Share

6) Penolakan Tania

Author: NDRA IRAWAN
last update Last Updated: 2025-03-24 20:13:44

Bu Intan duduk di ruang tengah rumahnya yang luas, tetapi terasa begitu sepi. Jemarinya mengetuk-ngetuk gelas jus jeruk di atas meja, sementara pikirannya melayang ke pertemuan dengan Jovan di gala dinner seminggu yang lalu.

Pria itu… sudah jauh berbeda. Bukan lagi lelaki sederhana yang dulu ia hina habis-habisan, tetapi seorang miliarder yang tampil begitu berwibawa. Bu Intan sudah banyak mengumpulkan data dari beberapa koleganya. Sebagai istri pejabat di kementrian, tentu saja hal itu bukan perkara susah.

Dan selama satu minggu ini, hatinya masih berdebar saat mengingat tatapan tajam Jovan, senyum miringnya, dan caranya menggoda seolah membalas semua perlakuan kejamnya dulu. Bu Intan tidak bisa menyangkal bahwa ada sesuatu dalam dirinya yang bergelora.

Rasa bersalah, penyesalan dan yang mendominasinya justru ketertarikan. Hasrat yang sudah lama dia kubur dalam-dalam, mulai kembali bangkit dan mengganggunya. Dan dengan keraguan, ia meraih ponselnya dan menekan nomor Tania, putrinya.

Butuh beberapa dering sebelum akhirnya suara datar Tania terdengar di seberang sana.

“Ada apa, Ma?”

Bu Intan menggigit bibir, mencoba mengatur nada suaranya agar terdengar lembut. “Tania, kamu baik-baik saja, sayang?”

Terdengar helaan napas pelan. “Aku baik-baik saja. Kenapa, Ma?”

“Bagaimana dengan Nazwa dan Rayhan?”

“Mereka juga baik-baik saja, Ma. Kenapa? Tumben nanyain mereka?”

Bu Intan terdiam sejenak sebelum akhirnya berkata, “Kamu tidak ingin bertemu lagi dengan Jovan, papanya Nazwa dan Rayhan?”

Di ujung telepon, Tania tercekat. Hatinya mencelos mendengar nama yang sudah bertahun-tahun ia coba lupakan. Namun, ia segera menguatkan diri. “Untuk apa, Ma? Aku sudah punya suami sekarang.”

“Tapi kamu eh maksud mama kalian kan tidak bahagia?” suara Bu Intan melembut, berusaha menyentuh hati putrinya.

Tania terkekeh sinis. “Dan siapa yang memastikan kebahagiaan itu, Ma? Kini aku menikah dengan pria pilihan Mama, kan? Kenapa sekarang Mama malah menyuruhku kembali ke Mas Jovan?”

Bu Intan menggigit bibir. “Karena Mama melihat dia lagi. Dia… dia sudah sukses. Lebih dari yang Mama bayangkan. Mama pikir mungkin dia masih mencintaimu, Tan.”

Tawa kecil terdengar di ujung telepon, tetapi kali ini terdengar getir. “Sukses? Itu yang Mama pikirkan? Apa Mama pikir Mas Jovan bisa melupakan semua perlakuan Mama dulu?” Tania menghela napas.

Bu Intan terdiam, sudah dia duga akan mendapat jawaban seperti itu.

“Ma, Mama yang menghinanya, mengusirnya, memaksaku menikah dengan pria lain? Sekarang, hanya karena Mas Jovan sudah kaya raya, Mama tiba-tiba ingin menjodohkan aku lagi dengannya?”

Tania menghela napas panjang, lalu dengan suara yang mulai meninggi, ia berkata, “Tapi aku sudah tahu, Ma! Aku tahu alasan Mama memutuskan pernikahanku dengan Mas Jovan dulu. Bukan hanya karena dia miskin, tapi karena Mama sakit hati! Mama marah karena menantumu itu selalu menolak Mama!”

Bu Intan tercekat. Tangannya gemetar, nyaris menjatuhkan gelas jus yang sejak tadi ia pegang. “T-Tania… darimana kamu dapat gosip murahan itu?”

Tania tertawa pahit. “Mama pikir aku tidak bisa melihat? Tidak bisa mendengar? Mama pikir aku tidak pernah curiga? Aku tahu, Ma! Aku tahu kalau Mama ingin aku kembali ke Mas Jovan sekarang, bukan demi aku, tapi demi Mama sendiri! Agar Mama bisa menguasai hartanya juga orangnya lagi!”

Suara Bu Intan melemah. “Tania, tidak seperti itu…”

“Dulu saja waktu Mas Jovan miskin, dia menolak ajakan Mama. Apalagi sekarang dia sudah menjadi orang kaya. Mas Jovan masih waras, Ma! Masa harus selingkuh dengan mertuanya sendiri?” Tania berkata dengan nada penuh emosi, lelah menahan semua yang selama ini ia pendam.

Hening menyelimuti percakapan mereka. Bu Intan tak mampu membalas. Wajahnya memerah, entah karena malu atau terkejut mengetahui bahwa putrinya telah menyadari semua keburukannya sejak lama.

“Mama hanya ingin yang terbaik untukmu, Nak,” suara Bu Intan hampir seperti bisikan.

“Tidak, Ma.” Suara Tania terdengar tegas, penuh kepedihan yang selama ini ia pendam. “Aku sudah cukup menjalani semua pilihan Mama. Sekarang, biarkan aku hidup dengan pilihanku sendiri.”

Bu Intan terdiam. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa kalah. Tania, putrinya yang dulu selalu menurut, kini berbicara dengan begitu tegas dan penuh luka.

Sebelum ia sempat berkata lagi, Tania sudah menutup teleponnya.

Bu Intan menatap layar ponselnya yang gelap, sementara hatinya terasa semakin remuk.

Amarah mulai membakar hatinya. Ia tidak terima diperlakukan seperti ini oleh anaknya sendiri. Dengan kasar, ia meletakkan ponsel di meja dan bangkit dari sofa. Perasaannya campur aduk—malu, marah, dan dendam yang perlahan-lahan menyelinap masuk.

"Kurang ajar!" desisnya. Tangannya mengepal, kukunya hampir mencengkeram telapak tangannya sendiri. "Dia berani melawan aku? Anak yang kubesarkan dengan susah payah?"

Bu Intan berjalan mondar-mandir di ruang tamu, pikirannya berkecamuk. Tak bisa dibiarkan. Tania harus mengerti siapa yang berkuasa di sini.

Tanpa pikir panjang, ia meraih ponselnya kembali dan mencari nomor Jovan. Kalau Tania menolak, maka ia sendiri yang akan bicara dengan pria itu. Ia tidak peduli lagi. Jovan harus tahu kalau Tania masih mencintainya, meskipun anaknya itu keras kepala dan bodoh!

Dengan jemari gemetar karena emosi, Bu Intan menekan tombol panggil. Satu dering… dua dering… Jovan belum mengangkatnya. Tapi Bu Intan tak peduli. Ia akan menunggu. Ia akan memastikan rencananya berhasil, bagaimanapun caranya.

Bu Intan bangkit, berjalan menuju jendela, menyingkap sedikit tirai. Langit senja mulai memerah, menyisakan kilau cahaya keemasan di sela-sela gedung. Suaminya belum pulang. Anak-anaknya sibuk dengan dunia mereka sendiri. Ruangan terasa sunyi, namun pikirannya riuh.

Dengan jantung yang berdetak lebih cepat dari biasanya, akhirnya ia menggerakkan jarinya, menekan tombol panggil. Belum sempat ia berubah pikiran, suara berderit dari ponsel menandakan panggilan tersambung.

“Ya?” suara Jovan di seberang terdengar sedikit terkejut.

Bu Intan menelan ludah. “Jovan… ini mama.” Suara Bu Intan teramat lembut.

Hening.

Lalu terdengar helaan napas berat dari Jovan. “Bu Intan?”

“Apakah kita bisa bertemu?” tanya Bu Intan pelan, berharap suaranya terdengar lebih tenang dari hatinya yang bergetar.

Jovan tidak langsung menjawab. Ada jeda yang terasa lama, seakan pria itu sedang mempertimbangkan sesuatu.

“Di mana?” tanyanya akhirnya.

Bu Intan menyebutkan nama sebuah rumah makan yang cukup eksklusif, tempat yang menurutnya cukup netral. Jovan kembali terdiam.

“Jam tujuh malam ini?” lanjut Bu Intan, meski keraguan masih menggelayuti hatinya.

Beberapa detik berlalu sebelum Jovan akhirnya mengiyakan. “Baiklah.”

Setelah panggilan berakhir, Bu Intan menatap layar ponselnya yang kembali gelap. Ia menutup mata, menarik napas panjang.

Keputusan sudah dibuat.

Namun, apakah ini keputusan yang benar?

^*^

Restoran itu cukup ramai malam ini. Lampu-lampu gantung berwarna kuning temaram memancarkan cahaya lembut, menciptakan suasana elegan di antara meja-meja yang tertata rapi. Pelayan berlalu-lalang dengan sopan, membawa nampan berisi hidangan mahal yang menguar aroma menggoda.

Di salah satu sudut restoran, duduklah Bu Intan.

Gaun berwarna marun yang dipilihnya dengan hati-hati membalut tubuhnya dengan anggun. Rambutnya tersisir rapi, dengan sedikit gelombang yang mempermanis wajahnya. Riasannya tidak berlebihan, hanya cukup untuk menegaskan pesona alaminya. Ia tampil sempurna malam ini.

Namun satu hal yang tidak sempurna: kursi kosong di hadapannya.

Jovan belum datang.

Bu Intan melirik ponselnya yang tergeletak di atas meja. Layar hitamnya memantulkan wajahnya yang mulai diselimuti kegelisahan. Ia menghela napas, lalu menyentuh layar, membuka daftar panggilan. Satu nama berada di urutan teratas. Jovan.

Ia mengetuk nomor itu sekali lagi.

Satu dering… dua dering… lima dering… tidak diangkat.

Bu Intan menggigit bibirnya, menahan sesuatu yang mendesak di dadanya. Rasa tidak nyaman itu mulai tumbuh, bercampur dengan kekesalan dan kekecewaan yang ia coba redam.

Ia menoleh ke arah pintu masuk restoran. Beberapa pria berdasi baru saja melangkah masuk, disambut ramah oleh resepsionis. Seketika, jantungnya berdebar lebih cepat—barangkali salah satunya adalah Jovan. Namun, harapan itu segera pupus saat ia menyadari tidak ada satu pun dari mereka yang memiliki wajah yang dikenalnya.

Lagi-lagi, ia menghela napas.

Pelayan datang, menanyakan apakah ia ingin memesan sesuatu. Bu Intan tersenyum tipis, mencoba tetap tenang. “Air putih dulu saja,” katanya.

Sementara pelayan pergi, ia kembali meraih ponselnya. Kali ini, ia tidak langsung menekan tombol panggil. Ia hanya menatap nama itu, mempertimbangkan apakah ia harus mencoba lagi atau tidak.

"Mungkin dia sedang di jalan," pikirnya, mencoba mencari alasan untuk membenarkan keterlambatan ini.

Namun, jauh di lubuk hatinya, ia tahu… jika seseorang benar-benar ingin datang, mereka pasti memberi kabar.

Jam di pergelangan tangannya sudah menunjukkan pukul setengah delapan.

Bu Intan menyesap air putihnya perlahan. Pikirannya melayang ke masa lalu. Betapa dulu Jovan adalah pria yang selalu menepati janji, tidak pernah membuatnya menunggu seperti ini. Tapi itu dulu saat dia masih jadi menantunya.

Mungkinkah Jovan memang tidak ingin bertemu?

Ataukah ini caranya memberi jawaban tanpa perlu berkata apa-apa?

Hatinya berdesir perih, namun ia belum mau menyerah.

Belum.

Jovan masih punya waktu.

Maka, ia tetap duduk di sana, dengan ponsel yang sesekali ia lirik, berharap nama itu muncul di layar dan memberikan kabar manis.

Tapi sejauh ini, yang ia dapatkan hanyalah gelap dan sunyi.

^*^

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Hasrat Bukan Menantu Idaman   7) Pertemuan Kedua

    Jovan masih duduk di dalam mobilnya, tangannya menggenggam kemudi dengan erat, matanya tak lepas dari sosok anggun di dalam restoran, mantan mertuanya.Sudah sejak tadi ia melihat Bu Intan, duduk sendirian, gelisah, sesekali melirik ponselnya, mungkin menunggu pesan darinya. Namun, hatinya masih diselimuti keraguan yang terlalu pekat.Lima tahun lalu, ia bukan siapa-siapa. Seorang pria dengan mimpi besar namun tanpa nama, tanpa harta. Dan Bu Intan—wanita yang kini tampak anggun dalam gaun marunnya—pernah menjadi bagian dari kepedihannya. Ia mengingat bagaimana ibu mertuanya, dengan wajah dingin dan lidah tajam, selalu merendahkannya di depan keluarganya sendiri.Kata-kata itu masih terpatri jelas dalam ingatannya, menghantam harga dirinya seperti badai. Penghinaan itu bukan sekadar luka biasa, tapi luka yang mencabik-cabik harga dirinya sebagai seorang suami sekaligus seorang ayah untuk dua anaknya.Dalam satu malam, ia kehilangan semuanya—istri yang ia cintai, kedua anaknya, bahkan h

    Last Updated : 2025-03-24
  • Hasrat Bukan Menantu Idaman   8) Rasa Membara

    Ketika mereka sampai di halaman rumah Bu Intan, wanita itu turun lebih dulu. Jovan mengikuti dengan santai, tangannya dimasukkan ke dalam saku celana, menatap rumah mewah yang pernah menjadi saksi penderitaannya lima tahun lalu."Kamu tidak harus masuk kalau tak ingin," kata Bu Intan lembut.Jovan tertawa kecil. "Aku justru ingin masuk."Bu Intan terdiam sejenak, lalu membalikkan badan, berjalan lebih dulu menuju pintu. Begitu mereka masuk, suasana rumah itu terasa terlalu tenang, terlalu luas untuk ditinggali seorang diri.Jovan menatap sekeliling. "Dulu, rumah ini terasa lebih ramai," katanya, nadanya terdengar lebih seperti sindiran.Bu Intan melangkah ke meja bar kecil di sudut ruangan, menuangkan dua gelas minuman, lalu menyerahkan salah satunya pada Jovan. "Sekarang hanya ada aku di sini," katanya pelan.Jovan menerima gelas itu, tetapi tidak langsung meminumnya. Ia justru melangkah lebih dekat, menatap Bu Intan dengan sorot mata yang sulit ditebak."Lalu, apa yang sebenarnya ka

    Last Updated : 2025-03-24
  • Hasrat Bukan Menantu Idaman   9) Sang Jagoan

    Jovan masih menyunggingkan senyum penuh kemenangan. Di balik kemudi, ia merogoh saku, mengambil rokok, lalu menyalakannya dengan gerakan santai. Asap tipis mengepul di udara malam yang mulai dingin.Rizal di kursi penumpang ikut terkekeh, menyalakan rokoknya sendiri. "Gila, Bang. Saya nunggu di ujung jalan sambil nahan ketawa. Udah bisa nebak endingnya."Jovan menghembuskan asap, lalu melirik Rizal dengan seringai nakal. "Endingnya bisa beda jauh kalau lu telat dua menit aja nelpon gue."Mereka kembali tertawa. Mobil melaju pelan menembus malam, melewati jalanan kota yang mulai lengang. Lampu-lampu jalan berpendar temaram, menciptakan bayangan panjang di trotoar."Tapi abang puas, kan?" Rizal kembali bertanya, kali ini dengan nada lebih serius.Jovan diam sejenak, pandangannya menerawang ke jalanan yang terbentang di depan. "Gue nggak tahu, Zal."Rizal melirik Jovan, penasaran dengan perubahan ekspresi bosnya.Jovan menghela napas, membuang sisa rokoknya keluar jendela. "Gue kira baka

    Last Updated : 2025-03-24
  • Hasrat Bukan Menantu Idaman   10) Istri Pejabat (1)

    Malam itu, sesuai petunjuk dari salah seorang ajudan Pak Sony, seorang pejabatn di Kementrian Pertanian Jovan tiba di sebuah vila yang berdiri megah di tengah alam. Kesepakatan rahasia yang sudah mereka putuskan saat gala diner seminggu yang lalu.Namanya ‘Vila Sony’, berupa rumah panggung yang elegan, memancarkan kesan mewah sekaligus alami. Dinding kayu jati tua yang mengilap oleh waktu berdiri kokoh di atas tiang-tiang setinggi satu meter, membawa kesan kekuatan dan keanggunan yang berpadu sempurna dengan suasana malam.Vila yang terletak di tengah alam terbuka itu seakan menjadi sebuah oase keindahan dan kedamaian. Meski tidak besar, bangunan ini memberikan kesan lapang dan terbuka. Dinding-dindingnya tidak penuh, hanya berupa pagar kayu setinggi lutut, yang memberi pandangan langsung ke luar, menyatu dengan alam di sekitarnya.Dari dalam, pandangan Jovan tertuju pada kolam ikan di depan vila, airnya berkilauan di bawah sinar bulan, menambah keindahan malam yang tenang. Ikan-ikan n

    Last Updated : 2025-03-27
  • Hasrat Bukan Menantu Idaman   11) Istri Pejabat (2)

    Suasana alami dan terbuka ini membuat semuanya terasa lebih bebas, lebih menggoda, seakan alam pun turut berkonspirasi menghadirkan suasana yang sempurna bagi mereka berdua.Saat Tante Sony kembali dengan teh hangat di tangannya, senyumnya semakin hangat.“Tehnya sudah siap, Jovan,” suara lembut Tante Sony menyusup tenang ke telinga Jovan, memecah lamunannya. Jovan tersenyum tipis, menyembunyikan rasa waspadanya di balik senyum ramah saat menerima cangkir teh hangat dari tangan sang nyonya.Dalam keheningan malam itu, hatinya tetap siaga—ia tahu, malam ini belum berakhir, dan percakapan hangat ini hanyalah pembuka dari sesuatu yang lebih dalam. Mereka terus ngobrol hangat dalam nuansa keakraban yang perlahan-lahan sudah mulai terjalin, tanpa harus membuka identitas masing-masing lebih jauh."Tante nggak kedinginan?" bisik Jovan perlahan, suaranya tenang, seperti menyatu dengan alunan malam di sekitarnya."Enggak," jawab Tante Sony, suaranya lebih lirih, nyaris berbisik. "Ada kamu yang

    Last Updated : 2025-03-27
  • Hasrat Bukan Menantu Idaman   12) Istri Pejabat (3)

    Jovan, masih berdiri di bawah sinar rembulan, mulai menggerakkan tubuhnya dengan gerakan kecil namun penuh makna. Otot-ototnya menegang dan mengendur secara bergantian, menonjolkan bentuk tubuh atletisnya. Ia sedikit memutar bahu, lalu mengangkat lengannya perlahan, memamerkan otot bicep yang besar dan kuat seolah sedang mempersiapkan pose seperti seorang binaragawan yang penuh percaya diri.Tante Sony menahan napas ketika Jovan melenturkan otot-otot dadanya. Gerakan itu tampak begitu alami, namun begitu terkontrol, seolah setiap bagian tubuhnya memahami bagaimana menampilkan kekuatan dan keindahan dalam harmoni yang sempurna. Cahaya rembulan yang redup menyorot dengan lembut pada kulitnya yang basah oleh keringat tipis, menambah kilau sensual pada setiap otot yang bergerak.Jovan menoleh, lalu tersenyum tipis, dan perlahan melenturkan otot perutnya, membiarkan lekukan-lekukan tajam itu terlihat jelas di bawah cahaya malam. Tante Sony tidak bisa menahan rasa kagum yang mengalir sepert

    Last Updated : 2025-03-27
  • Hasrat Bukan Menantu Idaman   13) Istri Pejabat (4)

    Jovan bangkit dari tidurannya, lalu mengambil dua gelas air dari dispenser, satu untuknya dan satu lagi untuk Tange Pak Sony.“Udah segeran lagi?” tanya Jovan penuh perhatian setelah kembali dari menyimpan gelas kosong bekas mereka minum.Sementara itu Pak Sony terduduk lemas di atas tanah karena rudal kecilnya pun sudah menumpahkan amunisinya, hanya dalam beberapa kali kocokan saja.Jovan berdiri gagah di depan Tante Sony dengan tubuh atletisnya, benda di selangkangannya nampak mencolok luar biasa. Tante Sony membandingkannya dengan pisang ambon terbesar yang pernah dia lihat, atau terong ungu yang sering dia elus-elus, sambil membayangkan kalau punya suaminya sebesar itu.Jantung Tante Sony makin berdebar kencang menyaksikan rudal yang seolah sengaja dibiarkan menunjukan kehebatannya depan wajahnya. Tante Sony bahkan seperti terhipnotis, merasakan lelaki yang berdiri di depannya adalah seseorang yang tidak bisa dia sangkal, sangat menarik, lembut, sopan dan profesional.Jovan membun

    Last Updated : 2025-03-27
  • Hasrat Bukan Menantu Idaman   14) Tawaran Dukun Sakti

    Jovan baru saja duduk di teras, menikmati udara malam dengan secangkir kopi, ketika suara motor tua meraung memasuki area rumah kebunnya. Suaranya lebih mirip knalpot gerobak butut ketimbang kendaraan roda dua. Dari kejauhan, sudah bisa ditebak siapa yang datang.Tak lama, seseorang turun dengan gerakan dramatis. Mbah Wadul."Mas Jo! Assalamu’alaikuuuummm!"Jovan menarik napas, menyesal tidak buru-buru masuk rumah dan berpura-pura tiada."Wa’alaikumsalam, Mbah. Ada apa malam-malam?" tanyanya, setengah hati.Mbah Wadul langsung duduk tanpa dipersilakan, mengeluarkan rokok dari jaket kulitnya yang sudah pudar. Setelah menghembuskan asap, dia berkata dengan nada penuh kebijakan."Gini, Mas Jo… Mbah ini prihatin sama sampean. Sudah lama menduda, tapi kok nggak laku-laku? Ini nggak masuk akal!"Sebelum Jovan sempat membantah, suara lain menyela dari haalaman samping."Nah, ini nih! Akhirnya ada yang sadar!"Jovan dan Mbah Wadul menoleh bersamaan. Rizal, berdiri dengan senyum penuh arti."W

    Last Updated : 2025-03-27

Latest chapter

  • Hasrat Bukan Menantu Idaman   50) Perubahan Besar (7)

    “Baiklah, jika itu keinginan Bapak-bapak, saya siap memenuhinya,” balas Bu Intan sigap.Dia berpikir dua bandot di depannya tidak akan jauh berbeda dengan suaminya. Lelaki-lelaki tua berperut buncit, berwajah mesum yang ada di depannya hanya besar nafsu dan keinginannya, sementara stamina dan tenaganya sudah pasti sangat kurang. Hanya dalam beberapa menit saja mereka akan langsung menyerah kalah.Pak Hanif dan Pak Gunarsa tersenyum senang mendengar perkataan Bu Intan. Mereka berpikir istri dosen ini telah menyetujui persyaratan itu dan akan segera mengajaknya pergi ke sebuah hotel secara besama-sama.“Nah, ginikan lebih mudah dan lebih baik Bu. Kami pun tidak usah lagi menseleksi perusahaan-perusahaan lain untuk proyek ini. Dokumen ini akan segera kami serahkan setelah kita selesai melengkapi kekurangannya.” Kembali Pak Hanif bicara ambigu yang entah mengapa orang-orang seperti dia senangnya berbelit-belit.Tanpa mempedulikan ucapan Pak Hanif, Bu Intan pun segera menghampiri dua tamu

  • Hasrat Bukan Menantu Idaman   49) Perubahan Besar (6)

    “Pak Han, kami sangat mengerti dan akan memenuhi persyaratan itu seperti yang biasa suami saya lakukan. Percayalah, semuanya tidak akan berubah, sesuai yang telah dijalankan oleh suami saya selama ini,” ucap Bu Intan dengan tenang dan berwibawa.“Oh bagus. Kami sangat bersyukur kalau Ibu sudah mengerti dan tahu tentang itu, bagus, sangat bagus.”“Ya terima kasih, Pak. Lantas apa yang harus saya lakukan sekarang?”“Hmmm, begini Bu. Kali ini sepertinya kita akan menemukan sedikit masalah, karena adanya kekurangan-kekurangan yang perlu segera ibu ketahui sekaligus dilengkapi, agar tidak menimbulkan permasalahan yang cukup pelik dalam proses selanjutnya,” timpal Pak Hanif.“Kekurangan dan masalah apa, kalau boleh saya tahu, Pak? Mungkin saya bisa membantu memperbaiki atau melengkapinya sekarang juga.” Bu Intan menjawab tegas dan masih dengan senyum manisnya, walau dadanya mulai sedikit bergemuruh karena muak yang ditahan.“Gak banyak sih Bu, kekurangannya hanya satu, dan kebetulan kekuara

  • Hasrat Bukan Menantu Idaman   48) Perubahan Besar (5)

    Bu Intan mencondongkan tubuhnya ke depan, meletakkan dagunya di telapak tangan dengan tatapan menggoda. "Beneran nih? Jangan PHP-in Tante, loh."Seorang pemuda dengan kaos hitam tertawa sambil mengusap tengkuknya. "Masa iya kita bohong? Justru seru kalau Tante ikut. Bisa ngerasain sensasi tidur di bawah bintang, dengerin suara alam, dan… siapa tahu ada tantangan seru juga."Bu Intan terkikik kecil, membayangkan betapa serunya pengalaman itu. Tapi sebelum sempat berandai-andai lebih jauh, salah satu dari mereka tiba-tiba menyenggol lengannya dan berbisik, "Tapi kita bukan cuma pecinta alam, Tante. Kita juga suka balapan liar!"Mata Bu Intan langsung berbinar lebih terang. Kenangan saat bersama Rizal, merasakan sensasi berboncengan motor keliling kota, angin malam yang menampar wajahnya, tiba-tiba menyeruak di pikirannya."Serius? Kalian anak-anak jalanan juga, nih?" tanyanya dengan nada penuh minat.Mereka tertawa. "Nggak juga, Tante. Cuma sekadar hobi. Nggak setiap hari, tapi kalau lag

  • Hasrat Bukan Menantu Idaman   47) Perubahan Besar (4)

    Seminggu telah berlalu sejak kepergian Dave, namun jejak kebersamaan empat hari dengannya masih begitu membekas di hati dan pikirannya.Seperti ombak yang terus menghempas pantai tanpa henti, gairah dalam diri Bu Intan kini bergelora tanpa bisa dikendalikan. Ada sesuatu dalam dirinya yang telah terbangun—sesuatu yang tak bisa ia redam, meskipun ia mencoba.Setiap sudut rumah terasa berbeda, bukan karena ada yang berubah secara fisik, melainkan karena dirinya sendiri yang kini tak lagi sama. Dulu, ia bisa dengan mudah mengabaikan kehampaan dalam rumah tangganya. Namun kini, sentuhan suaminya terasa asing, bahkan dingin. Keberadaan Pak Winata di sampingnya tak lagi membawa kehangatan, justru semakin menegaskan betapa kosongnya hubungan mereka.Malam-malamnya kini terasa panjang dan sepi. Tubuhnya mungkin berbaring di sisi suaminya, tetapi pikirannya melayang jauh, kembali ke malam-malam ketika Dave masih ada di sini. Ia terjaga hingga larut, hatinya berdebar, hasratnya menggelora, namun

  • Hasrat Bukan Menantu Idaman   46) Perubahan Besar (3)

    Pak Winata masih tertidur dengan lelapnya. Bu Intan masih belum merasa lengkap bila tidak merasakan rudal Dave yang mempunyai ukuran luar biasa tersebut, tapi dia juga sedikit khawatir bila ia teruskan permainannya di kamar tidurnya ini akan membuat suaminya bangun karena mendengar rintihan-rintihan dan erangan-erangannya.Bu Intan kemudian mengajak Dave untuk keluar dari kamar tidurnya. Mereka beranjak dari kamar tidur tersebut dengan setengah telanjang, tidak lupa untuk membawa pakaian mereka yang sudah terlepas.Di ruangan keluarga kembali Bu Intan mencumbu Dave dengan penuh nafsu, Bu Intan mulai mendorong Dave untuk duduk di sofa, ia pun kemudian bersujud di hadapan Dave.Dengan penuh nafsu rudal Dave yang setengah bangun mulai dikulum dan dijilatinya, Dave mulai mendesah-desah keenakan merasakan kuluman dan jilatan mulut dan lidah Bu Intan di rudalnya.Perlahan-lahan Bu Intan mulai merasakan rudal Dave bangkit dan mulai mengeras, mulut Bu Intan yang mungil tidak cukup untuk mengu

  • Hasrat Bukan Menantu Idaman   45) Perubahan Besar (2)

    Percakapan terus mengalir, diselingi gelak tawa ringan dan sesekali kilatan mata Dave yang mencuri pandang ke arahnya. Botol demi botol dibuka, hingga waktu terasa berlalu begitu saja. Bu Intan memperhatikan wajah suaminya yang mulai memerah. Gerakannya semakin lambat, omongannya mulai melantur.Sementara itu, Dave tampak tetap tenang. Mungkin karena ia terbiasa dengan minuman seperti ini.Jam di dinding telah menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Pak Winata semakin kehilangan kendali. Matanya sudah setengah terpejam, tangannya terkadang bergerak tanpa arah, dan bicaranya semakin tidak jelas.Bu Intan tersenyum kecil, teringat betapa lemahnya suaminya jika sudah berada dalam kondisi seperti ini. Sebuah ide melintas di benaknya—ia tahu betul bagaimana malam ini bisa berakhir.Senyumnya makin lebar.Dave, yang sejak tadi memperhatikan, akhirnya bertanya. “Apa yang membuat Anda tersenyum, Bu Intan?”Bu Intan hanya menoleh sekilas, lalu kembali tersenyum tanpa menjawab.Seperti yang s

  • Hasrat Bukan Menantu Idaman   44) Perubahan Besar (1)

    Bu Intan merasa ada sesuatu yang berbeda dalam hari-harinya sejak pertemuan itu. Kenangan akan Rizal terus membayangi pikirannya, menciptakan getaran aneh di hatinya yang sudah lama tak ia rasakan. Ia sering termenung, mengingat kembali bagaimana Rizal memperlakukannya—santai, nakal, tetapi tetap penuh perhatian.Setiap kali ia mendengar suara motor lewat di depan rumahnya, dadanya berdebar, berharap itu Rizal. Setiap kali notifikasi ponselnya berbunyi, hatinya melompat, hanya untuk kecewa saat mendapati pesan itu bukan darinya.Di sela-sela kesibukannya, ia berkali-kali ingin mengangkat ponselnya, mengetik pesan singkat atau bahkan sekadar menanyakan kabar Rizal. Namun, gengsi menahannya. Bagaimana mungkin ia, seorang istri pejabat yang seharusnya anggun dan berwibawa, justru dirundung rindu pada seorang pemuda kampung sok bergaya kota?Seharusnya dia memang dengan Jovan, bukan Rizal.Bu Intan menatap layar ponselnya dengan kesal. Beberapa kali ia mencoba menghubungi mantan menantuny

  • Hasrat Bukan Menantu Idaman   43) Mantan Mertua Bos (5)

    Setelah mengantar pulang Bu Intan, Rizal menyalakan motornya dan melaju pelan di jalanan yang mulai lengang. Udara malam masih menyisakan kehangatan pertemuan mereka, namun Rizal tahu, dunia tidak berhenti hanya di satu momen saja.Dia tidak langsung pulang ke rumah kebun. Ada kegelisahan yang masih berputar di kepalanya, sesuatu yang belum tuntas. Setelah menimbang-nimbang, akhirnya dia membelokkan motornya ke sebuah warung kopi langganannya.Begitu sampai, Rizal langsung disambut oleh beberapa temannya. Salah satunya, Herman, menepuk bahunya dengan tawa kecil."Tumben malam-malam nongol. Baru dari mana, Lu?"Rizal hanya nyengir, melempar helmnya ke atas meja dan menarik kursi."Biasa, muter-muter nyari angin," jawabnya santai, padahal pikirannya masih terbayang sosok Bu Intan.Herman menyipitkan mata curiga. "Muter-muter nyari angin atau nyari lobang nganggur?" godanya.Rizal hanya terkekeh, memilih menyesap kopinya tanpa menjawab. Dia menikmati suasana warung itu—lampu remang-reman

  • Hasrat Bukan Menantu Idaman   42) Mantan Mertua Bos (4)

    Bibir mereka masih bertaut, lembut namun semakin dalam. Tangan Bu Intan mulai nakal menelusuri selangkangan Rizal, awalnya hanya sentuhan ringan, tapi kini seakan ada tarikan tak kasat mata yang membuat tangannya menggenggam benda keras, besar dan panjang di balik chinos. Dia enggan melepaskan.Rizal merasakan bagaimana tubuh Bu Intan perlahan melemas dalam dekapannya, memberi isyarat tanpa kata bahwa wanita itu telah tenggelam dalam gelombang perasaan yang tak lagi bisa ditahan. Kedua semakin kuat meremasi kedua payudara Bu Intan, ciuman mereka semakin liar.Bu Intan sedikit menghela napas di antara kecupan mereka, merasakan debaran dadanya yang berpacu begitu cepat. Ia bukan lagi seorang wanita muda, namun sentuhan Rizal seakan membangkitkan sisi dirinya yang selama ini terkubur oleh kamuplase dan ambisi tuntutan hidup.Rizal menurunkan ciumannya ke sepanjang garis rahang Bu Intan, meninggalkan jejak kehangatan di kulitnya yang halus. Wanita itu memejamkan mata, membiarkan dirinya l

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status