“Sudah sampai, ayo turun.” Pria itu berujar lembut dengan tatapan yang berbeda dari sebelumnya.
Wanita di sampingnya segera mengangguk, Namun sebelum turun, dia tak lupa menghapus sisa-sisa air mata yang masih menempel di pelupuk matanya.
Keduanya kini berjalan menuju pintu rumah kemudian mengetuknya.
Lama menunggu, akhirnya pelayan yang dipekerjakan oleh Arga untuk menjaga mertuanya membukakan pintu.
“Ibu mana?” Tanyanya khawatir.
Tak sabar menunggu jawaban pelayan, Lalita menerobos masuk ke dalam rumah, dia segera pergi menuju kamar sang ibunda.
Arga turut menyusul di belakang sang istri.
Melihat ibundanya yang terbaring di tempat tidur Lalita berjalan mendekat. “Ibu….” Dirinya begitu sedih, benar-benar takut terjadi apa-apa dengan ibunya.
Ibunya yang hanya pusing dan kurang enak badan menjelaskan kepada anaknya, beliau juga melarang Lalita untuk bersedih karena kesehatannya baik-baik saja.
Arga melangkahkan kaki mendekat, dia segera menjatuhkan tangannya di bahu sang istri. “Jangan sedih, ibu akan baik-baik saja.”
Tutur kata suaminya begitu lembut entah ini akting atau bukan yang jelas Lalita merasakan ketenangan disana.
Dia mendongakkan kepala menatap sejenak wajah suaminya kemudian mengangguk. “Iya.”
Karena ibunya harus istirahat kembali, Arga mengajak sang istri keluar. Dia takut jika terus diajak bicara kesehatan mertuanya semakin memburuk.
“Biarkan ibu istirahat, lebih baik kita keluar.” Pria itu kembali menatap istrinya.
Seperti di hipnotis oleh tatapan suaminya, wanita itu pun menurut tanpa membantah.
“Pak, apa boleh saya menginap? Saya khawatir dengan keadaan ibu,” sambil menunduk dia bertanya.
Wanita itu meremas tangannya, dia harap-harap cemas menunggu jawaban Sang suami.
“Kita akan menginap,” jawab Arga.
Kata kita membuatnya ambigu, sehingga dia kembali mempertanyakan. “Kita?”
Suaminya melemparkan tatapannya, lalu mengangguk.
Kebingungan kembali menerpanya, bagaimana bisa Arga mau menginap di rumahnya yang kecil ini. Bukankah lebih baik apabila sang suami pulang? Namun meskipun begitu Lalita tetap membawa suaminya masuk dalam kamar miliknya.
Ketika masuk ke dalam kamar Lalita entah apa yang Arga pikirkan, matanya terus saja memutar menelisik barang-barang yang ada di dalam kamar itu.
“Itu tempat tidur kamu?” Pandangan Arga tertuju pada sebuah dipan yang berukuran medium.
“Iya Pak,” jawab Lalita ragu-ragu.
Arga berjalan mendekat, dia segera duduk di tempat tidur milik istrinya.
Wanita itu nampak menatap suaminya, ada rasa tidak enak pada pria yang kini duduk di atas tempat tidurnya. “Maaf Pak Arga, tempat tidur saya mungkin kurang nyaman untuk anda.”
“Memang, kasur nya sangat keras kecil pula,” Ekspresi Arga kali ini sulit diungkapkan entah mengejek atau bersimpati kepada Lalita.
Agar Arga tidur dengan nyaman, Lalita memasang sprei baru, dia juga memasang tikar untuk dirinya tidur di lantai.
Melihat apa yang dilakukan istrinya, pria itu nampak bersimpati, sehingga dia tidak mengizinkan wanitanya tidur di bawah.
“Tidurlah di tempat tidur,” ujar Arga.
Tentu Lalita menolaknya, “Tidak Pak, biar saya tidur di lantai saja,” Sembari menggelengkan kepala.
Kesal karena niat baiknya ditolak, akhirnya pria itu berujar dingin, “Aku sedang tidak berdiskusi, ini perintah.” Kemudian pria itu merebahkan dirinya.
Sedangkan Lalita masih terpaku di tempatnya, menatap Arga yang sudah membaringkan diri. “Ada apa dengannya.” Dia menggumam lirih.
Dengan pelan-pelan, Lalita naik ke atas tempat tidur, dia menengok Arga yang membelakanginya kemudian baru perlahan merebahkan diri.
Keesokan harinya, Arga bangun terlebih dahulu saat dirinya hendak bangkit pria itu merasakan berat di bagian perut dan ketika dilihat, ternyata tangan Lalita melingkar di perutnya.
"Apa yang dia lakukan?" Berbisik sendiri sembari berusaha melepas pelukan istrinya.
Setelah dilepas, Lalita kembali memeluknya sehingga membuat pria itu sedikit kesal. “Wanita ini.”
Helaan nafas terdengar, karena pergerakannya kini keduanya nampak begitu dekat, bahkan wajah Lalita sangat dekat dengan wajahnya.
Netra pria itu terus menatap wajah istrinya hingga tiba-tiba Lalita membuka mata, tak ingin ketahuan tengah menatap, Arga pura-pura tidur kembali.
Aaaaaaa!
Lalita membungkam mulutnya yang hampir berteriak keras. Bagaimana tidak, tangan Arga sudah membelit tubuhnya.
Pria itu tertidur sambil memeluk Lalita!
“Apa yang aku lakukan?” Dia kembali bergumam mempertanyakan apa yang telah dia lakukan.
Malu dengan perbuatannya, Lalita segera beranjak dari tempat tidur, wanita itu keluar kamar meninggalkan Arga yang pura-pura memejamkan mata.
Diluar, Lalita yang ditemani pelayan sang ibunda berkutat di dapur, dia memasak untuk ibu serta suaminya itu.
Beberapa waktu kemudian, semua makanan telah berpindah tempat, kini saatnya dia membangunkan sang suami.
Ketika masuk ke dalam kamar, Arga terlihat sudah duduk dengan menyibukkan diri dengan ponselnya.
Perlahan wanita itu mendekat, “Pak mari sarapan,” ucapnya pelan agar tidak mengganggu Arga.
Suaminya melemparkan tatapan kemudian mengangguk, “Iya.”
Seusai makan, mereka berencana untuk kembali, sebenarnya Lalita ingin lebih lama tinggal di rumahnya, tapi dia takut dengan Arga.
Sepulang dari rumah Lalita, Arga terus memegangi perutnya, dia terlihat pucat dan muntah-muntah.
Lalita yang melihat suaminya tentu sangat khawatir meskipun pria itu berlaku kejam terhadapnya apabila sakit begini, dia tetap tidak tega.
“Ambilkan kotak obatku,” titahnya sembari memegangi perut.
Dengan cepat wanita itu mengambil kotak obat dan segera memberikannya kepada Arga.
Waktu berlalu, namun sakit perutnya tak kunjung hilang, sehingga pria itu tak tahan lagi.
Dokter pun dipanggil, dan penjelasan dokter mengenai penyebab sakit perut sang suami semakin membuat Lalita merasa bersalah pasalnya dialah yang tadi memberi Arga makanan pedas.
“Pak, maaf. Saya tidak tahu apabila anda tidak bisa makan pedas.” Lalita menunduk penuh ketakutan.
“Sudah berapa hari dirimu menjadi istriku kenapa masih tidak tahu,” sahutnya lirih.
Ucapan Arga membuat Lalita kesal, “Kenapa anda memakannya jika tidak bisa makan pedas.”
“Ada ibu bagaimana bisa aku menolak!”
Lalita menatap suaminya tak percaya, tak enak dengan sang mertua dia rela memakan makanan yang tak seharusnya dia konsumsi.
Habis berujar lantang, perutnya semakin sakit bahkan terasa begitu menyiksa sehingga dirinya tidak mau berkata-kata apalagi marah kepada istrinya.
Semalaman Lalita merawat Arga dengan penuh kesabaran bahkan dia sampai begadang demi menjaga suaminya.
“Lihat dia sakit, kasihan juga. Tapi, kalau sedang sehat …. ugh!” Lalita mengangkat tangan seolah ingin memukul Arga yang terpejam. “Andai dia bisa lebih lembut sedikit, saja….”
Di pagi harinya Arga bangun terlebih dahulu. Dia yang hendak bangun merasa terkejut dengan keberadaan sang istri yang tidur dengan posisi duduk di samping tempat tidurnya. Wajah Lalita terlihat begitu lelah. “Kenapa dia tidur di sini?” batin Arga, sebelum memorinya memutar kembali kejadian semalam di kala dia kesakitan. Beberapa saat kemudian pria itu tersenyum. Tangan pria itu tergerak menyentuh puncak kepala Lalita. “Demi merawatku, wanita ini rela tidak tidur.” Merasakan sentuhan lembut, mata Lalita terlihat mengerjap-ngerjap. Tak ingin tertangkap basah, Arga segera mengembalikan posisi serta ekspresinya. Saat Lalita membuka mata, hal yang pertama dia pastikan adalah keadaan Arga. "Perut anda apa masih sakit pak?" Tanyanya dengan raut wajah yang khawatir dan ada rasa payah yang juga nampak. “Sedikit.” Tanpa menatap wanita yang berada di sampingnya itu. “Syukurlah Pak,” sahut Lalita senang. "Kalau begitu, saya akan segera siapkan sarapan." Wanita itu segera berjalan menuju
Pagi harinya, kantor dibuat heboh karena kedatangan Damar, asisten Arga ke divisi kebersihan.“Kenapa asisten CEO yang datang sendiri untuk memecatnya?”“Aku juga heran. Seharusnya, CEO tidak perlu turun tangan untuk hal seperti ini.”Lalita yang saat itu tengah mengambil seragam sempat mendengar kalimat-kalimat keheranan dari rekan kerjanya.Tubuh Lalita bergeming, seiring dengan pikirannya yang terus sibuk. Apakah ini ada kaitannya dengan rekannya yang kemarin merundung dia?Namun, melihat ketidakpedulian Arga dan sikapnya yang buruk, Lalita tentu saja sanksi jika ini semua dilakukan pria itu. Apalagi, hanya karena dirinya.Akan tetapi, alangkah terkejutnya Lalita, ketika dia justru mendapati keterangan yang bertolak belakang dari si empunya perintah langsung.“Teman yang merundungmu kemarin sudah dipecat.” Sontak Lalita menoleh, tatapan heran terlempar begitu saja ke arah sang suami. “Jadi, benar Anda yang memecatnya?” Berbanding terbalik dengan Lalita, saat ini Arga justru terli
“Kemarin, kami melihatmu masuk mobil Pak CEO, pasti ingin memberikan pelayanan, kan?”Lalita sontak terdiam. Kemarahan yang semula menggebu-gebu kini hanya tertahan di dada.Dari sekian banyak kata yang bisa Lalita ucap untuk membela diri, karena terhalang oleh perjanjian menutup rapat status pernikahannya … dia hanya mampu berkata, “Aku bukan seperti yang kalian kira!”Dia jelas tidak mungkin mengatakan apabila dia adalah istri CEO-nya. Tidak mungkin juga beralasan Arga mengantarnya pulang, mengingat status mereka di sini hanyalah atasan dan bawahan.“Ya, kami kira semula kamu hanyalah gadis polos!” Sahutan sinis penuh kebencian kembali terdengar. “Tahunya, sungguh wanita murahan!”Setelah memaki dan membuat sakit hati Lalita, rekan-rekannya pun pergi. Air mata wanita itu kemudian mengalir tanpa bisa dicegah. Akan tetapi, karena tidak ingin terlihat lemah dan membenarkan rumor miring itu, dia cepat-cepat menghapus jejak kesedihan di wajah.Rumor yang mencuat dari divisi kebersihan te
“Tidak! Kenapa aku ada di sini?!”Di pagi harinya, Lalita begitu panik ketika mendapati tubuhnya berada di atas tempat tidur empuk milik sang suami.Buru-buru wanita itu mengecek pakaiannya. Bukan apa-apa, dia takut sesuatu telah terjadi."Syukurlah," ucapnya lega setelah melihat dirinya masih berpakaian lengkap.Merasa aneh dengan apa yang terjadi, dia pun mengingat-ingat alasan yang membawa tubuhnya berada di sini. Padahal, dia ingat, kemarin dia tidur di sofa.Tak mendapatkan jawaban apapun, akhirnya Lalita bangkit dari tempat tidur cepat-cepat. Saat bersamaan, Arga keluar dari kamar mandi sudah dengan pakaian lengkapnya."Bagaimana rasanya tidur di ranjang mahal?" Pria itu menatap sang istri yang terlihat kebingungan.Dengan gugup, Lalita berujar cepat, "Saya tidak tahu Pak kenapa saya bisa tidur di ranjang anda.""Mungkin kamu bermimpi dan pindah ke ranjangku," sahutnya dengan tersenyum licik.Wanita itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal, apa mungkin? pikirnya."Kenapa anda ti
Arga terdiam. Melihat kefrustrasian di wajah sang cucu, kakek kembali berucap, “Atau, jadikan saja dia sekretarismu.”Di saat seperti ini, Arga tidak dapat berpikir jernih. “Entahlah Kek.” Cinta adalah hal remeh, tapi mampu membuat orang yang baru merasakannya terombang-ambing tak karuan. “Kakek tau kamu ingin melindungi Lalita, tapi, pikirkan seribu kali langkah yang akan kamu ambil.” Napas panjang nan lelah yang keluar dari bibir Arga menjadi jawaban kemudian. “Baik Kek.” Selepas berbicara dengan kakeknya, pria itu pergi ke kamar. Tidak dipungkiri, usai berbincang dengan kakeknya, ketantrumannya berkurang. Lalita yang tadinya was-was Arga semakin meradang, kini bernapas lega karena wajah pria itu tidak setegang sebelumnya.Keesokan harinya, pria itu mengajak Lalita untuk berangkat bersama, namun kali ini dia menurunkan istrinya tepat di samping gerbang kantor.Wanita itu berdecak, kesal. Pasalnya, karena sudah di wilayah kantor, dia jadi harus waspada sebelum turun dari mobil
Selepas keluar dari ruangan sang CEO, Lalita buru-buru turun untuk menemui Mario yang diminta untuk menunggu di luar gerbang kantor."Kenapa harus menunggu di luar gerbang kantor sih, Ta? Kan bisa bareng dari parkiran?" Pria itu sungguh heran dengan sikap temannya."Kalau CEO tahu kita bisa dipecat," bisiknya lagi, mengulangi kalimat yang serupa dengan kalimat siang tadi."Astaga, sungguh CEO perusahaan ini sudah gila sampai membuat peraturan yang tidak masuk akal," cicitnya pelan-pelan.Lalita tidak menanggapi ucapan sahabatnya itu, dan segera mendorong tubuh Mario agar bergegas. Kalau kelamaan, bisa-bisa mereka benar-benar terpergok Arga!Sementara kedua sahabat itu tengah mengenang kebersamaan, di sebuah restoran mewah, terlihat Arga yang melamun ketika kliennya berbicara.Pikiran pria itu melayang jauh ke sang istri, teringat kembali sikap lucu istrinya. Tak sampai di situ, pria itu bahkan senyum-senyum sendiri.Melihat sikap aneh CEO-nya, Damar yang peka itu mendekatkan diri, kem
“Berikan ponselmu.”Arga mengulurkan tangannya ke arah Lalita. Lalita merogoh tasnya. Namun, karena terburu-buru, dia jadi bertindak ceroboh hingga membuat ponselnya jatuh.Layar ponsel pintar berlayar sentuh yang modelnya sudah jadul itu terlihat pecah. Wajah Lalita langsung mendung. Dia memungut ponselnya dengan helaan napas panjang.Arga yang melihat hal itu merasa iba tapi juga sedikit kesal. Lalita terlihat begitu sedih, padahal hanya ponsel yang pecah."Kenapa sesedih itu? Bukankah itu ponsel murahan?" Arga pun berkomentar pedas.Wanita itu menatap suaminya kesal. Bagi Arga mungkin ponsel itu tidak berharga dan barang murah. Akan tetapi, baginya… ponsel itu adalah benda berharga yang ia beli dengan penuh perjuangan.“Murah untuk Anda, tetapi berharga untuk saya, Pak!” sahut Lalita bersungut.Dia jadi kesal, dan langsung pergi ke kamar, meninggalkan Arga yang terpaku sendirian.Nomor ponsel tidak didapat, pria itu justru mendapati kekesalan sang istri. Merasa bersalah, Arga pun
“Apa-apaan dia, menuliskan namanya begini?!”Sebuah kalimat protes langsung Lalita lontarkan tanpa bisa dicegah.Sadar suaranya cukup kencang ketika berkata demikian, dia pun celingukan, memastikan sekitarnya aman, sebelum mengangkat panggilan itu.“Iya, Pak–”“Kenapa lama sekali mengangkat teleponnya?!” Baru saja diangkat suara dingin pria itu menusuk telinganya. Lalita sampai menjauhkan sedikit ponselnya dari telinga.“M-maaf Pak, saya tidak tahu,” jawabnya tidak memperpanjang omelan Arga. “Ada apa, Pak?” tanyanya lagi.“Tidak ada apa-apa. Aku hanya mengecek, kalau kamu mengerti cara menggunakan ponsel baru itu.”Dua bola mata Lalita berputar. Dia langsung membatin, kesal, karena dengan kata lain Arga pikir dia terlalu bodoh dan gaptek.“Tapi, Pak, sebetulnya tidak perlu membelikan kartu baru. Saya–”“Buang saja kartu lamamu, dan pakai kartu yang aku berikan.” Arga memotong kalimat Lalita dengan cepat.Lalita mengangguk, meski Arga tak bisa melihat. Teringat nama yang tertulis di