Pagi harinya, kantor dibuat heboh karena kedatangan Damar, asisten Arga ke divisi kebersihan.
“Kenapa asisten CEO yang datang sendiri untuk memecatnya?” “Aku juga heran. Seharusnya, CEO tidak perlu turun tangan untuk hal seperti ini.” Lalita yang saat itu tengah mengambil seragam sempat mendengar kalimat-kalimat keheranan dari rekan kerjanya. Tubuh Lalita bergeming, seiring dengan pikirannya yang terus sibuk. Apakah ini ada kaitannya dengan rekannya yang kemarin merundung dia? Namun, melihat ketidakpedulian Arga dan sikapnya yang buruk, Lalita tentu saja sanksi jika ini semua dilakukan pria itu. Apalagi, hanya karena dirinya. Akan tetapi, alangkah terkejutnya Lalita, ketika dia justru mendapati keterangan yang bertolak belakang dari si empunya perintah langsung. “Teman yang merundungmu kemarin sudah dipecat.” Sontak Lalita menoleh, tatapan heran terlempar begitu saja ke arah sang suami. “Jadi, benar Anda yang memecatnya?” Berbanding terbalik dengan Lalita, saat ini Arga justru terlihat tersenyum bangga. “Kamu senang bukan, aku telah memecatnya?” katanya, kentara sekali ingin mendapat simpati Lalita karena telah menjadi seorang hero. Namun, Lalita justru meringis. Alih-alih senang justru wanita itu kesal kepada sang suami. "Kenapa anda bertindak semena-mena?” ujar Lalita kecewa. Meski temannya telah berbuat jahat padanya tapi dia tidak suka sikap Arga. Tak sepantasnya menggunakan kekuasaan untuk menindas. Mendengar ucapan istrinya sontak membuat Arga menjadi kesal. Raut wajah pria itu yang semula sedikit cerah, kini kembali berubah gelap. "Kamu menyalahkan aku?!" Tatapan Arga semakin tajam sehingga membuat Lalita menunduk takut. Seketika, dia langsung mengingat posisinya. "Bukan seperti itu Pak, saya hanya menyayangkan sikap anda saja," cicitnya lirih tanpa berani memandang Arga. Terdengar kemudian suara helaan napas dari Arga. Sejurus kemudian kalimat dominasi yang pria itu ucapkan. "Aku tidak suka ada orang yang menindasmu, karena yang memiliki kuasa itu hanya diriku!" Wajah Lalita sontak terkejut. Akan tetapi, sebelum wanita itu menyangkal ucapannya, dia lebih dulu menyela, "Sudahlah. Kerjakan pekerjaanmu dengan benar, atau kamu yang akan kupecat nanti!” Lalita mengepalkan tangannya, ingin sekali meluapkan amarah tapi siapa dia, tentu tidak mungkin melawan suami CEO-nya itu. Sepanjang melakukan pekerjaannya, Lalita nampak menggerutu dalam hati. Beruntung, saat itu Arga tidak berulah, sehingga pekerjaannya cepat selesai tanpa drama. “Pak, saya mau izin untuk pulang sendiri.” Selepas menyelesaikan pekerjaannya, Lalita menghadap Arga untuk pulang. Pria itu melemparkan tatapannya, terlihat bila dia tidak setuju dengan kalimat sang istri. “Baiklah saya akan menunggu anda di tempat biasa.” Badannya berbalik, hendak mengambil peralatan kerjanya. Arga mendadak berubah sikap, dia terlihat gugup bahkan degup jantungnya semakin terasa. Dirinya sudah tidak bisa menahan keinginannya. “Tunggu di basement, sebentar lagi aku selesai." Dia cepat-cepat menyelesaikan pekerjaannya. Kerutan-kerutan di dahi Lalita bermunculan, "Menunggu di basement?" gumamnya lirih. Tak ingin banyak bertanya Lalita melakukan perintah Arga, tanpa berpikiran apabila Arga menyuruhnya menunggu di basement karena dia ingin mengajak Lalita pulang bersama. Pria itu semakin menunjukkan perhatiannya, hanya saja dia terlalu gengsi dan bingung untuk mengungkapkan langsung kepada sang istri. Beberapa lama menunggu, akhirnya Arga turun ke basement, dia segera meminta Lalita masuk ke dalam mobil sebelum ada yang melihat mereka. "Kenapa anda mengajak saya pulang bersama Pak? bukankah jika ada yang melihat reputasi anda bisa jatuh?" Tanya Lalita dengan heran. Pria itu terdiam, dia sendiri juga tidak tahu mengapa ada keinginan mengajak OB-nya pulang bersama tanpa ada drama menunggu seperti sebelum-sebelumnya. "Sudahlah jangan banyak bertanya." Hanya itu yang bisa dia ucap untuk menjawab pertanyaan sang istri. Mendengar itu, Lalita berdecak kesal kemudian melempar tatapan keluar jendela. Keesokan harinya, sepanjang jalan masuk ke dalam kantor sampai ruangan OB, semua teman-temannya nampak menatapnya sinis, bahkan di dalam ruangan OB beberapa temannya berbisik membicarakan dirinya. “Pantas si Bella dipecat, ternyata dia ada main sama Pak CEO.” Bisik-bisik temannya cukup terdengar jelas oleh Lalita. Yang lainnya turut menimpali, “Betul, selain OB dia merangkap jadi wanita pemuas CEO juga.” Sambil tertawa dengan lirikan merendahkan. Mendengar ucapan teman-teman kerjanya, Lalita pun mengepalkan tangan, dengan amarah yang meledak dia mendekat. “Bicara apa kalian, siapa yang menjual tubuh ke Pak CEO!”“Kemarin, kami melihatmu masuk mobil Pak CEO, pasti ingin memberikan pelayanan, kan?”Lalita sontak terdiam. Kemarahan yang semula menggebu-gebu kini hanya tertahan di dada.Dari sekian banyak kata yang bisa Lalita ucap untuk membela diri, karena terhalang oleh perjanjian menutup rapat status pernikahannya … dia hanya mampu berkata, “Aku bukan seperti yang kalian kira!”Dia jelas tidak mungkin mengatakan apabila dia adalah istri CEO-nya. Tidak mungkin juga beralasan Arga mengantarnya pulang, mengingat status mereka di sini hanyalah atasan dan bawahan.“Ya, kami kira semula kamu hanyalah gadis polos!” Sahutan sinis penuh kebencian kembali terdengar. “Tahunya, sungguh wanita murahan!”Setelah memaki dan membuat sakit hati Lalita, rekan-rekannya pun pergi. Air mata wanita itu kemudian mengalir tanpa bisa dicegah. Akan tetapi, karena tidak ingin terlihat lemah dan membenarkan rumor miring itu, dia cepat-cepat menghapus jejak kesedihan di wajah.Rumor yang mencuat dari divisi kebersihan te
“Tidak! Kenapa aku ada di sini?!”Di pagi harinya, Lalita begitu panik ketika mendapati tubuhnya berada di atas tempat tidur empuk milik sang suami.Buru-buru wanita itu mengecek pakaiannya. Bukan apa-apa, dia takut sesuatu telah terjadi."Syukurlah," ucapnya lega setelah melihat dirinya masih berpakaian lengkap.Merasa aneh dengan apa yang terjadi, dia pun mengingat-ingat alasan yang membawa tubuhnya berada di sini. Padahal, dia ingat, kemarin dia tidur di sofa.Tak mendapatkan jawaban apapun, akhirnya Lalita bangkit dari tempat tidur cepat-cepat. Saat bersamaan, Arga keluar dari kamar mandi sudah dengan pakaian lengkapnya."Bagaimana rasanya tidur di ranjang mahal?" Pria itu menatap sang istri yang terlihat kebingungan.Dengan gugup, Lalita berujar cepat, "Saya tidak tahu Pak kenapa saya bisa tidur di ranjang anda.""Mungkin kamu bermimpi dan pindah ke ranjangku," sahutnya dengan tersenyum licik.Wanita itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal, apa mungkin? pikirnya."Kenapa anda ti
Arga terdiam. Melihat kefrustrasian di wajah sang cucu, kakek kembali berucap, “Atau, jadikan saja dia sekretarismu.”Di saat seperti ini, Arga tidak dapat berpikir jernih. “Entahlah Kek.” Cinta adalah hal remeh, tapi mampu membuat orang yang baru merasakannya terombang-ambing tak karuan. “Kakek tau kamu ingin melindungi Lalita, tapi, pikirkan seribu kali langkah yang akan kamu ambil.” Napas panjang nan lelah yang keluar dari bibir Arga menjadi jawaban kemudian. “Baik Kek.” Selepas berbicara dengan kakeknya, pria itu pergi ke kamar. Tidak dipungkiri, usai berbincang dengan kakeknya, ketantrumannya berkurang. Lalita yang tadinya was-was Arga semakin meradang, kini bernapas lega karena wajah pria itu tidak setegang sebelumnya.Keesokan harinya, pria itu mengajak Lalita untuk berangkat bersama, namun kali ini dia menurunkan istrinya tepat di samping gerbang kantor.Wanita itu berdecak, kesal. Pasalnya, karena sudah di wilayah kantor, dia jadi harus waspada sebelum turun dari mobil
Selepas keluar dari ruangan sang CEO, Lalita buru-buru turun untuk menemui Mario yang diminta untuk menunggu di luar gerbang kantor."Kenapa harus menunggu di luar gerbang kantor sih, Ta? Kan bisa bareng dari parkiran?" Pria itu sungguh heran dengan sikap temannya."Kalau CEO tahu kita bisa dipecat," bisiknya lagi, mengulangi kalimat yang serupa dengan kalimat siang tadi."Astaga, sungguh CEO perusahaan ini sudah gila sampai membuat peraturan yang tidak masuk akal," cicitnya pelan-pelan.Lalita tidak menanggapi ucapan sahabatnya itu, dan segera mendorong tubuh Mario agar bergegas. Kalau kelamaan, bisa-bisa mereka benar-benar terpergok Arga!Sementara kedua sahabat itu tengah mengenang kebersamaan, di sebuah restoran mewah, terlihat Arga yang melamun ketika kliennya berbicara.Pikiran pria itu melayang jauh ke sang istri, teringat kembali sikap lucu istrinya. Tak sampai di situ, pria itu bahkan senyum-senyum sendiri.Melihat sikap aneh CEO-nya, Damar yang peka itu mendekatkan diri, kem
“Berikan ponselmu.”Arga mengulurkan tangannya ke arah Lalita. Lalita merogoh tasnya. Namun, karena terburu-buru, dia jadi bertindak ceroboh hingga membuat ponselnya jatuh.Layar ponsel pintar berlayar sentuh yang modelnya sudah jadul itu terlihat pecah. Wajah Lalita langsung mendung. Dia memungut ponselnya dengan helaan napas panjang.Arga yang melihat hal itu merasa iba tapi juga sedikit kesal. Lalita terlihat begitu sedih, padahal hanya ponsel yang pecah."Kenapa sesedih itu? Bukankah itu ponsel murahan?" Arga pun berkomentar pedas.Wanita itu menatap suaminya kesal. Bagi Arga mungkin ponsel itu tidak berharga dan barang murah. Akan tetapi, baginya… ponsel itu adalah benda berharga yang ia beli dengan penuh perjuangan.“Murah untuk Anda, tetapi berharga untuk saya, Pak!” sahut Lalita bersungut.Dia jadi kesal, dan langsung pergi ke kamar, meninggalkan Arga yang terpaku sendirian.Nomor ponsel tidak didapat, pria itu justru mendapati kekesalan sang istri. Merasa bersalah, Arga pun
“Apa-apaan dia, menuliskan namanya begini?!”Sebuah kalimat protes langsung Lalita lontarkan tanpa bisa dicegah.Sadar suaranya cukup kencang ketika berkata demikian, dia pun celingukan, memastikan sekitarnya aman, sebelum mengangkat panggilan itu.“Iya, Pak–”“Kenapa lama sekali mengangkat teleponnya?!” Baru saja diangkat suara dingin pria itu menusuk telinganya. Lalita sampai menjauhkan sedikit ponselnya dari telinga.“M-maaf Pak, saya tidak tahu,” jawabnya tidak memperpanjang omelan Arga. “Ada apa, Pak?” tanyanya lagi.“Tidak ada apa-apa. Aku hanya mengecek, kalau kamu mengerti cara menggunakan ponsel baru itu.”Dua bola mata Lalita berputar. Dia langsung membatin, kesal, karena dengan kata lain Arga pikir dia terlalu bodoh dan gaptek.“Tapi, Pak, sebetulnya tidak perlu membelikan kartu baru. Saya–”“Buang saja kartu lamamu, dan pakai kartu yang aku berikan.” Arga memotong kalimat Lalita dengan cepat.Lalita mengangguk, meski Arga tak bisa melihat. Teringat nama yang tertulis di
E-tiket yang dipesan Damar sudah di tangan Arga. Pria itu jadi tidak sabar menunggu malam tiba. Dia sudah membayangkan keseruannya dengan Lalita.Senyum di wajah dingin itu bahkan terus-terusan merekah. Sungguh satu hal aneh, tetapi ajaib yang kini terjadi pada Arga.“Arga, kenapa kamu gila begini.” Dia bermonolog dengan dirinya sendiri.Saat jam pulang akan tiba, Lalita memasuki ruangan Arga. “Setelah pekerjaanmu selesai, duduklah. Ada yang ingin aku sampaikan.”Meski heran, Lalita menurut. Wanita itu hanya menebak, paling atasannya itu akan memberinya pekerjaan tambahan. “Ada yang perlu saya kerjakan lagi, Pak?”Usai pekerjaannya merapikan ruangan Arga rampung, gadis itu segera melapor. “Duduklah.” Arga bertitah dengan lembut, lalu satu tangannya terjulur memberikan sebuah kotak. “Pakai ini kemudian bersiaplah karena aku akan mengajak kamu menonton.” Kembali Lalita dibuat melongo dengan ucapan Arga, Menonton? Sesaat kemudian wanita itu menatap Arga dan terlontarlah pertanyaan, “
“Siapa Mario?”Wanita itu menghentikan makannya, menatap sang suami dengan rasa takut, “Teman saya sesama OB, Pak." Arga melemparkan tatapan tajamnya. “Siapa yang menyuruhmu menyimpan kontak pria lain!” Entah mengapa dada pria itu bergemuruh, rasa bahagia yang dari kemarin dia rasakan hilang begitu saja.Tau Arga marah, Lalita semakin ketakutan tapi dia juga heran.Menurutnya menyimpan nomor rekan kerja bukanlah sebuah kesalahan, tapi kenapa Arga begitu marah??"Ingat perjanjian kita Lalita, kamu tidak boleh memiliki lelaki lain selama pernikahan ini masih berlangsung." Kembali pria itu mengingatkan sang istri akan perjanjian mereka.“....” Bukan tidak paham atau ingat tapi…. Perjanjian mereka hanya melarang Lalita untuk memiliki pria lain selain Arga, bukan menyimpan nomor atau berteman dengan rekan kerja."Kenapa diam?” Tanya Arga yang membuyarkan lamunan Lalita.Tak ingin berdebat wanita itu mengangguk paham, “Saya faham Pak.” Makan siang yang seharusnya menenangkan dan mengenya
"Ketoprak datang.... " Pria itu membawa sebungkus ketoprak yang Lili minta. Mencium aroma kacang membuat saliva Lili mengucur dengan deras. Di samping Lili Revan membuka bungkusan ketopraknya. "Makanlah." Segera Lili mengambil sendok dan memakan ketoprak yang dibawa Revan, dalam sekejam sebungkus ketoprak tandas, "Enak Mas." Ujar Lili dengan tersenyum. Melihat ada sisa makanan di mulut Lili Revan pun mengambilnya. "Seperti anak kecil makan meninggalkan sisa." Kata pria itu dengan tersenyum pula. Lili yang malu menundukkan kepala, kembali dia naik ke awan, dan mungkin dia harus siap-siap terjun bebas kembali. Selepas itu, Revan pamit kembali ke kamarnya. Dia lelah dan harus istirahat. Pagi itu di teras rumah, Kirana dan Mama Revan duduk bersantai, Lili yang ingin menghirup udara segar memutuskan untuk bergabung bersama. Melihat cara orang tua Revan yang menyayangi Kirana entah mengapa membuat Lili iri, seharusnya dia lah yang mendapatkan cinta itu karena dia yang meng
"Revan siapa wanita hamil ini? kenapa kamu membawanya pulang?" Mama Revan menatap anaknya tajam. Revan dan Kirana saling tatap, lalu Revan tersenyum. "Dia adalah Lili Ma, istri anak buah Revan. Suaminya baru meninggal. Karena usia kehamilannya sama seperti Kirana alangkah baiknya jika dia turut hadir." Ujar pria itu. Respon orang tua Revan justru diluar dugaan, mama Revan iba terhadap Lili lalu dia membawa Lili masuk ke dalam rumah. Revan dan Kirana saling senyum, lalu mereka masuk. Mama Revan yang sangat bahagia memperlakukan Kirana dengan sangat baik, begitu pula dengan Lili. Mendapatkan kasih sayang dari Mama Revan, diam-diam Lili menangis hal ini membuat panik Mama Revan. "Kamu kenapa Lili?" tanya Mama Revan dengan menatap Lili. "Tidak kenapa-kenapa Tante, saya hanya terharu karena saya tidak pernah dipeluk oleh ibu." Ucapnya. "Kasian sekali kamu Lili." Rasa iba Mama Revan semakin besar. Memang dari kecil Lili sudah yatim piatu, dia diasuh oleh paman dan bibinya. Ketidaka
Hari minggu datang dengan cepat, pagi itu seperti biasa Lili membuatkan kopi untuk Revan. Dengan senyum yang mengembang dia berniat membawakan secangkir kopi itu langsung ke suaminya yang kini berada di taman samping rumah tapi senyumnya perlahan menghilang. Wajah sumringah berubah menjadi mendung. Di taman samping rumahnya, Revan dan Kirana melakukan video call, Revan nampak mengelus perut Kirana, ternyata mereka berakting seolah Kirana tengah hamil. Sebenarnya sah sah saja tapi entah mengapa hati Lili sangat sakit. "Aku yang seharusnya kamu akui sebagai ibu anak kamu Mas." Ucap Lili lalu dia membalikkan badan dan kembali ke kamarnya. Mendengar Kirana mengklaim kehamilannya, Lili tak terima meski ini sudah disepakati bersama. Rasa cintanya kepada Revan membuat Lili terus merasa tak terima dengan apa yang Kirana lakukan. Di dalam kamarnya wanita malang itu menangis, meratapi kesakitan yang setiap hari menghujamnya. "Kenapa semua tidak adil padaku!" Wanita itu berteria
Arga masih belum puas, dia terus mempertanyakan perihal makan siang yang dibawakan oleh Lalita tadi. "Astaga Mas, ya aku berikan pada Mas Rangga daripada mubazir." Jawab Lalita. Pria itu mengepalkan tangannya, merasa dicurangi oleh Rangga. Namun Lalita menurunkan emosinya, "Sudahlah Mas, aku baik pada Mas Rangga karena dia teman kamu, aku tidak memiliki niat lebih, aku bisa menjaga batasanku." Wanita itu mengelus punggung suaminya. "Tapi dia mencintai kamu." Sahut Arga ketus. "Dia yang mencintai aku bukan aku." Hanya satu cara agar Arga tidak marah lagi yaitu membuat pria itu berhasrat dan meluapkan semua di atas ranjang. ##### Tak terasa kandungan Lili sudah terlihat, perut yang semula rata kini terlihat berisi. Bahkan pergerakan bayi bisa dirasakan. Revan sangat senang karena kini dia bisa merasakan kehadiran calon bayinya. "Dia bergerak." Pria itu sangat girang. Lili tersenyum melihat Revan yang seperti ini. Seperti anak kecil yang diberi mainan. Saking senang
"Eh Mas Rangga." Lalita tersenyum menatap Rangga. Terlihat Rangga begitu bahagia, jika ponselnya tak tertinggal mana mungkin bertemu dengan Lalita. "Kamu ngapain?" Rangga berbasa-basi. "Ini ngantar bekal makan siang tapi Mas Arga kelihatannya sedang makan siang diluar." Wanita itu sedikit terlihat kecewa karena surprisenya gagal kali ini. "Iya Arga dan teman-teman makan sedang keluar makan siang." Ujar Rangga. Melihat Rangga yang tiba-tiba datang Lalita mengira jika pria itu juga mencari suaminya seperti tempo dulu yang tanpa dia tahu pria itu datang untuk mengambil ponselnya. "Pak Rangga pasti mencari Mas Arga ya." Terka Lalita. Rangga hanya tersenyum lalu berjalan menuju sofa tempat dia dan teman-temannya tadi mengobrol.Melihat bekal yang dibawakan Lalita, Rangga pun berbasa-basi. "Sayang sekali bekal makan siangnya." Sambil menatap Lalita. "Iya tahu gini, aku tak perlu pakai surprise segala." Dia terkekeh merasa konyol dengan dirinya sendiri. "Oh ya kalau Mas Rangga kala
"Kalau pas di lidah kamu maka mulai dari sekarang kopi itu akan ada di meja setiap pagi." Wanita itu tersenyum lalu mengambilkan Revan makanan. Keduanya makan sambil mengobrol di meja makan hingga Kirana datang dan bergabung dengan mereka. "Duh asiknya." Entah ungkapan sindiran atau tidak tapi setelah kedatangan Kirana, Revan agak kikuk. Kirana menarik kursi lalu bergabung dengan mereka. Revan yang awalnya aktif bertanya pada Lili kini mulai aktif dengan Kirana sehingga membuat keberadaan Lili seperti tak dianggap. Buru-buru Lili menyelesaikan makan paginya lalu bergegas kembali ke kamar. "Kamu mau kemana Lili?" tanya Kirana. "Ke kamar Kirana, perutku agak kurang nyaman." Jawab Lili lalu mrninggalkan mereka. Kirana dan Revan agak panik, mereka takut terjadi apa-apa dengan kandungan Lili. "Apa kita bawa ke rumah sakit saja Mas?" Bukannya tidak setuju dengan keinginan Kirana tapi pagi ini Revan ada meeting penting. "Bagaimana jika kamu yang membawanya sayang, pagi in
Lili terhuyung kebelakang lalu berjalan mundur sedangkan pria yang ada di hadapannya terus menatapnya dengan tatapan memangsa. "Aku tahu Revan menyembunyikan kamu disini." Ujarnya dengan terus melangkah maju. "Keluarlah! Mas Revan tidak di rumah!" Lili meninggikan ucapannya. Namun bukannya pergi pria itu terus melangkah kan kaki mengikuti langkahnya. "Aku sudah tahu dia tidak di rumah jadi aku kesini untuk menemani kamu Lili." Dengan tersenyum licik. Lili membalikkan badannya, dia ingin berlari tapi tangan teman Revan itu memeganginya. "Aku sudah kecanduan tubuh kamu Lili, aku yakin kamu juga rindu pelanggan setia kamu ini." Ujar pria itu yang berusaha mencium Lili. Lili mendorong dengah kuat pria itu, lalu dia berlari namun lagi-lagi pria jahat itu dapat menangkap tubuhnya. "Aku mohon, aku bukan seperti yang dulu." Dengan menangis Lili mencoba meminta belas kasihan pria itu. "Bagiku sama saja, tubuhmu sudah dinikmati banyak orang lagipula Revan tidak akan tahu kamu melay
"Apa? sepupu kamu?" Revan shock mendengar kenyataan itu dari mulut Lili. Mengingat profesi Lili sebelumnya, bagaimana bisa sepupu seorang Triliuner menjadi seorang wanita penghibur seperti Lili. "Kamu yakin Arga CEO Winata Group adalah sepupu kamu Lili?" Kembali Revan menanyakan. "Yakin Mas, Arga Rahardi Winata nama lengkapnya, tinggal bersama kakek satu-satunya yang bernama Winata, menikah dengan seorang wanita yang bernama Lalita dan sekarang memiliki seorang bayi." Lili menjelaskan semua agar Revan yakin. Revan mengangguk paham, kini dia percaya jika Lili benar-benar sepupu Arga tapi apa yang membuat wanita cantik seperti Lili terjebak dalam genggaman sekarang mucikari??? entahlah. Ynag jelas sebesar apapun keingintahuannya, Revan tidak mau lagi mengungkit masa lalu Lili."Ya sudah, ayo tidur. Sudah malam." Dengan lembut Revan meminta Lili untuk segera tidur. Sebelum keluar tak lupa Revan mengelus perut Lili hal membuat wanita itu memejamkan mata, dia melayang ke awan, namu
"Kamu mau kemana Mas?" Tanya Lalita ketika Arga berganti pakaian semi formal. Dapat undangan makan malam dari teman Sayang." Jawab pria itu. "Pulangnya malam kah Mas?" Kembali Lalita bertanya. "Bisa jadi Sayang karena pasti disana kami akan mengobrol." Jawaban Arga membuat Lalita lesu, padahal rencananya malam ini dia ingin bermanja-manja dengan suaminya. Wanita itu memeluk sang suami, dia mengungkap keinginannya. Mendengar itu Arga tersenyum, "Setelah pulang nanti kita bermain." Bisiknya. "Kalau aku sudah tidur bagaimana?" Tangan wanita itu menggoda suaminya. "Langsung serang saja."Arga tertawa lalu mencubit pipi sang istri.Di bawah Damar sudah menunggu, sehingga Arga buru-buru keluar kamarnya. Singkat cerita, kini mereka semua telah tiba di rumah Revan, mereka dipersilahkan masuk oleh pelayan keluarga Revan. "Selamat malam semua." Revan yang baru turun segera menyambut teman bisnisnya itu. Tak selang lama, Kirana keluar dengan membawakan mereka minuman serta camilan. "