang sudah lama tak ia rasakan. Ia sering termenung, mengingat kembali bagaimana Rizal memperlakukannya—santai, nakal, tetapi tetap penuh perhatian.Setiap kali ia mendengar suara motor lewat di depan rumahnya, dadanya berdebar, berharap itu Rizal. Setiap kali notifikasi ponselnya berbunyi, hatinya melompat, hanya untuk kecewa saat mendapati pesan itu bukan darinya.Di sela-sela kesibukannya, ia berkali-kali ingin mengangkat ponselnya, mengetik pesan singkat atau bahkan sekadar menanyakan kabar Rizal. Namun, gengsi menahannya. Bagaimana mungkin ia, seorang istri pejabat yang seharusnya anggun dan berwibawa, justru dirundung rindu pada seorang pemuda kampung sok bergaya kota?Seharusnya dia memang dengan Jovan, bukan Rizal.Bu Intan menatap layar ponselnya dengan kesal. Beberapa kali ia mencoba menghubungi mantan menantuny

  • Hasrat Bukan Menantu Idaman   43) Mantan Mertua Bos (5)

    Setelah mengantar pulang Bu Intan, Rizal menyalakan motornya dan melaju pelan di jalanan yang mulai lengang. Udara malam masih menyisakan kehangatan pertemuan mereka, namun Rizal tahu, dunia tidak berhenti hanya di satu momen saja.Dia tidak langsung pulang ke rumah kebun. Ada kegelisahan yang masih berputar di kepalanya, sesuatu yang belum tuntas. Setelah menimbang-nimbang, akhirnya dia membelokkan motornya ke sebuah warung kopi langganannya.Begitu sampai, Rizal langsung disambut oleh beberapa temannya. Salah satunya, Herman, menepuk bahunya dengan tawa kecil."Tumben malam-malam nongol. Baru dari mana, Lu?"Rizal hanya nyengir, melempar helmnya ke atas meja dan menarik kursi."Biasa, muter-muter nyari angin," jawabnya santai, padahal pikirannya masih terbayang sosok Bu Intan.Herman menyipitkan mata curiga. "Muter-muter nyari angin atau nyari lobang nganggur?" godanya.Rizal hanya terkekeh, memilih menyesap kopinya tanpa menjawab. Dia menikmati suasana warung itu—lampu remang-reman

  • Hasrat Bukan Menantu Idaman   42) Mantan Mertua Bos (4)

    Bibir mereka masih bertaut, lembut namun semakin dalam. Tangan Bu Intan mulai nakal menelusuri selangkangan Rizal, awalnya hanya sentuhan ringan, tapi kini seakan ada tarikan tak kasat mata yang membuat tangannya menggenggam benda keras, besar dan panjang di balik chinos. Dia enggan melepaskan.Rizal merasakan bagaimana tubuh Bu Intan perlahan melemas dalam dekapannya, memberi isyarat tanpa kata bahwa wanita itu telah tenggelam dalam gelombang perasaan yang tak lagi bisa ditahan. Kedua semakin kuat meremasi kedua payudara Bu Intan, ciuman mereka semakin liar.Bu Intan sedikit menghela napas di antara kecupan mereka, merasakan debaran dadanya yang berpacu begitu cepat. Ia bukan lagi seorang wanita muda, namun sentuhan Rizal seakan membangkitkan sisi dirinya yang selama ini terkubur oleh kamuplase dan ambisi tuntutan hidup.Rizal menurunkan ciumannya ke sepanjang garis rahang Bu Intan, meninggalkan jejak kehangatan di kulitnya yang halus. Wanita itu memejamkan mata, membiarkan dirinya l

Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status