Bu Intan duduk di ruang tengah rumahnya yang luas, tetapi terasa begitu sepi. Jemarinya mengetuk-ngetuk gelas jus jeruk di atas meja, sementara pikirannya melayang ke pertemuan dengan Jovan di gala dinner seminggu yang lalu.
Pria itu… sudah jauh berbeda. Bukan lagi lelaki sederhana yang dulu ia hina habis-habisan, tetapi seorang miliarder yang tampil begitu berwibawa. Bu Intan sudah banyak mengumpulkan data dari beberapa koleganya. Sebagai istri pejabat di kementrian, tentu saja hal itu bukan perkara susah.
Dan selama satu minggu ini, hatinya masih berdebar saat mengingat tatapan tajam Jovan, senyum miringnya, dan caranya menggoda seolah membalas semua perlakuan kejamnya dulu. Bu Intan tidak bisa menyangkal bahwa ada sesuatu dalam dirinya yang bergelora.
Rasa bersalah, penyesalan dan yang mendominasinya justru ketertarikan. Hasrat yang sudah lama dia kubur dalam-dalam, mulai kembali bangkit dan mengganggunya. Dan dengan keraguan, ia meraih ponselnya dan menekan nomor Tania, putrinya.
Butuh beberapa dering sebelum akhirnya suara datar Tania terdengar di seberang sana.
“Ada apa, Ma?”
Bu Intan menggigit bibir, mencoba mengatur nada suaranya agar terdengar lembut. “Tania, kamu baik-baik saja, sayang?”
Terdengar helaan napas pelan. “Aku baik-baik saja. Kenapa, Ma?”
“Bagaimana dengan Nazwa dan Rayhan?”
“Mereka juga baik-baik saja, Ma. Kenapa? Tumben nanyain mereka?”
Bu Intan terdiam sejenak sebelum akhirnya berkata, “Kamu tidak ingin bertemu lagi dengan Jovan, papanya Nazwa dan Rayhan?”
Di ujung telepon, Tania tercekat. Hatinya mencelos mendengar nama yang sudah bertahun-tahun ia coba lupakan. Namun, ia segera menguatkan diri. “Untuk apa, Ma? Aku sudah punya suami sekarang.”
“Tapi kamu eh maksud mama kalian kan tidak bahagia?” suara Bu Intan melembut, berusaha menyentuh hati putrinya.
Tania terkekeh sinis. “Dan siapa yang memastikan kebahagiaan itu, Ma? Kini aku menikah dengan pria pilihan Mama, kan? Kenapa sekarang Mama malah menyuruhku kembali ke Mas Jovan?”
Bu Intan menggigit bibir. “Karena Mama melihat dia lagi. Dia… dia sudah sukses. Lebih dari yang Mama bayangkan. Mama pikir mungkin dia masih mencintaimu, Tan.”
Tawa kecil terdengar di ujung telepon, tetapi kali ini terdengar getir. “Sukses? Itu yang Mama pikirkan? Apa Mama pikir Mas Jovan bisa melupakan semua perlakuan Mama dulu?” Tania menghela napas.
Bu Intan terdiam, sudah dia duga akan mendapat jawaban seperti itu.
“Ma, Mama yang menghinanya, mengusirnya, memaksaku menikah dengan pria lain? Sekarang, hanya karena Mas Jovan sudah kaya raya, Mama tiba-tiba ingin menjodohkan aku lagi dengannya?”
Tania menghela napas panjang, lalu dengan suara yang mulai meninggi, ia berkata, “Tapi aku sudah tahu, Ma! Aku tahu alasan Mama memutuskan pernikahanku dengan Mas Jovan dulu. Bukan hanya karena dia miskin, tapi karena Mama sakit hati! Mama marah karena menantumu itu selalu menolak Mama!”
Bu Intan tercekat. Tangannya gemetar, nyaris menjatuhkan gelas jus yang sejak tadi ia pegang. “T-Tania… darimana kamu dapat gosip murahan itu?”
Tania tertawa pahit. “Mama pikir aku tidak bisa melihat? Tidak bisa mendengar? Mama pikir aku tidak pernah curiga? Aku tahu, Ma! Aku tahu kalau Mama ingin aku kembali ke Mas Jovan sekarang, bukan demi aku, tapi demi Mama sendiri! Agar Mama bisa menguasai hartanya juga orangnya lagi!”
Suara Bu Intan melemah. “Tania, tidak seperti itu…”
“Dulu saja waktu Mas Jovan miskin, dia menolak ajakan Mama. Apalagi sekarang dia sudah menjadi orang kaya. Mas Jovan masih waras, Ma! Masa harus selingkuh dengan mertuanya sendiri?” Tania berkata dengan nada penuh emosi, lelah menahan semua yang selama ini ia pendam.
Hening menyelimuti percakapan mereka. Bu Intan tak mampu membalas. Wajahnya memerah, entah karena malu atau terkejut mengetahui bahwa putrinya telah menyadari semua keburukannya sejak lama.
“Mama hanya ingin yang terbaik untukmu, Nak,” suara Bu Intan hampir seperti bisikan.
“Tidak, Ma.” Suara Tania terdengar tegas, penuh kepedihan yang selama ini ia pendam. “Aku sudah cukup menjalani semua pilihan Mama. Sekarang, biarkan aku hidup dengan pilihanku sendiri.”
Bu Intan terdiam. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa kalah. Tania, putrinya yang dulu selalu menurut, kini berbicara dengan begitu tegas dan penuh luka.
Sebelum ia sempat berkata lagi, Tania sudah menutup teleponnya.
Bu Intan menatap layar ponselnya yang gelap, sementara hatinya terasa semakin remuk.
Amarah mulai membakar hatinya. Ia tidak terima diperlakukan seperti ini oleh anaknya sendiri. Dengan kasar, ia meletakkan ponsel di meja dan bangkit dari sofa. Perasaannya campur aduk—malu, marah, dan dendam yang perlahan-lahan menyelinap masuk.
"Kurang ajar!" desisnya. Tangannya mengepal, kukunya hampir mencengkeram telapak tangannya sendiri. "Dia berani melawan aku? Anak yang kubesarkan dengan susah payah?"
Bu Intan berjalan mondar-mandir di ruang tamu, pikirannya berkecamuk. Tak bisa dibiarkan. Tania harus mengerti siapa yang berkuasa di sini.
Tanpa pikir panjang, ia meraih ponselnya kembali dan mencari nomor Jovan. Kalau Tania menolak, maka ia sendiri yang akan bicara dengan pria itu. Ia tidak peduli lagi. Jovan harus tahu kalau Tania masih mencintainya, meskipun anaknya itu keras kepala dan bodoh!
Dengan jemari gemetar karena emosi, Bu Intan menekan tombol panggil. Satu dering… dua dering… Jovan belum mengangkatnya. Tapi Bu Intan tak peduli. Ia akan menunggu. Ia akan memastikan rencananya berhasil, bagaimanapun caranya.
Bu Intan bangkit, berjalan menuju jendela, menyingkap sedikit tirai. Langit senja mulai memerah, menyisakan kilau cahaya keemasan di sela-sela gedung. Suaminya belum pulang. Anak-anaknya sibuk dengan dunia mereka sendiri. Ruangan terasa sunyi, namun pikirannya riuh.
Dengan jantung yang berdetak lebih cepat dari biasanya, akhirnya ia menggerakkan jarinya, menekan tombol panggil. Belum sempat ia berubah pikiran, suara berderit dari ponsel menandakan panggilan tersambung.
“Ya?” suara Jovan di seberang terdengar sedikit terkejut.
Bu Intan menelan ludah. “Jovan… ini mama.” Suara Bu Intan teramat lembut.
Hening.
Lalu terdengar helaan napas berat dari Jovan. “Bu Intan?”
“Apakah kita bisa bertemu?” tanya Bu Intan pelan, berharap suaranya terdengar lebih tenang dari hatinya yang bergetar.
Jovan tidak langsung menjawab. Ada jeda yang terasa lama, seakan pria itu sedang mempertimbangkan sesuatu.
“Di mana?” tanyanya akhirnya.
Bu Intan menyebutkan nama sebuah rumah makan yang cukup eksklusif, tempat yang menurutnya cukup netral. Jovan kembali terdiam.
“Jam tujuh malam ini?” lanjut Bu Intan, meski keraguan masih menggelayuti hatinya.
Beberapa detik berlalu sebelum Jovan akhirnya mengiyakan. “Baiklah.”
Setelah panggilan berakhir, Bu Intan menatap layar ponselnya yang kembali gelap. Ia menutup mata, menarik napas panjang.
Keputusan sudah dibuat.
Namun, apakah ini keputusan yang benar?
^*^
Restoran itu cukup ramai malam ini. Lampu-lampu gantung berwarna kuning temaram memancarkan cahaya lembut, menciptakan suasana elegan di antara meja-meja yang tertata rapi. Pelayan berlalu-lalang dengan sopan, membawa nampan berisi hidangan mahal yang menguar aroma menggoda.
Di salah satu sudut restoran, duduklah Bu Intan.
Gaun berwarna marun yang dipilihnya dengan hati-hati membalut tubuhnya dengan anggun. Rambutnya tersisir rapi, dengan sedikit gelombang yang mempermanis wajahnya. Riasannya tidak berlebihan, hanya cukup untuk menegaskan pesona alaminya. Ia tampil sempurna malam ini.
Namun satu hal yang tidak sempurna: kursi kosong di hadapannya.
Jovan belum datang.
Bu Intan melirik ponselnya yang tergeletak di atas meja. Layar hitamnya memantulkan wajahnya yang mulai diselimuti kegelisahan. Ia menghela napas, lalu menyentuh layar, membuka daftar panggilan. Satu nama berada di urutan teratas. Jovan.
Ia mengetuk nomor itu sekali lagi.
Satu dering… dua dering… lima dering… tidak diangkat.
Bu Intan menggigit bibirnya, menahan sesuatu yang mendesak di dadanya. Rasa tidak nyaman itu mulai tumbuh, bercampur dengan kekesalan dan kekecewaan yang ia coba redam.
Ia menoleh ke arah pintu masuk restoran. Beberapa pria berdasi baru saja melangkah masuk, disambut ramah oleh resepsionis. Seketika, jantungnya berdebar lebih cepat—barangkali salah satunya adalah Jovan. Namun, harapan itu segera pupus saat ia menyadari tidak ada satu pun dari mereka yang memiliki wajah yang dikenalnya.
Lagi-lagi, ia menghela napas.
Pelayan datang, menanyakan apakah ia ingin memesan sesuatu. Bu Intan tersenyum tipis, mencoba tetap tenang. “Air putih dulu saja,” katanya.
Sementara pelayan pergi, ia kembali meraih ponselnya. Kali ini, ia tidak langsung menekan tombol panggil. Ia hanya menatap nama itu, mempertimbangkan apakah ia harus mencoba lagi atau tidak.
"Mungkin dia sedang di jalan," pikirnya, mencoba mencari alasan untuk membenarkan keterlambatan ini.
Namun, jauh di lubuk hatinya, ia tahu… jika seseorang benar-benar ingin datang, mereka pasti memberi kabar.
Jam di pergelangan tangannya sudah menunjukkan pukul setengah delapan.
Bu Intan menyesap air putihnya perlahan. Pikirannya melayang ke masa lalu. Betapa dulu Jovan adalah pria yang selalu menepati janji, tidak pernah membuatnya menunggu seperti ini. Tapi itu dulu saat dia masih jadi menantunya.
Mungkinkah Jovan memang tidak ingin bertemu?
Ataukah ini caranya memberi jawaban tanpa perlu berkata apa-apa?
Hatinya berdesir perih, namun ia belum mau menyerah.
Belum.
Jovan masih punya waktu.
Maka, ia tetap duduk di sana, dengan ponsel yang sesekali ia lirik, berharap nama itu muncul di layar dan memberikan kabar manis.
Tapi sejauh ini, yang ia dapatkan hanyalah gelap dan sunyi.
^*^
Jovan masih duduk di dalam mobilnya, tangannya menggenggam kemudi dengan erat, matanya tak lepas dari sosok anggun di dalam restoran, mantan mertuanya.Sudah sejak tadi ia melihat Bu Intan, duduk sendirian, gelisah, sesekali melirik ponselnya, mungkin menunggu pesan darinya. Namun, hatinya masih diselimuti keraguan yang terlalu pekat.Lima tahun lalu, ia bukan siapa-siapa. Seorang pria dengan mimpi besar namun tanpa nama, tanpa harta. Dan Bu Intan—wanita yang kini tampak anggun dalam gaun marunnya—pernah menjadi bagian dari kepedihannya. Ia mengingat bagaimana ibu mertuanya, dengan wajah dingin dan lidah tajam, selalu merendahkannya di depan keluarganya sendiri.Kata-kata itu masih terpatri jelas dalam ingatannya, menghantam harga dirinya seperti badai. Penghinaan itu bukan sekadar luka biasa, tapi luka yang mencabik-cabik harga dirinya sebagai seorang suami sekaligus seorang ayah untuk dua anaknya.Dalam satu malam, ia kehilangan semuanya—istri yang ia cintai, kedua anaknya, bahkan h
Ketika mereka sampai di halaman rumah Bu Intan, wanita itu turun lebih dulu. Jovan mengikuti dengan santai, tangannya dimasukkan ke dalam saku celana, menatap rumah mewah yang pernah menjadi saksi penderitaannya lima tahun lalu."Kamu tidak harus masuk kalau tak ingin," kata Bu Intan lembut.Jovan tertawa kecil. "Aku justru ingin masuk."Bu Intan terdiam sejenak, lalu membalikkan badan, berjalan lebih dulu menuju pintu. Begitu mereka masuk, suasana rumah itu terasa terlalu tenang, terlalu luas untuk ditinggali seorang diri.Jovan menatap sekeliling. "Dulu, rumah ini terasa lebih ramai," katanya, nadanya terdengar lebih seperti sindiran.Bu Intan melangkah ke meja bar kecil di sudut ruangan, menuangkan dua gelas minuman, lalu menyerahkan salah satunya pada Jovan. "Sekarang hanya ada aku di sini," katanya pelan.Jovan menerima gelas itu, tetapi tidak langsung meminumnya. Ia justru melangkah lebih dekat, menatap Bu Intan dengan sorot mata yang sulit ditebak."Lalu, apa yang sebenarnya ka
Jovan masih menyunggingkan senyum penuh kemenangan. Di balik kemudi, ia merogoh saku, mengambil rokok, lalu menyalakannya dengan gerakan santai. Asap tipis mengepul di udara malam yang mulai dingin.Rizal di kursi penumpang ikut terkekeh, menyalakan rokoknya sendiri. "Gila, Bang. Saya nunggu di ujung jalan sambil nahan ketawa. Udah bisa nebak endingnya."Jovan menghembuskan asap, lalu melirik Rizal dengan seringai nakal. "Endingnya bisa beda jauh kalau lu telat dua menit aja nelpon gue."Mereka kembali tertawa. Mobil melaju pelan menembus malam, melewati jalanan kota yang mulai lengang. Lampu-lampu jalan berpendar temaram, menciptakan bayangan panjang di trotoar."Tapi abang puas, kan?" Rizal kembali bertanya, kali ini dengan nada lebih serius.Jovan diam sejenak, pandangannya menerawang ke jalanan yang terbentang di depan. "Gue nggak tahu, Zal."Rizal melirik Jovan, penasaran dengan perubahan ekspresi bosnya.Jovan menghela napas, membuang sisa rokoknya keluar jendela. "Gue kira baka
Malam itu, sesuai petunjuk dari salah seorang ajudan Pak Sony, seorang pejabatn di Kementrian Pertanian Jovan tiba di sebuah vila yang berdiri megah di tengah alam. Kesepakatan rahasia yang sudah mereka putuskan saat gala diner seminggu yang lalu.Namanya ‘Vila Sony’, berupa rumah panggung yang elegan, memancarkan kesan mewah sekaligus alami. Dinding kayu jati tua yang mengilap oleh waktu berdiri kokoh di atas tiang-tiang setinggi satu meter, membawa kesan kekuatan dan keanggunan yang berpadu sempurna dengan suasana malam.Vila yang terletak di tengah alam terbuka itu seakan menjadi sebuah oase keindahan dan kedamaian. Meski tidak besar, bangunan ini memberikan kesan lapang dan terbuka. Dinding-dindingnya tidak penuh, hanya berupa pagar kayu setinggi lutut, yang memberi pandangan langsung ke luar, menyatu dengan alam di sekitarnya.Dari dalam, pandangan Jovan tertuju pada kolam ikan di depan vila, airnya berkilauan di bawah sinar bulan, menambah keindahan malam yang tenang. Ikan-ikan n
Suasana alami dan terbuka ini membuat semuanya terasa lebih bebas, lebih menggoda, seakan alam pun turut berkonspirasi menghadirkan suasana yang sempurna bagi mereka berdua.Saat Tante Sony kembali dengan teh hangat di tangannya, senyumnya semakin hangat.“Tehnya sudah siap, Jovan,” suara lembut Tante Sony menyusup tenang ke telinga Jovan, memecah lamunannya. Jovan tersenyum tipis, menyembunyikan rasa waspadanya di balik senyum ramah saat menerima cangkir teh hangat dari tangan sang nyonya.Dalam keheningan malam itu, hatinya tetap siaga—ia tahu, malam ini belum berakhir, dan percakapan hangat ini hanyalah pembuka dari sesuatu yang lebih dalam. Mereka terus ngobrol hangat dalam nuansa keakraban yang perlahan-lahan sudah mulai terjalin, tanpa harus membuka identitas masing-masing lebih jauh."Tante nggak kedinginan?" bisik Jovan perlahan, suaranya tenang, seperti menyatu dengan alunan malam di sekitarnya."Enggak," jawab Tante Sony, suaranya lebih lirih, nyaris berbisik. "Ada kamu yang
Jovan, masih berdiri di bawah sinar rembulan, mulai menggerakkan tubuhnya dengan gerakan kecil namun penuh makna. Otot-ototnya menegang dan mengendur secara bergantian, menonjolkan bentuk tubuh atletisnya. Ia sedikit memutar bahu, lalu mengangkat lengannya perlahan, memamerkan otot bicep yang besar dan kuat seolah sedang mempersiapkan pose seperti seorang binaragawan yang penuh percaya diri.Tante Sony menahan napas ketika Jovan melenturkan otot-otot dadanya. Gerakan itu tampak begitu alami, namun begitu terkontrol, seolah setiap bagian tubuhnya memahami bagaimana menampilkan kekuatan dan keindahan dalam harmoni yang sempurna. Cahaya rembulan yang redup menyorot dengan lembut pada kulitnya yang basah oleh keringat tipis, menambah kilau sensual pada setiap otot yang bergerak.Jovan menoleh, lalu tersenyum tipis, dan perlahan melenturkan otot perutnya, membiarkan lekukan-lekukan tajam itu terlihat jelas di bawah cahaya malam. Tante Sony tidak bisa menahan rasa kagum yang mengalir sepert
Jovan bangkit dari tidurannya, lalu mengambil dua gelas air dari dispenser, satu untuknya dan satu lagi untuk Tange Pak Sony.“Udah segeran lagi?” tanya Jovan penuh perhatian setelah kembali dari menyimpan gelas kosong bekas mereka minum.Sementara itu Pak Sony terduduk lemas di atas tanah karena rudal kecilnya pun sudah menumpahkan amunisinya, hanya dalam beberapa kali kocokan saja.Jovan berdiri gagah di depan Tante Sony dengan tubuh atletisnya, benda di selangkangannya nampak mencolok luar biasa. Tante Sony membandingkannya dengan pisang ambon terbesar yang pernah dia lihat, atau terong ungu yang sering dia elus-elus, sambil membayangkan kalau punya suaminya sebesar itu.Jantung Tante Sony makin berdebar kencang menyaksikan rudal yang seolah sengaja dibiarkan menunjukan kehebatannya depan wajahnya. Tante Sony bahkan seperti terhipnotis, merasakan lelaki yang berdiri di depannya adalah seseorang yang tidak bisa dia sangkal, sangat menarik, lembut, sopan dan profesional.Jovan membun
Jovan baru saja duduk di teras, menikmati udara malam dengan secangkir kopi, ketika suara motor tua meraung memasuki area rumah kebunnya. Suaranya lebih mirip knalpot gerobak butut ketimbang kendaraan roda dua. Dari kejauhan, sudah bisa ditebak siapa yang datang.Tak lama, seseorang turun dengan gerakan dramatis. Mbah Wadul."Mas Jo! Assalamu’alaikuuuummm!"Jovan menarik napas, menyesal tidak buru-buru masuk rumah dan berpura-pura tiada."Wa’alaikumsalam, Mbah. Ada apa malam-malam?" tanyanya, setengah hati.Mbah Wadul langsung duduk tanpa dipersilakan, mengeluarkan rokok dari jaket kulitnya yang sudah pudar. Setelah menghembuskan asap, dia berkata dengan nada penuh kebijakan."Gini, Mas Jo… Mbah ini prihatin sama sampean. Sudah lama menduda, tapi kok nggak laku-laku? Ini nggak masuk akal!"Sebelum Jovan sempat membantah, suara lain menyela dari haalaman samping."Nah, ini nih! Akhirnya ada yang sadar!"Jovan dan Mbah Wadul menoleh bersamaan. Rizal, berdiri dengan senyum penuh arti."W
Begitu terasa bahwa liang relung kenikmatan Vena mau menerima kehadiaran rudal Hendi, tiba-tiba Hendi menghentakkan lagi rudalnya dengan sekali hentakah dan bleess, masuklah semua batang rudal Hendi keliang relung kenikmatan Vena; kemudian didiamkan sekali lagi rudal Hendi tersebut didalam liang itu, menunggu sebentar, sambil tangan Hendi mengelus elus pantat keras Vena."Vena sayang, masih sakitkah, aku tunggu sampai kamu siap menerimanya sayang.""Ya Mas Hendi, masih agak sakit, tapi kuusahakan sereleks mungkin," kata Vena sambil menggigil menahan antara gejolak asmaranya dan rasa sakit yang diterimanya.Setelah selang beberapa saat, dicoba digoyangkannya pantat Hendi maju mundur, kiri kanan dan memutar, dengan pelan, sambil terus Hendi mengelus pantat Vena, dengan sabar.Terdengar lenguhan dan rintihan Vena."Eechh, eesshhtt, eecchh""Vena, gimana, terasa enakan?""Bisa aku teruskan ya sayang, coba kamu konsentrasikan dulu.""Bayangkan kenikmatan dalam relung nikmatmu dengan geseka
Tak sabar Vena melihat pemandangan yang erotic itu, segera ia mendekat dan diterkamnya dengan dua tangannya rudal segar berkepala seperti jamur itu, tanpa menunggu perintah dari pemiliknya.Segera Vena mendaratkan bibir sensualnya pada kepala rudal Hendi yang sangat mengkilat dan membasah. Dicobanya dia mengecup lubang air seni dikepala rudal yang membasah itu dengan perasaan gemas, penuh birahi dan nafsunya yang sangat besar; magnit dan 'chemistry' dari badan Hendi pun menariknya, menaburkan cinta birahi menutup semua 'sense' yang ada di pribadinya.Mendengar sambutan desahan yang terjadi, dikuatkannya dirinya dan dijilatinya seluruh permukan rudal yang berurat kencang; erangan Hendi bertambah dengan getaran badannya, otomatis tangan Hendi membelai dan mengacak rambut Vena. Terasa olehnya semua simpul batang rudalnya dijamah, digelitiknya oleh lidah halus nakal kepunyaan Vena.Kembali Vena ke kepala rudal, dicobanya mengulum kepala yang besar, basah dan mengikat itu lalu dihisap-hisa
Dalam pelukan Hendi, Vena bagaikan dihadapkan oleh magnit bumi yang sangat besar sekali, ia menempelkan dirinya di dada Hendi pelahan-lahan direbahkannya tubuh Vena pada kasur.Emosinya telah terselubungi bara asmara, Vena pun pasrah, deburan darah dan detup jantungnya mengguncang tubuhnya yang sangat molek dan bergairah. Ditunggunya moment indah yang akan dirasakan bersama Hendi, seperti dalam gambaran benaknya.Gumaman dan desahan selama pagutan. Jelas getaran cinta yang dibawa Vena membuat Hendi semakin tergairah lagi ingin lebih melakukan langkahnya, menjelajahi badan mulus Vena. Dibukanya kancing depan blusenya yang menepel di badannya, dielusnya sembulan kenyal gunung kembar indah yang mencuat sebagian dari sarangnya warna pastel.Diangkatnya kepala Vena dan diletakkannya di pangkuannya, dirabanya halus buah dadanya; dengan mata sayu penuh nafsu, diangkatnya lagi lebih tinggi bahu dan kepala Vena dan disandarkanya pada lengan kirinya, jemari tangan kiri mengusap-usap lengan tang
Hendi berdiri di ambang pintu, mengenakan setelan kasual yang tetap memancarkan kelasnya. Pria itu memang memiliki aura yang tak jauh berbeda dengannya—tinggi, tampan, dengan garis wajah tegas khas keturunan Timur Tengah. Bedanya, Hendi memiliki sifat yang lebih stabil, lebih bisa diandalkan dalam jangka panjang. Dan itulah yang Jovan inginkan untuk Vena.“Lu datang tepat waktu,” ucap Jovan dengan nada ringan, menepuk bahu Hendi sebelum mempersilakannya masuk.Vena, yang sejak tadi duduk di sofa dengan perasaan tak menentu, mendongak begitu melihat pria asing masuk. Mata indahnya membulat, penuh tanda tanya.“Ini Hendi,” kata Jovan, mengisyaratkan pada pria itu untuk mendekat. “Dia lebih bisa diandalkan dibanding aku.”Vena masih terpaku, belum sepenuhnya menangkap maksud Jovan. “Maksudnya?”Jovan menatapnya dengan sorot yang sulit diartikan—ada ketulusan di sana, tapi juga sesuatu yang lain, sesuatu yang terasa seperti perpisahan.“Aku nggak bisa ada buatmu terus, Vena.” Suaranya ter
Jovan memarkirkan mobilnya di depan lobi hotel bintang lima dengan gerakan yang begitu mulus. Seorang bellboy segera menghampiri, membukakan pintu dengan penuh sopan santun. Vena turun dengan langkah ragu, matanya menelusuri kemegahan yang terpampang di hadapannya—lampu kristal raksasa bergelayut di langit-langit, lantai marmer yang berkilau seperti cermin, serta para tamu berpakaian glamor yang hilir mudik dengan penuh percaya diri.Jovan meliriknya, menangkap jelas ekspresi takjub sekaligus kikuk di wajah perempuan itu. Senyumnya terbit samar. "Jangan tegang, santai aja. Ini cuma hotel," katanya ringan, seolah tempat ini sama biasa baginya seperti warung kopi pinggir jalan.Vena menelan ludah. Baginya, ini lebih dari sekadar hotel—ini dunia lain. Dunia yang tidak pernah ia bayangkan akan dimasuki olehnya, apalagi dengan seorang lelaki seperti Jovan.Pak Arif benar, lelaki ini bukan orang sembarangan. Tapi siapa sebenarnya dia?Mereka berjalan melewati lobi, dan setiap langkah terasa
Jovan berdiri di depan rumah Pak Arif, jantungnya berdetak kencang. Lampu teras menyala redup, menyisakan bayangan samar di balik jendela. Sial. Gue beneran di sini.Pintu depan setengah terbuka, seperti sudah menunggunya.Dia melangkah masuk dengan ragu, melewati ruang tamu yang berbau kayu dan aroma teh hangat. Pak Arif duduk di kursinya, tersenyum tipis seakan sudah tahu Jovan bakal datang lagi.Jovan menghela napas panjang, menenangkan debaran di dadanya. Malam itu terasa begitu aneh, bukan hanya karena dia berdiri di depan rumah Pak Arif dengan perasaan yang bercampur aduk, tapi karena seluruh situasi ini seperti mimpi buruk yang sulit dipahami. Suara motor yang tadi membelah jalan kini senyap, meninggalkan hanya detak jantungnya yang menggema di telinga.Pak Arif masih duduk di kursinya, tersenyum tipis seolah sudah tahu apa yang akan terjadi. Ruangan itu terasa sempit, meski sebenarnya luas dan nyaman. Aroma teh hangat yang biasanya memberi rasa tenang kini terasa membebaninya.
Seminggu telah berlalu dalam kegaulan tingkat dewa.Jovan sedang nongkrong di atas motornya, tepat di depan sebuah mall yang masih ramai meski malam semakin larut. Jaket kulit hitamnya terbuka, memperlihatkan kaus putih polos yang membalut tubuh atletisnya. Sepasang mata tajamnya mengamati lalu lalang orang-orang, sebagian besar adalah pasangan atau geng anak muda yang asik bercanda.Sejumput asap rokok melayang dari bibirnya sebelum ia membuang puntungnya ke aspal dan menginjaknya dengan sepatu boots hitam. Motor sport yang ditungganginya berkilat di bawah lampu jalanan, menarik beberapa lirikan dari cewek-cewek yang lewat. Beberapa bahkan sengaja berjalan lebih lambat saat melewatinya, berharap ditoleh atau sekadar mendapat senyum dari pria yang wajahnya sekeras batu tapi pesonanya susah ditolak.Tapi malam ini, Jovan tidak sedang tertarik main mata. Kepalanya masih penuh dengan kejadian absurd beberapa jam lalu. Tawaran gila dari Pak Arif masih menggantung di pikirannya."Kenapa hi
Malam di Diskotik.Musik berdentum keras, menggetarkan lantai dengan irama bass yang menggila. Lampu-lampu strobo berkedip dalam warna merah, biru, dan ungu, menciptakan ilusi gerakan yang lebih liar dari kenyataan. Aroma parfum mahal bercampur alkohol memenuhi udara, melebur dengan tawa-tawa hingar-bingar dan obrolan setengah berteriak dari meja-meja VIP.Jovan duduk di salah satu sofa kulit berwarna hitam, minuman di tangannya hanya sekadar properti. Ia tidak benar-benar berniat menikmatinya. Di sekelilingnya, wanita-wanita kelas atas dengan gaun ketat yang memperlihatkan bahu atau belahan dada sibuk menari, tertawa, dan sesekali mencuri kesempatan untuk menyentuhnya."Jovan, sejak kapan lu jadi alim?" tanya seorang pria di sebelahnya, Reno, teman lamanya yang sudah terlalu akrab dengan dunia malam. "Dulu lu raja tempat ini, sekarang malah lebih banyak bengong."Jovan hanya menanggapi dengan senyum tipis.Seorang wanita dengan gaun merah darah mendekat, duduk tanpa diundang di pangk
Begitu ia melangkah ke dalam, suara batuk kecil menyambutnya. Pak Arif duduk di sofa dengan ekspresi yang sulit ditebak. Pria itu menatapnya dengan senyum tipis—sebuah senyum yang terasa… misterius."Ah, Mas Jovan," sapanya santai. "Saya tahu kamu pasti datang lagi."Jovan berusaha tetap tenang, meskipun perutnya terasa sedikit mual mengingat percakapan absurd mereka kemarin."Pak, saya cuma mampir sebentar," katanya, sengaja memperjelas bahwa ia tidak berencana berlama-lama.Tapi Pak Arif justru tersenyum lebih lebar. "Nggak usah buru-buru, Mas. Duduk dulu. Saya lagi pengin ngobrol."Jovan menekan dorongan untuk menghela napas keras. Vena, yang tampaknya tidak menyadari ketegangan aneh di antara mereka, langsung pergi ke dapur, meninggalkan dua pria itu dalam ruang tamu yang terasa semakin sesak.Pak Arif mendekat sedikit. Suaranya merendah, tapi penuh tekanan. "Jadi, Mas Jovan… sudah dipikirkan?"Jovan menutup mata sebentar. "Pak… saya nggak mau ngomongin itu lagi."Pak Arif hanya t