Pagi harinya, kantor dibuat heboh karena kedatangan Damar, asisten Arga ke divisi kebersihan.
“Kenapa asisten CEO yang datang sendiri untuk memecatnya?” “Aku juga heran. Seharusnya, CEO tidak perlu turun tangan untuk hal seperti ini.” Lalita yang saat itu tengah mengambil seragam sempat mendengar kalimat-kalimat keheranan dari rekan kerjanya. Tubuh Lalita bergeming, seiring dengan pikirannya yang terus sibuk. Apakah ini ada kaitannya dengan rekannya yang kemarin merundung dia? Namun, melihat ketidakpedulian Arga dan sikapnya yang buruk, Lalita tentu saja sanksi jika ini semua dilakukan pria itu. Apalagi, hanya karena dirinya. Akan tetapi, alangkah terkejutnya Lalita, ketika dia justru mendapati keterangan yang bertolak belakang dari si empunya perintah langsung. “Teman yang merundungmu kemarin sudah dipecat.” Sontak Lalita menoleh, tatapan heran terlempar begitu saja ke arah sang suami. “Jadi, benar Anda yang memecatnya?” Berbanding terbalik dengan Lalita, saat ini Arga justru terlihat tersenyum bangga. “Kamu senang bukan, aku telah memecatnya?” katanya, kentara sekali ingin mendapat simpati Lalita karena telah menjadi seorang hero. Namun, Lalita justru meringis. Alih-alih senang justru wanita itu kesal kepada sang suami. "Kenapa anda bertindak semena-mena?” ujar Lalita kecewa. Meski temannya telah berbuat jahat padanya tapi dia tidak suka sikap Arga. Tak sepantasnya menggunakan kekuasaan untuk menindas. Mendengar ucapan istrinya sontak membuat Arga menjadi kesal. Raut wajah pria itu yang semula sedikit cerah, kini kembali berubah gelap. "Kamu menyalahkan aku?!" Tatapan Arga semakin tajam sehingga membuat Lalita menunduk takut. Seketika, dia langsung mengingat posisinya. "Bukan seperti itu Pak, saya hanya menyayangkan sikap anda saja," cicitnya lirih tanpa berani memandang Arga. Terdengar kemudian suara helaan napas dari Arga. Sejurus kemudian kalimat dominasi yang pria itu ucapkan. "Aku tidak suka ada orang yang menindasmu, karena yang memiliki kuasa itu hanya diriku!" Wajah Lalita sontak terkejut. Akan tetapi, sebelum wanita itu menyangkal ucapannya, dia lebih dulu menyela, "Sudahlah. Kerjakan pekerjaanmu dengan benar, atau kamu yang akan kupecat nanti!” Lalita mengepalkan tangannya, ingin sekali meluapkan amarah tapi siapa dia, tentu tidak mungkin melawan suami CEO-nya itu. Sepanjang melakukan pekerjaannya, Lalita nampak menggerutu dalam hati. Beruntung, saat itu Arga tidak berulah, sehingga pekerjaannya cepat selesai tanpa drama. “Pak, saya mau izin untuk pulang sendiri.” Selepas menyelesaikan pekerjaannya, Lalita menghadap Arga untuk pulang. Pria itu melemparkan tatapannya, terlihat bila dia tidak setuju dengan kalimat sang istri. “Baiklah saya akan menunggu anda di tempat biasa.” Badannya berbalik, hendak mengambil peralatan kerjanya. Arga mendadak berubah sikap, dia terlihat gugup bahkan degup jantungnya semakin terasa. Dirinya sudah tidak bisa menahan keinginannya. “Tunggu di basement, sebentar lagi aku selesai." Dia cepat-cepat menyelesaikan pekerjaannya. Kerutan-kerutan di dahi Lalita bermunculan, "Menunggu di basement?" gumamnya lirih. Tak ingin banyak bertanya Lalita melakukan perintah Arga, tanpa berpikiran apabila Arga menyuruhnya menunggu di basement karena dia ingin mengajak Lalita pulang bersama. Pria itu semakin menunjukkan perhatiannya, hanya saja dia terlalu gengsi dan bingung untuk mengungkapkan langsung kepada sang istri. Beberapa lama menunggu, akhirnya Arga turun ke basement, dia segera meminta Lalita masuk ke dalam mobil sebelum ada yang melihat mereka. "Kenapa anda mengajak saya pulang bersama Pak? bukankah jika ada yang melihat reputasi anda bisa jatuh?" Tanya Lalita dengan heran. Pria itu terdiam, dia sendiri juga tidak tahu mengapa ada keinginan mengajak OB-nya pulang bersama tanpa ada drama menunggu seperti sebelum-sebelumnya. "Sudahlah jangan banyak bertanya." Hanya itu yang bisa dia ucap untuk menjawab pertanyaan sang istri. Mendengar itu, Lalita berdecak kesal kemudian melempar tatapan keluar jendela. Keesokan harinya, sepanjang jalan masuk ke dalam kantor sampai ruangan OB, semua teman-temannya nampak menatapnya sinis, bahkan di dalam ruangan OB beberapa temannya berbisik membicarakan dirinya. “Pantas si Bella dipecat, ternyata dia ada main sama Pak CEO.” Bisik-bisik temannya cukup terdengar jelas oleh Lalita. Yang lainnya turut menimpali, “Betul, selain OB dia merangkap jadi wanita pemuas CEO juga.” Sambil tertawa dengan lirikan merendahkan. Mendengar ucapan teman-teman kerjanya, Lalita pun mengepalkan tangan, dengan amarah yang meledak dia mendekat. “Bicara apa kalian, siapa yang menjual tubuh ke Pak CEO!”“Kemarin, kami melihatmu masuk mobil Pak CEO, pasti ingin memberikan pelayanan, kan?”Lalita sontak terdiam. Kemarahan yang semula menggebu-gebu kini hanya tertahan di dada.Dari sekian banyak kata yang bisa Lalita ucap untuk membela diri, karena terhalang oleh perjanjian menutup rapat status pernikahannya … dia hanya mampu berkata, “Aku bukan seperti yang kalian kira!”Dia jelas tidak mungkin mengatakan apabila dia adalah istri CEO-nya. Tidak mungkin juga beralasan Arga mengantarnya pulang, mengingat status mereka di sini hanyalah atasan dan bawahan.“Ya, kami kira semula kamu hanyalah gadis polos!” Sahutan sinis penuh kebencian kembali terdengar. “Tahunya, sungguh wanita murahan!”Setelah memaki dan membuat sakit hati Lalita, rekan-rekannya pun pergi. Air mata wanita itu kemudian mengalir tanpa bisa dicegah. Akan tetapi, karena tidak ingin terlihat lemah dan membenarkan rumor miring itu, dia cepat-cepat menghapus jejak kesedihan di wajah.Rumor yang mencuat dari divisi kebersihan te
“Tidak! Kenapa aku ada di sini?!”Di pagi harinya, Lalita begitu panik ketika mendapati tubuhnya berada di atas tempat tidur empuk milik sang suami.Buru-buru wanita itu mengecek pakaiannya. Bukan apa-apa, dia takut sesuatu telah terjadi."Syukurlah," ucapnya lega setelah melihat dirinya masih berpakaian lengkap.Merasa aneh dengan apa yang terjadi, dia pun mengingat-ingat alasan yang membawa tubuhnya berada di sini. Padahal, dia ingat, kemarin dia tidur di sofa.Tak mendapatkan jawaban apapun, akhirnya Lalita bangkit dari tempat tidur cepat-cepat. Saat bersamaan, Arga keluar dari kamar mandi sudah dengan pakaian lengkapnya."Bagaimana rasanya tidur di ranjang mahal?" Pria itu menatap sang istri yang terlihat kebingungan.Dengan gugup, Lalita berujar cepat, "Saya tidak tahu Pak kenapa saya bisa tidur di ranjang anda.""Mungkin kamu bermimpi dan pindah ke ranjangku," sahutnya dengan tersenyum licik.Wanita itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal, apa mungkin? pikirnya."Kenapa anda ti
Arga terdiam. Melihat kefrustrasian di wajah sang cucu, kakek kembali berucap, “Atau, jadikan saja dia sekretarismu.”Di saat seperti ini, Arga tidak dapat berpikir jernih. “Entahlah Kek.” Cinta adalah hal remeh, tapi mampu membuat orang yang baru merasakannya terombang-ambing tak karuan. “Kakek tau kamu ingin melindungi Lalita, tapi, pikirkan seribu kali langkah yang akan kamu ambil.” Napas panjang nan lelah yang keluar dari bibir Arga menjadi jawaban kemudian. “Baik Kek.” Selepas berbicara dengan kakeknya, pria itu pergi ke kamar. Tidak dipungkiri, usai berbincang dengan kakeknya, ketantrumannya berkurang. Lalita yang tadinya was-was Arga semakin meradang, kini bernapas lega karena wajah pria itu tidak setegang sebelumnya.Keesokan harinya, pria itu mengajak Lalita untuk berangkat bersama, namun kali ini dia menurunkan istrinya tepat di samping gerbang kantor.Wanita itu berdecak, kesal. Pasalnya, karena sudah di wilayah kantor, dia jadi harus waspada sebelum turun dari mobil
Selepas keluar dari ruangan sang CEO, Lalita buru-buru turun untuk menemui Mario yang diminta untuk menunggu di luar gerbang kantor."Kenapa harus menunggu di luar gerbang kantor sih, Ta? Kan bisa bareng dari parkiran?" Pria itu sungguh heran dengan sikap temannya."Kalau CEO tahu kita bisa dipecat," bisiknya lagi, mengulangi kalimat yang serupa dengan kalimat siang tadi."Astaga, sungguh CEO perusahaan ini sudah gila sampai membuat peraturan yang tidak masuk akal," cicitnya pelan-pelan.Lalita tidak menanggapi ucapan sahabatnya itu, dan segera mendorong tubuh Mario agar bergegas. Kalau kelamaan, bisa-bisa mereka benar-benar terpergok Arga!Sementara kedua sahabat itu tengah mengenang kebersamaan, di sebuah restoran mewah, terlihat Arga yang melamun ketika kliennya berbicara.Pikiran pria itu melayang jauh ke sang istri, teringat kembali sikap lucu istrinya. Tak sampai di situ, pria itu bahkan senyum-senyum sendiri.Melihat sikap aneh CEO-nya, Damar yang peka itu mendekatkan diri, kem
“Berikan ponselmu.”Arga mengulurkan tangannya ke arah Lalita. Lalita merogoh tasnya. Namun, karena terburu-buru, dia jadi bertindak ceroboh hingga membuat ponselnya jatuh.Layar ponsel pintar berlayar sentuh yang modelnya sudah jadul itu terlihat pecah. Wajah Lalita langsung mendung. Dia memungut ponselnya dengan helaan napas panjang.Arga yang melihat hal itu merasa iba tapi juga sedikit kesal. Lalita terlihat begitu sedih, padahal hanya ponsel yang pecah."Kenapa sesedih itu? Bukankah itu ponsel murahan?" Arga pun berkomentar pedas.Wanita itu menatap suaminya kesal. Bagi Arga mungkin ponsel itu tidak berharga dan barang murah. Akan tetapi, baginya… ponsel itu adalah benda berharga yang ia beli dengan penuh perjuangan.“Murah untuk Anda, tetapi berharga untuk saya, Pak!” sahut Lalita bersungut.Dia jadi kesal, dan langsung pergi ke kamar, meninggalkan Arga yang terpaku sendirian.Nomor ponsel tidak didapat, pria itu justru mendapati kekesalan sang istri. Merasa bersalah, Arga pun
“Apa-apaan dia, menuliskan namanya begini?!”Sebuah kalimat protes langsung Lalita lontarkan tanpa bisa dicegah.Sadar suaranya cukup kencang ketika berkata demikian, dia pun celingukan, memastikan sekitarnya aman, sebelum mengangkat panggilan itu.“Iya, Pak–”“Kenapa lama sekali mengangkat teleponnya?!” Baru saja diangkat suara dingin pria itu menusuk telinganya. Lalita sampai menjauhkan sedikit ponselnya dari telinga.“M-maaf Pak, saya tidak tahu,” jawabnya tidak memperpanjang omelan Arga. “Ada apa, Pak?” tanyanya lagi.“Tidak ada apa-apa. Aku hanya mengecek, kalau kamu mengerti cara menggunakan ponsel baru itu.”Dua bola mata Lalita berputar. Dia langsung membatin, kesal, karena dengan kata lain Arga pikir dia terlalu bodoh dan gaptek.“Tapi, Pak, sebetulnya tidak perlu membelikan kartu baru. Saya–”“Buang saja kartu lamamu, dan pakai kartu yang aku berikan.” Arga memotong kalimat Lalita dengan cepat.Lalita mengangguk, meski Arga tak bisa melihat. Teringat nama yang tertulis di
E-tiket yang dipesan Damar sudah di tangan Arga. Pria itu jadi tidak sabar menunggu malam tiba. Dia sudah membayangkan keseruannya dengan Lalita.Senyum di wajah dingin itu bahkan terus-terusan merekah. Sungguh satu hal aneh, tetapi ajaib yang kini terjadi pada Arga.“Arga, kenapa kamu gila begini.” Dia bermonolog dengan dirinya sendiri.Saat jam pulang akan tiba, Lalita memasuki ruangan Arga. “Setelah pekerjaanmu selesai, duduklah. Ada yang ingin aku sampaikan.”Meski heran, Lalita menurut. Wanita itu hanya menebak, paling atasannya itu akan memberinya pekerjaan tambahan. “Ada yang perlu saya kerjakan lagi, Pak?”Usai pekerjaannya merapikan ruangan Arga rampung, gadis itu segera melapor. “Duduklah.” Arga bertitah dengan lembut, lalu satu tangannya terjulur memberikan sebuah kotak. “Pakai ini kemudian bersiaplah karena aku akan mengajak kamu menonton.” Kembali Lalita dibuat melongo dengan ucapan Arga, Menonton? Sesaat kemudian wanita itu menatap Arga dan terlontarlah pertanyaan, “
“Siapa Mario?”Wanita itu menghentikan makannya, menatap sang suami dengan rasa takut, “Teman saya sesama OB, Pak." Arga melemparkan tatapan tajamnya. “Siapa yang menyuruhmu menyimpan kontak pria lain!” Entah mengapa dada pria itu bergemuruh, rasa bahagia yang dari kemarin dia rasakan hilang begitu saja.Tau Arga marah, Lalita semakin ketakutan tapi dia juga heran.Menurutnya menyimpan nomor rekan kerja bukanlah sebuah kesalahan, tapi kenapa Arga begitu marah??"Ingat perjanjian kita Lalita, kamu tidak boleh memiliki lelaki lain selama pernikahan ini masih berlangsung." Kembali pria itu mengingatkan sang istri akan perjanjian mereka.“....” Bukan tidak paham atau ingat tapi…. Perjanjian mereka hanya melarang Lalita untuk memiliki pria lain selain Arga, bukan menyimpan nomor atau berteman dengan rekan kerja."Kenapa diam?” Tanya Arga yang membuyarkan lamunan Lalita.Tak ingin berdebat wanita itu mengangguk paham, “Saya faham Pak.” Makan siang yang seharusnya menenangkan dan mengenya