Gemerincing gelas-gelas kristal beradu memenuhi aula megah itu. Cahaya lampu gantung berkilauan di langit-langit tinggi, memantulkan kemewahan yang tak terbantahkan. Para tamu dalam setelan mahal dan gaun elegan saling berbincang, tertawa ringan sambil menyesap anggur mereka.
Di antara keramaian itu, seorang pria berdiri tegak dengan senyum tipis di sudut bibirnya. Jas hitam yang membalut tubuhnya bukan sembarang jas—potongan khusus dari perancang terkenal. Jam di pergelangan tangannya berkilauan, bukan sekadar aksesori, tapi simbol status.
Jovan.
Lima tahun telah berlalu.
Dan kini, dia kembali.
Matanya menyapu ruangan hingga akhirnya bertemu dengan seorang wanita paruh baya di meja VIP. Bu Intan.
Sekilas, wajah wanita itu tampak seperti biasanya—angkuh, penuh percaya diri. Tapi saat matanya bertemu dengan mata Jovan, sorotnya berubah.
Kaget.
Sedikit terperanjat.
Seolah melihat hantu dari masa lalu yang seharusnya sudah terkubur.
Jovan tidak langsung bergerak. Ia membiarkan detik-detik itu berjalan lambat, membiarkan Bu Intan menyadari keberadaannya sepenuhnya. Baru setelah itu, dengan langkah santai dan penuh percaya diri, dia melangkah menuju meja itu.
“Selamat malam, Bu Intan,” sapanya, suaranya dalam dan tenang.
Ekspresi Bu Intan sulit ditebak, campuran antara keterkejutan dan usaha untuk tetap tenang. Sekilas, wanita itu seperti ingin mengabaikannya, berpura-pura tidak mengenalnya. Tapi sulit untuk melakukan itu ketika Jovan kini mengenakan pakaian yang sama mahalnya dengan para undangan lainnya—jauh dari bayangan menantu rendahan yang dulu selalu dia hina.
“Kamu… di sini?” suara Bu Intan terdengar ragu.
Jovan tersenyum tipis. “Tentu saja. Aku punya beberapa urusan dengan orang Kementerian.” Ia menatap sekeliling. “Acara yang luar biasa, ya?”
Bu Intan mengerutkan kening. “Kamu datang sebagai apa?”
Jovan tertawa kecil. “Aku diundang.”
Bu Intan terdiam.
Ketegangan di antara mereka terasa jelas.
Lima tahun lalu, dia mengusir Jovan dengan hinaan, meremehkan keberadaannya seolah lelaki itu bukan siapa-siapa.
Tapi kini?
Jovan kembali dengan cara yang tak pernah Bu Intan bayangkan.
Bu Intan adalah wanita yang penuh kendali. Selama bertahun-tahun, dia selalu merasa berada di posisi tertinggi, harus dihormati, harus ditakuti, dan wajib dikagumi. Namun malam ini, kendali itu terasa rapuh.
Jovan bukan lagi pria yang bisa dipermainkan atau dihina seperti dulu. Ia bukan lagi menantu biasa yang hanya dianggap numpang hidup di keluarganya. Kini, dia adalah sosok yang berdiri sejajar dengan para elite, dan yang lebih berbahaya—dia tahu cara memainkan permainannya sendiri.
“Kamu tampak berbeda, Jovan,” ujar Bu Intan akhirnya, setelah beberapa saat mereka terdiam. Suaranya terdengar ringan, tapi ada sesuatu yang terselip di dalamnya.
Jovan tersenyum kecil, menyesap sampanye dari gelasnya sebelum menaruhnya kembali di atas meja. “Tentu saja. Waktu mengubah banyak hal, bukan?”
Mata Bu Intan mengamati pria di hadapannya dengan cara yang berbeda. Lelaki ini... begitu tenang, begitu percaya diri. Pakaian mahalnya memang menarik perhatian, tapi yang lebih menggoda adalah aura yang ia pancarkan—kesan seorang pria yang mengerti betul bagaimana dunia bekerja.
Dan Jovan tahu itu.
Ia bisa melihat ketertarikan yang tak ingin diakui oleh wanita di depannya. Itu bukan sesuatu yang baru. Jovan menyadari sejak dulu bahwa di balik kebenciannya, Bu Intan menyimpan sesuatu yang lebih berbahaya.
Hasrat yang ditekan.
Godaan yang tak ingin diakui.
“Mari kita bicara di tempat yang lebih tenang,” ujar Jovan tiba-tiba. Bukan pertanyaan, bukan permintaan—hanya pernyataan.
Bu Intan menatapnya dengan alis sedikit terangkat, lalu menyesap anggurnya perlahan. Seolah berpikir. Seolah menimbang-nimbang.
Jovan tidak terburu-buru. Ia memberi Bu Intan waktu untuk memproses semuanya, menikmati setiap detik perubahan emosi yang melintas di wajah wanita itu. Jari-jarinya bermain dengan batang gelas, gerakan kecil yang seolah menunggu.
Hening di antara mereka terasa semakin berat. Musik orkestra yang mengalun lembut di latar belakang seakan mempertegas ketegangan yang menggantung di udara.
Bu Intan menatapnya dalam-dalam. Ada banyak pertanyaan yang mungkin ingin ia lontarkan, tetapi harga dirinya menahan. Jovan tahu, wanita itu tidak ingin terlihat seolah terkejut atau kalah dalam pertemuan ini.
Tapi Jovan bukan lagi pria yang sama seperti dulu.
Ia bisa membaca tatapan itu. Ia bisa merasakan kegelisahan yang berusaha ditutupi Bu Intan. Dan, ia menikmatinya.
Jovan mendekat sedikit, cukup agar suaranya terdengar hanya oleh Bu Intan. “Lima tahun lalu, aku berdiri di depanmu sebagai seseorang menantu yang tidak punya apa-apa. Tapi lihatlah sekarang,” suaranya pelan, tapi penuh arti. “Aku rasa, kamu pasti penasaran tentang perjalananku, bukan?”
Bu Intan mengangkat dagunya sedikit, berusaha tetap tampak tak tergoyahkan. Namun, Jovan menangkapnya—keraguan kecil dalam sorot mata wanita itu.
Ia tahu, wanita ini ingin tahu.
Ia tahu, wanita ini ingin mendengar kisahnya.
Jovan melirik jam di pergelangan tangannya, lalu kembali menatap Bu Intan. “Aku tak punya banyak waktu. Kalau kamu ingin tahu lebih banyak, mari bicara di tempat yang lebih tenang.”
Bu Intan tetap diam sesaat.
Lalu, tanpa kata-kata, ia meletakkan gelasnya di atas meja.
Dan berdiri.
Tanpa suara, tanpa protes, dia mengikuti langkah Jovan keluar dari keramaian pesta.
Mereka berjalan melewati koridor yang dihiasi lukisan-lukisan mahal, menuju balkon luas yang menghadap ke kota. Angin malam yang sejuk berembus, membelai kulit mereka dengan lembut.
“Dulu aku selalu berpikir kamu tak akan pernah bisa berada di ruangan yang sama dengan orang-orang seperti ini,” kata Bu Intan, suaranya lebih lembut, lebih pribadi.
Jovan bersandar di pagar balkon, menatap ke arah lampu-lampu kota yang berkilauan. “Dan sekarang?”
Bu Intan menoleh, matanya penuh arti. “Sekarang aku tahu bahwa aku salah.”
Jovan menoleh padanya, menatapnya lurus, tanpa sedikit pun keraguan. “Aku rasa... itu bukan satu-satunya hal yang kamu salah nilai tentangku.”
Jovan menghembuskan napas pelan, lalu tersenyum kecil. "Kamu tahu, selama lima tahun ini aku tidak hanya berdiam diri. Aku pergi ke beberapa negara, belajar banyak hal."
Bu Intan menoleh, ekspresinya sedikit terkejut. "Negara mana saja?"
"Inggris, Paris, Tokyo, Dubai... beberapa kota lain yang mungkin akan membuatmu berpikir ulang tentang siapa aku sekarang," ujar Jovan santai, tetapi matanya tetap mengunci milik Bu Intan.
Bu Intan menggigit bibirnya samar. "Kamu tidak hanya berubah... kamu berkembang," gumamnya.
Jovan tertawa pelan, lalu mendekat sedikit, menurunkan suaranya hingga nyaris seperti bisikan. "Dan kamu menyadarinya lebih dari siapa pun, bukan?"
Napas Bu Intan sedikit tertahan saat merasakan kehadiran Jovan yang semakin dekat. Ia bisa mencium wangi maskulin pria itu, campuran kayu dan rempah yang entah bagaimana menambah daya tariknya.
"Aku penasaran," bisik Jovan, jemarinya dengan ringan menyentuh punggung tangan Bu Intan. "Apa kamu pernah membayangkan kita berbicara seperti ini sebelumnya?"
Bu Intan tidak segera menjawab. Napasnya sedikit lebih berat, dadanya naik-turun dengan ritme yang sedikit berubah. "Jovan..."
"Hm?" Jovan tidak menjauh, justru semakin mempersempit jarak. "Aku bisa merasakan detak jantungmu. Sedikit lebih cepat dari biasanya."
Bu Intan menghela napas, lalu menarik tangannya perlahan, meskipun tidak sepenuhnya menolak. "Kamu suka bermain api, ya?"
Jovan menyeringai. "Hanya jika apinya seindah ini."
Mata mereka saling beradu dalam keheningan yang intens. Sesaat, tak ada yang bergerak, seolah waktu berhenti.
"Kita tidak seharusnya bicara seperti ini, Jovan."
"Tapi kita sudah bicara seperti ini," sahut Jovan cepat.”
Bu Intan tidak menjawab, hanya menarik napas panjang dan tetap berdiri berhadapan dengan mantan menantunya. Ada sesuatu yang telah berubah malam ini, sesuatu yang tidak bisa diabaikan begitu saja oleh keduanya.
“Pak Winata sibuk sekali ya? Aku jarang melihatnya dalam acara seperti ini,” kata Jovan dengan nada santai, seolah hanya sekadar berbasa-basi.
Bu Intan tersenyum tipis, memainkan cincin di jari manisnya. “Suamiku di luar kota. Urusan pekerjaan.”
Jovan mengangguk pelan. Sama seperti lima tahun lalu. Pak Winata lebih banyak mengurus pekerjaan daripada rumah tangga.
Dengan gerakan halus, Jovan meraih sehelai rambut yang jatuh di bahu wanita itu dan menyelipkannya ke belakang telinga. Sentuhan itu ringan, hampir tidak terasa, tapi efeknya luar biasa.
Bu Intan menegang sejenak. Matanya berkilat, bukan karena kemarahan, tapi sesuatu yang lain.
Ketertarikan.
Jovan tersenyum. “Kamu masih secantik dulu. Bahkan lebih dari sebelumnya.”
Wanita itu menghela napas kecil, seolah ingin mengontrol dirinya. “Kamu terlalu banyak bicara, Jovan.”
“Tapi kamu menyukainya.” Jovan menatapnya lekat.
Bu Intan tidak membantah. Ia menatapnya tajam, tapi Jovan bisa melihat pertahanannya mulai runtuh.
“Jangan bermain-main denganku, Jovan.”
Jovan tersenyum miring. “Siapa bilang aku bermain-main?”
Ia menyentuh punggung tangan Bu Intan, halus, lembut, tidak terburu-buru. “Aku hanya ingin memahami lebih dalam mantan ibu mertuaku... Itu saja.”
Bu Intan tidak menarik tangannya.
“Apa kamu keberatan?”
Bu Intan sama sekali tidak menolak.
Jovan menangkap sorot mata itu, penuh keraguan yang beradu dengan keinginan terlarang. Ibu mertua yang dulu begitu angkuh, kini mulai masuk dalam permainannya.
^*^
Jovan dan Bu Intan masih berdiri berhadapan ketika seorang pria berseragam panitia acara berjalan mendekat. Langkahnya tegap, ekspresinya penuh hormat. Sekilas, Bu Intan mengira pria itu akan menyapanya—bagaimanapun, ia istri seorang pejabat perkebunan besar.Namun, yang terjadi justru sebaliknya.Panitia itu berhenti tepat di hadapan Jovan, lalu sedikit membungkuk. “Maaf mengganggu, Pak Jovan Mahendra.”Bu Intan sempat mengernyit. Sejak kapan Jovan dipanggil dengan begitu hormat?Jovan mengangkat alis, tetapi tetap tenang. “Ada apa?”“Semua petani pelopor yang mendapatkan penghargaan tingkat nasional diminta hadir di ruanga Bapak Benny Panjaitan.” Panitia itu melirik jam tangannya. “Beliau ingin bertemu langsung dengan Bapak dan dua penerima penghargaan lainnya.”Bu Intan membeku.Penerima penghargaan?Tidak mungkin.Dengan matanya sendiri, ia melihat bagaimana panitia acara ini memperlakukan Jovan dengan penuh rasa hormat, seolah pria itu seseorang yang penting. Bahkan diminta berbi
Bu Intan sudah membayangkan perjalanan ini akan berakhir dengan lebih dari sekadar obrolan basa-basi di dalam mobil. Ia sudah mengatur ritme, menciptakan atmosfer, dan kini Jovan begitu saja menyerahkannya pada seorang sopir?“Jovan…” Bu Intan mengerjap, nada suaranya tetap anggun, meski ada tekanan halus di dalamnya.Jovan tersenyum—terlalu manis, terlalu sopan, tapi juga terlalu tajam.“Ini sudah larut,” ujarnya lembut. “Aku tidak ingin kamu kelelahan.”Sebuah pukulan halus.Bu Intan bisa merasakan pandangan beberapa orang yang masih berdiri di sekeliling mereka. Seolah menunggu bagaimana ia akan merespons.Sekian detik, ia menatap Jovan, mencoba mencari celah. Tapi pria itu sudah terlalu jauh dari genggaman yang ia kira masih bisa ia kendalikan.Lalu, dengan anggun—seperti seorang ratu yang memilih menerima permainan ini—Bu Intan tersenyum kecil dan mengangguk.“Baiklah, kalau begitu,” katanya, sebelum melangkah menuju mobil dengan percaya diri, seolah semua masih berada dalam kend
Suasana siang terasa hangat di bawah rindangnya pepohonan di halaman belakang rumah Jovan. Suasana semakin hidup seiring aroma terong panggang yang menggoda tersebar, menggelitik indra penciuman para tamu.Meja panjang kayu rustic dipenuhi hidangan, sementara di depan panggangan, Jovan tampak sibuk dengan celemek hitam yang melingkar di pinggang, membolak-balik terong yang mulai matang.Di sekitarnya, ibu-ibu peserta pelatihan duduk santai sambil melemparkan godaan dan tawa riang. Melia, yang sejak tadi ikut bergabung, tak bisa menahan senyumnya.“Wah, Mas Jo ini selain jago bercocok tanam, ternyata jago masak juga, ya! Siapa nanti yang beruntung jadi pendampingnya?”Jovan hanya menoleh sambil tersenyum hangat, sembari mengipasi panggangan. "Wah, Bu Melia bisa saja. Yang penting, semua kebagian terong panggang spesial saya dulu, ya."Tawa dan sorakan pun memenuhi suasana, namun di balik keceriaan itu, Melia terdiam sejenak. Ia tak bisa mengelak dari perasaan aneh yang tiba-tiba menyer
Bu Intan duduk di ruang tengah rumahnya yang luas, tetapi terasa begitu sepi. Jemarinya mengetuk-ngetuk gelas jus jeruk di atas meja, sementara pikirannya melayang ke pertemuan dengan Jovan di gala dinner seminggu yang lalu.Pria itu… sudah jauh berbeda. Bukan lagi lelaki sederhana yang dulu ia hina habis-habisan, tetapi seorang miliarder yang tampil begitu berwibawa. Bu Intan sudah banyak mengumpulkan data dari beberapa koleganya. Sebagai istri pejabat di kementrian, tentu saja hal itu bukan perkara susah.Dan selama satu minggu ini, hatinya masih berdebar saat mengingat tatapan tajam Jovan, senyum miringnya, dan caranya menggoda seolah membalas semua perlakuan kejamnya dulu. Bu Intan tidak bisa menyangkal bahwa ada sesuatu dalam dirinya yang bergelora.Rasa bersalah, penyesalan dan yang mendominasinya justru ketertarikan. Hasrat yang sudah lama dia kubur dalam-dalam, mulai kembali bangkit dan mengganggunya. Dan dengan keraguan, ia meraih ponselnya dan menekan nomor Tania, putrinya.B
Jovan masih duduk di dalam mobilnya, tangannya menggenggam kemudi dengan erat, matanya tak lepas dari sosok anggun di dalam restoran, mantan mertuanya.Sudah sejak tadi ia melihat Bu Intan, duduk sendirian, gelisah, sesekali melirik ponselnya, mungkin menunggu pesan darinya. Namun, hatinya masih diselimuti keraguan yang terlalu pekat.Lima tahun lalu, ia bukan siapa-siapa. Seorang pria dengan mimpi besar namun tanpa nama, tanpa harta. Dan Bu Intan—wanita yang kini tampak anggun dalam gaun marunnya—pernah menjadi bagian dari kepedihannya. Ia mengingat bagaimana ibu mertuanya, dengan wajah dingin dan lidah tajam, selalu merendahkannya di depan keluarganya sendiri.Kata-kata itu masih terpatri jelas dalam ingatannya, menghantam harga dirinya seperti badai. Penghinaan itu bukan sekadar luka biasa, tapi luka yang mencabik-cabik harga dirinya sebagai seorang suami sekaligus seorang ayah untuk dua anaknya.Dalam satu malam, ia kehilangan semuanya—istri yang ia cintai, kedua anaknya, bahkan h
Ketika mereka sampai di halaman rumah Bu Intan, wanita itu turun lebih dulu. Jovan mengikuti dengan santai, tangannya dimasukkan ke dalam saku celana, menatap rumah mewah yang pernah menjadi saksi penderitaannya lima tahun lalu."Kamu tidak harus masuk kalau tak ingin," kata Bu Intan lembut.Jovan tertawa kecil. "Aku justru ingin masuk."Bu Intan terdiam sejenak, lalu membalikkan badan, berjalan lebih dulu menuju pintu. Begitu mereka masuk, suasana rumah itu terasa terlalu tenang, terlalu luas untuk ditinggali seorang diri.Jovan menatap sekeliling. "Dulu, rumah ini terasa lebih ramai," katanya, nadanya terdengar lebih seperti sindiran.Bu Intan melangkah ke meja bar kecil di sudut ruangan, menuangkan dua gelas minuman, lalu menyerahkan salah satunya pada Jovan. "Sekarang hanya ada aku di sini," katanya pelan.Jovan menerima gelas itu, tetapi tidak langsung meminumnya. Ia justru melangkah lebih dekat, menatap Bu Intan dengan sorot mata yang sulit ditebak."Lalu, apa yang sebenarnya ka
Jovan masih menyunggingkan senyum penuh kemenangan. Di balik kemudi, ia merogoh saku, mengambil rokok, lalu menyalakannya dengan gerakan santai. Asap tipis mengepul di udara malam yang mulai dingin.Rizal di kursi penumpang ikut terkekeh, menyalakan rokoknya sendiri. "Gila, Bang. Saya nunggu di ujung jalan sambil nahan ketawa. Udah bisa nebak endingnya."Jovan menghembuskan asap, lalu melirik Rizal dengan seringai nakal. "Endingnya bisa beda jauh kalau lu telat dua menit aja nelpon gue."Mereka kembali tertawa. Mobil melaju pelan menembus malam, melewati jalanan kota yang mulai lengang. Lampu-lampu jalan berpendar temaram, menciptakan bayangan panjang di trotoar."Tapi abang puas, kan?" Rizal kembali bertanya, kali ini dengan nada lebih serius.Jovan diam sejenak, pandangannya menerawang ke jalanan yang terbentang di depan. "Gue nggak tahu, Zal."Rizal melirik Jovan, penasaran dengan perubahan ekspresi bosnya.Jovan menghela napas, membuang sisa rokoknya keluar jendela. "Gue kira baka
Malam itu, sesuai petunjuk dari salah seorang ajudan Pak Sony, seorang pejabatn di Kementrian Pertanian Jovan tiba di sebuah vila yang berdiri megah di tengah alam. Kesepakatan rahasia yang sudah mereka putuskan saat gala diner seminggu yang lalu.Namanya ‘Vila Sony’, berupa rumah panggung yang elegan, memancarkan kesan mewah sekaligus alami. Dinding kayu jati tua yang mengilap oleh waktu berdiri kokoh di atas tiang-tiang setinggi satu meter, membawa kesan kekuatan dan keanggunan yang berpadu sempurna dengan suasana malam.Vila yang terletak di tengah alam terbuka itu seakan menjadi sebuah oase keindahan dan kedamaian. Meski tidak besar, bangunan ini memberikan kesan lapang dan terbuka. Dinding-dindingnya tidak penuh, hanya berupa pagar kayu setinggi lutut, yang memberi pandangan langsung ke luar, menyatu dengan alam di sekitarnya.Dari dalam, pandangan Jovan tertuju pada kolam ikan di depan vila, airnya berkilauan di bawah sinar bulan, menambah keindahan malam yang tenang. Ikan-ikan n
“Baiklah, jika itu keinginan Bapak-bapak, saya siap memenuhinya,” balas Bu Intan sigap.Dia berpikir dua bandot di depannya tidak akan jauh berbeda dengan suaminya. Lelaki-lelaki tua berperut buncit, berwajah mesum yang ada di depannya hanya besar nafsu dan keinginannya, sementara stamina dan tenaganya sudah pasti sangat kurang. Hanya dalam beberapa menit saja mereka akan langsung menyerah kalah.Pak Hanif dan Pak Gunarsa tersenyum senang mendengar perkataan Bu Intan. Mereka berpikir istri dosen ini telah menyetujui persyaratan itu dan akan segera mengajaknya pergi ke sebuah hotel secara besama-sama.“Nah, ginikan lebih mudah dan lebih baik Bu. Kami pun tidak usah lagi menseleksi perusahaan-perusahaan lain untuk proyek ini. Dokumen ini akan segera kami serahkan setelah kita selesai melengkapi kekurangannya.” Kembali Pak Hanif bicara ambigu yang entah mengapa orang-orang seperti dia senangnya berbelit-belit.Tanpa mempedulikan ucapan Pak Hanif, Bu Intan pun segera menghampiri dua tamu
“Pak Han, kami sangat mengerti dan akan memenuhi persyaratan itu seperti yang biasa suami saya lakukan. Percayalah, semuanya tidak akan berubah, sesuai yang telah dijalankan oleh suami saya selama ini,” ucap Bu Intan dengan tenang dan berwibawa.“Oh bagus. Kami sangat bersyukur kalau Ibu sudah mengerti dan tahu tentang itu, bagus, sangat bagus.”“Ya terima kasih, Pak. Lantas apa yang harus saya lakukan sekarang?”“Hmmm, begini Bu. Kali ini sepertinya kita akan menemukan sedikit masalah, karena adanya kekurangan-kekurangan yang perlu segera ibu ketahui sekaligus dilengkapi, agar tidak menimbulkan permasalahan yang cukup pelik dalam proses selanjutnya,” timpal Pak Hanif.“Kekurangan dan masalah apa, kalau boleh saya tahu, Pak? Mungkin saya bisa membantu memperbaiki atau melengkapinya sekarang juga.” Bu Intan menjawab tegas dan masih dengan senyum manisnya, walau dadanya mulai sedikit bergemuruh karena muak yang ditahan.“Gak banyak sih Bu, kekurangannya hanya satu, dan kebetulan kekuara
Bu Intan mencondongkan tubuhnya ke depan, meletakkan dagunya di telapak tangan dengan tatapan menggoda. "Beneran nih? Jangan PHP-in Tante, loh."Seorang pemuda dengan kaos hitam tertawa sambil mengusap tengkuknya. "Masa iya kita bohong? Justru seru kalau Tante ikut. Bisa ngerasain sensasi tidur di bawah bintang, dengerin suara alam, dan… siapa tahu ada tantangan seru juga."Bu Intan terkikik kecil, membayangkan betapa serunya pengalaman itu. Tapi sebelum sempat berandai-andai lebih jauh, salah satu dari mereka tiba-tiba menyenggol lengannya dan berbisik, "Tapi kita bukan cuma pecinta alam, Tante. Kita juga suka balapan liar!"Mata Bu Intan langsung berbinar lebih terang. Kenangan saat bersama Rizal, merasakan sensasi berboncengan motor keliling kota, angin malam yang menampar wajahnya, tiba-tiba menyeruak di pikirannya."Serius? Kalian anak-anak jalanan juga, nih?" tanyanya dengan nada penuh minat.Mereka tertawa. "Nggak juga, Tante. Cuma sekadar hobi. Nggak setiap hari, tapi kalau lag
Seminggu telah berlalu sejak kepergian Dave, namun jejak kebersamaan empat hari dengannya masih begitu membekas di hati dan pikirannya.Seperti ombak yang terus menghempas pantai tanpa henti, gairah dalam diri Bu Intan kini bergelora tanpa bisa dikendalikan. Ada sesuatu dalam dirinya yang telah terbangun—sesuatu yang tak bisa ia redam, meskipun ia mencoba.Setiap sudut rumah terasa berbeda, bukan karena ada yang berubah secara fisik, melainkan karena dirinya sendiri yang kini tak lagi sama. Dulu, ia bisa dengan mudah mengabaikan kehampaan dalam rumah tangganya. Namun kini, sentuhan suaminya terasa asing, bahkan dingin. Keberadaan Pak Winata di sampingnya tak lagi membawa kehangatan, justru semakin menegaskan betapa kosongnya hubungan mereka.Malam-malamnya kini terasa panjang dan sepi. Tubuhnya mungkin berbaring di sisi suaminya, tetapi pikirannya melayang jauh, kembali ke malam-malam ketika Dave masih ada di sini. Ia terjaga hingga larut, hatinya berdebar, hasratnya menggelora, namun
Pak Winata masih tertidur dengan lelapnya. Bu Intan masih belum merasa lengkap bila tidak merasakan rudal Dave yang mempunyai ukuran luar biasa tersebut, tapi dia juga sedikit khawatir bila ia teruskan permainannya di kamar tidurnya ini akan membuat suaminya bangun karena mendengar rintihan-rintihan dan erangan-erangannya.Bu Intan kemudian mengajak Dave untuk keluar dari kamar tidurnya. Mereka beranjak dari kamar tidur tersebut dengan setengah telanjang, tidak lupa untuk membawa pakaian mereka yang sudah terlepas.Di ruangan keluarga kembali Bu Intan mencumbu Dave dengan penuh nafsu, Bu Intan mulai mendorong Dave untuk duduk di sofa, ia pun kemudian bersujud di hadapan Dave.Dengan penuh nafsu rudal Dave yang setengah bangun mulai dikulum dan dijilatinya, Dave mulai mendesah-desah keenakan merasakan kuluman dan jilatan mulut dan lidah Bu Intan di rudalnya.Perlahan-lahan Bu Intan mulai merasakan rudal Dave bangkit dan mulai mengeras, mulut Bu Intan yang mungil tidak cukup untuk mengu
Percakapan terus mengalir, diselingi gelak tawa ringan dan sesekali kilatan mata Dave yang mencuri pandang ke arahnya. Botol demi botol dibuka, hingga waktu terasa berlalu begitu saja. Bu Intan memperhatikan wajah suaminya yang mulai memerah. Gerakannya semakin lambat, omongannya mulai melantur.Sementara itu, Dave tampak tetap tenang. Mungkin karena ia terbiasa dengan minuman seperti ini.Jam di dinding telah menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Pak Winata semakin kehilangan kendali. Matanya sudah setengah terpejam, tangannya terkadang bergerak tanpa arah, dan bicaranya semakin tidak jelas.Bu Intan tersenyum kecil, teringat betapa lemahnya suaminya jika sudah berada dalam kondisi seperti ini. Sebuah ide melintas di benaknya—ia tahu betul bagaimana malam ini bisa berakhir.Senyumnya makin lebar.Dave, yang sejak tadi memperhatikan, akhirnya bertanya. “Apa yang membuat Anda tersenyum, Bu Intan?”Bu Intan hanya menoleh sekilas, lalu kembali tersenyum tanpa menjawab.Seperti yang s
Bu Intan merasa ada sesuatu yang berbeda dalam hari-harinya sejak pertemuan itu. Kenangan akan Rizal terus membayangi pikirannya, menciptakan getaran aneh di hatinya yang sudah lama tak ia rasakan. Ia sering termenung, mengingat kembali bagaimana Rizal memperlakukannya—santai, nakal, tetapi tetap penuh perhatian.Setiap kali ia mendengar suara motor lewat di depan rumahnya, dadanya berdebar, berharap itu Rizal. Setiap kali notifikasi ponselnya berbunyi, hatinya melompat, hanya untuk kecewa saat mendapati pesan itu bukan darinya.Di sela-sela kesibukannya, ia berkali-kali ingin mengangkat ponselnya, mengetik pesan singkat atau bahkan sekadar menanyakan kabar Rizal. Namun, gengsi menahannya. Bagaimana mungkin ia, seorang istri pejabat yang seharusnya anggun dan berwibawa, justru dirundung rindu pada seorang pemuda kampung sok bergaya kota?Seharusnya dia memang dengan Jovan, bukan Rizal.Bu Intan menatap layar ponselnya dengan kesal. Beberapa kali ia mencoba menghubungi mantan menantuny
Setelah mengantar pulang Bu Intan, Rizal menyalakan motornya dan melaju pelan di jalanan yang mulai lengang. Udara malam masih menyisakan kehangatan pertemuan mereka, namun Rizal tahu, dunia tidak berhenti hanya di satu momen saja.Dia tidak langsung pulang ke rumah kebun. Ada kegelisahan yang masih berputar di kepalanya, sesuatu yang belum tuntas. Setelah menimbang-nimbang, akhirnya dia membelokkan motornya ke sebuah warung kopi langganannya.Begitu sampai, Rizal langsung disambut oleh beberapa temannya. Salah satunya, Herman, menepuk bahunya dengan tawa kecil."Tumben malam-malam nongol. Baru dari mana, Lu?"Rizal hanya nyengir, melempar helmnya ke atas meja dan menarik kursi."Biasa, muter-muter nyari angin," jawabnya santai, padahal pikirannya masih terbayang sosok Bu Intan.Herman menyipitkan mata curiga. "Muter-muter nyari angin atau nyari lobang nganggur?" godanya.Rizal hanya terkekeh, memilih menyesap kopinya tanpa menjawab. Dia menikmati suasana warung itu—lampu remang-reman
Bibir mereka masih bertaut, lembut namun semakin dalam. Tangan Bu Intan mulai nakal menelusuri selangkangan Rizal, awalnya hanya sentuhan ringan, tapi kini seakan ada tarikan tak kasat mata yang membuat tangannya menggenggam benda keras, besar dan panjang di balik chinos. Dia enggan melepaskan.Rizal merasakan bagaimana tubuh Bu Intan perlahan melemas dalam dekapannya, memberi isyarat tanpa kata bahwa wanita itu telah tenggelam dalam gelombang perasaan yang tak lagi bisa ditahan. Kedua semakin kuat meremasi kedua payudara Bu Intan, ciuman mereka semakin liar.Bu Intan sedikit menghela napas di antara kecupan mereka, merasakan debaran dadanya yang berpacu begitu cepat. Ia bukan lagi seorang wanita muda, namun sentuhan Rizal seakan membangkitkan sisi dirinya yang selama ini terkubur oleh kamuplase dan ambisi tuntutan hidup.Rizal menurunkan ciumannya ke sepanjang garis rahang Bu Intan, meninggalkan jejak kehangatan di kulitnya yang halus. Wanita itu memejamkan mata, membiarkan dirinya l