Pagi ini Lalita seperti setrika yang mondar-mandir menyiapkan keperluan Arga hingga dia kelelahan. Semua ini karena dia bangun kesiangan.
Usai menyajikan makanan, wanita malang ini harus kembali ke lantai atas untuk bersiap berangkat kerja. Baru saja membuka pintu, suara dingin suaminya menyerang, "Waktumu sepuluh menit untuk bersiap." "Baik Pak." Dengan langkah cepat menuju kamar mandi. Pas sekali dalam waktu sepuluh menit, Lalita turun. Dia begitu tergesa-gesa takut suaminya marah karena lama menunggu. Di ruang makan, semua berubah. Senyum manis Arga menyambutnya. "Ayo sarapan, Kakek sudah menunggu." Lalita menghela nafas dalam-dalam, Arga pandai sekali berakting. Tanpa kata, wanita itu menarik kursi di samping suaminya. "Selamat Pagi Kakek, maaf sudah menunggu." Meski lelah fisik dan hati, Lalita berusaha tersenyum manis menyapa pria tua itu. "Selamat pagi juga Lalita." Sang Kakek melemparkan senyuman manisnya pula. Sebagai seorang istri yang baik, Lalita mengambilkan makanan untuk suaminya. Namun setelah dia akan meletakkan nasi di atas piring sang suami, Arga segera melarangnya, "Aku hari ini malas sarapan nasi, berikan roti saja." Helaan nafas terdengar, tatapan tajamnya terlempar ke arah sang suami. "Kenapa tidak bilang jika tidak ingin sarapan nasi, kan saya tidak perlu memasak ini dan itu!" ujarnya pelan namun menyimpan kekesalan. Kakek yang mendengar turut menyahut ucapan Lalita. "Hargailah upaya istri kamu Arga, dia sudah susah payah memasak untuk kamu." Tak ingin kakeknya menyalahkan dirinya pria itu segera mengklarifikasi dengan membuat alasan. "Iya Kek, tapi perut Arga tidak nyaman," ujarnya. Tangan pria itu kemudian mengelus rambut istrinya, "Maaf ya, tadi aku mau bilang tapi kamu sudah keluar, gimana kalau buat bekal saja?" “Baiklah Mas,” sahut Lalita lirih. Pria tua itu tersenyum melihat sepasang pengantin baru di depannya. Paska menikah, Kakek melihat banyak yang berubah dari Arga. Cucunya yang semula begitu dingin, kini lebih hangat, dan bahkan lebih bijak. Padahal, tidak tahu saja Kakek, kalau semua kebaikan pria itu hanyalah akting semata. Usai sarapan, keduanya berangkat ke kantor. Sama seperti sebelum-sebelumnya, Lalita turun di tengah jalan dan Arga meninggalkan istrinya itu. Dengan nafas naik turun, Lalita masuk ruangan OB, dia segera ganti seragam dan kemudian melakukan pekerjaannya, tidak peduli pada Arga yang terus menatapnya bekerja. Beberapa saat kemudian, semua pekerjaan telah selesai, sebelum keluar, Lalita laporan dulu pada CEO-nya. "Semua sudah bersih Pak." Wanita itu menghadap sambil menunduk. “Tunggu apa lagi, keluarlah!” titahnya dingin tanpa melihat Lalita sama sekali. Ketika hendak keluar, kedua bola matanya menangkap kotak makan yang berisi masakannya tadi pagi sudah teronggok di tempat sampah. Dengan tatapan tajam, Lalita memutar tubuh ke arah sang suami lagi. "Pak, kenapa bekal makanan yang saya bawakan tadi berada di tempat sampah?" Arga yang tengah berkutat dengan laptopnya menoleh, "Kamu berharap aku akan memakannya?” ujarnya sinis. Lalita begitu kecewa, dengan mengepalkan tangan dia melangkahkan kaki ke meja kerja CEO arogan itu. "Saya sudah susah payah menyiapkannya, sampai lelah.” Mata wanita itu berkaca-kaca. “Kalau tidak mau memakannya, kenapa menyuruh saya membawakan bekal kalau akhirnya Bapak buang ke tempat sampah?!” Tanpa rasa bersalah, Arga justru berkata dengan datar, "Jika kamu merasa sayang, pungut saja." Lalita menggeleng tak percaya dengan Arga, "Entah orang seperti apa anda ini Pak." Ucapannya sangat terdengar bila dirinya begitu kecewa kepada CEO-nya itu. Tak mau mendebat Arga lagi, Lalita pun keluar. Entah mengapa sikap Arga kali ini benar-benar membuatnya kecewa dan sakit hati. Sore hari telah datang, Lalita kembali ke ruangan CEO untuk bersih-bersih sebelum pulang. Tidak ada Arga di dalam sana, membuat Lalita dengan cepat menyelesaikan semua pekerjaannya sehingga bisa pulang dengan cepat. Dengan wajah senang, Lalita berjalan keluar kantor menuju rumah. Sedikit waktunya yang bebas ini benar-benar dia nikmati, sebelum kembali diperlakukan semena-mena oleh suami. Dia bahkan bisa beristirahat, menikmati sofa empuk dengan leluasa. Namun, ketenangan itu tidak berlangsung lama, sebab ia mendapati sebuah kabar buruk jika kondisi ibunya kembali menurun. Buru-buru Lalita mencuci muka, dia segera mengambil tas miliknya kemudian turun. Di ujung tangga Lalita berpapasan dengan kakek, melihat Lalita yang terburu-buru dengan wajah khawatir membuat pria tua itu bertanya. "Lalita kamu mau ke mana? kenapa buru-buru seperti ini?" "Maaf Kek, ibu sakit lagi, Lalita harus segera pulang!" Terlihat wanita itu tengah bersedih. Kakek itu turut khawatir dengan keadaan ibunda Lalita. "Arga mana?" tanyanya kemudian. "Mas Arga belum pulang Kek, mungkin ada meeting di luar kantor." Lalita yang tidak tau dimana suaminya asal menjawab saja. Pucuk dicinta ulam pun tiba, baru saja dibicarakan di depan terdengar mobil Arga datang. "Nah, itu suami kamu sudah datang Lalita. Ajak dia, jangan pergi sendirian," Ujar sang Kakek yang langsung menghampiri Arga. Dari belakang, Lalita mengikuti sambil terus membujuk. "Mas Arga pasti lelah Kek, saya pulang sendiri saja.” Dia sungguh takut apabila Arga marah karena baru pulang, tetapi sudah harus mengantar dirinya. Terlihat Arga baru turun dari mobil, pria itu nampak heran melihat Kakek dan Lalita berdiri di teras. “Ada apa? Kenapa kalian berdiri di sini?” tanyanya kemudian. "Mertua kamu sakit. Dan Lalita ingin pulang segera,” jawab Sang Kakek. Pria itu melempar tatapan tajamnya kepada Lalita, terlihat sekali apabila dia sangat enggan. Namun meskipun begitu, karena kepiawaian akting Arga, dia dengan cepat mengubah ekspresi kesalnya menjadi ekspresi berempati pada sang istri. Ketika berdua di mobil, Arga kembali menatap Lalita tajam, tanpa kata. Lalita tahu, Arga pasti tengah menuduhnya yang tidak-tidak. Akhirnya, sebelum tuduhan itu keluar dari mulut sang suami, Lalita lebih dulu menjelaskan. “Bukan saya yang minta ditemani, tapi Kakek yang memaksa.” Dengusan terdengar dari bibir pria itu. “Kamu pikir aku percaya?” katanya sarkastik. Rasa khawatir terhadap ibunya serta rasa kesal karena terus diintimidasi suaminya membuat amarah Lalita meluap. “Anda pikir saya senang diantar oleh anda?” Lalita berkata dengan tegas, sambil menatap garang sang suami. “Tidak, tidak sama sekali!” lanjutnya kemudian. Lalu, karena terlalu lelah, bahkan mungkin sudah di tahap frustasi, air mata Lalita pun luruh. Gadis itu menangis tersedu. Arga yang semula ingin marah, mengurungkan niat kala melihat Lalita menangis. Selama menikah, gadis itu tidak pernah sekalipun menunjukkan kelemahannya. Dan ketika akhirnya melihat sisi lemah Lalita, sebersit hati Arga merasa kasihan padanya. “Hapus air matamu,” ujar Arga sembari memalingkan wajah. “Aku paling benci melihat wanita menangis.”“Sudah sampai, ayo turun.” Pria itu berujar lembut dengan tatapan yang berbeda dari sebelumnya.Wanita di sampingnya segera mengangguk, Namun sebelum turun, dia tak lupa menghapus sisa-sisa air mata yang masih menempel di pelupuk matanya.Keduanya kini berjalan menuju pintu rumah kemudian mengetuknya.Lama menunggu, akhirnya pelayan yang dipekerjakan oleh Arga untuk menjaga mertuanya membukakan pintu.“Ibu mana?” Tanyanya khawatir.Tak sabar menunggu jawaban pelayan, Lalita menerobos masuk ke dalam rumah, dia segera pergi menuju kamar sang ibunda.Arga turut menyusul di belakang sang istri.Melihat ibundanya yang terbaring di tempat tidur Lalita berjalan mendekat. “Ibu….” Dirinya begitu sedih, benar-benar takut terjadi apa-apa dengan ibunya.Ibunya yang hanya pusing dan kurang enak badan menjelaskan kepada anaknya, beliau juga melarang Lalita untuk bersedih karena kesehatannya baik-baik saja.Arga melangkahkan kaki mendekat, dia segera menjatuhkan tangannya di bahu sang istri. “Jangan
Di pagi harinya Arga bangun terlebih dahulu. Dia yang hendak bangun merasa terkejut dengan keberadaan sang istri yang tidur dengan posisi duduk di samping tempat tidurnya. Wajah Lalita terlihat begitu lelah. “Kenapa dia tidur di sini?” batin Arga, sebelum memorinya memutar kembali kejadian semalam di kala dia kesakitan. Beberapa saat kemudian pria itu tersenyum. Tangan pria itu tergerak menyentuh puncak kepala Lalita. “Demi merawatku, wanita ini rela tidak tidur.” Merasakan sentuhan lembut, mata Lalita terlihat mengerjap-ngerjap. Tak ingin tertangkap basah, Arga segera mengembalikan posisi serta ekspresinya. Saat Lalita membuka mata, hal yang pertama dia pastikan adalah keadaan Arga. "Perut anda apa masih sakit pak?" Tanyanya dengan raut wajah yang khawatir dan ada rasa payah yang juga nampak. “Sedikit.” Tanpa menatap wanita yang berada di sampingnya itu. “Syukurlah Pak,” sahut Lalita senang. "Kalau begitu, saya akan segera siapkan sarapan." Wanita itu segera berjalan menuju
Pagi harinya, kantor dibuat heboh karena kedatangan Damar, asisten Arga ke divisi kebersihan.“Kenapa asisten CEO yang datang sendiri untuk memecatnya?”“Aku juga heran. Seharusnya, CEO tidak perlu turun tangan untuk hal seperti ini.”Lalita yang saat itu tengah mengambil seragam sempat mendengar kalimat-kalimat keheranan dari rekan kerjanya.Tubuh Lalita bergeming, seiring dengan pikirannya yang terus sibuk. Apakah ini ada kaitannya dengan rekannya yang kemarin merundung dia?Namun, melihat ketidakpedulian Arga dan sikapnya yang buruk, Lalita tentu saja sanksi jika ini semua dilakukan pria itu. Apalagi, hanya karena dirinya.Akan tetapi, alangkah terkejutnya Lalita, ketika dia justru mendapati keterangan yang bertolak belakang dari si empunya perintah langsung.“Teman yang merundungmu kemarin sudah dipecat.” Sontak Lalita menoleh, tatapan heran terlempar begitu saja ke arah sang suami. “Jadi, benar Anda yang memecatnya?” Berbanding terbalik dengan Lalita, saat ini Arga justru terli
“Kemarin, kami melihatmu masuk mobil Pak CEO, pasti ingin memberikan pelayanan, kan?”Lalita sontak terdiam. Kemarahan yang semula menggebu-gebu kini hanya tertahan di dada.Dari sekian banyak kata yang bisa Lalita ucap untuk membela diri, karena terhalang oleh perjanjian menutup rapat status pernikahannya … dia hanya mampu berkata, “Aku bukan seperti yang kalian kira!”Dia jelas tidak mungkin mengatakan apabila dia adalah istri CEO-nya. Tidak mungkin juga beralasan Arga mengantarnya pulang, mengingat status mereka di sini hanyalah atasan dan bawahan.“Ya, kami kira semula kamu hanyalah gadis polos!” Sahutan sinis penuh kebencian kembali terdengar. “Tahunya, sungguh wanita murahan!”Setelah memaki dan membuat sakit hati Lalita, rekan-rekannya pun pergi. Air mata wanita itu kemudian mengalir tanpa bisa dicegah. Akan tetapi, karena tidak ingin terlihat lemah dan membenarkan rumor miring itu, dia cepat-cepat menghapus jejak kesedihan di wajah.Rumor yang mencuat dari divisi kebersihan te
“Tidak! Kenapa aku ada di sini?!”Di pagi harinya, Lalita begitu panik ketika mendapati tubuhnya berada di atas tempat tidur empuk milik sang suami.Buru-buru wanita itu mengecek pakaiannya. Bukan apa-apa, dia takut sesuatu telah terjadi."Syukurlah," ucapnya lega setelah melihat dirinya masih berpakaian lengkap.Merasa aneh dengan apa yang terjadi, dia pun mengingat-ingat alasan yang membawa tubuhnya berada di sini. Padahal, dia ingat, kemarin dia tidur di sofa.Tak mendapatkan jawaban apapun, akhirnya Lalita bangkit dari tempat tidur cepat-cepat. Saat bersamaan, Arga keluar dari kamar mandi sudah dengan pakaian lengkapnya."Bagaimana rasanya tidur di ranjang mahal?" Pria itu menatap sang istri yang terlihat kebingungan.Dengan gugup, Lalita berujar cepat, "Saya tidak tahu Pak kenapa saya bisa tidur di ranjang anda.""Mungkin kamu bermimpi dan pindah ke ranjangku," sahutnya dengan tersenyum licik.Wanita itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal, apa mungkin? pikirnya."Kenapa anda ti
Arga terdiam. Melihat kefrustrasian di wajah sang cucu, kakek kembali berucap, “Atau, jadikan saja dia sekretarismu.”Di saat seperti ini, Arga tidak dapat berpikir jernih. “Entahlah Kek.” Cinta adalah hal remeh, tapi mampu membuat orang yang baru merasakannya terombang-ambing tak karuan. “Kakek tau kamu ingin melindungi Lalita, tapi, pikirkan seribu kali langkah yang akan kamu ambil.” Napas panjang nan lelah yang keluar dari bibir Arga menjadi jawaban kemudian. “Baik Kek.” Selepas berbicara dengan kakeknya, pria itu pergi ke kamar. Tidak dipungkiri, usai berbincang dengan kakeknya, ketantrumannya berkurang. Lalita yang tadinya was-was Arga semakin meradang, kini bernapas lega karena wajah pria itu tidak setegang sebelumnya.Keesokan harinya, pria itu mengajak Lalita untuk berangkat bersama, namun kali ini dia menurunkan istrinya tepat di samping gerbang kantor.Wanita itu berdecak, kesal. Pasalnya, karena sudah di wilayah kantor, dia jadi harus waspada sebelum turun dari mobil
Selepas keluar dari ruangan sang CEO, Lalita buru-buru turun untuk menemui Mario yang diminta untuk menunggu di luar gerbang kantor."Kenapa harus menunggu di luar gerbang kantor sih, Ta? Kan bisa bareng dari parkiran?" Pria itu sungguh heran dengan sikap temannya."Kalau CEO tahu kita bisa dipecat," bisiknya lagi, mengulangi kalimat yang serupa dengan kalimat siang tadi."Astaga, sungguh CEO perusahaan ini sudah gila sampai membuat peraturan yang tidak masuk akal," cicitnya pelan-pelan.Lalita tidak menanggapi ucapan sahabatnya itu, dan segera mendorong tubuh Mario agar bergegas. Kalau kelamaan, bisa-bisa mereka benar-benar terpergok Arga!Sementara kedua sahabat itu tengah mengenang kebersamaan, di sebuah restoran mewah, terlihat Arga yang melamun ketika kliennya berbicara.Pikiran pria itu melayang jauh ke sang istri, teringat kembali sikap lucu istrinya. Tak sampai di situ, pria itu bahkan senyum-senyum sendiri.Melihat sikap aneh CEO-nya, Damar yang peka itu mendekatkan diri, kem
“Berikan ponselmu.”Arga mengulurkan tangannya ke arah Lalita. Lalita merogoh tasnya. Namun, karena terburu-buru, dia jadi bertindak ceroboh hingga membuat ponselnya jatuh.Layar ponsel pintar berlayar sentuh yang modelnya sudah jadul itu terlihat pecah. Wajah Lalita langsung mendung. Dia memungut ponselnya dengan helaan napas panjang.Arga yang melihat hal itu merasa iba tapi juga sedikit kesal. Lalita terlihat begitu sedih, padahal hanya ponsel yang pecah."Kenapa sesedih itu? Bukankah itu ponsel murahan?" Arga pun berkomentar pedas.Wanita itu menatap suaminya kesal. Bagi Arga mungkin ponsel itu tidak berharga dan barang murah. Akan tetapi, baginya… ponsel itu adalah benda berharga yang ia beli dengan penuh perjuangan.“Murah untuk Anda, tetapi berharga untuk saya, Pak!” sahut Lalita bersungut.Dia jadi kesal, dan langsung pergi ke kamar, meninggalkan Arga yang terpaku sendirian.Nomor ponsel tidak didapat, pria itu justru mendapati kekesalan sang istri. Merasa bersalah, Arga pun