“Sudah sampai, ayo turun.” Pria itu berujar lembut dengan tatapan yang berbeda dari sebelumnya.
Wanita di sampingnya segera mengangguk, Namun sebelum turun, dia tak lupa menghapus sisa-sisa air mata yang masih menempel di pelupuk matanya.
Keduanya kini berjalan menuju pintu rumah kemudian mengetuknya.
Lama menunggu, akhirnya pelayan yang dipekerjakan oleh Arga untuk menjaga mertuanya membukakan pintu.
“Ibu mana?” Tanyanya khawatir.
Tak sabar menunggu jawaban pelayan, Lalita menerobos masuk ke dalam rumah, dia segera pergi menuju kamar sang ibunda.
Arga turut menyusul di belakang sang istri.
Melihat ibundanya yang terbaring di tempat tidur Lalita berjalan mendekat. “Ibu….” Dirinya begitu sedih, benar-benar takut terjadi apa-apa dengan ibunya.
Ibunya yang hanya pusing dan kurang enak badan menjelaskan kepada anaknya, beliau juga melarang Lalita untuk bersedih karena kesehatannya baik-baik saja.
Arga melangkahkan kaki mendekat, dia segera menjatuhkan tangannya di bahu sang istri. “Jangan sedih, ibu akan baik-baik saja.”
Tutur kata suaminya begitu lembut entah ini akting atau bukan yang jelas Lalita merasakan ketenangan disana.
Dia mendongakkan kepala menatap sejenak wajah suaminya kemudian mengangguk. “Iya.”
Karena ibunya harus istirahat kembali, Arga mengajak sang istri keluar. Dia takut jika terus diajak bicara kesehatan mertuanya semakin memburuk.
“Biarkan ibu istirahat, lebih baik kita keluar.” Pria itu kembali menatap istrinya.
Seperti di hipnotis oleh tatapan suaminya, wanita itu pun menurut tanpa membantah.
“Pak, apa boleh saya menginap? Saya khawatir dengan keadaan ibu,” sambil menunduk dia bertanya.
Wanita itu meremas tangannya, dia harap-harap cemas menunggu jawaban Sang suami.
“Kita akan menginap,” jawab Arga.
Kata kita membuatnya ambigu, sehingga dia kembali mempertanyakan. “Kita?”
Suaminya melemparkan tatapannya, lalu mengangguk.
Kebingungan kembali menerpanya, bagaimana bisa Arga mau menginap di rumahnya yang kecil ini. Bukankah lebih baik apabila sang suami pulang? Namun meskipun begitu Lalita tetap membawa suaminya masuk dalam kamar miliknya.
Ketika masuk ke dalam kamar Lalita entah apa yang Arga pikirkan, matanya terus saja memutar menelisik barang-barang yang ada di dalam kamar itu.
“Itu tempat tidur kamu?” Pandangan Arga tertuju pada sebuah dipan yang berukuran medium.
“Iya Pak,” jawab Lalita ragu-ragu.
Arga berjalan mendekat, dia segera duduk di tempat tidur milik istrinya.
Wanita itu nampak menatap suaminya, ada rasa tidak enak pada pria yang kini duduk di atas tempat tidurnya. “Maaf Pak Arga, tempat tidur saya mungkin kurang nyaman untuk anda.”
“Memang, kasur nya sangat keras kecil pula,” Ekspresi Arga kali ini sulit diungkapkan entah mengejek atau bersimpati kepada Lalita.
Agar Arga tidur dengan nyaman, Lalita memasang sprei baru, dia juga memasang tikar untuk dirinya tidur di lantai.
Melihat apa yang dilakukan istrinya, pria itu nampak bersimpati, sehingga dia tidak mengizinkan wanitanya tidur di bawah.
“Tidurlah di tempat tidur,” ujar Arga.
Tentu Lalita menolaknya, “Tidak Pak, biar saya tidur di lantai saja,” Sembari menggelengkan kepala.
Kesal karena niat baiknya ditolak, akhirnya pria itu berujar dingin, “Aku sedang tidak berdiskusi, ini perintah.” Kemudian pria itu merebahkan dirinya.
Sedangkan Lalita masih terpaku di tempatnya, menatap Arga yang sudah membaringkan diri. “Ada apa dengannya.” Dia menggumam lirih.
Dengan pelan-pelan, Lalita naik ke atas tempat tidur, dia menengok Arga yang membelakanginya kemudian baru perlahan merebahkan diri.
Keesokan harinya, Arga bangun terlebih dahulu saat dirinya hendak bangkit pria itu merasakan berat di bagian perut dan ketika dilihat, ternyata tangan Lalita melingkar di perutnya.
"Apa yang dia lakukan?" Berbisik sendiri sembari berusaha melepas pelukan istrinya.
Setelah dilepas, Lalita kembali memeluknya sehingga membuat pria itu sedikit kesal. “Wanita ini.”
Helaan nafas terdengar, karena pergerakannya kini keduanya nampak begitu dekat, bahkan wajah Lalita sangat dekat dengan wajahnya.
Netra pria itu terus menatap wajah istrinya hingga tiba-tiba Lalita membuka mata, tak ingin ketahuan tengah menatap, Arga pura-pura tidur kembali.
Aaaaaaa!
Lalita membungkam mulutnya yang hampir berteriak keras. Bagaimana tidak, tangan Arga sudah membelit tubuhnya.
Pria itu tertidur sambil memeluk Lalita!
“Apa yang aku lakukan?” Dia kembali bergumam mempertanyakan apa yang telah dia lakukan.
Malu dengan perbuatannya, Lalita segera beranjak dari tempat tidur, wanita itu keluar kamar meninggalkan Arga yang pura-pura memejamkan mata.
Diluar, Lalita yang ditemani pelayan sang ibunda berkutat di dapur, dia memasak untuk ibu serta suaminya itu.
Beberapa waktu kemudian, semua makanan telah berpindah tempat, kini saatnya dia membangunkan sang suami.
Ketika masuk ke dalam kamar, Arga terlihat sudah duduk dengan menyibukkan diri dengan ponselnya.
Perlahan wanita itu mendekat, “Pak mari sarapan,” ucapnya pelan agar tidak mengganggu Arga.
Suaminya melemparkan tatapan kemudian mengangguk, “Iya.”
Seusai makan, mereka berencana untuk kembali, sebenarnya Lalita ingin lebih lama tinggal di rumahnya, tapi dia takut dengan Arga.
Sepulang dari rumah Lalita, Arga terus memegangi perutnya, dia terlihat pucat dan muntah-muntah.
Lalita yang melihat suaminya tentu sangat khawatir meskipun pria itu berlaku kejam terhadapnya apabila sakit begini, dia tetap tidak tega.
“Ambilkan kotak obatku,” titahnya sembari memegangi perut.
Dengan cepat wanita itu mengambil kotak obat dan segera memberikannya kepada Arga.
Waktu berlalu, namun sakit perutnya tak kunjung hilang, sehingga pria itu tak tahan lagi.
Dokter pun dipanggil, dan penjelasan dokter mengenai penyebab sakit perut sang suami semakin membuat Lalita merasa bersalah pasalnya dialah yang tadi memberi Arga makanan pedas.
“Pak, maaf. Saya tidak tahu apabila anda tidak bisa makan pedas.” Lalita menunduk penuh ketakutan.
“Sudah berapa hari dirimu menjadi istriku kenapa masih tidak tahu,” sahutnya lirih.
Ucapan Arga membuat Lalita kesal, “Kenapa anda memakannya jika tidak bisa makan pedas.”
“Ada ibu bagaimana bisa aku menolak!”
Lalita menatap suaminya tak percaya, tak enak dengan sang mertua dia rela memakan makanan yang tak seharusnya dia konsumsi.
Habis berujar lantang, perutnya semakin sakit bahkan terasa begitu menyiksa sehingga dirinya tidak mau berkata-kata apalagi marah kepada istrinya.
Semalaman Lalita merawat Arga dengan penuh kesabaran bahkan dia sampai begadang demi menjaga suaminya.
“Lihat dia sakit, kasihan juga. Tapi, kalau sedang sehat …. ugh!” Lalita mengangkat tangan seolah ingin memukul Arga yang terpejam. “Andai dia bisa lebih lembut sedikit, saja….”
Di pagi harinya Arga bangun terlebih dahulu. Dia yang hendak bangun merasa terkejut dengan keberadaan sang istri yang tidur dengan posisi duduk di samping tempat tidurnya. Wajah Lalita terlihat begitu lelah. “Kenapa dia tidur di sini?” batin Arga, sebelum memorinya memutar kembali kejadian semalam di kala dia kesakitan. Beberapa saat kemudian pria itu tersenyum. Tangan pria itu tergerak menyentuh puncak kepala Lalita. “Demi merawatku, wanita ini rela tidak tidur.” Merasakan sentuhan lembut, mata Lalita terlihat mengerjap-ngerjap. Tak ingin tertangkap basah, Arga segera mengembalikan posisi serta ekspresinya. Saat Lalita membuka mata, hal yang pertama dia pastikan adalah keadaan Arga. "Perut anda apa masih sakit pak?" Tanyanya dengan raut wajah yang khawatir dan ada rasa payah yang juga nampak. “Sedikit.” Tanpa menatap wanita yang berada di sampingnya itu. “Syukurlah Pak,” sahut Lalita senang. "Kalau begitu, saya akan segera siapkan sarapan." Wanita itu segera berjalan menuju
Pagi harinya, kantor dibuat heboh karena kedatangan Damar, asisten Arga ke divisi kebersihan.“Kenapa asisten CEO yang datang sendiri untuk memecatnya?”“Aku juga heran. Seharusnya, CEO tidak perlu turun tangan untuk hal seperti ini.”Lalita yang saat itu tengah mengambil seragam sempat mendengar kalimat-kalimat keheranan dari rekan kerjanya.Tubuh Lalita bergeming, seiring dengan pikirannya yang terus sibuk. Apakah ini ada kaitannya dengan rekannya yang kemarin merundung dia?Namun, melihat ketidakpedulian Arga dan sikapnya yang buruk, Lalita tentu saja sanksi jika ini semua dilakukan pria itu. Apalagi, hanya karena dirinya.Akan tetapi, alangkah terkejutnya Lalita, ketika dia justru mendapati keterangan yang bertolak belakang dari si empunya perintah langsung.“Teman yang merundungmu kemarin sudah dipecat.” Sontak Lalita menoleh, tatapan heran terlempar begitu saja ke arah sang suami. “Jadi, benar Anda yang memecatnya?” Berbanding terbalik dengan Lalita, saat ini Arga justru terli
“Kemarin, kami melihatmu masuk mobil Pak CEO, pasti ingin memberikan pelayanan, kan?”Lalita sontak terdiam. Kemarahan yang semula menggebu-gebu kini hanya tertahan di dada.Dari sekian banyak kata yang bisa Lalita ucap untuk membela diri, karena terhalang oleh perjanjian menutup rapat status pernikahannya … dia hanya mampu berkata, “Aku bukan seperti yang kalian kira!”Dia jelas tidak mungkin mengatakan apabila dia adalah istri CEO-nya. Tidak mungkin juga beralasan Arga mengantarnya pulang, mengingat status mereka di sini hanyalah atasan dan bawahan.“Ya, kami kira semula kamu hanyalah gadis polos!” Sahutan sinis penuh kebencian kembali terdengar. “Tahunya, sungguh wanita murahan!”Setelah memaki dan membuat sakit hati Lalita, rekan-rekannya pun pergi. Air mata wanita itu kemudian mengalir tanpa bisa dicegah. Akan tetapi, karena tidak ingin terlihat lemah dan membenarkan rumor miring itu, dia cepat-cepat menghapus jejak kesedihan di wajah.Rumor yang mencuat dari divisi kebersihan te
“Tidak! Kenapa aku ada di sini?!”Di pagi harinya, Lalita begitu panik ketika mendapati tubuhnya berada di atas tempat tidur empuk milik sang suami.Buru-buru wanita itu mengecek pakaiannya. Bukan apa-apa, dia takut sesuatu telah terjadi."Syukurlah," ucapnya lega setelah melihat dirinya masih berpakaian lengkap.Merasa aneh dengan apa yang terjadi, dia pun mengingat-ingat alasan yang membawa tubuhnya berada di sini. Padahal, dia ingat, kemarin dia tidur di sofa.Tak mendapatkan jawaban apapun, akhirnya Lalita bangkit dari tempat tidur cepat-cepat. Saat bersamaan, Arga keluar dari kamar mandi sudah dengan pakaian lengkapnya."Bagaimana rasanya tidur di ranjang mahal?" Pria itu menatap sang istri yang terlihat kebingungan.Dengan gugup, Lalita berujar cepat, "Saya tidak tahu Pak kenapa saya bisa tidur di ranjang anda.""Mungkin kamu bermimpi dan pindah ke ranjangku," sahutnya dengan tersenyum licik.Wanita itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal, apa mungkin? pikirnya."Kenapa anda ti
Arga terdiam. Melihat kefrustrasian di wajah sang cucu, kakek kembali berucap, “Atau, jadikan saja dia sekretarismu.”Di saat seperti ini, Arga tidak dapat berpikir jernih. “Entahlah Kek.” Cinta adalah hal remeh, tapi mampu membuat orang yang baru merasakannya terombang-ambing tak karuan. “Kakek tau kamu ingin melindungi Lalita, tapi, pikirkan seribu kali langkah yang akan kamu ambil.” Napas panjang nan lelah yang keluar dari bibir Arga menjadi jawaban kemudian. “Baik Kek.” Selepas berbicara dengan kakeknya, pria itu pergi ke kamar. Tidak dipungkiri, usai berbincang dengan kakeknya, ketantrumannya berkurang. Lalita yang tadinya was-was Arga semakin meradang, kini bernapas lega karena wajah pria itu tidak setegang sebelumnya.Keesokan harinya, pria itu mengajak Lalita untuk berangkat bersama, namun kali ini dia menurunkan istrinya tepat di samping gerbang kantor.Wanita itu berdecak, kesal. Pasalnya, karena sudah di wilayah kantor, dia jadi harus waspada sebelum turun dari mobil
Selepas keluar dari ruangan sang CEO, Lalita buru-buru turun untuk menemui Mario yang diminta untuk menunggu di luar gerbang kantor."Kenapa harus menunggu di luar gerbang kantor sih, Ta? Kan bisa bareng dari parkiran?" Pria itu sungguh heran dengan sikap temannya."Kalau CEO tahu kita bisa dipecat," bisiknya lagi, mengulangi kalimat yang serupa dengan kalimat siang tadi."Astaga, sungguh CEO perusahaan ini sudah gila sampai membuat peraturan yang tidak masuk akal," cicitnya pelan-pelan.Lalita tidak menanggapi ucapan sahabatnya itu, dan segera mendorong tubuh Mario agar bergegas. Kalau kelamaan, bisa-bisa mereka benar-benar terpergok Arga!Sementara kedua sahabat itu tengah mengenang kebersamaan, di sebuah restoran mewah, terlihat Arga yang melamun ketika kliennya berbicara.Pikiran pria itu melayang jauh ke sang istri, teringat kembali sikap lucu istrinya. Tak sampai di situ, pria itu bahkan senyum-senyum sendiri.Melihat sikap aneh CEO-nya, Damar yang peka itu mendekatkan diri, kem
“Berikan ponselmu.”Arga mengulurkan tangannya ke arah Lalita. Lalita merogoh tasnya. Namun, karena terburu-buru, dia jadi bertindak ceroboh hingga membuat ponselnya jatuh.Layar ponsel pintar berlayar sentuh yang modelnya sudah jadul itu terlihat pecah. Wajah Lalita langsung mendung. Dia memungut ponselnya dengan helaan napas panjang.Arga yang melihat hal itu merasa iba tapi juga sedikit kesal. Lalita terlihat begitu sedih, padahal hanya ponsel yang pecah."Kenapa sesedih itu? Bukankah itu ponsel murahan?" Arga pun berkomentar pedas.Wanita itu menatap suaminya kesal. Bagi Arga mungkin ponsel itu tidak berharga dan barang murah. Akan tetapi, baginya… ponsel itu adalah benda berharga yang ia beli dengan penuh perjuangan.“Murah untuk Anda, tetapi berharga untuk saya, Pak!” sahut Lalita bersungut.Dia jadi kesal, dan langsung pergi ke kamar, meninggalkan Arga yang terpaku sendirian.Nomor ponsel tidak didapat, pria itu justru mendapati kekesalan sang istri. Merasa bersalah, Arga pun
“Apa-apaan dia, menuliskan namanya begini?!”Sebuah kalimat protes langsung Lalita lontarkan tanpa bisa dicegah.Sadar suaranya cukup kencang ketika berkata demikian, dia pun celingukan, memastikan sekitarnya aman, sebelum mengangkat panggilan itu.“Iya, Pak–”“Kenapa lama sekali mengangkat teleponnya?!” Baru saja diangkat suara dingin pria itu menusuk telinganya. Lalita sampai menjauhkan sedikit ponselnya dari telinga.“M-maaf Pak, saya tidak tahu,” jawabnya tidak memperpanjang omelan Arga. “Ada apa, Pak?” tanyanya lagi.“Tidak ada apa-apa. Aku hanya mengecek, kalau kamu mengerti cara menggunakan ponsel baru itu.”Dua bola mata Lalita berputar. Dia langsung membatin, kesal, karena dengan kata lain Arga pikir dia terlalu bodoh dan gaptek.“Tapi, Pak, sebetulnya tidak perlu membelikan kartu baru. Saya–”“Buang saja kartu lamamu, dan pakai kartu yang aku berikan.” Arga memotong kalimat Lalita dengan cepat.Lalita mengangguk, meski Arga tak bisa melihat. Teringat nama yang tertulis di
"Pak Rangga kenapa anda disini?" Vina nampak terkejut, pikirannya kemana-mana. Apa dia sudah tau jika yang tidur dengannya malam itu adolah Amira? "Tentu mengunjungi calon istri aku." Rangga malas untuk berdrama lagi, dia ingin segera mengungkap semua kebenarannya. "Mas...." Amira mengkode Rangga agar bisa menahan diri tapi pria itu sudah muak pada Vina terlebih Vina telah membunuh calon bayinya. "Apa anda sudah tau semuanya?" Ucap Vina gugup. "Menurutmu!" Sahut Rangga. Wajah Vina menjadi pucat pasi, tak ada harapan lagi akhirnya dia meminta maaf. Wanita itu juga memohon pada Amira agar dimaafkan. "Aku sangat mencintai Pak Rangga Mir mangkanya aku berbohong." Vina memegang tangan Amira. Namun Amira yang sudah kecewa dan sakit hati pada sahabatnya dengan segera melepas tangan Vina. "Amira kita kan sahabat." Vina kembali berekspresi sedih berharap Amira berubah pikiran namun Amira tidak mau tertipu lagi. Mungkin jika dia hanya ingin bersama Rangga tidak masalah tapi
Sore itu sepulang dari kantor, Rangga pergi ke Villa untuk menemui Vina, dia tidak bisa mengulur waktu lagi untuk mengungkap kedok wanita jahat itu. Rencananya dia akan menjebak Vina agar mengakui semua di hadapannya dan Amira. Melihat kedatangan Rangga, Vina sangat senang. Dia langsung menyambut mantan atasannya itu. "Sore Pak Rangga." Sapanya dengan tersenyum manis. Rangga membalas senyuman Vina. meski sebenarnya hatinya enggan bersikap manis terhadap wanita yang telah membunuh calon bayinya. "Sore." Dia duduk lalu menyandarkan kepalanya dia sofa. "Vina, waktu itu di club aku tidak memakai pengaman apa kamu tidak merasakan tanda-tanda kehamilan?" Pertanyaan Rangga membuat Vina berpikir, bagaimana bisa hamil sedangkan yang tidur dengan Rangga adalah Amira. "Memangnya kenapa Pak?" tanya Vina was-was. "Tidak apa-apa, aku ingin mengumumkan pernikhaan secepatnya." Jawaban Rangga membuat Vina senang, saking bahagianya dia segera memeluk CEO itu. "Sudah lepas,
Dari rumah sakit Rangga kembali ke kontrakan Amira lagi, dia mengkonfirmasi Amira terkeit obat penggugur kandungan. Mendengar ucapan Rangga, Amira sangat shock. Bagaimana bisa vitamin menjadi obat penggugur kandungan? "Aku sungguh tidak tahu." Dengan raut wajah sedih Amira menunduk. Sementara Rangga berpikir keras, secara logika tidak mungkin ada dokter yang sengaja memberikan obat penggugur kandungan, pihak farmasi juga tidak mungkin melakukan kelalaian yang fatal jadi permasalahannya di Amira. Apakah obat itu tertukar atau gimana? "Apa ada yang kesini sebelum kamu keguguran?" Tanya Rangga dengan menatap sang wanita. Amira terperangah menatap Rangga, dia baru menyadari kedatangan Vina beberapa hari lalu. "Mas Vina datang kesini, dia menginap juga." Ucapan Amira membuat Rangga mengepalkan tangan, dia yakin Vina lah yang membunuh calon bayinya. "Beraninya dia melenyapkan calon bayiku." Ujar Rangga. Rangga bangkit, dia ingin membuat perhitungan dengan Vina, dia
Amira terus kesakitan, dia mencoba menghubungi Rangga tapi Pria itu tidak mengangkat panggilannya. Berkali-kali Amira menghubungi Rangga tapi tetap sama, Rangga tidak menerima satu pun panggilan darinya. Sakit yang semakin menusuk membuat Amira tak tahan. Saat bersamaan terdengar pintu diketuk. Sambil menahan rasa sakit, wanita itu membukakan pintu. "Andi." Kata Amira pelan. Melihat sahabatnya yang sangat pucat dan kesakitan membuat Andi khawatir, "Kamu kenapa Amira?" tanyanya panik. "Perut aku sakit." Jawabnya. Tak tahan akan sakit di perutnya, Amira lalu pingsan. Andi sempat kebingungan hingga akhirnya dia membawa Amira ke rumah sakit. Setibanya di rumah sakit, dengan tangannya Andi membawa tubuh Amira masuk ke dalam. "Dokter Dokter! " Teriak Andi. Beberapa dokter yang mendengar teriakan segera sigap, lalu menggiring Andi ke ruang gawat darurat.Tau jika pasien mengalami keguguran, Dokter segera melakukan tindakan. "Bagaimana keadaannya Dok?" tanya Andi cem
Tatapan Lalita kini mengarah ke Amira, dia tersenyum melihat Rangga datang dengan seorang wanita. "Kekasih kamu ya Mas." Goda Lalita. Rangga tersenyum lalu mengangguk. Lalita cukup senang akhirnya Rangga sudah menemukan wanita. Masih mempertahankan senyumannya Lalita duduk di samping Amira. "Hay, aku Lalita." Dia menyodorkan tangan pada Amira. "Hay, saya Amira." Amira melakukan hal yang sama. Lalita dan Amira mengobrol, dan bersamaan dokter keluar dari ruang operasi. "Bagaimana keadaan istri saya Dok?" Damar segera bertanya. "Baik, kedua bayinya juga sehat." Ucapan Dokter membuat Damar menitikkan air mata, kini statusnya berubah menjadi seorang ayah. Rangga yang melihat teman serta rekan kerjanya bahagia pun turut bahagia, dia dapat merasakan kebahagian Damar. "Selamat atas kelahiran anak kamu." Ujarnya dengan senyuman hangatnya. "Terima kasih Pak Rangga." Pria itu memeluk Rangga. Tak selang lama, dua orang suster keluar membawa dua bayi mungil,
Mual dan muntah semakin parah, hingga Amira ijin tidak masuk karena lemas. "Apa yang kamu perlukan Amira? akan aku belikan." Vina menunjukkan wajah khawatirnya. Bukan khawatir karena sahabatnya sakit tapi dia khawatir jikalau Amira hamil. "Tidak perlu Vin, terima kasih." Ujar Amira. Karena harus kembali ke villa, Vina pun pamit dan sebelum pergi dia bilang jika akan datang lagi. Amira mengangguk, meski dia sedikit heran dengan sikap Vina yang tiba-tiba berubah jadi perhatian. Tak ingin ambil pusing, Amira mengabaikan kecurigaannya.Di sisi lain, Rangga yang mendengar kabar jika Amira sakit jadi panik, dia segera pergi ke kontrakan Amira untuk menjenguk kekasihnya itu. "Pak Rangga." Kedua bola mata Amira membulat melihat kedatangan sang pria. "Masih saya panggil Pak." Rangga menjentikkan jarinya pelan dia dahi sang wanita. Amira menggosok dahinya dengan tangan, meski jentikn tangga Rangga tidak sakit tapi dia sedikit lebay di hadapan CEO itu. "Iya Mas." Ujarnya. Ingat akan
"Sa-saya.... " Belum sempat melanjutkan kata-katanya Rangga sudah menjatuhkan bibirnya, hal ini membuat Amira terkejut lalu mendorong tubuh Rangga. "Pak, jangan seperti ini." Katanya dengan marah. "Kamu telah membohongi aku Amira." Rangga menatap sendu Amira. Melihat tatapan Rangga, Amira nampak iba. Dia tahu dia berbohong tapi mereka tidak ada hubungan apa-apa. "Dimana letak salahnya Pak, kita juga tidak ada hubungan apa-apa." Ujar Amira. Pria itu mematung, memang benar mereka tidak ada hubungan apa-apa tapi apa yang telah dia lakukan seharusnya Amira paham jika itu adalah bentuk dari rasa cintanya. "Meskipun tidak diungkap, seharusnya kamu bisa merasakan gelagatku Amira," ungkap Rangga. "Iya Pak," cicit Amira pelan. Untuk mengikat Amira, akhirnya Rangga mengungkap perasaannya, dia juga mengajak wanita itu untuk melanjutkan ke tahap yang serius mengingat ucapannya dulu jika dia akan bertanggung jawab. #### Hari ini semua bagian desain sangat sibuk, terlebih Moni
"Hubungi Amira suruh datang ke pameran." Titah Rangga. "Tapi kita masih disini Pak." Gilang mencoba protes. Rangga hanya melempar tatapannya. Tak ingin membantah asisten itu menuruti kemauan sang CEO. Niat awalnya, Rangga ingin datang ke Villa untuk mengambil sesuatu tapi setelah melihat Amira dan Andi, pria itu meminta Gilang putar balik dan kembali. Sementara itu, Amira tidak membuka pesan yang Gilang kirim dia juga tidak menerima panggilan dari asisten CEO-nya itu. Setelah susah payah mencari akhirnya Amira dan Andi, berhasil menemukan alamat Vina. "Pantas nggak ketemu," kata andi. Amira segera memencet bel lalu seorang satpam membukakan pagar. Setelah memberi tahu tujuannya, satpam meminta mereka masuk. Di depan rumah, Andi dan Amira menunggu Vina. Tak selang lama Vina keluar. "Kalian!" Mata Vina terbelalak melihat kedua sahabatnya datang. Dengan wajah gugup dia mendekat. "Bagaimana bisa kalian mendapatkan alamat Villa ini?" tanya Vina dengan menatap A
"Masih di atas tempat tidur, Rangga dan Amira berbincang tentang langkah selanjutnya, apa langsung meminta Vina mengaku? atau membuat permainan dan mengikuti alur Vina? " Bagaimana menurut kamu Amira?" tanya Rangga. "Kita lihat saja rencana Vina Pak Rangga setelah Anda tidak bisa menikahinya, tapi anda jangan bilang kalau saya sudah mengakui semua." Pinta Amira. Rangga mengangguk, jika itu yang Amira minta. Kalau sebenarnya dari dia pribadi ingin langsung mengusir Vina. Keesokannya, sepulang dari kerja Andi menemui Amira kembali bahkan kali ini Andi ikut Amira pulang. Di kontrakan, mereka berbincang kembali tentang Vina. "Andi apa Vina pernah dendam atau sakit hati padaku?" Dengan wajah nanar Amira menatap Andi yang duduk di sebelahnya. "Dendam gimana maksud kamu?" tanya Andi. "Barangkali aku pernah menyakitinya sehingga dia pergi dan seolah tidak menganggap aku temannya padahal selama ini kita selalu bersama." Jawab Amira. Andi menggeleng, dia tidak tahu. Selama