Home / Romansa / Hasrat Bukan Menantu Idaman / 14) Tawaran Dukun Sakti

Share

14) Tawaran Dukun Sakti

Author: NDRA IRAWAN
last update Last Updated: 2025-03-27 07:37:14

Jovan baru saja duduk di teras, menikmati udara malam dengan secangkir kopi, ketika suara motor tua meraung memasuki area rumah kebunnya. Suaranya lebih mirip knalpot gerobak butut ketimbang kendaraan roda dua. Dari kejauhan, sudah bisa ditebak siapa yang datang.

Tak lama, seseorang turun dengan gerakan dramatis. Mbah Wadul.

"Mas Jo! Assalamu’alaikuuuummm!"

Jovan menarik napas, menyesal tidak buru-buru masuk rumah dan berpura-pura tiada.

"Wa’alaikumsalam, Mbah. Ada apa malam-malam?" tanyanya, setengah hati.

Mbah Wadul langsung duduk tanpa dipersilakan, mengeluarkan rokok dari jaket kulitnya yang sudah pudar. Setelah menghembuskan asap, dia berkata dengan nada penuh kebijakan.

"Gini, Mas Jo… Mbah ini prihatin sama sampean. Sudah lama menduda, tapi kok nggak laku-laku? Ini nggak masuk akal!"

Sebelum Jovan sempat membantah, suara lain menyela dari haalaman samping.

"Nah, ini nih! Akhirnya ada yang sadar!"

Jovan dan Mbah Wadul menoleh bersamaan. Rizal, berdiri dengan senyum penuh arti.

"W
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Related chapters

  • Hasrat Bukan Menantu Idaman   15) Pelarian Absurd (1)

    Jovan duduk santai di bangku taman dekat alun-alun kota, menikmati semilir angin malam yang membawa aroma campuran hujan dan jalanan basah. Di tangannya, segelas kopi hangat dalam gelas plastik menambah kehangatan di sela-sela jemarinya. Ia sengaja beralasan kepada Rizal bahwa ia memiliki dinas luar selama seminggu.Sebenarnya, ia hanya ingin melihat sejauh mana kemampuan Rizal—anak buahnya yang paling dapat dipercaya—dalam mengambil keputusan tanpa kehadirannya. Dalam hati, Jovan telah menyiapkan Rizal untuk menjadi pengelola perkebunan kelak.Kegiatan Jovan sudah semakin padat, sehingga dia merasa perlu melatih Rizal untuk menghandle usahanya. Jadi sekarang dia sedang ‘dinas pelarian’ alias dina pura-pura.Selama seminggu "dinas pelarian" ini, Jovan memutuskan tinggal di apartemen yang jarang diketahui orang. Tempat itu menjadi pelarian terbaiknya untuk benar-benar beristirahat, jauh dari tuntutan dan keramaian yang sering kali membebani hidupnya. Di sana, Jovan bisa merasakan kedam

    Last Updated : 2025-03-28
  • Hasrat Bukan Menantu Idaman   16) Pelaeian Absurd (2)

    Mereka tiba di warung kopi sederhana, tempat beberapa pelanggan masih asyik mengobrol. Jovan memesan dua gelas kopi hitam dan seporsi pisang goreng. Vena duduk di bangku kayu, menatap jalanan dengan tatapan kosong sebelum akhirnya menoleh ke Jovan."Mas Jovan selalu begini ya?" tanyanya tiba-tiba."Begini gimana?""Refleks nolong orang, gak pakai mikir dulu."Jovan mengangkat bahu. "Udah kebiasaan. Kalau bisa bantu, kenapa nggak?"Vena tersenyum tipis, lalu mengusap wajahnya yang masih terlihat lelah. "Tadi saya beneran panik. Pak Arif memang sering ngeluh soal dadanya nyeri, tapi saya nggak nyangka bakal separah ini."Jovan menyesap kopinya, menatap Vena dengan sudut mata. "Pak Arif lebih tua berapa tahun dari kamu?"Vena menghela napas. "Dua puluh lima tahun lebih tua."Jovan bersiul pelan. "Wow. Berarti... kamu istri kedua, ya?"Vena mengangguk. "Istri muda, kalau kata orang-orang. Dibilang matre lah, numpang enak lah. Padahal saya sayang sama beliau." Matanya menerawang. "Pak Arif

    Last Updated : 2025-03-28
  • Hasrat Bukan Menantu Idaman   17) Pelarian Absurd (3)

    Dua hari setelah kejadian itu, Jovan kembali datang ke rumah sakit. Bukan karena diminta, bukan juga karena ada urusan penting—hanya karena perasaan dalam hatinya mengatakan bahwa ia harus melihat keadaan Pak Arif dan Vena.Begitu tiba di lobi rumah sakit, matanya langsung mencari sosok yang dikenalnya. Setelah bertanya pada perawat di meja informasi, ia berjalan menuju bangsal tempat Pak Arif dirawat. Saat hendak mengetuk pintu, suara tawa pelan terdengar dari dalam. Jovan sedikit tersenyum, setidaknya suasana tak sekelam saat terakhir ia meninggalkan mereka.Saat ia membuka pintu, Vena yang duduk di samping ranjang suaminya langsung menoleh. Wajahnya yang sebelumnya penuh kelelahan kini terlihat lebih segar, meski lingkaran hitam di bawah matanya masih tersisa.“Mas Jovan?” Vena terlihat kaget, tapi segera tersenyum. “Kok datang lagi?”Jovan mengangkat bahu santai. “Niatnya mau lihat keadaan, siapa tahu masih butuh bantuan.”Pak Arif, yang kini sudah jauh lebih baik meski masih terb

    Last Updated : 2025-03-28
  • Hasrat Bukan Menantu Idaman   18) Pelarian Absurd (4)

    Perjalanan pulang diwarnai keheningan yang ganjil. Pak Arif lebih banyak diam, sesekali mengelus dadanya dengan ekspresi menahan sesuatu yang tidak ingin ia keluhkan. Vena menatap keluar jendela, seolah pikirannya sedang melayang jauh.Setibanya di rumah, Jovan langsung tahu bahwa Pak Arif bukan orang berada. Rumahnya kecil, tipe perumahan lama yang tampak usang, tapi rapi."Silakan masuk, Mas Jovan," ajak Pak Arif.Jovan mengangguk, lalu mengikuti mereka ke dalam. Ruangan tamunya sederhana, hanya ada sofa lama dan meja kayu yang di atasnya tertumpuk beberapa koran yang sudah menguning. Dari cara rumah ini tertata, Jovan bisa menebak bahwa Vena-lah yang merawat semuanya. Pak Arif memang hanya seorang PNS dengan pangkat dan kedudukan biasa saja.Vena segera bergegas ke dapur untuk menyiapkan minuman. Sementara itu, Pak Arif duduk di sofa dengan napas sedikit berat."Sudah lama sakit, Pak?" Jovan akhirnya bertanya.Pak Arif tersenyum tipis. "Sudah bertahun-tahun, Mas. Saya punya riwayat

    Last Updated : 2025-03-28
  • Hasrat Bukan Menantu Idaman   19) Pelarian Absurd (5)

    Jovan mengusap wajahnya. "Pak… saya nggak tahu harus ngomong apa."Pak Arif menatapnya dengan sorot mata penuh harap. "Cukup pikirkan, Mas Jovan. Saya percaya, kalau ada pria yang bisa menjaga istri saya dengan baik... itu adalah Mas."Jovan tersenyum miring. Bukan karena geli. Tapi karena merasa semakin terperangkap dalam permainan takdir yang absurd.Jovan mengucek wajahnya sendiri. Ini... keterlaluan.Bahkan dalam skenario absurd yang pernah ia bayangkan, tak satu pun yang mendekati keanehan ini.Pak Arif melanjutkan, suaranya sedikit bergetar. "Saya tidak meminta Mas mengambil istri saya. Saya hanya ingin dia bahagia, walau hanya sesaat."Jovan menelan ludah. Dalam hatinya, ia ingin segera bangkit dan pergi dari sini. Tapi di sisi lain, ada sesuatu dalam kata-kata Pak Arif yang membuatnya tetap duduk di tempatnya.Dan saat itulah, pintu terbuka.Vena kembali dari warung, membawa kantong plastik berisi beberapa barang. "Lho, kok Mas Jovan pucat begitu?" tanyanya heran.Jovan hanya

    Last Updated : 2025-03-28
  • Hasrat Bukan Menantu Idaman   20) Pelarian Absurd (6)

    Begitu ia melangkah ke dalam, suara batuk kecil menyambutnya. Pak Arif duduk di sofa dengan ekspresi yang sulit ditebak. Pria itu menatapnya dengan senyum tipis—sebuah senyum yang terasa… misterius."Ah, Mas Jovan," sapanya santai. "Saya tahu kamu pasti datang lagi."Jovan berusaha tetap tenang, meskipun perutnya terasa sedikit mual mengingat percakapan absurd mereka kemarin."Pak, saya cuma mampir sebentar," katanya, sengaja memperjelas bahwa ia tidak berencana berlama-lama.Tapi Pak Arif justru tersenyum lebih lebar. "Nggak usah buru-buru, Mas. Duduk dulu. Saya lagi pengin ngobrol."Jovan menekan dorongan untuk menghela napas keras. Vena, yang tampaknya tidak menyadari ketegangan aneh di antara mereka, langsung pergi ke dapur, meninggalkan dua pria itu dalam ruang tamu yang terasa semakin sesak.Pak Arif mendekat sedikit. Suaranya merendah, tapi penuh tekanan. "Jadi, Mas Jovan… sudah dipikirkan?"Jovan menutup mata sebentar. "Pak… saya nggak mau ngomongin itu lagi."Pak Arif hanya t

    Last Updated : 2025-03-28
  • Hasrat Bukan Menantu Idaman   21) Pelarian Absurd (7)

    Malam di Diskotik.Musik berdentum keras, menggetarkan lantai dengan irama bass yang menggila. Lampu-lampu strobo berkedip dalam warna merah, biru, dan ungu, menciptakan ilusi gerakan yang lebih liar dari kenyataan. Aroma parfum mahal bercampur alkohol memenuhi udara, melebur dengan tawa-tawa hingar-bingar dan obrolan setengah berteriak dari meja-meja VIP.Jovan duduk di salah satu sofa kulit berwarna hitam, minuman di tangannya hanya sekadar properti. Ia tidak benar-benar berniat menikmatinya. Di sekelilingnya, wanita-wanita kelas atas dengan gaun ketat yang memperlihatkan bahu atau belahan dada sibuk menari, tertawa, dan sesekali mencuri kesempatan untuk menyentuhnya."Jovan, sejak kapan lu jadi alim?" tanya seorang pria di sebelahnya, Reno, teman lamanya yang sudah terlalu akrab dengan dunia malam. "Dulu lu raja tempat ini, sekarang malah lebih banyak bengong."Jovan hanya menanggapi dengan senyum tipis.Seorang wanita dengan gaun merah darah mendekat, duduk tanpa diundang di pangk

    Last Updated : 2025-03-28
  • Hasrat Bukan Menantu Idaman   22) Pelarian Absurd (8)

    Seminggu telah berlalu dalam kegaulan tingkat dewa.Jovan sedang nongkrong di atas motornya, tepat di depan sebuah mall yang masih ramai meski malam semakin larut. Jaket kulit hitamnya terbuka, memperlihatkan kaus putih polos yang membalut tubuh atletisnya. Sepasang mata tajamnya mengamati lalu lalang orang-orang, sebagian besar adalah pasangan atau geng anak muda yang asik bercanda.Sejumput asap rokok melayang dari bibirnya sebelum ia membuang puntungnya ke aspal dan menginjaknya dengan sepatu boots hitam. Motor sport yang ditungganginya berkilat di bawah lampu jalanan, menarik beberapa lirikan dari cewek-cewek yang lewat. Beberapa bahkan sengaja berjalan lebih lambat saat melewatinya, berharap ditoleh atau sekadar mendapat senyum dari pria yang wajahnya sekeras batu tapi pesonanya susah ditolak.Tapi malam ini, Jovan tidak sedang tertarik main mata. Kepalanya masih penuh dengan kejadian absurd beberapa jam lalu. Tawaran gila dari Pak Arif masih menggantung di pikirannya."Kenapa hi

    Last Updated : 2025-03-28

Latest chapter

  • Hasrat Bukan Menantu Idaman   28) Pelarian Absurd (14)

    Begitu terasa bahwa liang relung kenikmatan Vena mau menerima kehadiaran rudal Hendi, tiba-tiba Hendi menghentakkan lagi rudalnya dengan sekali hentakah dan bleess, masuklah semua batang rudal Hendi keliang relung kenikmatan Vena; kemudian didiamkan sekali lagi rudal Hendi tersebut didalam liang itu, menunggu sebentar, sambil tangan Hendi mengelus elus pantat keras Vena."Vena sayang, masih sakitkah, aku tunggu sampai kamu siap menerimanya sayang.""Ya Mas Hendi, masih agak sakit, tapi kuusahakan sereleks mungkin," kata Vena sambil menggigil menahan antara gejolak asmaranya dan rasa sakit yang diterimanya.Setelah selang beberapa saat, dicoba digoyangkannya pantat Hendi maju mundur, kiri kanan dan memutar, dengan pelan, sambil terus Hendi mengelus pantat Vena, dengan sabar.Terdengar lenguhan dan rintihan Vena."Eechh, eesshhtt, eecchh""Vena, gimana, terasa enakan?""Bisa aku teruskan ya sayang, coba kamu konsentrasikan dulu.""Bayangkan kenikmatan dalam relung nikmatmu dengan geseka

  • Hasrat Bukan Menantu Idaman   27) Pelarian Absurd (13)

    Tak sabar Vena melihat pemandangan yang erotic itu, segera ia mendekat dan diterkamnya dengan dua tangannya rudal segar berkepala seperti jamur itu, tanpa menunggu perintah dari pemiliknya.Segera Vena mendaratkan bibir sensualnya pada kepala rudal Hendi yang sangat mengkilat dan membasah. Dicobanya dia mengecup lubang air seni dikepala rudal yang membasah itu dengan perasaan gemas, penuh birahi dan nafsunya yang sangat besar; magnit dan 'chemistry' dari badan Hendi pun menariknya, menaburkan cinta birahi menutup semua 'sense' yang ada di pribadinya.Mendengar sambutan desahan yang terjadi, dikuatkannya dirinya dan dijilatinya seluruh permukan rudal yang berurat kencang; erangan Hendi bertambah dengan getaran badannya, otomatis tangan Hendi membelai dan mengacak rambut Vena. Terasa olehnya semua simpul batang rudalnya dijamah, digelitiknya oleh lidah halus nakal kepunyaan Vena.Kembali Vena ke kepala rudal, dicobanya mengulum kepala yang besar, basah dan mengikat itu lalu dihisap-hisa

  • Hasrat Bukan Menantu Idaman   26) Pelarian Absurd (12)

    Dalam pelukan Hendi, Vena bagaikan dihadapkan oleh magnit bumi yang sangat besar sekali, ia menempelkan dirinya di dada Hendi pelahan-lahan direbahkannya tubuh Vena pada kasur.Emosinya telah terselubungi bara asmara, Vena pun pasrah, deburan darah dan detup jantungnya mengguncang tubuhnya yang sangat molek dan bergairah. Ditunggunya moment indah yang akan dirasakan bersama Hendi, seperti dalam gambaran benaknya.Gumaman dan desahan selama pagutan. Jelas getaran cinta yang dibawa Vena membuat Hendi semakin tergairah lagi ingin lebih melakukan langkahnya, menjelajahi badan mulus Vena. Dibukanya kancing depan blusenya yang menepel di badannya, dielusnya sembulan kenyal gunung kembar indah yang mencuat sebagian dari sarangnya warna pastel.Diangkatnya kepala Vena dan diletakkannya di pangkuannya, dirabanya halus buah dadanya; dengan mata sayu penuh nafsu, diangkatnya lagi lebih tinggi bahu dan kepala Vena dan disandarkanya pada lengan kirinya, jemari tangan kiri mengusap-usap lengan tang

  • Hasrat Bukan Menantu Idaman   25) Pelarian Absurd (11)

    Hendi berdiri di ambang pintu, mengenakan setelan kasual yang tetap memancarkan kelasnya. Pria itu memang memiliki aura yang tak jauh berbeda dengannya—tinggi, tampan, dengan garis wajah tegas khas keturunan Timur Tengah. Bedanya, Hendi memiliki sifat yang lebih stabil, lebih bisa diandalkan dalam jangka panjang. Dan itulah yang Jovan inginkan untuk Vena.“Lu datang tepat waktu,” ucap Jovan dengan nada ringan, menepuk bahu Hendi sebelum mempersilakannya masuk.Vena, yang sejak tadi duduk di sofa dengan perasaan tak menentu, mendongak begitu melihat pria asing masuk. Mata indahnya membulat, penuh tanda tanya.“Ini Hendi,” kata Jovan, mengisyaratkan pada pria itu untuk mendekat. “Dia lebih bisa diandalkan dibanding aku.”Vena masih terpaku, belum sepenuhnya menangkap maksud Jovan. “Maksudnya?”Jovan menatapnya dengan sorot yang sulit diartikan—ada ketulusan di sana, tapi juga sesuatu yang lain, sesuatu yang terasa seperti perpisahan.“Aku nggak bisa ada buatmu terus, Vena.” Suaranya ter

  • Hasrat Bukan Menantu Idaman   24) Pelarian Absurd (10)

    Jovan memarkirkan mobilnya di depan lobi hotel bintang lima dengan gerakan yang begitu mulus. Seorang bellboy segera menghampiri, membukakan pintu dengan penuh sopan santun. Vena turun dengan langkah ragu, matanya menelusuri kemegahan yang terpampang di hadapannya—lampu kristal raksasa bergelayut di langit-langit, lantai marmer yang berkilau seperti cermin, serta para tamu berpakaian glamor yang hilir mudik dengan penuh percaya diri.Jovan meliriknya, menangkap jelas ekspresi takjub sekaligus kikuk di wajah perempuan itu. Senyumnya terbit samar. "Jangan tegang, santai aja. Ini cuma hotel," katanya ringan, seolah tempat ini sama biasa baginya seperti warung kopi pinggir jalan.Vena menelan ludah. Baginya, ini lebih dari sekadar hotel—ini dunia lain. Dunia yang tidak pernah ia bayangkan akan dimasuki olehnya, apalagi dengan seorang lelaki seperti Jovan.Pak Arif benar, lelaki ini bukan orang sembarangan. Tapi siapa sebenarnya dia?Mereka berjalan melewati lobi, dan setiap langkah terasa

  • Hasrat Bukan Menantu Idaman   23) Pelarian Absurd (9)

    Jovan berdiri di depan rumah Pak Arif, jantungnya berdetak kencang. Lampu teras menyala redup, menyisakan bayangan samar di balik jendela. Sial. Gue beneran di sini.Pintu depan setengah terbuka, seperti sudah menunggunya.Dia melangkah masuk dengan ragu, melewati ruang tamu yang berbau kayu dan aroma teh hangat. Pak Arif duduk di kursinya, tersenyum tipis seakan sudah tahu Jovan bakal datang lagi.Jovan menghela napas panjang, menenangkan debaran di dadanya. Malam itu terasa begitu aneh, bukan hanya karena dia berdiri di depan rumah Pak Arif dengan perasaan yang bercampur aduk, tapi karena seluruh situasi ini seperti mimpi buruk yang sulit dipahami. Suara motor yang tadi membelah jalan kini senyap, meninggalkan hanya detak jantungnya yang menggema di telinga.Pak Arif masih duduk di kursinya, tersenyum tipis seolah sudah tahu apa yang akan terjadi. Ruangan itu terasa sempit, meski sebenarnya luas dan nyaman. Aroma teh hangat yang biasanya memberi rasa tenang kini terasa membebaninya.

  • Hasrat Bukan Menantu Idaman   22) Pelarian Absurd (8)

    Seminggu telah berlalu dalam kegaulan tingkat dewa.Jovan sedang nongkrong di atas motornya, tepat di depan sebuah mall yang masih ramai meski malam semakin larut. Jaket kulit hitamnya terbuka, memperlihatkan kaus putih polos yang membalut tubuh atletisnya. Sepasang mata tajamnya mengamati lalu lalang orang-orang, sebagian besar adalah pasangan atau geng anak muda yang asik bercanda.Sejumput asap rokok melayang dari bibirnya sebelum ia membuang puntungnya ke aspal dan menginjaknya dengan sepatu boots hitam. Motor sport yang ditungganginya berkilat di bawah lampu jalanan, menarik beberapa lirikan dari cewek-cewek yang lewat. Beberapa bahkan sengaja berjalan lebih lambat saat melewatinya, berharap ditoleh atau sekadar mendapat senyum dari pria yang wajahnya sekeras batu tapi pesonanya susah ditolak.Tapi malam ini, Jovan tidak sedang tertarik main mata. Kepalanya masih penuh dengan kejadian absurd beberapa jam lalu. Tawaran gila dari Pak Arif masih menggantung di pikirannya."Kenapa hi

  • Hasrat Bukan Menantu Idaman   21) Pelarian Absurd (7)

    Malam di Diskotik.Musik berdentum keras, menggetarkan lantai dengan irama bass yang menggila. Lampu-lampu strobo berkedip dalam warna merah, biru, dan ungu, menciptakan ilusi gerakan yang lebih liar dari kenyataan. Aroma parfum mahal bercampur alkohol memenuhi udara, melebur dengan tawa-tawa hingar-bingar dan obrolan setengah berteriak dari meja-meja VIP.Jovan duduk di salah satu sofa kulit berwarna hitam, minuman di tangannya hanya sekadar properti. Ia tidak benar-benar berniat menikmatinya. Di sekelilingnya, wanita-wanita kelas atas dengan gaun ketat yang memperlihatkan bahu atau belahan dada sibuk menari, tertawa, dan sesekali mencuri kesempatan untuk menyentuhnya."Jovan, sejak kapan lu jadi alim?" tanya seorang pria di sebelahnya, Reno, teman lamanya yang sudah terlalu akrab dengan dunia malam. "Dulu lu raja tempat ini, sekarang malah lebih banyak bengong."Jovan hanya menanggapi dengan senyum tipis.Seorang wanita dengan gaun merah darah mendekat, duduk tanpa diundang di pangk

  • Hasrat Bukan Menantu Idaman   20) Pelarian Absurd (6)

    Begitu ia melangkah ke dalam, suara batuk kecil menyambutnya. Pak Arif duduk di sofa dengan ekspresi yang sulit ditebak. Pria itu menatapnya dengan senyum tipis—sebuah senyum yang terasa… misterius."Ah, Mas Jovan," sapanya santai. "Saya tahu kamu pasti datang lagi."Jovan berusaha tetap tenang, meskipun perutnya terasa sedikit mual mengingat percakapan absurd mereka kemarin."Pak, saya cuma mampir sebentar," katanya, sengaja memperjelas bahwa ia tidak berencana berlama-lama.Tapi Pak Arif justru tersenyum lebih lebar. "Nggak usah buru-buru, Mas. Duduk dulu. Saya lagi pengin ngobrol."Jovan menekan dorongan untuk menghela napas keras. Vena, yang tampaknya tidak menyadari ketegangan aneh di antara mereka, langsung pergi ke dapur, meninggalkan dua pria itu dalam ruang tamu yang terasa semakin sesak.Pak Arif mendekat sedikit. Suaranya merendah, tapi penuh tekanan. "Jadi, Mas Jovan… sudah dipikirkan?"Jovan menutup mata sebentar. "Pak… saya nggak mau ngomongin itu lagi."Pak Arif hanya t

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status